konstitusi dan konstitusionalisme
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kata konstitusi berasal dari bahasa Prancis “Constitur” yang berarti membentuk. Sedangkan dalam bahasa Belanda dikenal “Grondwel” yang berarti Undang-undang Dasar. Bahasa Jerman dikenal istilah “Grundgesetz”.
Konstitusi memuat aturan-aturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi yang diperlukan untuk berdirinya sebuah Negara. E.C.S Wade mengatakan bahwa yang dimaksud adalah “a document having a special legal sanctity which sets out the framework and the principal functions of the organs of government of a state and declares the principles governing the operation of those organs”. (naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu Negara dan menentukan pokok cara kerja badan tersebut).
Dalam terminology fiqh siyasah, istilah konstitusi dikenal dengan dustur, yang pada mulanya diartikan dengan seseorang yang memiliki otoritas, baik dalam bidang politik maupun agama. Dustur dalam konteks konstitusi berarti kumpulan kaidah yang mengatur dasar dan hubungan kerjasama antar sesama anggota masyarakat dalam sebuah Negara, baik yang tidak tertulis (konvensi) maupun yang tertulis (konstitusi). Lebih lanjut dijelaskan Abdul Wahab Khallaf, bahwa prinsip yang ditegakkan dalam perumusan undang-undang dasar(dustur) ini adalah jaminan atas hak-ahak asasi manusia setiap anggota masyarakat dan persamaan kedudukan semua orang di mata hukum, tanpa membeda-bedakan stratifikasi social, kekayaan, pendidikan dan agama. Jadi, dalam praktiknya, konstitusi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu tertulis (undang-undang) dasar dan yang tidak tertulis, atau dikenal juga dengan konvensi.
Secara garis besar, konstitusi memuat tiga hal, yaitu: pengakuan HAM,struktur ketatanegaraan yang mendasar dan pemisahan atau pembatasan kekuasaan. Selain itu dalam konstitusi juga harus terdapat pasal mengenai perubahan konstitusi.
Henc van Maarseveen dalam bukunya yang berjudul Written Constitution, mengatakan bahwakonstitusi harus dapat menjawab persoalan pokok, antara lain:[1]
1. Konstitusi merupakan hukum dasar suatu Negara.
2. Konstitusi merupakan sekumpulan aturan dasar yang menetapkan lembaga-lembaga penting dalam Negara.
3. Konstitusi melakukan pengaturan kekuasaan dan hubungan keterkaitannya.
4. Konstitusi mengatur hak-hak dasar dan kewajiban warga Negara dan pemerintah.
5. Konstitusi harus dapat membatasi dan mengatur kekuasaan Negara dan lembaga-lembaganya.
6. Konstitusi merupakan ideology elit penguasa.
7. Konstitusi menentukan hubungan materiil antara Negara dengan masyarakat.
Menurut Mr. J.G Steenbeek, pada umumnya suatu konstitusi berisi tiga hal pokok, yaitu: [2]
1. Adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia dan warga negaranya.
2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu Negara yang bersifat fundamental.
3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.
Sedangkan Menurut Mirriam Budiardjo, setiap UUD memuat ketentuan-ketentuan tentang:[3]
1. Organisasi Negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislaif, eksekutuif dan yudikatif; pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah Negara bagian; prosedur menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dansebagainya.
2. Hak Asasi Manusia.
3. Prosedur mengubah UUD.
4. Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD.
B. PERMASALAHAN
Adapun beberapa rumusan masalah yang manjadi landasan pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah pembangunan sosial,ekonomi dan hukum pasca mandemen UUD 1945 menemukan “RUH”-nya sekarang ini?
2. Apa saja perlindungan HAM fundamental dan perlindungan HAM pada UUD 1945?
3. Apakah Paradigma Negara dalam Perlindungan HAM: Inkoheren?
4. Apakah masih relevan pembagian dan pembatasan kekuasaan dalam suatu negara?
C. METODE PENULISAN
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis-normatif. Data diperoleh dari data sekunder berupa bahan hukum (primer, sekunder dan tersier), dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif-kualitati.
