AKU TIDAK TAKUT SENDIRI. TUHAN PUN JUGA SENDIRI. DAN DIA MENJADI YANG MAHA KUAT KARENA ITU (SOE HOK GIE)

Kamis, 24 Maret 2011

delik makar


BAB I
PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG
Dalam buku Tujuh Serangkai Tentang Hukum, tepatnya di bawah judul “Negara Tanpa Penjara”, ada pemikiran menarik dari Guru Besar Hukum Adat dan Hukum Islam Universitas Indonesia, Prof. Dr. Hazairin, SH., tentang pidana penjara. Menurutnya, pidana penjara adalah sebuah pidana yang tidak jelas tujuan dan orientasinya. Kalaulah tujuan penjara adalah untuk pembalasan (retribusi) atas kejahatan pelaku, kenapa pidana ini sangat ‘memanjakan’ pelaku kejahatan, sampai kemudian layak dan memang pada akhirnya disebut ‘lembaga pemasyarakatan’, bukannya ‘lembaga penghukuman’ misalnya? Tapi kalau memang tujuannya adalah untuk mendidik pelaku kejahatan agar menjadi baik, pidana ini tetap belum bisa dipersamakan dengan suatu lembaga pendidikan akhlak yang sesungguhnya. Karena itulah berarti, pidana ini ambigu dalam hal tujuan dan orientasinya. Bukan hanya itu, pidana ini juga sangat banyak menghabiskan dana negara. Padahal, manfaatnya tidak jelas sama sekali.[1]
Berdasarkan pemikirannya tersebut, beliau kemudian mengusulkan dihapuskannya jenis pidana ini dari sistem hukum pidana Indonesia. Untuk mengatasi persoalan yang dihadapi hukum pidana Indonesia, beliau menyarankan agar kita kembali kepada sistem hukum pidana Islam, yang salah satunya adalah dengan cara menghapuskan pidana penjara:
Tahukah pembaca bahwa negara tanpa penjara telah dimulai 13 setengah abad yang lalu oleh Muhammad SAW. berdasar atas kemauan Allah yang disampaiakan kepadanya mealui ayat-ayat al-Qur’an. Qur’an yang mengartur hidup kerohabian dan hidup kemasyarakatan umat Islam dan karena itu mengatur pula hukum perdata dan hukum pidana bagi mereka, ternyata sungguh tidak pernah menetapkan wajib adanya hukum penjara. Qur’an tidak pernah mewajibkan umat Islam menyediakan penjara, malahan tidak pernah menganjurkan atau mengajarkannya, karena al-qur’an tidak ada mengandung sebuah pelanggaran pun yang atasnya harus dikenakan hukuman penjara ataupun hukuman kurungan. Ini bukanlah disebabkan, karena Qur’an tidak mengenal pengertian penjara. Bahwa Qur’an mengenal penjar terbukti dari Surat 12 (Yusuf) dimana kita mendapat tahu bahwa dalam negara Fir’aun penjara telah bertebaran sebagai alat penjara. Karena tu dapatlah kita simpulkan bahwa Qur’an tidak mau memilih penjara sebagai alat hukuman.
