Copyright of http://1.bp.blogspot.com
Sekalipun demikian, polisi tetap kukuh untuk memburu Adelin. Selain masih terkait dengan kasus pembalakan liar, dia juga dituduh melakukan pencucian uang sebesar Rp1,7 miliar di Bank BNI 46, Medan. Tak tanggung-tanggung delapan Kepolisian Daerah (Polda) di Indonesia ditebar untuk mengejarnya. Selain memasukan nama lelaki asal Medan itu, dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), pemerintah melalui Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephuk dan HAM) menerbitan surat pencekalan yang berlaku selama satu tahun, sejak 7 November 2007.
Disisi lain Interpol Indonesia juga memfokuskan pencarian Adelin Lis sesuai dengan sejarah tertangkapnya yakni, Hongkong, China dan Singapura. Di mana negara tersebut secara khusus diamati Interpol. "Kita awali pengamatan di mana dia tertangkap sebelumnya. Yakni di China," ujar Sekretaris National Central Bureau Interpol Indonesia Brigjen Iskandar Hassan. Iskandar menjelaskan kedua negara lainnya, Hongkong dan Singapura menjadi fokus perhatian Interpol. Sebab di dua negara tersebut, tersangka kasus pencucian uang yang juga Direktur PT Rimba Mujur Mahkota (RMM) itu, pernah beberapa kali singgah.
Hingga kini, menurut Iskandar, dari 182 negara yang dikirimkan red notice, belum satu pun yang memberikan respon yang menyebutkan keberadaan Adelin Lis. "Kita tunggu saja respon dari negara anggota Interpol. Kita bekerja sesuai dengan prosedur yang ada," tutur Iskandar.
Hingga kini, menurut Iskandar, dari 182 negara yang dikirimkan red notice, belum satu pun yang memberikan respon yang menyebutkan keberadaan Adelin Lis. "Kita tunggu saja respon dari negara anggota Interpol. Kita bekerja sesuai dengan prosedur yang ada," tutur Iskandar.
Kembali ke persoalan aliran dana di bank plat merah itu, polisi menemukan dana Rp1,7 miliar atas nama Adelin Lis. Untuk membongkar kasus pencucian uang dan kredit macet Adelin Lis yang baru dibebaskan Pengadilan Negeri Medan itu. Mabes Polri menurunkan tiga tim. Tim itu ditugasi untuk menyelidiki kasus kredit macet pembangunan perkebunan kelapa sawit dan pabrik kelapa sawit PT Rimba Mujur Mahkota (RMM), yang kini BAP-nya belum lengkap[1].
ANALISIS
Penulis menganalisis dengan segegnap pengetahuan penulis tentang kasus ini. Dan penulis akan memulai dengan mengkritisi dakwaan yang di ajukan oleh jaksa penuntut umum pada waktu sebelum terdakwa/DPO bebas dan kabur keluar negeri. Seharusnya Jaksa Penuntut Umum menjerat terdakwa dengan dakwaan kumulatif, yakni illegal logging, penggelapan dan tindak pidana pencucian uang.
I. Tentang tindak pidana asal yang dilakukan oleh tersangka
1. Illegal logging yaitu pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) huruf a, b, e, f, h Undang-Undang No. 41 tahun 1999.
Ini adalah tindak pidana yang dahulunya didakwakan oleh penuntut umum pada tahun 2007. Yang dimana hasilnya ialah terdakwa dinyatakan bebas dari segala tuntutan dan dibebaskan dari tahanan di Medan. Sumatera utara. Pada waktu itu Jaksa menuntut Adelin hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Adelin juga diharuskan mengganti uang pengelolaan sumber daya alam Rp 119,8 miliar dan dana reboisasi US$ 2,9 juta.
Dimana pda waktu itu negara dirugikan ratusan triliun dan pemerintah daerah setempat dirugikan karena tersangka tidak membayar uang pajak untuk Reboisasi. Kurang lebih pemda dirugikan Rp.119 Miliar. Dan pusat dirugikan karena pembalakan liar yang dilakukan oleh tersangka. Kurang lebih negara dirugikan Rp. 110 Triliun.