BAB II
PEMBAHASAN
Konstitusi sebagai kerangka politik dalam pembangunan hukum, ekonomi dan sosial di sebuah negara
ü Pembanguna Hukum
Salah satu prinsip dasar yang mendapatkan penegasan dalam perubahan UUD 1945 adalah prinsip negara hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa ‘Negara Indonesia adalah negara hukum’. Bahkan secara historis negara hukum (Rechtsstaat) adalah negara yang diidealkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum UUD 1945 sebelum perubahan tentang sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat) .
Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh para filsuf dari zaman Yunani Kuno. Plato, dalam bukunya “the Statesman” dan “the Law” menyatakan bahwa negara hukum merupakan bentuk paling baik kedua (the second best) guna mencegah kemerosotan kekuasaan. Konsep negara hukum modern di Eropa Kontinental dikembangkan dengan menggunakan istilah Jerman yaitu “rechtsstaat” antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika konsep negara hukum dikembangkan dengan sebutan “The Rule of Law” yang dipelopori oleh A.V. Dicey. Selain itu, konsep negara hukum juga terkait dengan istilah nomokrasi (nomocratie) yang berarti bahwa penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara adalah hukum.
Prinsip-prinsip negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta semakin kompleksnya kehidupan masyarakat di era global, menuntut pengembangan prinsip-prinsip negara hukum. Dua isu pokok yang senantiasa menjadi inspirasi perkembangan prinsip-prinsip negara hukum adalah masalah pembatasan kekuasaan dan perlindungan HAM. Saat ini, paling tidak dapat dikatakan terdapat dua belas prinsip negara hukum, yaitu Supremasi Konstitusi (supremacy of law), Persamaan dalam Hukum (equality before the law), Asas Legalitas (due process of law), Pembatasan Kekuasaan (limitation of power), Organ Pemerintahan yang Independen, Peradilan yang Bebas dan Tidak Memihak (independent and impartial judiciary), Peradilan Tata Usaha Negara (administrative court), Peradilan Tata Negara (constitutional court), Perlindungan Hak Asasi Manusia, Bersifat Demokratis (democratische-rehtsstaats), Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat), serta Transparansi dan Kontrol Sosial.
Prinsip-prinsip negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta semakin kompleksnya kehidupan masyarakat di era global, menuntut pengembangan prinsip-prinsip negara hukum. Dua isu pokok yang senantiasa menjadi inspirasi perkembangan prinsip-prinsip negara hukum adalah masalah pembatasan kekuasaan dan perlindungan HAM. Saat ini, paling tidak dapat dikatakan terdapat dua belas prinsip negara hukum, yaitu Supremasi Konstitusi (supremacy of law), Persamaan dalam Hukum (equality before the law), Asas Legalitas (due process of law), Pembatasan Kekuasaan (limitation of power), Organ Pemerintahan yang Independen, Peradilan yang Bebas dan Tidak Memihak (independent and impartial judiciary), Peradilan Tata Usaha Negara (administrative court), Peradilan Tata Negara (constitutional court), Perlindungan Hak Asasi Manusia, Bersifat Demokratis (democratische-rehtsstaats), Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat), serta Transparansi dan Kontrol Sosial.
Dalam suatu negara hukum, mengharuskan adanya pengakuan normatif dan empirik terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam pembentukan norma hukum secara hirarkis yang berpuncak pada supremasi konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang mendasarkan pada aturan hukum.
Dengan demikian, segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tersebut harus ada dan berlaku terlebih dulu atau mendahului perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan administratif harus didasarkan atas aturan atau rules and procedures.
Namun demikian, prinsip supremasi hukum selalu diiringi dengan dianut dan dipraktikkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.
Berdasarkan prinsip negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi.
Namun demikian, prinsip supremasi hukum selalu diiringi dengan dianut dan dipraktikkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.
Berdasarkan prinsip negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi.
Hukum dalam arti disini yaitu mengenai Hukum Tata Negara, khususnya dalam halSi stem Perwakilan dan Sistem Ketatanegaraanpada UUD 1945 Pasca Amandemen. Sudah dibahas
sebelumnya bahwa perubahan konstitusi Indonesia yang te rjadi mulai pada tahun 1999-2002, bersifatsangat fundamental. Hal ini pula terlihat dari Sistem Perwakilan yang ada di dalam Ketatanegaraan Indonesia.
