AKU TIDAK TAKUT SENDIRI. TUHAN PUN JUGA SENDIRI. DAN DIA MENJADI YANG MAHA KUAT KARENA ITU (SOE HOK GIE)

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 20 Juli 2011

NEGARA SEAKAN TAK' PEDULI (Refleksi Pemerintahan SBY Jilid II)

OLEH : DWI ANDRIYANTO.

17 Agustus 1945, tentu merupakan tanggal, bulan dan tahun yang paling bersejarah bagi rakyat Indonesia. Sebagai catatan, dan selanjutnya terus menerus diperingati, ternyata rakyat Indonesia telah hidup merdeka selama 65 tahun.
Tak dipungkiri, hidup dialam merdeka setelah terbebas dari belenggu kaum penjajah atau yang kita sebut kaum kapitalis itu, sudah barang tentu telah terjadi berbagai perubahan dalam hidup dan kehidupan rakyat Indonesia.
Bukan soal meributkan hutang luar negeri kita yang tidak kunjung terselesaikan dan malah semakin tak karu-karuan jumlahnya. Dan, bukan pula mempersoalkan semakin dhasyatnya berbagai tindak korupsi yang terjadi di negara yang punya paham Pancasila. Selanjutnya, begitu juga bukan bermaksud ingin menohok hancurnya persoalan tatanan hukum, serta terpuruknya perekonomian rakyat yang punya konsep sebagai negara bertatanan koperasi.
Tetapi, walaupun sudah tidak dapat dikatakan usia kemerdekaan bangsa ini tidak lagi muda. Namun, rencana keinginan untuk hidup makmur dan sejahtera itu masih seperti bak api jauh dari panggang. Dan ini dapat dilihat serta sekaligus pula tentunya telah kita rasakan bersama-sama, kalau hidup yang penuh dengan ketelantaran seperti yang dimasudkan seperti judul diatas tadi, semakin kentara. Apalagi, jika dikaitkan dengan kondisi krisis energi yang sedang berlangsung saat ini.
Krisis energi, seperti kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), tentunya merupakan pukulan terberat yang sedang dihadapi segenap bangsa Indonesia sekarang ini.  Bayangkan, dampak dari kelangkaan BBM, telah berakibat naiknya seluruh harga-harga kebutuhan pokok rakyat yang mesti diakui tidak lagi dapat dikontrol oleh pemerintah. Kalau bicara soal kerugian, justru angkanya tak dapat lagi terhitung. Dan ini seperti, kondisi terhambatnya sarana transportasi yang diaki-batkan kelangkaan BBM itu.
Itu baru salah satu masalah yang diakibatkan krisis energi, belum lagi dampak akibat dari pemadaman listrik yang konon pemicunya masih soal BBM tadi.
Kita sebagai rakyat, dengan amat terpaksa, malah harus pasrah untuk menanggung beban akibat tak becusnya para pemimpin bangsa ini dalam menyelenggarakan roda pemerintahan. Belum lagi, hancurnya infrastruktur yang konon soalnya juga tidak dapat diatasi dengan baik oleh pelaku penyelenggara pemerintahan sekarang ini.
Dalam artian secara luas, ketelantaran yang dirasakan rakyat Indonesia setelah berhasil menghirup nafas kemerdekaan selama berpuluh-puluh tahun, justru ketelantaran ada sebagian orang yang mengaku ternyata masih layak hidup dialam penjajahan. Bukan arti uungkapannya itu menandakan tidak adanya rasa nasionalisme seperti yang sering digembar-gemborkan selama ini.
Tetapi masalahnya, ketelantaran yang dirasakan rakyat Indonesia, malah terjadi karena masih adanya budaya kavitalis yang dilakukan para pemimpin bangsa ini. Contoh, lihat saja budaya sogok menyogok hanya untuk mendapatkan kucuran anggaran pembangunan, budaya korupsi dalam menyelengarakan pemerintahan, belum lagi soal KKN hanya sekedar untuk menempatkan kroni-kroni di salah satu jabatan tertentu. Dan parahnya lagi, terkadang ketelantaran itu terjadi karena sistem yang dijalankan dalam menyelenggarakan negara ini, malah kental dari nuansa politik.
Ketelantaran yang sekarang ini terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukanlah karena kemelaratan negara ini. Tetapi, ketelantaran yang dialami rakyat Indonesia, dikarenakan keserakahan, kerakusan, ketamakan, para pemimpin bangsa yang tak pernah akan mengakui hal itu.