2. Penggelapan, yaitu pasal 374 jo pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Dalam hal ini terdakwa/DPO adelin lis juga tercatat telah melakukan tindak pidana penggelapan bersama-sama tersangka lainnya (kredit macet) yang juga masih keluarga terdakwa yang memegang dibeberapa perusahaan, yakni PT Mujur Timber & Co., PT Sibolga Marina Poncan, Wisata Indah Hotel, PT Inanta Timber, PT Keang Nam Development, dan PT Gunung Raya Utama Timber Industries. Ini terjadi ketika BNI 46 cabang Medan menggelontorkan milliaran rupiah, dan juga adelin lis mempunyai uang di BNI 46 cab. Medan sebesar Rp. 1,7 Miliar yang diduga hasil pencucian uang dari tindak pidana illegal logging.
3. Pencucian Uang UU No. 25 Tahun 2003 perubahan atas UU no 15 tahun 2002.
Pasal 1 angka 1 UU No. 25 Tahun 2003, mendefinisikan Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan,membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan,membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana denganmaksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul HartaKekayaan sehingga seolah-seolah menjadi Harta Kekayaan yang sah..[2]
Pendefinisian di atas mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a. Pelaku;
b. Transaksi keuangan atau alat keuangan atau finansial untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah;
c. Merupakan hasil tindak pidana.
v Dapat didakwa dengan pasal 3 UU no 25 tahun 2003.
Unsur obyektif (actus reus) dari Pasal 3 sangat luas dan karena merupakan inti delik maka harus dibuktikan. Unsur obyektif tersebut terdiri dari menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negari, menukarkan atau perbuatan lain atas harta kekayaan (yang diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan).
Sedangkan unsur subyektifnya (mens rea) yang juga merupakan inti delik adalah sengaja, mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta tersebut.
Unsur-unsur ini telah bisa menjerat terdakwa dengan tuduhan tindak idana pencucian uang, dan biarkan terdakwa sendiri yang membuktikan bahwa hartanya bukan hasil dari suatu kejahatan, dan disitu nantinya akan terrungkap jika terdakwa tidak bisa membuktikan maka dakwaan illegal logging dan penggelapan akan masuk dengan kaitannya dengan harta yang dimaksudkan.
II. Tentang Locus delicti, Tempus Delicti, yuridiksi Kriminal dalam kejahatan transnasional dan ektradisi Adelin Lis
Menurut teori, ada dua aliran tentang tempus delicti , yaitu[3]:
1. Aliran yang menentukan disuatu tempat, yaitu tempat dimana tedakwa berbuat;
2. Aliran yang menentukan dibeberapa tempat, yaitu mungkin tempat kelakuan, dan mungkin pula tempat akibat.
Aliran pertama dianut oleh Pompe dn aliran kedua dianut oleh simons. Dan prof moeljatnopun sependapat dengan aliran kedua.[4]
Tentang yurisdiksi kriminal
Adelin lis walaupun kabur dan saat ini belum ditemukan, akan tetapi bilamana ditangkap dimanapun (enatah di hongkon. China. Singapura, malaysia dsb) aparat penegak hukum masih dapat membawa pulang dan diadili diindonesia dengan menggunakan teori yurisdiksi subyektif atau yurisdiksi obyektif. (tentunya dengan terlebih dahulu mengajukan ektradisi kepada negara yang bersangkutan)
Dalam hukum pidana internasional telah diakuai doktrin menegenai teori perluasan yurisdiksi kriminal yang bersifat obyektif (subjective territorial jurisdiction) dan bersifat obyektif (objective territorial jurisdiction).[5] Terori perluasan yuridiksi kriminal berasal dan berkembang karena praktikum hukum kebiasaan internasional. Praktek perluasan yurisdiksi kriminal subyektif membolehkan suatu negara memberlakukan yurisdiksi kriminal terhadap kejahatan yang terjadi didalam batas teritorial negara lain. Dan praktek perluasan yurisdiksi kriminal yang onyektif membolehkan yurisdiksi negara terhadap kejahatan yang diselesaikan didalam batas wilayah negara yang bersangkutan meskipun persiapan dan perencanaannya tidak dimulai dilakukan dinegara yang bersangkutan.