Sampai pada akhirnya UUD ini diamandemen dan memberikan perubahan yang begitu drastisdalam suasanan ketatanegaraan saat ini. Arah kekuasaan berbanding terbalik dengan suasanasebel umdiamandemen. Kini MPR diposisikan sederajat dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Perlu dipahami pula seluruh lembaga negara berkedudukan langsung di bawah UUD 1945. Dan sistemkonstitusional berdasarkan asas berimbang dalam kekuasaan (check and balance), yaitu setiaplembaga dibatasi oleh undang-undang berdasarkan fungsinya masing-masing.[4] Hingga munculahlembaga negara perwakilan daerah yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dibuat atas dasarmembawa kepentingan-kepentingan daerah yang diwakilkannya. Kemudian lembaga ini yang disebut-sebut sebagai konsekuensi dinamakannya sistem perwakil an dua kamar (bicameral). Penamaan sistemini bukan tanpa alasan, paling tidak dapat kita buktikan dengan keberadaan anggotannya di dalamstruktur MPR, yang didalam struktur keanggotaan MPR tersebut terdapat pula anggota DPR. Artinya, halini dinilai adanya dua lembaga perwakilan didalam satu majelis[5]. Karena DPD disebut-sebut membawaperwakilan daerah yang diwakilkannya, maka sesungguhnya konsepBi cameral i sm konteks Indonesiaterinspirasi dari sistem pengaturan perwakilan negara federal yang untuk melindungi kehendak rakyatdari setiap negara bagian, yang berbeda artinya dengan kehendak federasi sebagai suatukeseluruhan.[6] Dalam hal Dewan Perwakilan Daerah diharapkan dapat mewadahi pluralitas yang adadalam suatu daerah provinsi.(Jurnal Konstitusi, vol. I,No. 1, Nov. 2009)
Ditinjau dari tataranrealpolitic, ide bicameral yang dianggap berlaku sekarang masih sajamenghadapi keraguan bagi beberapa ahli Hukum Tata Negara[7]. Ditambah pula keterangan bahwasistem perwakilan yang dianut oleh Indonesia makin tidak jelas karen secara teori tidak dapatdikategorikan sebagai unikameral maupun bikameral, melainkan terdapat tiga badan perwakilan yangjuga tidak dapat disebutsebagai sistem perwakilan tiga kamar[8]. Dalam konteks pembahasan kali ini,menurut penulis entahitu perwakilan DPR, MPR ataupun DPD harus sesuai dengan impian bagi yangdiwakilkan untuk dijalankan pada pelaksanaan pemerintahan. Kepentingan-kepentingan yang diwakilkanharus benar-benar dijamin oleh yang mewakili, jangan sampai hanya kepentingan kelom pok tertentusaja yang dijalankan.
ü Pembangunan Ekonomi
Ketentuan mengenai Perekonomian dan Kesejahteraan Sosial sudah diatur pada UUD 1945.20 Khususnya mengenai Perekonomian hanya diatur pada Pasal 33 yang terdiri dari limaayat.
Pasal 33
(1)Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Merupakan suatu susunan kebijakan yang sistematis dan menyeluruh,mulai darisusunan yang bersifat nasional sampai ke susunan ke daerah-daerah provinsidankabupaten/kota ke seluruh Indonesia.
(2)Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara.
Dalam arti luas mengenai kata ³dikuasai oleh Negara´pengertian kepemilikan dalam artipublik dan sekaligus perdata, termasuk pula kekuasaan dalam mengendalikan dan mengelolabidang-bidang usaha itu secara langsungoleh Pemerintah.
(3)Bumi dan air dankekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar -besarkemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi denganprinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjagakeseimbangankemajuan dankesatuan ekonominasional.
Harus dipahami, menurut Jimly Assiddiqie, konsep yakni, perekonomian nasionaldiselenggarakan atas dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip-prinsip: (i) kebersamaan; (ii)efisiensi berkeadilan; (iii) berkelanjutan; (iv) berwawasan lingkungan;(v) kemndirian; (vi)keseimbangan kemajuan; (vii) kesatuan ekonomi nasional ..