Beliau sangat gigih untuk memperjuangkan penghapusan pidana penjara dari sistem hukum pidana Indonesia. Karena menurut beliau, selain pidana ini tidak jelas tujuan dan orientasinya, pidana ini juga tidak dianjurkan oleh Islam. Lebih dari itu, beliau bahkan terkesan meyakini bahwa pidana ini sangat tidak sejalan dengan ajaran Islam, sebagaimana tampak pernyataannya ketika memberi pengantar “konsep negara tanpa penjara”-nya:
Paling utama pula saya tujukan tuliwsan ini kepada semua orang yng sungguh beriman, begitu pula kepada mereka yang beriman dengan bibirnya tetapi fasik dalam hati dan perbuatannya, dan juga kepada orang-orang yang mengaku beriman kepeda pujaannya tetapi tidak menghiraukan sebagian dari suruhan dan larangannya; kepada mereka ini termasuk mereka yang giat menyerukan secularisme.[2]
Pemikiran Prof. Hazairin ini tentunya bukanlah sebuah ‘harga mati’ yang tidak boleh dikritisi, karena apa yang ia kemukakan ini masih termasuk dalam ‘medan fiqih’, yang di dalamnya dimungkinkan dan diperbolehkan adanya perbedaan pendapat. Apalagi, masih ada pula pemikir lain yang tidak sependapat. Prof. Dr. Jimly Asshidiqiqe misalnya, ia mengatakan bahwa meskipun gagasan ‘kepenjaraan’ itu dewasa ini tengah menghadapi gelombang kritik di mana-mana, termasuk di dalam dunia ilmiah, tetapi – paling tidak—dapat dikatakan bahwa gagasan kepenjaraan itu cukup mempunyai dasar yuridis dalam al-Qur’an untuk diterapkan dalam kebijaksanaan kriminal suatu negara.[3]
2.      RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah penjara Pra-Islam sudah dikenal)
2.      Apa saja sangsi-sangsi pidana yang dikenal dalam Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
Penjara yang di Indonesia dikenal sejak tahun 1905, yang pada mulanya diperuntukkan untuk para tahanan politik. Mereka yang menantang pemerintah Hindia Belanda dijebloskan ke penjara sebagai tempat pembalasan atas tindakan kriminal perlawanan terhadap Belanda. Konsep inilah yang hingga saat ini menjadi pegangan khususnya para pengambil kebijakan untuk meneruskan eksistensi pidana penjara. Sekarang ini penjara yang merupakan Unit Pelayanan Teknis di bawah Departemen Hukum dan HAM RI, telah beralih nama Lembaga Kemasyarakatan. Namun, dalam action-nya belum bisa berfungsi dengan maksimal. Ada dua alasan klise yang menjadi kendala. Pertama, masalah otonomi yang terkait dengan terbatasnya pilihan dalam perencanaan dan penganggaran. Kedua, adalah masalah tekhnologi, yaitu kemampuan pelaksanaan fungsi teknis khususnya pola, bentuk, substansi dan kapasitas pendukung proses pembinaan. Dengan masalah tersebut para penyelenggara penjara merasa wajar apabila fungsi penjara belum dilaksanakan secara maksimal.
Melihat dari sanksi yang diberikan oleh pengadilan, pidana penjara merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang paling sering digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi masalah kejahatan. Pemenjaraan sekarang ini dipandang sebagai bentuk pemidanaan yang bertujuan memperbaiki penjahat disebut sebagai sebuah reformasi pemidanaan yang berjalan kearah yang lebih rasional. Berbeda dari pandangan lama yang bertujuan menyingkirkan penjahat dari masyarakat. Walaupun sekarang dikatakan sistem pemidanaan menuju kearah rehabilitasi penjahat, sifat pidana sendiri sebagai sanksi kepada pelanggar hukum tidak mungkin dihilangkan. Gagasan Negara Tanpa Penjara yang pernah digulirkan oleh beberapa tokoh perlu mendapat apresiasi di saat ketidak mampuan Negara menjalankan fungsi penjara sebagaimana mestinya.
M Cherif Bassiouni (2009), seorang ahli hukum Pidana Islam (Islamic Criminal law) menyatakan bahwa hukum pidana penjara penuh dengan gambaran hukuman masa lampau. Teori retributif (teori pembalasan) yang dikenal dalam hukum pidana merupakan a realistic of barbarism. Begitu juga dengan International Conference in Prison Abolition (ICOPA) dalam Konggres ke 3 tahun 1987 menggagas pergeseran dari prison abolition menjadi penal abolition.
Prof. Hazairin dalam bukunya yang berjudul Tujuh Serangkai Tentang Hukum, tepatnya di bawah judul ”Negara Tanpa Penjara”. Seiring dengan penghargaan yang tinggi terhadap Hak Asasi Manusia, konsep penjara seakan perlu dievaluasi eksistensi penjara baik dari aspek teori maupun praktis. Tulisan ini mencoba melakukan analisis secara teoritik wabil khusus dari perpektif ilmu pidana Islam (fiqh jinayat).[4]
Teori Hukuman dalam Fiqh, Hukuman atau punishment berarti a penalty imposed on an offender for a crime or wrong doing (Neufeldt, 1996:1091) (hukuman yang dijatuhkan kepada pelanggar kejahatan atau melakukakan kesalahan), sedangkan dalam istilah bahasa Arab dikenal dengan kata عقوبة (‘uqūbah) yang berarti siksa atau hukuman (Munawwir, 1996:952) yaitu hukuman atas perbuatan yang melanggar ketentuan Syari’ yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat.
