AKU TIDAK TAKUT SENDIRI. TUHAN PUN JUGA SENDIRI. DAN DIA MENJADI YANG MAHA KUAT KARENA ITU (SOE HOK GIE)

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 29 Juni 2011

ANALISIS PEPRES NO 36 TAHUN 2005

Copyright of http://library.geneseo.edu
OLEH :DWI ANDRIYANTO 
 Adanya nama baru dalam peraturan perundang-undangan yaitu Perpres menimbulkan beberapa pertanyaan dan keingintahuan dari masyarakat. Pertanyaan tersebut antara lain adalah “Apakah yang dimaksud dengan Peraturan Presiden?”, “Kapan Peraturan Presiden dibuat?”, “Apa saja substansi yang dapat diatur dalam Peraturan Presiden tersebut?”. Mempertimbangkan beberapa pertanyaan tersebut, kami mencoba melakukan analisa berkaitan dengan kedudukan sumber hukum Peraturan Presiden. Berdasarkan hasil analisa kami, diketahui bahwa berdasarkan ketentuan pasal 11 Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyatakan bahwa: “Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah“.
Dengan melihat hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa Peraturan Presiden ditetapkan dalam rangka melaksanakan materi yang diperintahkan oleh Undang-undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Sehingga berdasarkan pengertian tersebut dapat juga dikatakan bahwa dibentuknya Peraturan Presiden setelah adanya Undang-undang ataupun Peraturan Pemerintah, yang apabila dapat dikatakan dimana Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tersebut merupakan komponen induknya dan Peraturan Presiden sebagai komponen pelaksana atau berfungsi sebagai alat administrasi negara dalam melaksanakan Undang-undang dan/atau Peraturan Pemerintah.
Relevansi dengan Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pertanyaan sebagaimana dimaksud diatas, menjadi lebih sering di dengar setelah ditetapkannya Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, oleh Presiden Republik Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono, pada tanggal 3 Mei 2005. Memperhatikan bagian pertimbangan (consideran) Peraturan Presiden tersebut di mana di sebutkan dalam : “ butir
a. Bahwa dengan meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah, maka pengadaannya perlu dilakukan secara cepat dan transparan dengan tetap memperhatikan prinsip     penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Kemudian dalam butir

b. Bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana telah ditetapkan dengan keputusan Presiden No. 55 tahun 1993 sudah tidak sesuai dengan landasan hukum dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum. Selanjutnya dalam butir
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan butir a dan butir b, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum “
Deputi Sekretaris Kabinet (Seskab) Bidang Hukum dan Perundangan, Lambok V Nahattandas mengatakan: “Dalam Perpres ini ada beberapa hal yang berbeda dengan Keppres 55/1993. Antara lain, adanya pencabutan hak atas tanah bila yang bersangkutan bersikeras tidak mau menjual tanahnya untuk digunakan sebagai kepentingan umum meskipun setelah melalui musyawah untuk menentukan nilai jual tanah tersebut….” (Kompas Cyber Merdeka, 6 Mei 2005).
Selanjutnya menurut Andi Malaranggeng “…. Keluarnya Perpres No. 36 tahun 2005 sebagai salah satu tindak lanjut dari KTT Infrastruktur……….” (Kompas Cyber Merdeka, 6 Mei 2005).
Pertanyaan ini menjadi lebih mendasar ketika masyarakat melihat bahwa substansi atau materi yang diatur dalam Peraturan Presiden sangat kental dengan pencabutan hak atas tanah, bangunan, tanaman, serta benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah oleh negara dengan pemberian ganti rugi senilai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk tanah, atau berdasarkan perhitungan dari instansi pemerintah yang bersangkutan dengan benda-benda selain tanah. Hal tersebut sangat meresahkan masyarakat dan menjadi masalah sosial yang timbul di masyarakat. Permasalahan utamanya adalah hak masyarakat atas hak atas tanah, bangunan, tanaman, serta benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah menjadi terganggu. Pemerintah dapat saja “ seolah-olah “ dalam rangka kepentingan umum yang sebenarnya adalah akses memperlancar “bisnis“ segelintir orang mencabut hak masyarakat tersebut, terlebih yang dimaksud dengan kepentingan umum dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tersebut telah mengalami perluasan kriteria jika dibandingkan dengan Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993. Sekalipun diatur mengenai musyawarah dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005, akan tetapi jika musyawarah gagal ditempuh kemudian terdapat uang pengganti dari pemerintah yang dititipkan ke pengadilan, hingga presiden sendiri yang mencabut hak atas tanah itu.

Hal tersebut menunjukan diperlemahnya akses masyarakat akan hak atas tanah dan dilanggarnya hak sipil-politik dan hak ekonomi, sosial, budaya oleh masyarakat oleh pemerintah. Tetapi mungkin saja justru para pemodal yang diuntungkan, termasuk investor asing. Sahala Sianipar, Direktur Golin/Haris Internasional Pte Ltd Singapura, perusahan public relation yang bermarkas di AS, mengungkapkan, bahwa beberapa investor asing memang belum mau meneken persetujuan investasi di proyek infarstruktur karena belum ada jaminan soal pertanahan di Indonesia. Investor asing tidak mungkin berhadapan langsung dengan masyarakat di Indonesia. Sebab itu, investor menginginkan agar pemerintah mengatur soal tanah (Jawa Pos Online, 08/05/2005). Dan nampaknya bahwa pemerintah ingin menguasai tanah masyarakatnya dengan harga murah. Pada kenyataan – seperti yang disampaikan Abdul Haris Kepala Subdit Pertanahan Bappenas Jakarta - bahwa berdasarkan hasil pemantauan proyek-proyek pemerintah yang berupa pinjaman luar negeri diperoleh bahwa salah satu faktor penghambat pelaksanaan proyek tersebut adalah kurangnya dana pengadaan tanah, adanya hambatan dalam proses pembebasan tanah, maupun hambatan dalam permukiman kembali (Media Indonesia Kamis, 26 Mei 2005).
Permasalahan Hukum dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005;
a. Permasalahan Formal : Ketentuan pasal 11 Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyatakan bahwa: “Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah“.
Berdasarkan ketentuan tersebut jelaslah bahwa Peraturan Presiden dibuat untuk melengkapi materi yang diperintahkan Undang-undang atau berisi materi yang diperintahkan oleh Peraturan Pemerintah. Artinya juga bahwa Peraturan Presiden sesungguhnya dibuat sebagai sarana administrasi pemerintah, namun menunjuk (according) Undang-undang dan /atau Peraturan Pemerintah. Bagaimana dengan Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanan Kepentingan Umum? Telah diketahui bersama bahwa keluarnya Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 merupakan salah satu tindak lanjut dari Infrastucture Summit 2005. Artinya bahwa Peraturan Presiden tersebut bukanlah merupakan materi yang diperintahkan oleh Undang-undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, sehingga secara formil Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 adalah cacat hukum dan harus dicabut oleh Presiden.
b. Permasalahan Materiil: Perihal Pencabutan Hak Atas Tanah (pasal 2 ayat 1 b, pasal 18): Mengenai permasalahan pencabutan hak atas tanah, Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Hak Asasi Manusia telah memberikan jaminan serta perlindungan terhadap hak milik atas tanah, sebagaimana dinyatakan dalam :
1. UU No. 5 tahun 1960 (UUPA ) : Pasal 6: Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial Penjelasan pasal 6 ; ? Lihat penjelasan umum (II angka 4). “.......... tetapi dalam ketentuan tersebut tidaklah berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). UUPA memperhatikan pula kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok : kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyatnya ( pasal 2 ayat 3 ) .............”.
2. Pasal 36 ayat 1 dan 2 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 36 :
1. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa dan masyarkat dengan cara yang tidak melanggar hukum.
2. Tidak seorangpun boleh dirampas hak miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum
3. Pasal 71 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 71 ;
Pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam UU ini, peraturan per-UU-an lain, dan hukum internasional tentang HAM yang diterima oleh Negara Republik Indonesia Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas maka dengan tegas dapat dinyatakan bahwa Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 bertentangan dengan UUPA dan UU HAM.