ü Pembangunan Sosial (masyarakat)
Muatan sosial pada UUD 1945 telah diatur, lebihkhususnya mengenai Bab X tentang WargaNegara dan Penduduk didalam Pasal 27 dan Pasal 28 dan Bab XIV tentang Perekonomian danKesejahteraan Rakyat khususnya Pasal 34.
b.Paham Konstitusi pada Konteks Negara Hukum
Paham konstitusi yang dijadikan landasan pelaksanaan ketatanegaraan erat dikaitkanhubungannya dengan tujuan negara pada umumnya. Halini menunjukan bahwa konstitusi memilikiposisi yang begitu strategis terhadap pelaksanaan negara.Kalangan ahli hukum, pada umumnya,mengaitkan pula tujuan negara dengan tujuan hukum itu sendiri.[9] Beberapa tujuan hukum menurut ahlitersebut ialah; (i) keadilan (justice), (ii) kepastian (certainty atauzekerhei d) atau ketertiban (order), (iii)kebergunaan atau kemanfaatan (utility).
Kaitannya dengan tujuan negara, masih menurut beliau, dengan mengutip pendapatnya J.Barens, ada tiga tujuan negara, yaitu (i) untuk memelihara ketertiban dan ketentraman, (ii) mempertahankan kekuasaan, dan (iii) mengurus hal-hal yang berkenaandengan kepentingan-kepentingan umum. Sedangkan, masih pendapat Jimly Asshidiqie,
Menurut Maurice Hauriou menyatakan bahwa tujuan konstitusi adalah unutk menjaga keseimbangan antara (i) ketertiban (order), (ii) kekuasaan (gezag), dan (iii) kebebasan (vrijheid). Sedangkan yang lainnya, menurut Carl J. Friedrich,konstitusi mempunyai fungsi yang khusus dan merupakan perwujudan atau menifestasi dari hukum yangtertinggi yang harus ditaat, bukan hanya oleh rakyat tetapi juga oleh pemerintah serta penguasa sekalipun.[10]
Dari beberapa pendapat diatas, menurut penulis pada akhirnya bicara tujuan negara yang selaludikaitkan dengan tujuan konstitusi di Indonesia akan mengacu pada alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945,yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruhtumpah darah Indonesia untuk memajukankesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.[11]
HAM dalam konstitusi dibeberapa negara
Memasukkan hak-hak asasi manusia ke dalam pasal-pasal konstitusi merupakan salahsatu ciri konstitusi moderen. Setidaknya, dari 120an konstitusi di dunia, ada lebih dari 80persen diantaranya yang telah memasukkan pasal-pasal hak asasi manusia, utamanyapasal-pasal dalam DUHAM. Perkembangan ini sesungguhnya merupakan konsekuensitata pergaulan bangsa-bangsa sebagai bagian dari komunitas internasional, utamanyamelalui organ Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sejak dideklarasikannya sejumlah hak-hakasasi manusia dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau biasa disebut DUHAM1948 (Universal Declaration of Human Rights), yang kemudian diikuti oleh sejumlahkovenan maupun konvensi internasional tentang hak asasi manusia, maka secara bertahapdiadopsi oleh negara-negara sebagai bentuk pengakuan rezim normatif internasional yangdikonstruksi untuk menata hubungan internasional.
Meskipun demikian, dalam konteks sejarah dan secara konsepsional, Undang-UndangDasar 1945 yang telah lahir sebelum DUHAM memiliki perspektif hak asasi manusiayang cukup progresif, karena sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar1945, alinea 1:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu,maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai denganperikemanusiaan dan perikeadilan.”
Konsepsi HAM tersebut tidak hanya ditujukan untuk warga bangsa Indonesia, tetapiseluruh bangsa di dunia! Di situlah letak progresifitas konsepsi hak asasi manusia ditengah berkecamuknya perang antara blok negara-negara imperial. Konsepsi yangdemikian merupakan penanda corak konstitusionalisme Indonesia yang menjadi dasartanggung jawab negara dalam hak asasi manusia (Wiratraman 2005a: 32-33).
