AKU TIDAK TAKUT SENDIRI. TUHAN PUN JUGA SENDIRI. DAN DIA MENJADI YANG MAHA KUAT KARENA ITU (SOE HOK GIE)

Senin, 09 Mei 2011

KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP KEBEBASAN MENGEMUKAKAN PENDAPAT DIMUKA UMUM DALAM UU NO.9 TAHUN 1998


copyright //http.kedungmutihsatu.files.wordpress.com
BAB I
PENDAHULUAN

1.      LATAR BELAKANG MASALAH

Pendapat secara umum diartikan sebagai buah gagasan atau buah pikiran. Mengemukakan pendapat berarti mengemukakan gagasan atau mengeluarkan pikiran. Dalam kehidupan negara Indonesia, seseorang yang mengemukakan pendapatnya atau mengeluarkan pikirannya dijamin secara konstitusional. Hal itu dinyatakan dalam UUD 1945, Pasal 28, bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.[1]
Lebih lanjut pengertian pengertian kemerdekaan mengemukakan pendapat dinyatakan dalam Pasal 1 (1) UU No. 9 Tahun 1998, bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang yang mengatur kemerdekaan mengemukakan pendapat antara lain diatur dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Pengertian dimuka umum adalah di hadapan orang banyak atau orang lain, termasuk tempat yang dapat didatangi dan/atau dilihat setiap orang. Mengemukakan pendapat di muka umum berarti menyampaikan pendapat di hadapan orang banyak atau orang lain, termasuk tempat yang dapat didatangi dan/atau dilihat setiap orang. Dasar pertimbangan tentang perlunya kemerdekaan mengemukakan pendapat di Indonesia adalah :
1)      Kemerdekaan mengemukan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945 dan Deklarasi Universal HAM.
2)      Kemerdekaan setiap warga negara untuk mengemukakan pendapat di muka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3)      Hak mengemukakan pendapat di muka umum dilaksanakan secara bertangung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan kemerdekaan mengemukakan pendapat menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran, baik secara lisan, tulisan dan sebagainya. Penyampaian pikiran/ pendapat dilakukan secara :
  1. Lisan seperti pidato, dialog dan diskusi
  2. Tulisan seperti surat kabar, gambar, pamflet, poster, brosur, selebaran dan spanduk
  3. Atau dengan cara lain seperti tutup mulut, demonstrasi atau mogok makanSebagaimana dijelaskan setelah menerima surat pemberitahuan, POLRI wajib:
  4. Segera memberikan surat tanda terima pemberitahuan
  5. Berkoordinasi dengan penanggung jawab penyampaian pendapat di muka umum
  6. Berkoordinasi dengan pemimpin instansi/lembaga yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat
  7. Bertanggung jawab memberitahukan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat.
2.      RUMUSAN MASALAH
1)      Apakah kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum dapat dikriminalisasi?
2)      Apakah pasal-pasal didalam UU no. 9 tahun 1998 dapat dikatakan tindakan kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat?