Oleh sebab itu, dikarenakan dalam ilmu hukum dikenal asas hukum “Lex superior derogat legi inferiori” yang artinya peraturan yang lebih tinggi mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah, sehingga dalam hal ini yang berlaku adalah UUPA dan UU HAM. Perihal Ganti Kerugian (pasal 1 angka 11, pasal 10, pasal 12, pasal 13, pasal 15 ): Berkaitan dengan permasalahan ganti kerugian, dimana dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005, dinyatakan bahwa dengan pencabutan hak atas tanah, bangunan, tanaman, serta benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah oleh negara dengan pemberian ganti rugi senilai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk tanah, atau berdasarkan perhitungan dari instansi pemerintah yang bersangkutan dengan benda-benda selain tanah, menimbulkan keresahan bagi masyarakat. dalam kondisi senyatanya dimana harga jual tanah itu bisa tiga kali lipat atau lebih dari NJOP, sehingga hal ini telah membawa masyarakat kepada kondisi yang menurun. Berbeda dengan ketentuan dalam UUPA, sebagaimana diuraikan sebagai berikut :       
Pasal 18 ( UUPA ) Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan UU. Penjelasan pasal 18 ; Pasal ini merupakan jaminan dari rakyat mengenai hak-haknya atas tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti kerugian yang layak. Mengenai permasalahan ganti kerugian yang layak ini, seharusnya dapat juga dipertimbangkan tidak hanya sebatas pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), harga bangunan, dan tanaman yang ditetapkan oleh instansi pemerintah, tetapi berkaitan juga dengan ganti kerugian atas relasi sosial, seperti antara lain dengan pindah dari tempat semula ketempat yang kurang accessble mengakibatkan biaya transportasi untuk ke kantor, ke sekolah, ke pasar menjadi lebih mahal dan menggangu hak-hak ekonomi rakyat. Dengan demikian ketentuan dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 telah bertentangan dengan UUPA. Tiada Demokrasi Tanpa Landreform Judul diatas - adalah sebuah jargon, yang merupakan focal point yang bisa di-breakdown untuk memberikan analisis kongrit atas situasi yang kongrit kondisi agraria sekaligus jargon tersebut merupakan sebuah progam perjuangan (tindakan kongrit) – yang beberapa tahun yang lalu (2001) pernah penulis sampaikan dalam sebuah pertemuan nasional NGO/LSM yang bergerak disektor agraria, ormas petani dan gerakan mahasiswa. Asumsi-asumsi tersebut diatas dibangun dengan bersandar dalam beberapa hal: Pertama. Problem agraria bukan hanya persoalan pertanian. Kedua. Sebagai jawaban atas point pertama maka persoalan agraria harus menjadi persoalan hak warga negara. Ketiga, bahwa persoalan agraria erat kaitannya dengan perubahan sosial. Dalam pengertian seperti tersebut diatas, maka konsolidasi demokrasi sebagai tuntutan transisi menuju demokrasi mensyarakat adanya pelembagaan politik demokrasi. Produk hukum sebagai pelembagaan atas politik untuk itu harus merupakan manifestasi dari aspirasi perjuangan nasional, perjuangan demokrasi dan perjuangan kerakyatan. Dalam konteks agraria, maka produk hukum agraria hendaknya merupakan pelembagaan dari aspirasi reforma agraria sebagai upaya membangun kemerdekaan nasional, demokrasi dan keadilan sosial. Produk-produk hukum agraria yang seharusnya merupakan pelembangaan politik demokratis dari cita-cita reforma agraria, sesungguhnya telah diamanatkan oleh Tap MPR IX tahun 1999 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Namun ternyata produk-produk perundangan yang kemudian keluar justru menyimpang dari harapan itu, yang itu bisa kita lihat dalam UU No.7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, UU No.24/2004 tentang Penetapan Perpu No.1/2004 tentang Perubahan UU No.41/1999 tentang Kehutanan menjadi UU, dan UU No.18/2004 tentang Perkebunan.
Perpres 36/2005 jelas menyimpang dari semangat reforma agraria, tetapi juga menyimpang dari semangat demokrasi yang ditandai dengan menumpuknya kekuasaan untuk mengambilalih tanah di tangan presiden. Investor asing dan dunia usaha menyambut gembira Perpres ini yang lahir sebagai komitmen kepada KTT Infrastruktur 2005.
Namun bagi masyarakat Perpres ini adalah ancaman karena pemerintah hanya menilai tanah dari NJOP, tanpa mengindahkan fungsi sosial tanah, tanpa mengindahkan ganti rugi non fisik seperti hilangnya pekerjaan, dan tanpa mengindahkan pemukiman kembali. Disinilah semakin tidak jelas perspektif kepentingan umum dari penguasa, karena bagi sebagian besar rakyat Indonesia yang masih dalam kondisi miskin dan tertindas, justru penghormatan atas hak atas tanah rakyat adalah hal yang sangat penting.
Berjuang Demi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia.
Menyadari dengan sangat, bahwa Perpres 36/2005 sangat berpotensial melanggar hak sipil-politik dan hak ekonomi, sosial, dan budaya warga negara Indonesia, terutama masyarakat miskin dan tertindas seperti buruh, petani, dan miskin kota. Perpres 36/2005 harus dicabut dan dipersiapkan payung hukum yang mengatur tentang reforma agraria sebagaimana UUPA 1960. Kemudian Pemerintah hendaknya dalam melaksanakan pembangunan nasional, apalagi yang memiki aspek kepentingan umum, hendaknya mampu mengatasi kontradiksi-kontradiksi yang terjadi antara industri dengan pertanian dan antara kota dan desa.
Read more...