DUHAM 1948 kemudian banyak diadopsi dalam Konstitusi RIS maupun UUDSementara 1950, dimana konstitusi-konstitusi tersebut merupakan konstitusi yang palingberhasil memasukkan hampir keseluruhan pasal-pasal hak asasi manusia yang diaturdalam DUHAM (Poerbopranoto 1953 : 92). Di tahun 1959, Soekarno melalui DekritPresiden telah mengembalikan konstitusi pada UUD 1945, dan seperti pada awalnyadisusun, kembali lahir pengaturan yang terbatas dalam soal hak-hak asasi manusia.Dalam sisi inilah, demokrasi ala Soekarno (demokrasi terpimpin atau guided democracy)telah memperlihatkan adanya pintu masuk otoritarianisme, sehingga banyak kalanganyang menganggap demokrasi menjadi kurang sehat.
Setelah situasi tekanan politik ekonomi yang panjang selama lebih dari 30 tahun, desakanuntuk memberikan jaminan hak asasi manusia pasca Soeharto justru diakomodasi dalampembentukan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal-pasal di dalam undang-undang tersebut -- nyatanya -- cukup memberikan pengaruh padakonstruksi pasal-pasal dalam amandemen UUD 1945, terutama pada perubahan kedua(disahkan pada 18 Agustus 2000) yang memasukkan jauh lebih banyak dan lengkappasal-pasal tentang hak asasi manusia. Bandingkan saja kesamaan substansi antara UUD1945 dengan UU Nomor 39 Tahun 1999.
Paradigma Negara dalam Perlindungan HAM: Inkoheren?
Konstitusi, bagaimanapun, sebagaimana banyak ditafsirkan melalui materialisasi teks-teks telah memperlihatkannya sebagai konfigurasi politik yang bekerja. Artinya,konstitusi merupakan persepakatan secara sadar oleh para pembuat maupun pengambilkebijakan dengan sejumlah pemahaman dan kepentingan yang mereka miliki. Oleh sebabitu konstitusi, meski dipercaya dalam idenya memiliki nilai-nilai dan makna yang mahapenting dalam menata kehidupan ketatanegaraan, sosial, ekonomi dan politik, ia tetaplahsebagai hasil dari pergesekan dan tarik-menarik representasi politik-ekonomi dominanyang memiliki kekuasaan tertentu dalam mempengaruhinya. Itupun belumlah menjaminkonsistensi berlakunya dalam kebijakan-kebijakan negara.
Dengan perspektif demikian, maka kita bisa mengatakan bahwa implementasi darisebuah konstitusi yang baik belum tentu sejalan dengan apa yang terjadi di lapangan,utamanya menyangkut kebijakan-kebijakan suatu negara. Di Thailand misalnya,The
People’s Constitution sebagaimana pernah dinyatakan oleh Lubis (2002: 157-158)
sebagai konstitusi yang nyaris sempurna, tetapi nyatanya rezim politik Thaksin Sinawatrabisa dengan gampang mempermainkannya. Apalagi, ketika krisis politik melandaKerajaan Thailand, militer atas restu Raja Bhumibol Adulyadej bisa pula menggulingkanPerdana Menteri dan mengganti konstitusi dengan konstitusi ala militer. Di Indonesia dimasa Soeharto berkuasa juga menunjukkan hal yang serupa, konstitusi bisa dinegasikanoleh penguasa.Kembali pada pertanyaan kunci yang diajukan dalam bagian Pengantar, apakahparadigma negara3 dalam membuat kebijakan koheren ataukah inkoheren dengan pasal-pasal hak asasi manusia yang dirumuskan dalam konstitusi (constitutional rights).