Selamat membudayakan ketelantaran terhadap rakyat yang menjadi hamba Tuhan. Dan ingat, nanti siapapun, tak soal berpangkat jenderal bintang tujuh, penguasa berbadan kecil serta berkumis, Tuhan akan meminta pertanggungjawaban atas tindakan menelantarkan rakyatnya sendiri.
28 pokok kegagalan mendasar selama mengelola pemerintahan. Ke-28 kegagalan SBY yang disampaikan ke DPR itu sebagai berikut:
A.     Kegagalan Presiden SBY dalam memimpin mempertahankan kokohnya filosofi dan konstitusi berbangsa dan bernegara.
·         Gagal memahami akar persoalan bangsa Indonesia.
·         Gagal memimpin menjaga dan menjalankan falsafah hidup berbangsa dan bernegara.
·         Gagal memimpin menghentikan kekacauan politik kenegaraan dan kebangsaan yang diakibatkan oleh amandemen subversif terhadap UUD 1945.
·         Gagal membendung pihak asing untuk mengobrak-abrik Undang-Undang dan berbagai peraturan di Indonesia.
·         Gagal memimpin dan menyatukan cita-cita nasional.
B.      Kegagalan Presiden SBY memimpin stabilisasi politik untuk rakyat.
·         Gagal memimpin seluruh institusi kenegaraan yang mengakibatkan benturan antara lembaga negara.
·         Gagal memimpin persatuan dan kesatuan negara Republik Indonesia.
·         Gagal memimpin membangun stabilitas politik untuk kepentingan bangsa dan rakyat.
·         Gagal memimpin dan gagal membangun tradisi politik sebagai alat untuk memperjuangkan kepentingan umum.
C.      Presiden SBY gagal memimpin membangun kemandirian ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
·         Gagal memimpin berjalannya perekonomian di atas prinsip demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
·         Gagal membangun ekonomi yang mandiri.
·         Gagal memimpin membangun ekonomi dengan basis perencanaan nasional yang mandiri.
·         Gagal memimpin membangun ekonomi yang kuat, kokoh, dan berkelanjutan.
·         Gagal memimpin meningkatkan kualitas ekonomi manusia Indonesia.
·         Gagal memimpin menjaga stabilitas harga.
·         Gagal memimpin menjaga kedaulatan pangan.
D.     Presiden SBY gagal memimpin menegakkan hukum.
·         Gagal memimpin menghentikan sekaligus terlibat memproduksi terjadinya tumpang-tindih produk hukum dan perundang-undangan.
·         Gagal memimpin memberantas mafia hukum dan jual beli perkara yang terjadi di dalam tubuh institusi penegak hukum, Polri, Kejaksaan, MA, Pengadilan dan KPK.
·         Gagal memimpin menegakkan hukum tanpa diskriminasi.
·         Gagal memimpin membangun kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.
E.      Kegagalan Presiden SBY dalam memimpin pertahanan dan keamanan.
·         Gagal memimpin menjaga dan mempertahankan konsep permesta (tanah, alutsista, dan kesejahteraan).
·         Gagal memimpin dalam menata, mengatur dan menjaga sistem inteligen yang fungsinya sebagai sistem peringatan dini bagi stabilitas negara.
·         Gagal memimpin dalam menjaga dan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara.
·         Gagal memimpin meredam konflik antar-anak bangsa yang semakin meluas.
F.       Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan
      • Gagal memimpin membangun kerukunan antar-umat beragama, suku, ras, dan antar golongan.
      • Gagal memimpin menghentikan menjalarnya mental dan budaya  individualisme dan materialisme dalam tubuh masyarakat.
      • Gagal menghentikan komersialisasi pendidikan.
      • Gagal dalam mengubah dan memperbaiki moralitas pejabat negara
Read more...

Kamis, 07 Juli 2011

Pembatasan penyadapan!!!,Cara lain pelumpuhan KPK???