Kamis, 23 Juni 2011

HAN (sebuah pengantar)


A.   Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar ke empat di Dunia, Negara Indonesia merupakan negara yang baru memerdekakan diri dan memiliki sejarah panjang penjalanan Negaranya. Indonesia sudah memiliki pergantian kepemimpinan nasionalnya sebanyak 6 sebelum pelaksanaan pemelihan umum pada tahun 2009,  periode kepemimpinan yang paling lama pada zaman orde baru dengan memimpin 32 tahun dari tahun 1966-1998. Pada zaman orde baru proses penjalan negara mengalami permasalahan yang cukup serius terutama proses demokrasi yang terjadi, pada zaman orde baru negara dijalankan untuk kepentingan pribadi dan golongan tertentu saja sehingga penjalanan demokrasi tidak berjalan sesuai perkembangan zaman dan kepentingan rakyat secara utuh. Rezim orde baru menjalankan negara secara otoriterianisme, hak politik rakyat di kebiri oleh kekuasaan yang ada. Sehingga rakyat menjadi apatis, apolitis, dan antipati terhadap penjalanan fungsi dan tugas negara serta pemerintahan. Karena penguasa dalam menjalankan fungsi dan tugas negara secara semena-mena, maka timbul ketidak puasan dari rakyat atas rezim orde baru sehingga menimbulkan pergerakan rakyat secara besar-besaran yang menolak kepemimpinan rezim orde baru.
Pada tahun 1998 timbul sebuah peristiwa penting yang dialami oleh bangsa dan negara indonesia yaitu peristiwa reformasi, dalam peristiwa ini untuk menggulingkan kekuasaan yang ada dan memperbaiki tatanan negara indonesia lebih baik lagi. Setelah rezim soeharto jatuh, hal yang penting dan perlu dilakukan oleh rezim masa transisi adalah menyiapkan pemilihan umum untuk memilih pemimpin baru. Rezim masa transisi harus menyiapkan segala aturan hukum yang menjadi landasan diselenggarakan pemelihan umum yang lebih demokratis, yang diperlu ditekankan pada suksesi pemilihan pemimpin baru negara Republik Indonesia adalah menghilangkan pelibatan pejabat negara atau pejabat publik secara langsung maupun tidak langsung dalam pemilihan umum. Agar para pejabat negara atau pejabat publik netral dan lebih fokus pada penjalanan pemerintahan selama suksesi pemilihan pemimpin berlaku, serta melayani rakyat secara profesional tidak berada dalam tekanan-tekanan oleh rezim yang berkuasa.
Pada masa reformasi dari tahun 1998 – sekarang rakyat indonesia sudah mengalami beberap kali suksesi pemilihan pemimpin yang semakin lama semakin membaik, dan rakyat menginginkan sebuah tatanan hukum dan tatanan pemerintahan yang lebih baik serta demokratis dalam penjalanan fungsi dan tugasnya. Terjadi perubahan yang cukup cepat terhadap tatanan pemerintahan dan negara agar tidak terulang lagi kekuasaan yang absolute dan tirani, negara harus menegak hukum dalam menjalankan fungsi dan tugasnya serta terwujudnya negara yang demokratis. Terjadi sebuah perubahan paradigma hukum yang lebih maju daripada sebelumnya.
Pada masa reformasi terjadi perubahan kebijakan negara yang lebih aspiratif dengan mengurangi kekuasaan yang terakumulasi pada satu lembaga negara, terjadi pemisahan dan pembagian kekuasaan agar terjadi kritik oto krtitik dan keseimbangan antar lembaga negara. Pada masa reformasi terjadi perubahan sistem suksesi pemilihan kepemimpinan nasional, pemimpin nasional langsung dipilih oleh rakyat. Pada tahun 2004 Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat, untuk mensukseskan pemilihan umum secara langsung oleh rakyat maka dibentuk lembaga negara yang mengurusi pemilihan umum secara bebas dari tekanan kekuasaan yaitu KPU(Komisi Pemilihan Umum). Agar proses demokrasi dan pemilihan lancar maka didukung oleh peraturan perundang-undangan yang secara langsung menegaskan, dan mendapatkan kepastian hukum.
Tahun 2009 adalah merupakan tahun yang sangat penting bagi rakyat indonesia, karena rakyat akan memilih secara langsung pemimpinnya yang duduk di legislatif dan eksekutif. Rakyat bisa memilih secara langsung personal yang akan duduk di legislatif dan eksekutif melalui partai yang mencalonkannya, dalam proses perjalanannya terjadi banyak permasalahan yang mencedirai proses demokrasi di Indonesia. Terjadi proses mobilisasi besar-besaran kepada pejabat negara dan atau pejabat publik untuk ikut serta menjadi bagian tim sukses secara langsung maupun tidak langsung dari salah satu pasangan calon eksekutif, kita semua mengetahui bahwa pejabat negara dan atau pejabat publik yang di dalam struktur organisasi pemerintahan maupun diluar struktur organisasi pemerintahan tidak boleh terlibat langsung atau menjadi bagian dari tim sukses. Para pejabat negara dan atau pejabat publik harus bersikap profesional, serta menjalankan fungsi dan tugasnya masing-masing secara bebas dari tekanan kekuasaan. Pemerintah di daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota memiliki tanggung jawab untuk mensukseskan terselenggaranya Pemilu dimaksud. Artinya, selain KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu, seluruh pemerintahan di daerah memiliki tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan tersebut. Bahkan untuk meningkatkan bobot dan kualitas penyelenggaraan pemilu dimaksud, pemerintah sangat menganjurkan untuk menggunakan tenaga para guru dan PNS yang berkualitas dan yang independen untuk membantu penyelenggaraan pemilu di lapangan, misalnya untuk KPPS dan PPK. Ini sangat dimungkinkan supaya pemilu benar-benar berbobot dan terselenggara sesuai dengan harapan demokrasi. Menurut Mendagari, walaupan Undang-undang Penyelenggaraan pemilu yakni Undang-Undang no 22 Tahun 2008 mengamanatkan bahwa penyelenggara pemilu adalah Bawaslu dan KPU, tetapi tanggung jawab pemilu ada pada pemerintah, termasuk di daerah. Maka kinerja baik yang positif maupun yang kurang yang dilakukan oleh KPUD adalah kinerja pemerintah juga.[2]
Seperti di provinsi Jawa Tengah dari data di KPU Jateng, dari 35 kepala daerah, baik bupati/wakil bupati maupun wali kota/wakil wali kota, sebanyak 25 di antaranya telah menyatakan dukungannya terhadap calon masing-masing. Sebanyak 13 kepala daerah mendukung Megawati-Prabowo, tujuh mendukung SBY-Boediono, dan lima JK-Wiranto.
Menurut Eko Prasojo, dalam waktu dua bulan ke depan hingga proses pilpres berlangsung yang paling mungkin dilakukan untuk menyikapi keterlibatan pejabat negara (pusat dan daerah) adalah dengan dua pendekatan.
Pendekatan pertama yakni etika pejabat serta pendekatan hukum dengan kebijakan presiden melalui Keppres atau Perppu. "Dalam waktu dua bulan ke depan sulit berharap netralitas pemerintahan. Yang paling mungkin dibutuhkan etika," imbuhnya.
Menurut dia, situasi yang terjadi saat ini harus menjadi bahan pemikiran agar di masa mendatang tidak terjadi hal serupa. Menurut dia, proyek jangka panjang yang harus dipikirkan yaitu membangun netralitas birokrasi.
"Karena bahaya jika terjadi politisasi birokrasi dalam event pilkada atau pilpres," katanya seraya menegaskan dalam UU Pemilu dan UU Pilpres juga harus diatur secara rigid tentang aturan cuti pejabat negara.
Sementara Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (Adkasi) berharap peningkatan peran panitia pengawas pemilu (Panwaslu) memantau gerak kepala daerah yang terlibat dalam tim sukses kepala daerah dalam penggunaan fasilitas negara.
"Penggunaan fasilitas negara ini sangat rawan diselewengkan oleh pejabat setingkat bupati untuk berkampanye menyukseskan salah satu capres-cawapres," tegas Ketua Divisi Kompartemen Peningkatan Kapasitas Anggota Adkasi Agus Effendi di Yogyakarta.
Kampanye bupati untuk salah satu capres-cawapres dikhawatirkan akan mengganggu efektivitas pemerintahan, karena banyak kegiatan yang harus ditinggalkan. "Harus ada pengaturan kegiatan dan juga koordinasi dengan pejabat di bawahnya agar program-program yang telah ditetapkan berjalan seperti yang telah ditetapkan," imbuhnya.
Ekses pilkada dan pilpres secara langsung jelas memberi dampak turunan yang tidak kecil dalam proses pelibatan birokrasi dalam proses politik. Situasi ini harus menjadi pemikiran stakeholder agar dalam setiap momentum politik, birokrasi tetap bekerja sesuai aturan main. Karena, risiko birokrasi terlibat dalam politik praktis,
 
B.   RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang harus dilakukan oleh pejabat Negara (menteri dan Kepala Daerah) pada saat pemilihan umum presiden dan wakil presiden berlangsung?
2. Apa yang harus dilakukan pemerintah terhadap pejabat Negara (menteri dan Kepala daerah) yang melanggar penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden?