BAB II
PEMBAHASAN

Kriminalisasi terhadap “Freedom of Opinion”
Dalam tataran sistem tata negara yang mengakui eksistensi demokrasi, suatu kebebasan berpendapat merupakan suatu syarat yang tak dapat dihindari lagi. Namun demikian, pendekatan demokratis terhadap kebebasan berpendapat tersebut tetap tidak diartikan sebagai pendekatan yang absolut. Apapun formulasi kebebasan yang bermakna absolut justru akan membahayakan kebebasan itu sendiri, karena itu kebebasan itu seringkali memberikan makna-makna pembatasan, meskipun pembatasan itu tidak dalam konteks meniadakan, tetapi sekedar memberikan makna kebebasan secara adequat, yaitu mencari kesimbangan antara kebebasan dengan perlindungan terhadap individu, masyarakat (termasuk keluarga) dan Negara, suatu “balances of freedom and protection”. [2] Sedangkan Gaventa dan Valderama mengkategorisasikan tiga tradisi partisipasi terutama bila dikaitkan dengan praksis pembangunan masyarakat yang demokratis yaitu: partisipasi politik, partisipasi sosial, dan partisipasi warga.1 (Gaventa dan Valderama, 1999).[3]
Kebebasan yang adequat ini mengingatkan kita semua pada makna kebebasan pers di negara-negara Eropa Barat. Antara kebebasan pers dengan kebebasan berpendapat memiliki persamaan makna, yaitu sutau kebebasan yang berimbang antara kepentingan insividu, masyarakat dan negara . Convention on the Freedom of Information tahun 1985 di Roma memberikan batasan sebagai rambu-rambu terhadap kebebasan pers, yaitu apabila pemberitaan pers yang secara substansiel memuat:[4]
a.       National security and public order (keamanan nasional dan ketertiban umum);
b.      Expression to war or to national, racial or religious hatred (pemidanaan terhadap hasutan untuk menimbulkan kebencian ras atau agama);
c.       Incitement to violence and crime (hasutan untuk melakukan kekerasan dan kejahatan);
d.      Attacks on founders of religion (serangan terhadap pendiri agama yang menimbulkan pelanggaran terhadap delik “blasphemy”);
e.       Public health and moral (kesehatan dan moral);
f.       Rights, honour and reputation of others (hak-hak, kehormatan dan nama baik seseorang, yang umumnya memuat “delik penghinaan”);
g.      Fair administration of justice (umumnya menyangkut delik-delik yang bersangkutan dengan pengadilan kemudian merupakan suatu bentuk dari “countempt of court”) .
Sementara ini ada pendapat yang mengkui relevansi antara gugatan berdasarkan Pasal 1372 KUHPerdata dengan Pasal 310 KUHPidana, meskipun quad-non, pendapat tersebut tidaklah tepat. Namun demikian, apabila benar ada relevansinya, Penulis menganggap perlu menanggapi hal tersebut berdasarkan alasan tersebut di bawah ini.
Secara eksplisit, gugatan perdata berdasarkan Pasal 1372 KUHPerdata tidak dapat diartikan mengikuti persyaratan substansiel dari unsur 310 KUHPidana (“penghinaan”), karenanya tidak terdapat keterkaitan normatif antara kedua ketentuan tersebut, artinya gugatan perdata tentang penghinaan (Pasal 1372 KUHperdata) tidaklah harus menunggu putusan pidana tentang “penghinaan” (Pasal 310 KUHPidana) .
Namun, apabila suatu gugatan mengajukan tuntutan adanya perbuatan fitnah, maka implisitas keterkaitan ini hanya tertuju pada Pasal 311 KUHPidana tentang “beban pembalikan pembuktian” atau “The Reversal Burden of Proof” (“Omkering van de Bewijslast”), artinya apabila hakim menghendaki, maka Terdakwa wajib membuktikan apa yang dituduhkan (kepada pelapor) adalah benar. Dalam hal Terdakwa tidak berkehendak membuktikan tuduhan tersebut meskipun Hakim menghendakinya, maka ia (Terdakwa) melakukan perbuatan “fitnah” menurut Hukum Pidana. Jadi, sebenarnya yang harus dipertimbangkan dan diperiksa untuk institusi yudikatif adalah: apakah substansiel yang diberitakan itu mengandung kebenaran ataukah tidak, dan bukan mengenai artian gramatikal dari substansi tulisan dan gambar yang tidak ada relevansinya dengan makna kebebasan per situ sendiri.[5]
MENGENAI UU NO.9 tahun 1998
Lahirnya UU no 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum kemudian menjadi perdebatan karena di anggap mengebiri kebebasan berekspresi masyarakat dalam hal menyampaikan pendapatnya.
Ini menjadi hal yang wajar karena hal tersebut dapat membatasi masyarakat termasuk mahasiswa dalam melakukan pengawasan dan kontrol terhadap kerja lembaga-lembaga politik yang ada di Negara ini. Mengingat lembaga-lembaga politik yang ada belum secara maksimal bekerja sesuai amanah yang di berikan melainkan berjalan hanya dengan logika kepentingan pribadi maupun golongan.
Permasalahan kedua yang muncul dari UU ini adalah semakin kuatnya posisi Negara terhadap masyarakat. Hal tersebut akan tambah menyulitkan rakyat dalam mengekspresikan partisipasinya dalam  hal pengawalan dan pengawasan proses dari sistem politik. Dominasi ini menjadi sebuah ketakutan mengingat pemerintah memiliki alat Negara yang dapat di gerakkan untuk menguatkan dominasinya tersebut. padahal dalam prinsipnya kekuatan masyarakat harus dapat mengimbangi kekuatan Negara agar pengawalan dan pengawasan yang dilakukan bisa maksimal.