Tentang ektradisi adelin Lis
Banyak para pakar hukum mengemukakan pendapat mengenai ekstradisi diantaranya,
L. Oppenheim menyatakan pengertian ekstradisi merupakan:
“Extradition is the delivery of an accused or convicted individual to the state on whose territory he is alleged to have commited, or to have been convicted of, acrime by the state on whose territory the alleged criminal happens for the time to be”[6].
(Ekstradisi ialah suatu penyerahan si tertuduh atau terhukum kepada suatu negara, tentang kejahatan yang dituduhkan di wilayah yang dilakukan pada saat kejadian tersebut).
J.G. Starke, menyatakan sebagai berikut:
“Istilah ekstradisi menunjuk kepada proses di mana berdasarkan traktat atau atas dasar resiprositas suatu negara untuk menyerahkan kepada negara lain atas permintaanya seseorang yang dituduh atau dihukum karena melakukan tindak kejahatan yang dilakukan terhadap hukum negara yang mengajukan permintaan, negara yang meminta ekstradisi memiliki kompetensi untuk mengadili tertuduh pelaku tindak pidana tersebut”[7].
Menurut M. Budiarto,
“Ekstradisi ialah suatu proses penyerahan tersangka atau terpidana karena telah melakukan kejahatan yang dilakukan secara formal oleh suatu negara kepada negara lain yang berwenang memeriksa dan mengadili pelaku kejahatan tersebut”.[8] dan ada beberapa definisi-definisi lain.
Indonesia sebagai sebuah negara yang patuh terhadap hukum internasional tentu saja tidak bisa secara langsung menangkap para penjahat tersebut. Indonesia harus mengikuti prosedur hukum tertentu karena penjahat yang bersangkutan telah berada di luar wilayah territorial dan yuridiksinya. Berada di luar wilaya yuridiksi berarti berada di luar wilayah cakupan wewenang/kekuasaan hukumnya (suryokusumo,2007:239). Oleh karena itu Indonesia perlu mencari cara yang diakui secara internasional untuk dapat menangkap dan mengadili penjahat tersebut di dalam negeri[9].
Salah satu cara yang harus ditempuh Indonesia adalah mengadakan perjanjian internasional baik bilateral maupun multilateral dengan negara-negara tempat para penjahat tersebut bersembunyi. Adapun perjanjian tersebut tidak begitu saja berlaku tanpa adanya ratifikasi untuk menjamin kepastian hukumnya (Abdussalam,2006:1). Atas dasar perjanjian tersebut barulah Indonesia bisa menangani kasus pidana (pelaku kejahatan) yang berada di luar wilayah yuridiksinya. Dalam hal ini sering disebut ektradisi.
Di Indonesia, ketentuan mengenai ekstradisi telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1979. Sejauh ini, Indonesia telah melakukan perjanjian ekstradisi dengan tujuh negara. Negara-negara tersebut antara lain Malaysia, Philipina, Thailand, Australia, Hongkong, Korea Selatan dan Singapura[10]. Adapun perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura baru ditandatangani pada 27 April 2007 di Istana Tampangsiring Bali yang menyepakati penanganan terhadap 31 jenis kejahatan termasuk korupsi dan terorisme. Dan dalam kasus ini diduga pelaku melarikan diri ke negara China.
Akan tetapi Apabila hubungan kedua negara yang semula bersahabat berubah menjadi permusuhan, maka kerja sama saling menyerahkan penjahat pelarian bisa berubah menjadi saling melindungi penjahat pelarian. Di samping itu pula praktek-praktek penyerahan penjahat pelarian belum didasarkan atas keinginan untuk bekerja sama dalam mencegah dan memberantas kejahatan[11]. Hal ini mengingat kehidupan masyarakat umat manusia pada jaman kuno masih jauh lebih sederhana jika dibandingkan dengan masyarakat sekarang ini. Kemajuan-kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta berkembangnya pemikiran-pemikiran baru dalam bidang politik, ketatanegaraan dan kemanusiaan turut pula memberikan warna tersendiri pada ekstradisi ini[12].