TINJUAN UMUM TENTANG PEJABAT /  BADAN TATA USAHA NEGARA, PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM, DAN PEMILIHAN UMU PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
A.   PENGERTIAN BADAN / PEJABAT TATA USAHA NEGARA
Pejabat Tata Usaha Negara atau yang sering disebut Pejabat Negara / Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 Undang-Undang No.43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian). Badan Tata Usaha Negara adalah Badan atau organisasi yang dibuat oleh negara yang berwenang dan diserahi tugas serta digaji oleh negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pejabat / Badan Tata Usaha Negara berfungsi menjalankan tugas dan fungsi Pemerintahan yang secara implisit mendapatkan wewenang baik secara Atribusi, Delegasi, dan Mandat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pejabat / Badan Tata Usaha Negara dalam menjalankan fungsi dan tugas harus profesional, jujur dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan. Pada Pasal 3 Ayat(2) menyebutkan harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang No.43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian menetapkan bahwa seorang pegawai negeri yang diangkat menjadi pejabat negara, dibebaskan untuk sementara waktu dari jabatan organiknya selama menjadi pejabat negara tanpa kehilangan statusnya sebagai pegawai negeri.
                 Dalam hal ini, untuk dapat disebut Badan / Pejabat tata Usaha Negara harus memenuhi beberapa unsure, yaitu:[3]
a.       badan atau pejabat
b.      melaksanakan urusan pemerintah
c.       berdasarkan peraturan perundang-undangan
d.      peraturan perundang-undangan yang berlaku
Dapat dikatakan bahwa criteria untuk dapat disebut sebagai badan atau pejabat TUN adalah “fungsi yang dilaksanakan”, hal ini berarti:
a.       tidak terbatas pada instansi resmi pemerintah
b.      bukan nama atau bukan kedudukan structural, lingkungan, kekuasaan dalam Negara