Pembagian dan pembatasan kekuasaan dalam kenstitusi
Amerika
Declaration of Rights di kota Philadelphia dalam tahun 1776; 2. Declaration of Independence 4 Djuli tahun 1776; Sudah itu baru konstitusi (1787),” kata Yamin dalam sidang BPUPK pada 11 Juli 1945 yang termuat dalam buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Yamin dan founding fathers
Di dalam buku Mr. M.V. Polak yang berjudul asli “Schets Van Het Amerikaanse Uniestaatsrecht” diuraikan gambaran secara umum Hukum Tata Negara Amerika Serikat. Buku ini membicarakan seputar lahirnya konstitusi Amerika Serikat bahwa konstitusinya”sebagai hasil krisis ekonomi dan finansial yang sangat hebat merajalela diwaktu sesudahnya tercapainya kemenangan dalam peperangan kemerdekaan melawan Inggris dan hasil dari pembantaran (stroomversnelling) dalam jalan mengalirnya paham2 dan pengertian2 tentang soal2 kenegaraan pada akhir abad ke-18 di bawah pengaruhnya teori2 ahli pikir seperti misalnya Locke, Montesqueu dan Rousseau.”[12]
Di bab selanjutnya, Polak banyak mengupas perkembangan pembagian kekuasaan secara vertikal, dalam arti pembagian kekuasan pemerintah pusat dengan negara-negara bagian. Sebagaimana kita ketahui Amerika Serikat dibentuk dari 13 bekas koloni Inggris selepas Revoluasi dan deklarasi kemerdekaan. Federalisme Amerika Serikat sendiri bukannya tanpa perdebatan seperti terurai di buku ini, semua tidak lepas dari penafsiran kekuasaan pemerintah pusat sampai dimana sebagaimana klausul 18 memberikan kesempatan adanya ”implied powers”: Konggres pada akhirnya dapat membuat semua undang-undang yang perlu dan tepat guna melaksanakan hak-hak dan kekuasaan yang khusus diberikan kepadanya. Tapi juga sebagaimana sejak Amandemen ke-10, Konstitusi Amerika Serikat melarang Pemerintah Federal untuk menjalankan kekuasaan manapun yang tidak didelegasikan kepadanya oleh negara bagian.
Di bagian ini juga dikemukakan lahirnya judicial review dalam sejarah Amerika Serikat. Terhadap pertanyaan: jika upaya hukum untuk pemulihan hak (remedy) tersedia, apakah Supreme Court dapat menerbitkan ”writ of mandamus” atau perintah pengadilan kepada pejabat pemerintah untuk melakukan pebuatan tertentu yang merupakan salah satu kewajiban pejabat tersebut? Putusan MA Amerika Serikat dalam perkara Marbury Vs Madison yang ditulis John Marshall ini menyatakan Kongres telah menambah kewenangan MA mengeluarkan ”writ of mandamus” yang tercantum dalam Pasal 13 Judiciary Act tahun 1789 yang tidak diatur oleh konstitusi, maka undang-undang biasa telah mengubah konstitusi yang merupakan ”the supreme of the land”, sehingga ketentuan tersebut dinyatakan inkonstitusional. Marshal yang memutus perkara yang ditimbulkannya sendiri ini memiliki arti penting dalam sejarah kehidupan politik dan penerapan hukum di Amerika Serikat.[13]
Polak mengemukakan soal pembagian kekuasaan menurut fungsi atau tugas (horisontal) dan perkembangan teori trias politica dan cara menjalankan kekuasaan luar negeri sebagaimana saat ini Menteri Luar Negeri AS memiliki kekuasaan berbeda tidak sebagaimana negara lain dan kekuasaan Presiden terkait hubungan luar negeri. Selain itu diuraikan kekuasaan Kongres dan tarik menarik kekuasaan Presiden dan Kongres, dan uraian panjang lebar terkait Panitia-Panitia yang dinamakan sebagai ”headless fourth branch of government” yang secara konstitusional sulit diletakkan dalam cabang kekuasaan mana.
Yang menarik dalam buku ini ketika memasuki bagian kekuasaan Pengadilan Federal. Diuraikan bagaimana konstitusi mengatur kekuasaan judisial ini yang oleh banyak orang dikatakan sebagai cabang pemerintahan paling lemah karena tidak mempunyai pengaruh atas ”dompet” dan ”pedang”. Di ulas juga perbedaan dasar hak uji hakim (toetsingbevoegheid) terkait UU Federal dan negara bagian terhadap konstitusi Amerika Serikat dan perkembangan hukum dan peran hakim dalam ketetanegaraan Amerika Serikat. Buku ini ditutup dengan Bab tentang Kepartaian yang tidak kalah menariknya untuk dibaca.[14]
INDONESIA
Persoalan pembatasan kekuasaan (limitation of Power) berkaitan erat dengan teori pemisahan kekuasaan (separation of power) dan teori pembagian kekuasaan (divisionatau distribution of power). Pada umumnya, doktrin pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan dianggap berasal dari Montesquieu dengan trias politica-nya. Namun dalam perkembangannya, banyak versi yang biasa dipakai oleh para ahli berkaitan dengan peristilahan pemisahan dan pembagian kekuasaan ini.