Dalam kasus ini berarti pemerintah indonesia harus dengan bersungguh-sungguh mengadakan perjanjian dengan pemerintah china (adelin lis) diduga melarikan diri keasana, akan tetapi jika itu tidak dilakukan maka nselamanya adelin lis tidak akan bisa diadili di indonesia.
III. Tentang perbuatan melawan hukumnya adelin Lis
Menurut Prof. Moeljatno, SH. Dalam bukunya Sifat Melawan Hukumnya Perbuatan Pidana adalah sebagai berikut, ”ada dua pendapat, yaitu pertama, apabila perbuatan tersebut telah mencocoki larangan undang-undang, maka disitu ada kekeliruan. Letak melawan hukunya perbuatan sudah ternyata, dari sifat pelanggarannya ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Pendirian demikian dinamakan pendirian yang formil atau ajaran melawan hukum yang formil. Kedua, berpendapat bahwa kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-udang belum tentu bersifat melawan hukum. Menurut mereka, yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja karena disamping undang-undang (hukum yang tertulis), ada pula hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat. Pendirian ini dinamakan pendirian yang materiel atau ajaran melawan hukum yang materiel[13].”
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH. Dalam bukunya mengatakan sebagai berikut, ”oenrecthmatigheid ini juga dinamakan wederrechtlijkheid yang berarti sama. Akan tetapi, dengan nama wederrechtlijkheid ini, adakalanya unsur ini secara tegas disebutkan dalam perumusan ketentuan hukum pidana.” seperti dikatakan HR. Nederland tahun 1919, yang terkenal dengan nama Lindenbaum-Cohen Arrest mengenai perkara perdata, bahwa, ”perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige) bukan saja perbuatan yang bertentangan dengan wet tetapi juga perbuatan yang dipandang tidak patut dalam pergaulan masyarakat.”
Jadi, perbuatan melanggar hukum untuk perkara perdata juga berlaku untuk perkara pidana, tetapi istilah perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) ditujukan untuk kasus perdata, sedangkan istilah melawan hukum (wederrechtlijkheid) ditujukan untuk kasus pidana. Dengan demikian, akibat dari perbuatan melanggar hukum dalam masalah perdata itu sanksinya harus mengganti kerugian, sedangkan akibat dari perbuatan melanggar hukum dalam masalah pidana itu, sanksinya harus menerima hukuman (mati, penjara, kurungan, denda) sesuai dengan berat atau ringannya masalah.
Jadi, perbuatan melanggar hukum untuk perkara perdata juga berlaku untuk perkara pidana, tetapi istilah perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) ditujukan untuk kasus perdata, sedangkan istilah melawan hukum (wederrechtlijkheid) ditujukan untuk kasus pidana. Dengan demikian, akibat dari perbuatan melanggar hukum dalam masalah perdata itu sanksinya harus mengganti kerugian, sedangkan akibat dari perbuatan melanggar hukum dalam masalah pidana itu, sanksinya harus menerima hukuman (mati, penjara, kurungan, denda) sesuai dengan berat atau ringannya masalah.
Menurut hal ditas, penulis lebih sepakat dengan pernyataannya Prof. Moeljatno. Akan tetapi dalam kasus adelin, dugaan siafat melawan hukumnya belum jelas, karena polisi belum menentgukan pelanggaran pencucian uang yang seperti apa. Karena unsur-unsur diatas tidak ada yang terbukti dilakukan oleh adelin lis.