Menurut Pasal 1 ayat (2) UU no 5 tahun 1986 pejabat TUN adalah sbb:
1.      Instansi resmi pemerintah yang berada di bawah presiden sebagai kepala eksekutif
2.      Instansi dalam lingkungan kekuasaan Negara diluar kekuasaan eksekutif yang berdasarkan peraturan perundang-undangan melaksanakan suatu urusan pemerintah
3.      Badan Hukum perdata yang didirikan pemerintah dengan maksud untuk melaksanakan tugas pemerintah, misalnya (BUMN, PAM, PLN, PJKA)
4.      Instansi merupakan kerjasama antara pihak pemerintah dengan pihak swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintah (PT PAM Jaya, Trikora Llyod-Perdata, PT Caltex-Publik)
5.      Lembaga hukum swasta yang melaksanakan tugas pemerintah misalnya (PTS, RS Swasta, rumah jompo, rumah yatim piatu, dst)[4]
A.1.   Pegawai Negeri (Civil Servants)
Pada umumnya pejabat publik berstatus pegawai negeri namun tidak semua pejabat berstatus pegawai negeri, seperti halnya pemegang jabatan dari suatu jabatan negara (politieke ambsdrager). Sebaliknya, tidaklah setiap pegawai negeri merupakan pemegang jabatan publik, seperti halnya seorang yang sedang menjalani cuti sakit (Utrecht, E, 1964:162). Terdapat pendapat klasik yang memandang seorang pegawai negeri yang memegang jabatan negeri pada hakekatnya mengadakan hubungan hukum kperdataan dengan negara (pemerintah), bahkan dikemukan pula bahwa hubungan hukum kepegawaian tersebut merupakan pelaksanaan dari arbeidsvoorwaarden yang dikenal didalam kajian hukum perburuhan. Pada saat ini, kajian hukum administrasi lebih memandang hubungan hukum kepegawaian dimaksud sebagai suatu openbare dienstbetrekking (hubungan dinas publik) terhadap negara (pemerintah). Adapun openbare dienstbetrekking yang melekat pada hubungan hukum kepegawaian itu lebih merupakan hubungan sub-ordinatie antara atasan dengan bawahan.
Undang-Undang No.43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian merumuskan bahwa pegawai negeri adalah mereka yang setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam sesuatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan sesuatu peraturan perundang-undangan dan digaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 Angka 1). Pejabat yang berwenang, sebagaimana dimaksud pada ketentuan Undang-Undang No.43 Tahun 1999 adalah pejabat yang mempunyai kewenangan mengangkat dan atau memberhentikan pegawai negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan jabatan negeri adalah jabatan dalam bidang eksekutif yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan, termasuk didalamnya jabatan dalam kesekretariatan lembaga tertinggi / tinggi negara dan Kepanitraan Pengadilan (Pasal 1 Angka 5). Dikemukakan pada Pasal 2 Undang-Undang No.43 Tahun 1999 bahwa pegawai negeri terdiri dari :
1.    Pegawai Negeri Sipil;
2.    Anggota Tentara Nasional Indonesia; dan
3.    Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pegawai Negeri Sipil terdiri dari :
1.    Pegawai negeri sipil pusat;
2.    Pegawai negeri sipil daerah; dan
3.    Pegawai negeri sipil lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-Undang No.43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian merumuskan dan menjelaskan hak, kewajiban, hal-hal yang harus di hindari atau hal-hal yang dilarang selama menjadi pejabat publik, yaitu:
1.    Hak Pegawai Negeri / Pejabat publik/ Pejabat Tata Usaha Negara :
a.    Mendapatkan Gaji (Pasal 7);
b.    Mendapatkan Kenaikan Pangkat sesuai jenjang karir;
c.    Mendapatkan Pendidikan dan Pelatihan untuk meningkat kualitas Sumber Daya Manusia (Pasal 31);
d.    Mendapatkan kesejahteraan berupa tunjangan pensiun, meninggal dunia, dan cacat jasmani / rohani karena menjalankan tugas kewajibannya (Pasal 32);
e.    Hak atas cuti; dan
f.     Hak memperoleh uang duka bagi keluarga dari pegawai negeri yang tewas.
2.    Kewajiban Pejabat Negara / Tata Usaha Negara / Pejabat Publik :
a.    Setiap Pegawai Negeri wajib setia dan taat kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah, serta wajib menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 4).
b.    Wajib menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab.
c.    Wajib menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan rahasia jabatan kepada dan atas perintah pejabat yang berwajib atas kuasa Undang-Undang.
d.    Mengutamakan kepentingan negara diatas kepentingan golongan atau diri sendiri, serta menghindarkan segala sesuatu yang dapat mendesak kepentingan negara oleh kepentingan golongan, diri sendiri, atau pihak lain.
e.    Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat negara, pemerintah dan pegawai negeri sipil.
f.     Mengangkat dan menaati sumpah / janji pegawai negeri dan jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
g.    Memperhatikan dan melaksanakan segala ketentuan pemerintah baik yang langsung menyangkut tugas kedinasannya maupun yang berlaku secara umum.
h.    Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara.
i.     Segera melaporkan kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara/pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan, dan materiil.
j.     Menaati ketentuan jam kerja.
k.    Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat menurut bidang tugasnya masing-masing tanpa diskriminasi.
l.     Wajib menjaga netralitasnya dari kepentingan politik dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.
m.   Membimbing bahwannya dalam melaksanakan tugsanya.
n.    Mendorong bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerjanya.
o.    Menjadi dan memberikan contoh serta teladan yang baik terhadap bawahannya.
p.    Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan kariernya.
q.    Menjadi teladan sebagai warga negara yang baik dalam masyarakat.
r.     Menaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku.
s.     Menaati perintah kedinasan dari atasan yang berwenang.
t.     Memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya setiap laporan yang diterima mengenai pelanggaran disiplin.
3.    Larangan bagi pejabat publik / Tata Usaha Negara / pejabat negeri:
a.    Menjadi pengurus dan atau anggota suatu partai politik serta ikut dalam kampanye suatu partai politik secara langsung maupun tidak langsung (Pasal 3 Ayat 2 dan 3).
b.    Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat negara, pemerintah, atau pegawai negeri sipil.
c.    Menyalahgunakan wewenangnya.
d.    Tanpa izin pemerintah menjadi pegawai atau berkerja untuk negara asing.
e.    Menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-surat berharga milik negara secara tidak sah.
f.     Memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, ataupun meminjamkan barang-barang, dokumen, atau surat-surat berharga negara secara tidak sah.
g.    Melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain didalam maupun diluar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, partai politik atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara dan atau melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
h.    Melakukan tindakan yang bersifat negatif dengan maksud membalas dendam terhadap bawahannya atau orang lain di dalam maupun diluar lingkungan kerjanya.
i.     Menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun juga yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan pegawai negeri sipil yang bersangkutan.
j.     Memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat pegawai negeri sipil, kecuali untuk kepentingan jabatan.
k.    Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya.
l.     Melakukan suatu tindakan atau sengaja tidak melakukan suatu tindakan yang dapat berakibat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani.
m.   Menghalangi berjalannya tugas kedinasan.
n.    Membocorka dan atau memanfaatkan rahasia negara yang diketahui karena kedudukan jabatan untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain.
o.    Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain.
p.    Merangkap jabatan di dalam satu lingkungan kerja maupun diluar lingkungan kerja, kecuali karena kondisi yang mendesak dan atau perintah dari atasan dan atau penguasa.
Pejabat Publik / Tata Usaha Negara / Pejabat Negara harus menjalankan kewajiban dan hal-hal yang dilarang, apabila pejabat tersebut tidak dan atau lalai menjalankan kewajiban dan hal-hal yang dilarang dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku maka pejabat tersebut dapat di non aktifkan selama pemeriksaan(apabila melakukan perbuatan melawan hukum) bahkan diberhentikan secara tidak hormat (apabila terbukti bersalah dan dihukum lebih dari 4 tahun oleh penetapan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap). Undang-Undang No.43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian merumuskan tata cara pemeberhentian pejabat Tata Usaha Negara / Pejabat Publik / Pejabat Negara, yaitu:
1.    Pemberhentian secara tidak hormat atau dengan hormat tidak atas permintaan sendiri (Pasal 23 Ayat 4 dan 5) :
a.    melanggar sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/janji jabatan karena tidak setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah;
b.    melakukan penyelewengan terhadap ideologi Negara, Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 atau terlibat dalam kegiatan yang menentang Negara dan pemerintah; atau
c.    dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.
d.    dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman hukumannya 4 (empat) tahun atau lebih; atau
e.    melakukan pelanggaran disiplin Pegawai Negeri Sipil tingkat berat.
2.    Pemberhentian secara hormat atau tidak diberhentikan (Pasal 23 Ayat 1, 2 dan 3) :
a.    Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan hormat karena meninggal dunia.
b.    atas permintaan sendiri:
c.    mencapai batas usia pensiun
d.    perampingan organisasi pemerintah; atau
e.    tidak cakap jasmani dan rohani sehingga tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai Pegawai Negeri Sipil
f.     melanggar sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/janji jabatan selain pelanggaran sumpah/janji karena tidak setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah; atau
g.    dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan Yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman hukumannya kurang dari 4 (empat) tahun
A.2.   Para Pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Derah adalah suatu Badan yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menjalankan fungsi dan tugas negara dalam hal kesejahteraan rakyat, sumber pemasukan negara, dan menggerakan perekonomian negara. BUMN dan BUMD merupakan implementasi pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang diturunkan melalui Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 dan mendapatkan atribusi langsung berdasarkan peraturan dibawah Undang-Undang. Kalau kita melihat dari proses pendirian dari BUMN dan BUMD, maka BUMN dan BUMD merupakan badan yang dibentuk oleh negara atau pemerintah untuk menjalankan kepentingan negara dalam hal ekonomi. BUMN dan BUMD adalah Badan Tata Usaha Negara yang berbentuk Badan Hukum Perdata (recht person), setiap orang (person) yang ada dalam BUMN dan BUMD merupakan pejabat publik yang bertindak atas nama negara dan atau atas nama Badan Hukum yang di wakilkan. Karena orang yang berada dalam BUMN dan BUMD merupakan pejabat negara, maka setiap orang yang berada dalam BUMN dan BUMD mempunyai hak, kewajiban dan hal-hal yang dilarang dimana tidak jauh beda atau sama dengan yang terdapat pada pejabat negara yang berada dalam struktur maupun diluar struktur organisasi pemerintahan. BUMN dan BUMD merupakan Badan Tata Usaha Negara termasuk dalam Badan yang berada diluar dari struktur organisasi pemerintahan dibawah koordinasi Menteri Negara BUMN. Pembentukan BUMN dan BUMD berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, orang-orang yang duduk di dewan komisaris dan dewan direksi adalah orang-orang perwakilan pemerintah yang mempunyai kapasitas sesuai dengan kebutuhan pemerintah. Sedangkan untuk para pekerja yang berada dibawah dewan komisaris dan dewan direksi dalam perekrutannya menggunakan hukum ketenagakerjaan (UU No.13 Tahun 2003), secara status mereka berkerja dan terikat kerja dengan negara melalui BUMN dan BUMD.
Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2003  tentang Badan Usaha Milik Negara, memiliki berbagai macam bentuk (Pasal 9)yaitu sebagai berikut:
a.     Perusahaan Perseroan (persero),
b.    Perusahaan Umum (Perum), dan
c.     Perusahaan Jawatan (perjan).  
Dari bentuk perusahaan yang ada pada Undang-Undang No. 19 Tahun 2003  tentang Badan Usaha Milik Negara (Pasal 9), maka Badan Usaha tersebut merupakan Badan Tata Usaha Negara dan orang yang didalam Badan Usaha Tersebut adalah Pejabat Tata Usaha Negara. BUMN dan BUMD dibentuk serta dibubarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, setiap orang yang berada didalam BUMN dan BUMD terutama yang Tergabung dalam Dewan Komisaris dan Dewan Direksi dipilih berdasarkan kepentingan pemerintah dengan kata lain orang tersebut bergerak atas nama negara. Modal BUMN dan BUMD berasal dari kekayaan pemerintah yang dipisahkan, setidaknya pemerintah memiliki saham minimal 51 %. Dalam pembentukan BUMN dan BUMD menggunakan peraturan perudang-undangan yang sesuai dengan bentuk Badan Usaha Milik Negara seperti : UU No. 01 Tahun 1995, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