Istilah “pemisahan kekuasaan” dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan perkataan separation of power berdasarkan teori trias politica atau tiga fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesquieu, harus dibedakan dan dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Kekuasaan legislatif hanya dilakukan oleh lembaga legislatif, kekuasaan eksekutif hanya dilakukan oleh lembaga eksekutif, dan demikian pula kekuasaan yudikatif hanya dilakukan oleh cabang kekuasaan yudisial. Sehingga pada intinya, satu organ hanya memiliki satu fungsi, sebaliknya satu fungsi hanya dilakukan oleh satu organ.
Sebagai sandingan atas konsep pemisahan kekuasaan, para ahli biasa menggunakan pula istilah division of power atau distribution of power. Ada pula sarjana yang menggunakan istilah division of power sebagai genus, sedangkan separation of power merupakan bentukspecies-nya. Bahkan, Arthur Mass, misalnya, membedakan pengertian division of powertersebut kedalam dua pengertian, yaitu; capital division of power dan territorial division of power. Pengertian pertama bersifat fungsional, sedangkan yang kedua bersifat kewilayahan dan kedaerahan.
Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD 1945, tidak menganut suatu sistem negara manapun, tetapi adalah suatu sistem khas menurut kepribadian bangsa indonesia, namun sistem ketatanegaraan Republik indonesia tidak terlepas dari ajaran Trias Politica Montesquieu. Ajaran trias politica tersebut adalah ajaran tentang pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga yaitu Legislatif, Eksekutif, dan Judikatif yang kemudian masing-masing kekuasaan tersebut dalam pelaksanaannya diserahkan kepada satu badan mandiri, artinya masing-masing badan itu satu sama lain tidak dapat saling mempengaruhi dan tidak dapat saling meminta pertanggung jawaban.
Apabila ajaran trias politika diartikan suatu ajaran pemisahan kekuasaan maka jelas Undang-undang Dasar 1945 menganut ajaran tersbut, oleh karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan negara dipisah-pisahkan, dan masing-masing kekuasaan negara tersebut pelaksanaannya diserahkan kepada suatu alat perlengkapan negara.
Susunan organisasi negara adalah alat-alat perlengkapan negara atau lembaga-lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945 baik baik sebelum maupun sesudah perubahan. Susunan organisasi negara yang diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan yaitu :
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
(2) Presiden
(3) Dewan Pertimbagan Agung (DPA)
(4) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
(5) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
(6) Mahkmah Agung (MA)
Badan-badan kenegaraan itu disebut lembaga-lembaga Negara. Sebelum perubahan UUD 1945 lembaga-lembaga Negara tersebut diklasifikasikan, yaitu MPR adalah lembaga tertinggi Negara, sedangkan lembaga-lembaga kenegaraan lainnya seperti presiden, DPR, BPK, DPA dan MA disebut sebagai lembaga tinggi Negara.
Sementara itu menurut hasil perubahan lembaga-lembaga negara yang terdapat dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut:
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
(2) Presiden
(3) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
(4) Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
(5) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
(6) Mahkmah Agung (MA)
(7) Mahkamah Konstitusi (MK)
Secara institusional, lembaga-lembaga negara merupakan lembaga kenegaraan yang berdiri sendiri yang satu tidak merupakan bagian dari yang lain. Akan tetapi, dalam menjalankan kekuasaan atau wewenangnya, lembaga Negara tidak terlepas atau terpisah secara mutlak dengan lembaga negara lain, hal itu menunjukan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin pemisahan kekuasaan.
Dengan perkataan lain, UUD 1945 menganut asas pembagian kekuasaan dengan menunjuk pada jumlah badan-badan kenegaraan yang diatur didalamnya serta hubungan kekuasaan diantara badan-badan kenegaraan yang ada.