IV. Merupakan hasil tindak pidana
Penyebutan tindak pidana pencucian uang salah satunya harus memenuhi unsur adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2003, dimana perbuatan melawan hukum tersebut terjadi karena pelaku melakukan tindakan pengelolaan atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. Pengertian hasil tindak
pidana dinyatakan pada Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2003 yang telah mengubah UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang dalam pembuktian nantinya hasil tindakan pidana akan merupakan unsur-unsur delik yang harus dibuktikan. Pembuktian apakah benar harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana adalah dengan membuktikan ada atau terjadi tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan tersebut, pembuktian disini bukan untuk membuktikan apakah benar telah terjadi tindak pidana asal (predicate crime) yang menghasilkan harta kekayaan. Apabila digambarkan maka unsur-unsur pokok pencucian uang adalah sebagai berikut :[14]
PelakuèPerbuatan Melawan Hukum(hasil tindak pidana)è menjadi Transaksi Keuangan LEGAL
Penulis mengemukanan pendapat sebagai berikut:
1. Adelin lis benar melakukan tindak pidana di BNI 46 cab,medan
2. Aelin lis pergi/melarikan diri ke luar negari;
3. Adelin lis belum terbukti melakukan transaksi di luar negeri dengan uanganya.
Menurut hal ditas, semua yang ada dalam kasus ini harus di kumpulkan dahulu bukti-buktinya.
Hukum acara (Pembuktian Terbalik)
Dalam pembuktian terbalik beban pembuktian ada pada terdakwa. Dalam tindak pidana pencucian uang yang harus dibuktikan adalah asal-usul harta kekayaan yang bukan berasal dari tindak pidana, misalnya bukan berasal dari korupsi, kejahatan narkotikan serta perbuatan haram lainnya. Pembuktian terbalik bukan untuk membuktikan perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa, melainkan tujuannya adalah untuk menyita harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana jadi bukan untuk menghukum pelaku tindak pidana.
Dalam Pasal 35 UU No 25 Tahun 2003 diatur tentang pembuktian terbalik dengan rumusan bahwa
”Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”.[15]
Dalam ketentuan ini memang tidak jelas pembuktian ini apakah dalam konteks pidana untuk menghukum orang yang bersangkutan atau untuk menyita harta kekayaan yang bersangkutan. Hukum acara yang mengatur pembuktian terbalik ini pun belum ada, sehingga dalam pelaksanaannya menimbulkan kesulitan, seperti yang terjadi dalam persidangan Adrian Herling Woworuntu di PN Jakarta Selatan yang dituduh dengan dakwaan korupsi atau tindak pidana pencucian uang.
Jika pembuktian terbalik dilakukan untuk menghukum terdakwa, ini jelas bertentangan dengan beberapa asas hukum pidana di Indonesia yaitu asas praduga tak bersalah (Presumption of innocence) dan non-self incrimination. Asas praduga tak bersalah telah lama dikenal dalam hukum di Indonesia, yang sekarang diatur dalam Pasal 8 UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 18 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Asas ini intinya menyatakan setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut karena disangka melakukan tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam sidang pengadilan. Sementara itu asas non-self incrimination ditemui dalam praktik dan dalam peraturan tertulis di Indonesia seperti dalam UU, tentang Hak Asasi Manusia.
Asas non- self incrimination dalam sistem hukum common – law dikenal dengan istilah the privilege against self incrimination, yaitu seseorang tidak dapat dituntut secara pidana atas dasar keterangan yang diberikannya atau dokumen yang ditunjukkannya. Sebagai konsekuensi tersangka atau terdakwa dapat diam dan tidak menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Asas ini berjalan dengan baik di negara yang menganut sistem hukum common law, akan tetapi di Indonesia apabila terdakwa tidak menjawab pertanyaan yang diajukan, maka hal tersebut dianggap menyulitkan jalannya persidangan hingga dapat memperberat hukum nantinya. Karenanya terdapat kecenderungan terdakwa akan menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hingga pada akhirnya tidak merugikan dirinya[16].