Copyright http://yuhendrablog.files.wordpress.com
Oleh DWI ANDRIYANTO
Masih hangat di telinga tentang upaya pelumpuhan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan di seretnya para petinggi-petingginya kedalam kasus hokum. Terlepas dari apakah kasus itu rekayasa atau bukan. Tetapi hal ini membuat resah apakah keberadaan  Lembaga yang di tugasi untuk memberantas korupsi di negeri ini bisa eksis kedepannya menyeret para koruptor ke jeruji besi. Berbicara tentang pemberantasan korupsi, pemerintah menyiapkannya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)  tentang Tata Cara Intersepsi, aturan yang memuat tentang penyadapan ini pertama kali di gagas oleh menteri komunikasi dan informatika Tifatul Sembiring,walaupun sebenarnya aturan tentang penyadapan ini sudah diatur dalam UU no 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik dalam pasal 31 ayat (1) UU no 11 tahun 2008 tentang perbuatan yang dilarang adalah ‘setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hokum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain’. Dan dalam ayat (2) menyebutkan ‘setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hokum melakukan intersepsi atas transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bersifat public’ , dan selanjutnya dalam ayat (3) yang isinya adalah ‘kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam penegakan hokum atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi penegakan hokum yang lainnya di tetapkan berdasarkan UU dan dengan sanksi yang meaturnya yaitu pasal 47 yang isinya mengenai sanksi pasal 31 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dengan adanya aturan dalam pasal-pasal tersebut harusnya sudah cukup jelas peraturan yang mengaturnya tetapi mengapa dalam pasal 31 ayat (4) di sebutkan ‘ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana diatur dalam ayat (3) diatur dengan perpu’ ,nah ayat inilah yang dijadikan dasar menkominfo dalam menggagas RPP tengtang tata cara intersepsi itu, yang jadi problematika adalah mengapa harus ada ayat ini sedangkan sudah cukup jelas dengan adanya ayat (3) bukanya berlaku  asas “lex    superiori derogate lege inferiori” undang-undang yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah, dengan demikian bisa digaris bawahi bawah pembuatan UU no 11 tahun 2008 sudah di rencanakan pula akan adanya pembuatan  RPP ini andai saja jika memang RPP ini jadi di sahkan hal ini adalah langkah awal dalam pembatasan intersepsi atau penyadapan itu yang nanti akan menghalangi dalam hal pemberantasan korupsi karena hanya KPK sajalah yang mempunyai UU no 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu pun belum menjamin apakah nantinya KPK tidak akan terganggu dengan RPP itu ,lalu bagaimana dengan institusi penegakan hokum yang lain. Walapun demikian RPP tata cara intersepsi ini sangat riskan terjadi polemic di masyarakat karena RPP ini jika jadi di sahkan akan timbul pertanyaan sejauh mana komitmen pemberantasan yang di eluh-eluhkan oleh kepala Negara kita, karena sesuai dengan komitmen kepala Negara kita untuk mengedepankan pemberantasan korupsi .  
Mengesampingkan hal tersebut yang jadi permasalahan sebenarnya adalah apa dari isi RPP tata cara intersepsi itu sendiri yaitu tentang pembatasan penyadapan dalam RPP Tata Cara Intersepsi ini di dalamnya telah diatur ketika akan melakukan penyadapan harus terlebih dulu meminta izin atau ketetapan dari ketua pengadilan jelas proses seperti ini sangat berlarut larut  ,terlebih lagi bagaimana jika yang akan di periksa itu adalah hakim atau ketua pengadilan, apakah izin itu tetap akan keluar?,karena Salah satu kunci sukses KPK dalam menyeret para koruptor-koruptor kedalam jeruji besi adalah dengan menggunakan kewenangannya besar yang di milikinya berupa “melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan mulai dari tahapan penyelidikan,penyidikan dan penuntutan” (Pasal 12 ayat (1) huruf a UU no 30 tahun 2002).
                Meskipun demikian hingga saat ini RPP tentang tata cara penyadapan ini pembahasannya belum final, di sini pulalah yang menurut departemen menkoinfo ada  tradisi  selama ini ,bahwa setiap rancangan regulasi apapun harus dan wajib di publikkan sebelum disahkan untuk di publikkan diadakanya uji public (konsultasi public) agar memperoleh tanggapan dari public, di sini pulalah kita harus berani menyampaikan aspirasi-aspirasi kita tentang RPP tata cara penyadapan ini agar memang kedepanya terlepas apakah RPP ini di jadi disahkan atau tidak dengan segala pertimbangan yang ada, RPP ini bisa efektif dan tidak menghambat dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.
Read more...