Dalam konteks Negara kita, pidana penjara adalah salah satu jenis pidana pokok yang terdapat dalam KUHP yang berlaku sekarang (Ius Constitutum) dan RUU KUHP mendatang (Ius Constituendum). Sehingga, sampai saat ini pidana penjara masih menjadi ‘primadona’ dalam hukum pidana Indonesia. Menurut kamus hukum, penjara adalah tempat dimana orang-orang dikurung dan dibatasi berbagai macam kebebasannya. Mereka dikirim ke penjara dalam rangka mempertanggungjawabkan tindak kriminal, bukan untuk pindah tempat tinggal atau tempat berkantor. Penjara diharapkan mampu meredam tindak kriminal yang dilakukan oleh pelaku kriminal yang meresahkan masyarakat. Penjara janganlah menjadi school of crime (sekolah kriminal), yang semula penjahat kecil namun setelah masuk penjara justru tambah kebal dengan kejahatan.[5]
Dalam khazanah hukum Islam, pidana penjara biasa disebut dengan al-habsu atau al-sijnu, yang secara etimologi berarti mencegah dan menahan. Sedangkan istilah hukuman dalam hukum pidana Islam sebagaimana dikemukakan oleh Abd al-Qadir Audah, العقوبة هى الجزاء المقرر لمصلحة الجماعة على عصيان امر الشارع
Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat, karena adanya pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan syara’.
Berdasarkan pengertian bahasa di atas, dapat dipahami bahwa hukuman (punishment/uqūbah) adalah segala bentuk siksa, sanksi atau sejenisnya yang dikenakan kepada seseorang akibat dari perbuatannya yang melanggar ketententuan-ketentuan atau peraturan, baik yang ditetapkan oleh Tuhan dalam firman-firman-Nya ataupun peraturan yang disepakati bersama masyarakatnya, seperti norma, perundang-undangan dan sejenisnya. Para ahli hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan dari syariat adalah dalam rangka mencapai kemashlahatan tingkat dharuri (primer), hajji (skunder), dan tahsini (tersier) (Khallaf: 1978). Sedangkan tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari’at Islam ada dua, yaitu pencegahan (زجر) dan pengajaran atau pendidikan (تهذيب). (Hanafi, 1967: 255).
Pencegahan ialah menahan pelaku agar tidak mengulangi perbuatan jarimahnya atau agar ia tidak terus menerus melakukannya. Disamping itu juga sebagai pencegahan terhadap orang lain agar ia tidak melakukan perbuatan jarimah, sebab ia mengetahui hukuman yang diterima bila ia melakukan perbuatan jarimah serupa. Perbuatan-perbuatan yang diancam hukuman dapat berupa pelanggaran terhadap larangan atau meninggalkan kewajiban. Dalam keadaan seperti itu boleh jadi hukuman meninggalkan kewajiban jauh lebih berat, karena tujuan penjatuhan hukuman pada meninggalkan. Kewajiban ialah memaksa pelaku untuk mengerjakan kewajiban. Begitu juga dalam hukum pidana umum, tujuan pemidanaan yang berkembang dari dahulu sampai sekarang telah semakin menjurus ke arah yang lebih rasional. Tujuan pemidanaan yang paling tua adalah pembalasan (revenge) atau untuk tujuan memuaskan pihak yang dirugikan atau yang menjadi korban kejahatan. Hal ini bersifat primitive, tetapi kadang-kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman modern ini.
Sekarang ini berkaitan dengan tujuan pemidanaan, paling tidak terdapat 3 golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana, yaitu :[6]
1.      Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldingstheorien),
Teori Absolut (akhir abad ke 18), dianut antara lain oleh Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya pada filsafat. Teori ini menyatakan bahwa pemidanaan tidaklah bertujuan untuk hal-hal yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada karena dilakukannya kejahatan.