S.F Marbun berpendapat, bahwasanya “….trias politika juga berpengaruh pada struktur ketatanegaraan Indonesia yang diciptakan menurut UUD 1945. dikatakan berpengaruh, karena Indonesia tidak menganut sepenuhnya teori trias politica dalam arti pemisahan kekuasaan . Sebelum perubahan UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia menganut atau paling tidak dipengaruhi oleh ajaran pembagian kekuasaan. Dalam ajaran pembagian kekuasaan, ditekankan pentingnya pembagian fungsi, bukan pembagian lembaganya. Di Indonesia terdapat lembaga-lembaga negara yang secara fungsi mirip dengan lembaga-lembaga yang diinginkan oleh ajaran trias politika, namun jika dilihat dari kecamata hubungan kerjasama antar poros organ atau lembaga negara negara sebagaimana diamanatkan oleh UUD, maka dapat dilihat adanya hubungan kerja sama dalam menjalankan fungsinya. Dalam hal ini ajaran pembagian kekuasaan dapat ditunjukkan dalam Pasal 5, Pasal 14, Pasal 21 UUD 45 (sebelum perubahan).
Pasal 5 UUD 1945 menunjukan bahwa pemegang kekuasaan legilatif di Indonesia bukanlah DPR, melainkan Presiden. Konstruksi Pasal yang demikian jelas tidak sesuai dengan ajaran tris politika, mengapa, karena trias politika menghendaki agar kekuasaan eksekutif dan legislatif dipisahkan, sedangkan dalam UUD 1945 sebelum amandemen kedua poros kekuasaan tersebut berada ditangan Presiden. Bagaimana dengan kedudukan DPR ?. Undang-Undang Dasar 45 hanya menegaskan bahwa pembentukan UU harus mendapatkan persetujuan bersama, antara pemerintah dan DPR.
Disisi lain, ajaran pembagian kekuasaan di Indonesia juga dapat ditunjukkan pada Pasal 1 ayat (2) UUD 45 (sebelum amandemen). Pasal tersebut berbunyi “kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Pasal ini menunjukkan, bahwasanya, secara teoritis, semua kekuasaan negara berada ditangan MPR, kemudian kekuasaan tersebut dibagi-bagikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara sesuai UUD 1945.
[1] Hanc Marc van Maarseveen and Ger van der Tang, Written Constitution, a Computerized Comparative, Dobs Ferry, NY.: Oceana Publications, 1978, hlm 232 seperti dikutip dalam Naskah Akademik Kajian Komprehensif tentang Perubahan UUD RI 1945, Sek Jend MPR, Jakarta, 2004, hlm. 33-34.dikutip dalam artikel Arif Budiman, SH.
[2] Sri Soemantri M, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Penerbit Alumni, Bandung, 1987, hlm 51. Dikutip dari artikel Arif Budiman,SH.
[4] Pan Mohamad Faiz,Cara Cepat Dan Ringkas Memahami Sistem Ketatanegaraan RI. http://panmohamadfaiz.blogspot.com, diakses tanggal 6 Mei 2010.
[5] Bukan berarti terdapatnya dua lembaga perwakilan didalam suatu majelis (dalam hal ini MPR) kemudian dinamakan dua kamar (bicameral). Karena bisa jadi keberadaan lebih dari dua lembaga didalam suatu majelis dapat pula dikatakanbicameral. Hanya persoalannya jangan terpaku pada jumlah lembaga yang ada pada suatu mejelis. (dwi andriyanto, catatankuliah penulis).
[6] CF Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah & Bentuk-Bentuk KonstitusiDunia, (Jakarta: Penerbit Nuansa dan Penerbit Nusamedia, 2004), hlm. 273.
[7] Harijanti, Susi Dwi, 2009, Reformasi Sistem Perwakilan Indonesia.Jurnal Konstitusi, Volume 1, No. 1, November 2009, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi)
[10] Irfan Idris, Islam dan Konstitutionalisme: Kontribusi Islam Dalam Penyusunan Undang-Undang Dasar Indonesia Modern, (Yogyakarta, antonyLib, 2009), hlm. 10.
[12] Mr. M.V. Polak. Schets Van Het Amerikaanse Uniestaatsrecht.di,uat dalam Majalah Konstitusi Edisi No.44-September 2010