Jumat, 01 Juli 2011

JAWABAN ATAS PERTANYAAN


JAWABAN ATAS PERTANYAAN DARI SAHABAT TERBAIK SAYA IHSAN LUTFI.
BISMILLAHIRROHMANIRROHIM
Pertanyaan yang di sajikan oleh IHSAN pada tanggal 26-06-2011 sebagai berikut:
1.      Dimana kedudukan TAP MPR RI dalam hierarki peraturan perundang-undangan?
2.      Bagaimana posisi dan keabsahan peraturan perundang-undangan yang tidak masuk dalam hierarki (menurut uu no 10 tahun 2004, pasal 7 ayat 1)?

Uraian singkat
Manusia sebagai makhluk sosial pasti saling berhubungan antara satu individu dengan individu lainnya. Dalam perjalanannya, manusia membutuhkan hukum supaya terjalin suatu hubungan yang harmonis. Pada dasarnya manusia secara alami mempunyai kaidah seperti norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma adat sebagai aturan dalam kehidupannya. Akan tetapi norma-norma itu tidak cukup untuk menjamin keberlangsungan kehidupan manusia karena tidak tegasnya sanksi bagi yang melanggarnya sehingga kesalahan itu bisa terulang lagi, maka disusunlah suatu hukum yang mempunyai sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya.
Pada hakikatnya tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Setiap hubungan kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Hukum berfungsi sebagai pengatur keseimbangan antara hak dan kewajiban manusia sebagai makhluk sosial, dan mewujudkan keadilan dalam hidup bersama. Karena pentingnya kedudukan hukum dalam tatanan masyarakat, maka dalam pembentukan peraturan hukum tidak bisa terlepas dari asas hukum, karena asas hukum adalah landasan utama dalam pembentukan hukum.
Didalam penyelenggaraan pemerintahan baik dipusat maupun didaerah, pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Menurut S.J. Fockema Andrea dalam bukunya “Rechtsgeleerd handwoorden book” perundangan-undangan atau legislation, mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu :
a.       perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara baik ditingkat pusat maupun daerah;
b.      perundangan-undangan merupakan semua peraturan-peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah.
Jadi jelas bahwa apabila kita membicarakan peraturan perundang-undangan, hal ini berkaitan dengan norma hukum yang bentuknya tertulis, yang dibuat oleh lembaga-lembaga yang mempunyai kewenangan untuk membentuknya, seperti DPR (Pasal 20 ayat (1) Amandemen Pertama UUD 1945) atau DPRD Kabupaten/Kota bersama dengan Bupati/Walikota ( Pasal 3 ayat 7 huruf b TAP MPR No. III Tahun 2000.
Jawab:
Jawaban singkat menanggapi soal no.1
Berbicara mengenai hierarki perundang-undangn maka kita berbicara masalah keabsahan tentang posisi atau kedudukan suatu peraturan. Mas Subagio dalam bukunya “Lembaran Negara Republik Indonesia Sebagai Tempat Pengundangan Dalam Kenyataan”(1983)[1] mengartikan “pengundangan” sebagai penempatan suatu peraturan perundangan negara yang tertentu di dalam suatu lembaran resmi sebagaimana diatur dalam suatu peraturan perundangan dan mengedarkannya kepada umum untuk diketahui.
Tentang kedudukan TAP MPR RI menurut A. Hamid SA (alm) dan Maria Farida (sekarang Hakim MK) Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR merupakan hukum dasar, sehingga tidak termasuk jenis peraturan perundang-undangan. Menurut kedua ahli tersebut yang namanya peraturan perundang-undangan adalah undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya dari Pusat sampai daerah. Namun menurut hukum positif (TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 yang kemudian dicabut oleh TAP MPR Nomor III/MPR/2000 dan penjabarannya dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, Undang-Undang Dasar dan TAP MPR dikategorikan sebagai (termasuk) jenis peraturan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, TAP MPR tidak lagi dimasukkan (dihapus) sebagai jenis peraturan perundang-undangan karena di Era Reformasi tidak akan ada lagi ada TAP MPR, kecuali sisa TAP MPRS dan TAP MPR  masa Orde Lama dan Orde Baru dan awal Reformasi yang masih “dianggap” berlaku sampai dibentuknya suatu undang-undang atau sudah selesainya suatu masalah yang diatur dalam TAP MPR tersebut berdasarkan TAP MPR Nomor I/MPR/2003.
Pengertian diatas berbeda sekali dengan arti yuridis UU No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan[2]. Dalam arti yuridis, pengundangan tidak termasuk tindakan pengumuman resmi berlakunya peraturan atau penyebarluasan di masyarakat. Pengundangan sendiri merupakan syarat mutlaq berlaku mengikatnya sebuah aturan, sehingga berlakulah fictie dalam hukum setiap orang dianggap mengetahui.
Dengan adanya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 20 ayat (1) yang menentukan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang[3], maka berbagai Peraturan Perundang-undangan tersebut diatas sudah tidak sesuai lagi. Dengan demikian diperlukan Undang-Undang yang mengatur mengenai Pembentukan Peraturan perundang-undangan, sebagai landasan yuridis dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah, sekaligus mengatur secara lengkap dan terpadu baik mengenai sistem, asas, jenis dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan, persiapan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan, maupun partisipasi masyarakat. Undang-Undang ini pada dasarnya dimaksudkan untuk membentuk suatu ketentuan yang baku mengenai tata cara Pembentukan Peraturan Perundang undangan, serta untuk memenuhi perintah Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.