2.      Teori Relatif atau teori tujuan (doeltheorien),
Teori Relative yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk prevensi terjadinya kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda : menakutkan, memperbaiki atau membinasakan.
3.      Teori Gabungan (verenigingstheorien),
Teori Gabungan antara pembalasan dan prevensi terdapat beberapa variasi.
Shiddiqie (1997:5297) membagi macam-macam hukuman dalam Islam menjadi dua bentuk, yaitu: hukuman akhirat (العقوبة الاخروية) dan hukuman dunia (العقوبة الدنيوية). Hukuman akhirat merupakan kehendak Allah SWT, adalah hukuman yang benar (haq) dan adil (‘adl), ia dapat berbentuk azab atau ampunan dari-Nya. Adapun hukuman dunia menurutnya ada dua macam pula, yaitu : hudud dan takzir. Hudud adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan bentuknya oleh Syari’ dengan nash-nash yang jelas.[7]
Hukuman had menurut Hanafiyah ada tujuh macam yaitu, had zina, had qadzf, had pencurian, had minum hamr, dan had mabuk. Sedangkan menurut Jumhur ulama selain Hanafiyah ada tujuh macam yaitu had zina, had qadzf, had pencurian, had hirabah, had mabuk-mabukan, had qisas, had riddah. Al-Hudud, sanksi hukum yang tertentu dan mutlak yang menjadi hak Allah, yang tidak dapat diubah oleh siapa pun. Sanksi itu wajib dilaksanakan, manakala syarat-syarat dari tindak pidana itu terpenuhi. Sanksi ini dikenakan kepada kejahatan-kejahatan berat seperti zina, sariqah, riddah, qadzaf dan lain-lain. Pidana penjara jelas tidak dikenal di dalam hudud, walaupun kisah tentang penjara disebutkan dalam riwayat Nabi Yusuf. Sedangkan Qishash adalah sanksi hukuman pembalasan seimbang seperti membunuh terhadap si pembunuh. Allah berfirman dalam QS. Al-Israa’ ayat (33) :
 Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”.
Dalam Islam sendiri esensi dari pemberian hukuman bagi pelaku suatu jarīmah menurut Islam adalah pertama pencegahan serta pembalasan (ar-rad’u wa az-zajru) dan kedua, adalah perbaikan dan pengajaran (al-işlāh wa al-tahżīb). Al-Diyat adalah sanksi hukuman dalam bentuk ganti rugi, seperti jika ahli waris si terbunuh memberi maaf maka hukuman alternatif adalah diyat. Sanksi hukum Qishash dan Diyat adalah merupakan sanksi hukum perpaduan antara hak Allah dan hak manusia. Sedangkan Ta’zīr, adalah sanksi hukum yang diserahkan kepada ijtihad hakim atau pihak berwenang yang berkompeten melaksanakan hukuman itu, seperti memenjarakan, mengasingkan dan lain-lain. Inilah keluwesan ta’zīr sebagai bentuk hukum Islam yang shalihun likulli zamanin wamakanin.
Secara umum kajian hukum Islam terbagi menjadi hukum ijtihadi (pemikiran hukum) dan hukum tatbiqi (penerapan hukum). Sangsi penjara merupakan salah satu bentuk upaya hukum dalam ranah tatbiqi. Untuk itu dalam pespektif fiqh jinayat, sangsi penjara tetap diberlakukan apabila oleh hakim dibutuhkan dan tepat untuk memberikan balasan dan pendidikan bagi pelaku kejahatan. Pidana Penjara dalam Perspektif Fiqh Jinayat, Hukum pidana Islam sebagai sebuah sistem hukum yang mempunyai tiga aspek kajian, yakni tindak pidana (rukn al-amali), pertanggungjawaban pidana (rukn al-madi), dan pidana atau hukuman (rukn al-syar’i). Tiga aspek tersebut harus dipahami secara simultan sehingga akan menggambarkan hukum pidana Islam sebagai sebuah sistem hukum yang universal (Zuhaili, 1997). Banyak umat Islam yang memahami hukum pidana Islam hanya dilihat dari satu rukun yakni rukun syar’i, yakni materi pidana, sehingga hukum Islam hanya difahami dari aspek pidana/hukuman (uqubat) seperti hukum mati, potong tangan, rajam (terpidana dilempar batu hingga mati), penjara, dan jilid (terpidana dipukul dengan rotan). Padahal hukum pidana Islam juga membahas tentang pertanggung- jawaban pidana dan perbuatan pidana.