B.   PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM
Undang – Undang No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Pasal 1 Angka 1 mengartikan Pemilihan umum(pemilu) adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di Negara Republik Indonesia melaksanakan suksesi untuk memilih pemimpin yang duduk di legislatif dan eksutif di laksanakan setiap 5 tahun, dan pemilihan tersebut melalui pemilihan secara langsung yang dilakukan oleh warga negara indonesia yang mempunyai hak memilih serta dipilih. Pasal 1 Angka 5 mengartikan penyelenggara Pemilihan Umum adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilu untuk memilih wakil rakyat yang akan duduk di legislatif dan eksekutif, legislatif (DPR RI, DPD, DPRD Propinsi, dan DPRD Kota / Kabupaten) dan eksekutif ( Presiden dan Wakil Presiden, Gurbenur dan Wakil Gurbenur, dan Bupati dan Wakil Bupati / Walikota dan Wakil Walikota ).  Dalam proses pemilihan dan pencalonan legislatif maupun eksekutif melalui partai politik yang mempunyai hak menjadi peserta pemilu, partai politik yang disahkan oleh badan yang menjadi penyelenggara dan panitia pelaksana pemilihan umum. Lembaga penyelenggara pemilihan umum tersebut adalah sebagai berikut :
1.    Komisi Pemilihan Umum (KPU)
2.    Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
Setiap badan penyelenggara pemilihan umum mempunyai tugas dan fungsi masing-masing yang bertujuan untuk mensukseskan pemilihan umum, dan berjalan sesuai apa yang di tetapkan dalam Undang – Undang No.22 Tahun 2007.
B.1.   KOMISI PEMILIHAN UMUM (KPU)
Menurut Undang – Undang No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum Pasal 1 Angka 6, Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga penyelenggara pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Kalau kita melihat dari yang dijelaskan dalam Undang – Undang No.22 Tahun 2007, maka Komisi Pemilihan Umum adalah Badan yang dibentuk oleh pemerintahan pusat melalui Undang-Undanng yang bersifat bebas dari tekanan apapun baik golongan, kelompok, politik, dan kekuasaan atau disebut Badan Independent(Pasal 3 Ayat 3). Berarti Komisi Pemilihan Umum mendapatkan atribusi yang bersifat terikat, maksudnya Komisi Pemilihan Umum mendapatkan wewenang baru sebagai Badan untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum dan mempunyai tugas yang telah di tentukan oleh Undang-Undang. Komisi Pemilihan Umum juga memiliki struktur organisasi dari pusat sampai daerah dan kedudukannya (Pasal 4), yaitu sebagai berikut:
1.    KPU berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia;
2.    KPU Provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi; dan
3.    KPU Kabupaten / Kota berkedudukan di ibu kota kabupaten / kota.
Komisi Pemilihan Umum dalam menjalankan fungsinya memiliki anggota yang telah diatur dalam Undang – Undang No.22 Tahun 2007 dan dipimpin oleh seorang ketua, untuk membantu kerja administrasi di bantu oleh Kesekeretariatan Komisi Pemilihan Umum berupa Sekretariat Jenderal KPU yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal dan dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris Jenderal,  yang merupakan pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat, dan diperbantukan oleh Pegawai Sekretaris Jenderal dari pegawai negeri sipil, tenaga profesional, dan pakar/ahli untuk menunjang kinerja Komisi Pemilihan Umum dan selanjutnya dijelaskan dalam Pasal 57 – 66. Struktur organisasi Komisi Pemilihan Umum menurut Undang – Undang No.22 Tahun 2007 Pasal 6 Ayat 1,2, dan 3, yaitu sebagai berikut :
1.    Jumlah Anggota :
a.    KPU sebanyak 7 (tujuh) orang;
b.    KPU Provinsi sebanyak 5 (lima) orang; dan
c.    KPU Kabupaten / kota sebanyak 5 (lima) orang.
2.    Keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten / Kota terdiri atas seorang ketua merangkap anggota dan anggota.
3.    Ketua KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten / Kota dipilih dari dan oleh anggota.
Komisi Pemilihan Umum baik yang ada di KPU Pusat, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten / Kota memiliki tugas dan wewenang yang telah diatur dalam – Undang No.22 Tahun 2007 dalam penyelenggaraan pemilihan umum, hal tersebut mengakibatkan Komisi Pemilihan Umum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus sesuai apa yang telah diatur dalam Pasal 8. Dalam Pasal 8 mengatur wewenang dan tugas Komisi Pemilihan Umum dalam penyelengaraan pemilihan umum DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten / Kota, Presiden dan Wakil Presiden, Gurbenur dan Wakil Gurbenur, dan Bupati dan Wakil Bupati / Walikota dan Wakil Walikota.
B.2.   BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM (BAWASLU)
Undang – Undang No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum Pasal 1 Angka 15 berbunyi sebagai berikut, Badan Pengawas Pemlihan Umum, selanjutnya disebut Bawaslu, adalah badan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kalau kita melihat yang dijelaskna oleh Undang-Undang tersebut, maka Kalau kita melihat dari yang dijelaskan dalam Undang – Undang No.22 Tahun 2007, maka Badan Pengawas Pemilihan Umum adalah Badan yang dibentuk oleh pemerintahan pusat melalui Undang-Undanng yang bersifat bebas dari tekanan apapun baik golongan, kelompok, politik, dan kekuasaan atau disebut Badan Independent yang merupakan bagian dari Komisi Pemilihan Umum.
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mendapatkan atribusi yang bersifat terikat, maksudnya Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mendapatkan wewenang baru sebagai bagaian Badan penyelenggara Pemilihan Umum dan mempunyai tugas yang telah di tentukan oleh Undang-Undang yaitu mengawasi proses pemilihan umum yang berlangsung. Badan Pengawas Pemilihan Umum juga memiliki struktur organisasi dari pusat sampai daerah dan kedudukannya (Pasal 72, dan Pasal 73 Ayat 1-6), yaitu sebagai berikut:

Kedudukan Organisasi Badan Pengawas Pemilihan Umum :
1.    Bawaslu berkedudukan di ibu kota negara;
2.    Panwaslu Provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi;
3.    Panwaslu Kabupaten / Kota berkedudukan di ibu kota kabupaten / kota;
4.    Panwaslu Kecamatan berkedudukan di ibu kota kecamatan;
5.    Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) berkedudukan di desa / kelurahan; dan
6.    Pengawas Pemilu Luar Negeri (PPLN) berkedudukan di kantor perwakilan Republik Indonesia.
Keanggotaan Organisasi Badan Pengawas Pemilihan Umum :
1.    Keanggotaan Bawaslu terdiri atas kalangan profesional yang mempunyai kemampuan dalam melakukan pengawasan dan tidak menjadi anggota parta politik;
2.    Jumlah anggota :
a.    Bawaslu sebanyak 5 (lima) orang;
b.    Panwaslu Provinsi sebanyak 3 (tiga) orang;
c.    Panwaslu Kabupaten / Kota sebanyak 3 (tiga) orang; dan
d.    Panwaslu Kecamatan sebanyak 3 (tiga) orang.
3.    Jumlah anggota Pengawas Pemilihan Umum Lapangan di setiap desa / kelurahan sebanyak 1 (satu) orang;
4.    Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten / Kota, dan Panwaslu Kecamatan terdiri atas seorang ketua merangkap anggota dan anggota;
5.    Ketua Bawaslu dipilih dari dan oleh anggota Bawaslu; dan
6.    Ketua Panwaslu Provinsi, Ketua Panwaslu Kabupaten / Kota, dan Ketua Panwaslu Kecamatan dipilih dari dan oleh anggota.
Badan Pengawas Pemilihan Umum baik yang ada di Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten / Kota, dan Panwaslu Kecamatan memiliki tugas dan wewenang yang telah diatur dalam Undang–Undang No.22 Tahun 2007 dalam penyelenggaraan pemilihan umum yaitu dalam hal pengawasan proses pemilihan umum, hal tersebut mengakibatkan Badan Pengawas Pemilihan Umum dan struktur dibawahnya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus sesuai apa yang telah diatur dalam Bab IV Bagian ketiga Pasal 74 - 86. Badan Pengawas Pemilihan Umum mengawasi setiap pelanggaran yang ada selama proses pemilihan umum berlangsung secara sendiri maupun dari laporan dan atau pengaduan masyarakat terhadap pelanggaran yang terjadi, setiap pelanggaran yang ada akan di tindak lanjuti dan dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum untuk pelanggaran yang bersifat administratif serta melaporkan ke pihak yang berwajib / polisi apabila perbuatan tersebut mengandung unsur pidana. Dalam melaksanakan tugasnya anggota Bawaslu didukung oleh Sekretariat Bawaslu. Sekretariat Bawaslu dipimpin oleh Kepala Sekretariat. Sekretariat Bawaslu dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 49 tahun 2008. Sekretariat Bawaslu mempunyai tugas memberikan dukungan teknis dan administrative. kepada Bawaslu. Sekretariat Bawaslu terdiri atas sebanyak-banyaknya 4 (empat) Bagian, dan masing-masing Bagian terdiri atas sebanyak-banyaknya 3 (tiga) Sub Bagian.1
C.   PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, adalah pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UU No.42 Tahun 2008 Pasal 1 Angka 1). Pemilhan Umum Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung dilakukan oleh rakyat yang berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Pasal 2). Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilakukan setiap periode 5 tahun bersamaan dengan Pemilihan Wakil Rakyat di Legislatif, pemilu presiden dan wakil presiden dilakukan setelah pemilihan wakil rakyat untuk legislatif.
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum bersama Badan Pengawas Pemilihan Umum sebagai badan pengawas penyelenggaraan pemilu, Komisi Pemilihan Umum di berikan wewenang secara atribusi yang bersifat terikat untuk menjalankan pemilihan umum presiden dan wakil presiden berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan setiap kebijakan atau keputusan dari badan tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-Undang nomor 42 Tahun 2008 sebagai peraturan perundang-undangan yang menjadi payung hukum pelaksanaan pemilihan umum presiden dan wakil presiden harus dijalankan secara konsisten dan tegas oleh lembaga penyelenggara pemilihan umum tanpa memandang golongan, kepentingan politik, dan bebas dari segala tekanan yang ada. Undang-Undang nomor 42 Tahun 2008 sudah merumuskan dan mengatur segala persiapan yang harus dilakukan oleh lembaga penyelenggara, baik KPU sebagai badan penyelenggara maupun Bawaslu sebagai badan pengawas proses pemilihan berlangsung.    
Pemilihan Umum terbuka bagi setiap rakyat indonesia mempunyai hak untuk memilih calon Presiden dan Wakil Presiden yang telah di tetapkan, dan atau mempunyai hak untuk dipilh serta ditetapkan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden. Tapi hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yaitu sebagai berikut :
Hak Memilih
Pasal 27 :
(1)   Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.
(2)   Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam daftar Pemilih.
Pasal 28 :
Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 harus terdaftar Pemilih.
Hak Dipilih dan atau menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden
(UU No.42 Tahun 2008 Pasal 8 – 25)
Selama proses pemilihan umum berlangsung, setiap pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Berhak untuk melakukan Kampanye, selama kampanye dilakukan ada beberapa peraturan dan larangan yang harus di taati oleh para calon Presiden dan Wakil Presiden dan sanksi terhadap pelanggaran larangan kampanye, yaitu sebagai berikut :
(UU No.42 Tahun 2008 Pasal 33 – 46)

Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi dalam penjalanan kenegaraannya, salah satu indikator sebuah negara demokratis atau tidak dan sebagai puncak pelaksanaan demokrasi adalah pemilihan umum. Pemilihan Umum adalah wadah bagi rakyat untuk menentukan arah dan gerak bangsa atau negara dalam peiode yang akan datang, periodesasi setiap kepemimpinan nasioanl dilakukan selama 5 tahun. Setiap 5 tahun rakyat memilih kembali wakilnya di legislatif (DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, DRPD Kabupaten / Kota) dan pemimpinnya di eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden, Gurbenur dan Wakil Gurbenur, Bupati dan Wakil Bupati / Walikota dan Wakil Walikota), rakyat mempunyai hak memilih dan dipilih dalam pemilhan umum. Semua rakyat indonesia mempunyai kesempatan yang sama, selama hak memilihnya tidak dicabut karena peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Beberapa saat yang lalu bangsa kita sudah menjalankan salah satu proses demokrasi melalui pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, dalam proses perjalanan pemilahan umum Presiden dan Wakil Presiden di warnai oleh beberapa pelanggar yang cukup serius. Beberapa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang masih berkuasa melibatkan unsur Pejabat Publik/Pejabat Tata Usaha Negara/Pejabat Negara baik yang ada dalam struktur organisasi pemerintah maupun yang diluar struktur organisasi pemerintah untuk menjadi bagian Tim yang bertujuan mengkampanyekan dan atau memenangkan Beberapa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, banyak Pejabat Publik/Pejabat Tata Usaha Negara/Pejabat Negara seperti Menteri, Menteri Negara, pejabat BUMN yang namanya sebagai berikut2 :
Pasangan SBY-Boediono:
1.    Achdari, Ketua Dewan Pengawas Peruri, yang menjabat Wakil Ketua Dewan Pakar tim kampanye.
2.    Raden Pardede, Komisaris Utama Pengelola Aset, yang menjabat anggota Koordinator Media tim kampanye.
3.    Soeprapto, Komisaris Independen Indosat, yang menjabat Koordinator Bingal/saksi tim kampanye.
4.    May Tamaela, Komisaris Hutama Karya, anggota Bingal/saksi tim kampanye.
5.    Dadi Prajipto, Komisaris Wijaya Karya, anggota Bingal/saksi tim kampanye.
6.    Effendi Rangkuti, Komisaris Kimia Farma, anggota Korwil VI tim kampanye.
7.    Yahya Ombara, Komisaris KA Indonesia, anggota Korwil IV tim kampanye.
8.    Umar Said, Komisaris Pertamina, anggota Dewan Pakar tim kampanye.
9.    Sulatin Umar, Ketua Dewan Pengawas Bulog, anggota Dewan Pakar tim kampanye.
10. Suratto Siswodiharjo, Komisaris angkasa pura II, Ketua Gerakan Pro SBY.
11. Jenderal Pol Purn Sutanto, Komisaris Utama Pertamina, Wakil Ketua Gerakan Pro SBY.
12. Mayjen Sardan Marbun, Komisaris PTPN III, Ketua Tim Romeo.
13. Muhayat, Deputi Menneg BUMN, Ketua Barindo.
14. Aan Sapulete, Komisaris PTPN VII, Ketua Jaringan Nusantara.
15. Harry Sebayang, Komisaris PTPN III, sebagai Jaringan Nusantara.
16. Ardi Arief, Komisaris PT Pos Indonesia, sebagai Jaringan Nusantara.
Pasangan JK-Wiranto:
1.    Tanri Abeng, Komisaris Utama Telkom, sebagai Dewan Penasehat Tim Kampanye JK-Wiranto.
2.    Fadil Hassan, Komisaris PTPN XI, sebagai anggota tim kajian.
3.    Rekson Silaban, Komisaris Jamsostek, sebagai Wakil Koordinator Ngal Pekerja/Tani/Nelayan.
4.    Abdul Razak Maran, Komisaris Pelindo I.
5.    Soemarsono, Komisaris Pertamina, Dewan Pengarah.
Diatas merupakan hanya sebagian nama-nama Pejabat Publik/Pejabat Tata Usaha Negara/Pejabat Negara/Pejabat Negeri yang menjadi bagian dari tim sukses atau tim kampanye dari beberapa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, mungkin masih banyak lagi Pejabat Publik/Pejabat Tata Usaha Negara/Pejabat Negara yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung menjadi bagian tim kampanye pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Seharusnya para Pejabat Publik/Pejabat Tata Usaha Negara/Pejabat Negara/Pejabat Negeri bersikap netral pada saat pemilihan umum berlangsung baik pemilihan umum legislatif maupun pemilihan umum eksekutif, hal tersebut sudah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Pasal 3 yang bunyinya sebagai berikut :
(1)   Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan.
(2)   Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negei harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam  memberikan pelayanan kepada masyarakat.
(3) Untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik
 Bahkan pelarangan pengikut sertakan Pejabat Publik/Pejabat Tata Usaha Negara/Pejabat Negara/Pejabat Negeri dipertegas pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Pasal 41 Ayat 2-5 dan Pasal 44 serta Pasal 45, yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 41
(2)   Pelaksana Kampanye dalam kegiatan Kampanye dilarang mengikutsertakan:
a.     Ketua, Wakil Ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung, dan hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi;
b.    Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
c.     Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia;
d.    pejabat badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah;
e.     pegawai negeri sipil;
f.     anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
g.    kepala desa;
h.    perangkat desa;
i.     anggota badan permusyaratan desa; dan
j.     Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih.
(3)   Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf i dilarang ikut serta sebagai pelaksana Kampanye.
(4)   Sebagai peserta Kampanye, pegawai negeri sipil dilarang menggunakan atribut Partai Politik, Pasangan Calon, atau atribut pegawai negeri sipil.
(5)   Sebagai peserta Kampanye, pegawai negeri sipil dilarang mengerahkan pegawai negeri sipil di lingkungan kerjanya dan dilarang menggunakan fasilitas negara.
Pasal 44
(1)   Pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta pegawai negeri lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap Pasangan Calon yang menjadi peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebelum, selama, dan sesudah masa Kampanye.
(2)   Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada pegawai negeri dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Pasal 45
Pelanggaran atas larangan pelaksanaan Kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) merupakan tindak pidana Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Setiap Pejabat Publik/Pejabat Tata Usaha Negara/Pejabat Negara/Pejabat Negeri yang ingin ikut serta dalam kampanye yang dilakukan pada saat pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden harus mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 (Pasal 42), yang isinya sebagai berikut :
 (1) Kampanye yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota harus memenuhi ketentuan:
a.     tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan; dan
b.    menjalani cuti Kampanye.
(2)   Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai keikutsertaan pejabat negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan KPU.
Ketika terjadi pelanggaran terhadap pemilahan umum Presiden dan Wakil Presiden, pemerintah harus bertindak tegas bagi Pejabat Publik/Pejabat Tata Usaha Negara/Pejabat Negara/Pejabat Negeri yang terlibat dalam kampanye pemilihan umum tersebut. Tapi pelanggaran yang dilakukan harus berdasarkan bukti yang jelas, dan telah mendapatkan laporan dan rekomendasi dari Komisi Pemilihan Umum. Proses pelanggaran pada saat pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilakukan pendataan oleh Bawaslu yang kemudian direkomendasikan kepada KPU untuk ditindak lanjuti kepada pemerintah melalui Badan Kepegawaian Daerah apabila pelanggaran terjadi di daerah, dan langsung ke Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara bagi pejabat negara yang ada di pemerintahan pusat serta langsung dilaporkan kepolisi apabila perbuatan dari pelanggaran yang terjadi terdapat unsur pidana. Untuk pelanggaran yang dilaporkan ke Badan Kepegawaian Daerah dan atau Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, maka akan diberikan sanksi sesuai dengan tingkat kesalahan atau pelanggarannya. Sedangkan untuk Pejabat Publik/Pejabat Tata Usaha Negara/Pejabat Negara/Pejabat Negeri yang melakukan pelanggaran yang mengandung unsur pidana, maka akan di tindak lanjuti oleh polisi dan proses peradilan umum sesuai dengan kesalahan yang dilakukan.
 Permasalahan mendasar dari permasalahan pelanggaran pemilihan umum yang dilakukan oleh Pejabat Publik/Pejabat Tata Usaha Negara/Pejabat Negara/Pejabat Negeri adalah keseriusan pemerintah untuk menindak lanjutinya, terutama calon Presiden dan Wakil Presiden yang bagian dari penguasa dan atau yang sedang memimpin pemerintahan. Karena pelanggaran yang terjadi dilakukan oleh pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang sedang berkuasa, serta menjadi bagian dari kepentingan politik yang tersusun rapih.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Philipus M.Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Presss, Yogyakarta 1994.
SF.Marbun dan Moh. Mahfu MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta 1987.
ELEKTRONIK :
www.kompas.com, kamis 18 juni 2009 yang diakses pada jam 20:00 WIB
http://www.bawaslu.go.id/ProfilBawaslu/SekilasBadanPengawasPemilu/tabid/65/Default.aspx. Last Access: 20th July. 02.45 P.M
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
Undang-Undang Dasar Negara  Republik Indonesia 1945
Undang-Undang No.43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Hukum Milik Negara
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
Undang–Undang No.22 Tahun 2007 tentang penyelenggara Pemilihan Umum
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden



[2] Inilah.com, Tgl 24 November 2009, Pkl 09.00
[3] Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Ciawi, 2004, hlm. 25
[4] Ibid, hlm. 26-27
1 http://www.bawaslu.go.id/ProfilBawaslu/SekilasBadanPengawasPemilu/tabid/65/Default.aspx. Last Access: 20th July. 02.45 P.M
2  data didapatkan dari www.kompas.com, kamis 18 juni 2009 yang diakses pada jam 20:00 WIB
Read more...