Jawaban singkat menanggapi soal no.2
Mengenai hal tersebut, TAP MPR setelah diundangkannya UU 10/2004 sifatnya tidak mengikat keluar, dimana TAP MPR tersebut hanya berlaku secara intern saja untuk kalangan MPR tersebut.   Tidak semua TAP MPR tersebut dihapus, terutama mengenai kepentingan publik. Pengaturan tersebut kira-kira tertuang dalam TAP MPR tahun 2003. Walaupun TAP MPR tersebut belum diundangkan dalam UU (lex posteriori legi priori)[4], maka TAP MPR tersebut tetap berlaku untuk hal - hal tertentu tersebut saja. Sesungguhnya Keluarnya UU no 10 tahun 2004 adalah upaya penyempurnaan dalam rangka penetapan kembali sumber tertib hukum dan bentuk serta tata urut perundang-undangan RepubliK Indonesia dimasa yang akan datang[5]. Sehingga segala peraturan yang telah ada sebelum UU no 10 tahun 2004 diberlakukan dianggap masih sah, selama belum ada suatu peraturan yang mengatur tentang hal yang sama. TAP MPR RI sebenarnya sama dengan Kepres, saya menyamakanya karena sebenarnya keduanya itu hanyalah sebuah penetapan, yang dimana pada waktu dikelurakannya terjadi kekosongan hukum, mka agar dapat di atur, maka keluarlah peraturan itu. Dalam TAP MPR no III tahun 2000 pasal 3 ayat 2 telah termaktub bahwa MPR RI merupakan pengemban kedaulatan Rakyat[6]. Yaitu diberi mandat oleh rakyat.


[1] Mas soebagio.lembaran negara republik indonesiasebagai tempat pengundangan dalamkenyataan. Bandung: Alumni.1983.
[2] Lihat UU no 10 tahun 2004.“Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah” (Pasal 1 angka 11)
[3] Lebih jelas Lihat UUD 1945 amandemen ke IV. Bab IIV tentang DEWAN PERWAKILAN RAKYAT.
[4] Merupakan asas hukum,  asas itu diambil dari bahasa latin yang artinya hukum/peraturan yang lebih tinggi mengalahkan atau menyampingkan hukum/peraturan yang dibawahnya.
[6] Lihat Tap MPR RI No II tahun 2000.“Ketetapan majelis permusyawaratan rakyat Republik indonesia merupakan putusan majelsi permusyawaratan rakyat sebagai pengmban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang Majelis permusyawaratan rakyat”
Read more...