Dengan memahami perbuatan hukum dan pertanggungjawaban hukum sekaligus, wajah hukum pidana Islam tidak terkesan bengis, barbarian ala Arab pada masa klasik. Dari ketiga rukun tersebut, yang mempunyai relevansi dengan tulisan ini adalah menyangkut masalah pidana dan pemidanaan. Ancaman pidana yang dikenakan pada tiap-tiap perbuatan pidana hakekatnya adalah menggambarkan ketercelaan dan keseriusan perbuatan yang bersangkutan. Dalam hukum pidana Islam (fiqh jinayat), hukum qishosh diyat berbeda dengan hudud, begitu juga dengan ta’zīr yang secara substansial lebih rendah dari qishosh dan hudud. Untuk qishosh, diyat dan hudud mestinya sudah jelas dituliskan dalam nash-nash agama, tetapi untuk ta’zīr ini yang rawan dengan subyektifitas.
Dalam hukum pidana dikenal azaz legalitas dengan nellum delictum nulla poena sine prevea lege poenali (tak ada delik tanpa aturan yang tertulis dalam hukum). Begitu juga dengan fiqh jinayat mengenal la jarimata wa la uqubata illa binasshin (tidak ada jarimah (tindak pidana) dan tidak ada hukuman kecuali ada nash yang menunjukkan (Audah: tth). Siddiqi (1987:204-206) membagi Ta’zīr, dilihat dari manfaat nya menjadi tiga hal :
1)             Ta’zīr  atas maksiyat, yakni maksiyat yang tersebut dalam nash, seperti riba, risywah, makan harta anaka yatim.
2)             Ta’zīr untuk kemaslahatan, seperti menaksir bapaknya seorang anak yang melakukan tindak pidana, dengan harapan ada perhatian dari orang tua.
3)             Ta’zīr atas perbuatan yang diperselisihkan, seperti melakukan perbuatan makruh atau meninggalkan perbuatan yang sunnah.
Adapun bentuk-bentuk pidana ta’zīr yang dikenal dalam teks fiqh jinayat di antaranya : menyalib, jilid, penjara, perampasan harta benda, dan lain lain. Di antara ta’zīr yang hingga sekarang ini banyak diberlakukan di beberapa Negara adalah pidana penjara atau pengasingan. Istilah penjara yang menggunakan kata al-habsu atau al-sijnu dalam bahasa Arab, bahkan dijadikan sebagai pidana pokok dalam kitab undang-undang Hukum Pidana Negara-negara di dunia. Di dalam Pasal 10 KUHP di Negara Indonesia misalnya diatur tentang jenis-jenis pidana, yaitu yang terdiri dari pidana pokok (pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan), dan pidana tambahan yang terdiri dari: pencabutan hak-hak tertentu dan perampasan barang-barang tertentu serta pengumuman putusan hakim. Lebih lanjut berkenaan dengan pidana penjara dalam Pasal 12 KUHP ditegaskan :
(1)          Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu.
(2)          Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.
(3)          Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu, begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan (concursus), pengulangan (residive) atau karena ditentukan dalam Pasal 52 dan 52a.
Dalam berbagai kitab fiqh, pembahasan penjara menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan ta’zīr. Berbagai perbuatan jarimah yang tidak masuk dalam qishash diyat dan hudud dikenai dengan hukuman ta’zīr. Contohnya antara lain perbuatan menuduh zina (qadhaf) yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anaknya, apabila orang tua tidak bisa mengajukan empat orang saksi, maka hukuman yang diberikan cukup dengan penjara atau pengasingan (Nihayah: 26/33). Begitu juga dengan pencurian yang tidak memenuhi satu nishab. Bagi seorang pencuri demikian tidak dipotong tangan tetapi di penjara sesuai dengan keyakinan hakim. (Tuhfah:18/346).