Study Kritis terhadap pasal-pasal dalam UU no.9 tahun 1998
Pasal 7
Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di rnuka umurn oleh warga negara. aparatur pernerintah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
a.       melindungi hak asasi manusia;
b.      menghargai asas legalitas;
c.       menghargai prinsjp praduga tidak bersalah; dan
d.      menyelenggarakan pengamanan.
Dalam hal ini polisi seringkali bertindak refresif, sehinggal nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya dijunjung oleh aparat keamanan (polisi) tidak tersentuh, padahal indonesia merupakan salah satu penandatanga (telah meratifikasi) konvensi anti penyiksaan. Disisi lain para polisi juga sering menagkap dan bersikaf tangkap ditempat, tanpa ada proses penyidikan terlebih dahulu tentang tindak pidana apa yang telah di lakukan oleh para denmostran (presumtion of inocence/ asas praduga tak bersalah), dalam pengamanan para aparat kepolisian seringkali bersikaf acuh dengan tuntutan dan tujuan para demonstran. Padahal tentang pengaman ini para aparat kepolisian telah ditugasi seperti dalam Peraturan kapolri no 9 tahun 2008 tentang tata cara penyelenggaraan pelayanan pengamanan dan penanganan perkara pengemukakan pendfapat dimuka umum.
  
DAFTAR PUSTAKA
____Oemar Seno Adji. Perkembangan Delik Pers di Indonesia. Penerbit : Erlangga. 1991
____John Gaventa dan Camilo Valderama: Partisipasi, Kewargaan, dan Pemerintah Daerah, sebagai pengantar buku Mewujudan Partisipasi: Teknik Partisipasi Masyarakat untuk Abad 21, The British Council dan New Economics Foundation, 2001.
____Makalah berjudul “ Libel Sebagai Kriminalisasi Kebebasan Berpendapat” Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H


[1]Lihat UUD 1945 Amandemen ke-IV
[2]Makalah berjudul “ Libel Sebagai Kriminalisasi Kebebasan Berpendapat” ini Disampaikan pada Focus Group Discussion dengan Tema : “Mencermati Penerapan Ketentuan Mengenai Pencemaran Nama Baik Dalam UU Informasi & Transaksi Elektronik (ITE)” pada tanggal 7 Juli 2009 hari Selasa, jam : 09.45-11.45 WIB, di Auditorium BPHN, Jalan Mayjend Sutoyo No. 10 Cililitan, Jakarta Timur.
[3]Lihat Pembahasan John Gaventa dan Camilo Valderama: Partisipasi, Kewargaan, dan Pemerintah Daerah, sebagai pengantar buku Mewujudan Partisipasi: Teknik Partisipasi Masyarakat untuk Abad 21, yang diterbitkan oleh The British Council dan New Economics Foundation, 2001.
[4]Oemar Seno Adji. Perkembangan Delik Pers di Indonesia. Penerbit : Erlangga. 1991, halaman 35.
[5]Selain itu, apabila terdapat pendapat soal kaitan antara Pasal 1372 KUHPerdata dengan Pasal 310 KUHPidana, maka memang secara tidak langsung perkara ini berkaitan dengan Verspeidingdelict (delik penyiaran), yaitu delik penistaan/pencemaran sebagai bagian umum dari kelompok delik “penghinaan” yang dalam sistem Anglo Saxon dikenal sebagai kelompok Libel” yang tertuang dalam bentuk pernyataan tertulis, tercetak atau dalam bentuk permanen lainnya, selain itu terdapat bentuk Slander” yang tertuang dalam bentuk ucapan-ucapan lisan. Baik “Libel” maupun “Slander merupakan “defamatory statement”, yaitu suatu bentuk pernyataan-pernyataan mengenai suatu (orang) dan yang membawa orang tersebut dalam apa yang kemudian disebut sebagai kebencian (“hatred”), ejekan/cemoohan (“ridicule”) ataupun penghinaan (“contempt”). Joseph Dean & Philip Wittenburg. Dangerous Words : “A Guide To The Law of Libel”, page 3,9.