KESIMPULAN
Bahwa jaksa penuntut umum telah melakukan kelalaian yang meyebabkan terdakkwa adelin Lis dapat bebas dari segala tuntutan (bebas demi hukum), yang seharusnya menurut penulis dakwaan yang harus didakwakan kepada terdakwa adelin lis adalah dakwaan yang bersifat kumulatif. Atau setidak-tidaknya alternatif dan harus ada dakwaan tentang tindak pidana pencucian uang. Bahwa tentang terdakwa yang lari keluar negari, aparat penegak hukum bersama interpol harus selalu berkomunikasi tentang keberadaan tersangka. Itupun di lindungi dengan adanya yurisdiksi subyektif dan yurisdiksi obyektif.
Semua unsur-unsur tindak pidana pencucian uang yang dituduhkan kepada tersangka tergantung dari pembuktian dari tersangka tentang asal-muasal harta kekayaannya. Penegakan hukum terhadap kasus dugaan pencucian uang sampai saat ini relatif sedikit yang sampai di pengadilan. Dari sisi penegak hukum Indonesia masih banyak menghadapi kendala, misalnya antara PPATK dan Kepolisian nampaknya belum bisa berkerja secara simultan. Dalam praktek di lapangan sering terjadi ketidakharmonisan dalam menjalankan masing-masing peran sehingga dapat merugikan penegakan UUTPPU itu sendiri. Misalnya belum ada kesamaan persepsi antara PPATK dan polisi tentang transaksi yang mencurigakan, kemudian antara polisi dan jaksapun nampaknya masih muncul persepsi yang berbeda sehubungan dengan telah terjadinya pencucian uang. Sebagai contoh adalah suatu perkara tersebut sudah cukup bukti namun jaksa memandang tidak cukup bukti. Dengan demikian kendala terbesar nampaknya muncul dari sudut pembuktian yang harus dilakukan olehjaksa.[1] Http//vivanews.com.dipost 22 jul 2009. Dikutip hari minggu.tgl 15 tahun 2011.jam 20:00 WIB.
[2] Lihat UU No. 25 Tahun 2003 perubahan atas UU no 15 tahun 2002.
[3] Moeljatno.asas-asas hukum pidana.edisi revisi.jakarta:rineka cipta.2008.hal 86.
[4] Ibid.
[5] Lihat Romli atmasasmita.course material Hukum Pidana Internasional. Modul kuliah Pascasarjana UNPAD.
[6] L. Oppenheim, International Law, a treatise, 8th edition, 1960, hal. 696 dikutip dalam buku I Wayan Parthiana, Op.cit hal. 16.
[7] J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Edisi Kesepuluh Jilid 2, hal. 469.
[8] Miriam. Budiarto, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Hak-Hak Azasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hal. 13.
[9] Sumaryo suryokusumo.Hukum diplomatik teori dan kasus.bandung.Alumni.2007.hal.239.
[10] http//greatandre.blogspot.com
[11] I. Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1983,hal4
[13] Moejatno. Asas-asas....Op.Cit.Hal. 140-141
[14] http//greatandre.blogspot.com
[15] Lihat.UU no 25 tahun 2003
DAFTAR PUSTAKA
__ Budiarto,miriam. Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Hak-Hak Azasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980
__Marulak Pardede. 1995.Hukum Pidana Bank. Pustaka Sinar Harapan Jakarta
__M.Irsan Nasarudin dan Indera Surya 2004. Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Kencana Jakarta.
__Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Undip. Semarang
__Munir Fuady. 2001. Hukum Perbankan Indonesia. PT. CirtraAditya Bakti Bandung
__NHT. Siahaan. 2005. Pencucian uang dan Kejahatan Perbankan. Sinar Harapan. Jakarta,
__Tb. Imran S. SH., MH. dalam Hukum Pembuktian Pencucian UangMoney Laundering;
__Yenti Garnasih dalam Arti Pencucian Uang di Indonesia dan Kelemahan dalam Implementasinya (Suatu Tinjauan Awal);
__Bismar Nasution.dalam Pemahaman UU Tindak Pidana Pencucian Uang (Money
Laundering);
__Anwar Nasution dalam Sumber, Proses, Mekanisme dan Dampak Ekonomi “Money
Laundering Crime”;
__J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Edisi Kesepuluh Jilid 2.
__I. Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1983.
Media
-Greatandre.blogspot.com
-Vivanews.com