Yang perlu menjadi catatan adalah, bahwa meski penjara senantiasa eksis dalam setiap generasi fiqh, tetapi fiqh tidak merumuskan institusi penjara. Artinya eksistensi penjara merupakan upaya penyesuaian fiqh dengan konteks di mana fiqh berkembang. Dalam perspektif ushul fiqh, hukum terbagi menjadi hukum ashliyyah dan hukum muayyidat (Zarqa: tt). Hukum ashliyyat adalah inti atau substansi dari hukum-hukum yang dijelaskan Allah dalam nash-nash sucinya. Potong tangan bagi pencuri misalnya, yang paling substansi adalah larangan mencurinya karena akan merugikan orang lain. Memotong tangan atau memenjarakan seorang pelaku adalah hukum muayyidatnya yakni sangsi-sangsi hukum yang digunakan dalam rangka menguatkan inti dari larangan mencuri. Hukuman penjara mestinya hanyalah sebagai hukum muayyidat yang menjadi penguat dalam rangka menegakkan hukum-hukum Allah SWT. Sedangkan penjara, pengasingan atau sangsi hukum lainnya hanyalah pelengkap. Untuk itu hukum pidana Islam memandang efektifitas hukuman seperti penjara atau lainnya disesuaikan dengan kondisi kekinian. Penjara bukan satu-satunya media untuk menyadarkan dan menjerakan seseorang untuk berhenti melakukan pelanggaran hukum.













BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian diatas, saya berpendapat bahwa : Syari’at Islam, hukum Islam maupun fikih Islam, adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk yang majemuk, maka hukum Islam itu tetaplah dinyatakan sebagai hukum yang berlaku. Sebagaimana juga halnya, jika ada pemeluk agama lain yang mempunyai hukum sendiri di bidang itu, biarkanlah hukum agama mereka itu yang berlaku. Di negara kita, bukan saja hukum Islam  dalam pengertian syariat yang dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi juga hukum adat, hukum eks kolonial Belanda yang sejalan dengan asas keadilan dan sudah diterima masyarakat Indonesia dan penjara merupakan sanksi yang tidak bertentangan dengan hak asasi manusia dalam menegakan hukum-hukum Allah, tetapi harus dijalankan sesuai dengan kepastian hukumnya.
Dan tentang eksistensi pidana penjara terlah ada pada zaman khalifah, yang ketika itu di dikenal dengan sebutan “pengasingan”, sangsi itu telah mempunyai paradigma pembalasan dan pencegahan.tidak seperti hukum pidana modern pada umumnya.









DAFTAR PUSTAKA
Asshidiqie,jimly.Pembaharuan hukum pidana indonesia.(study tentang bentu-bentuk pidana dalam tradisi hukum fiqih dan relevansinya bagi usaha pembaharuan KUHP nasional).bandung penerbit angkasa.1995.
Asshidiqie,jimly.Pembaharuan hukum pidana indonesia.(study perbandingan sangsi pidana menurut tradisi fiqih islam dalam R-KUHP).bandung penerbit angkasa.1995.
Hazairin. 7 serangkai tentang hukum.jakarta.1990.
Hazairin.demokrasi pancasila,jakarta:bina aksara,1981
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqh. (Jakarta: Kencana, 2005).
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Hukum-Hukum Fiqh Islam. (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001).

Media internet
http//wikipedia.com
greatandre.blogspot.com




[1] HAZAIRIN.NEGARA TANPA PENJARA.JAKARTA.Ui  press.
[2] Hazairin. 7 serangkai mengenai hukum.
[3] Jimly assidiqie.pembaharuan hukm pidana diindonesia.bandung,angkasa.1995.hal.117.
[4] Hazairin.7 serangkai...Op.Cit.
[5] http//wikipedia.com
[6] http//greatandre.blogspot.com
[7] Hasby ash-shidieqy,Al.Islam, jilid II jakarta,bulan bintang, 1977.