AKU TIDAK TAKUT SENDIRI. TUHAN PUN JUGA SENDIRI. DAN DIA MENJADI YANG MAHA KUAT KARENA ITU (SOE HOK GIE)

Senin, 29 November 2010

PERKEMBANGAN HUKUM AGRARIA (konsep mengenai pertanahan kontemporer)



BAB I
Pendahuluan
1.      LATAR BELAKANG
Tanah merupakan faktor pendukung utama kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.[1] Fungsi tanah tidak hanya terbatas pada kebutuhan tempat tinggal, tetapi juga tempat tumbuh kembang, sosial, politik dan budaya seseorang maupun suatu komunitas masyarakat.[2] Tanah sebagai pendukung utama kehidupan ketika dijamah kolonial belanda dan setelh merdeka banyak diperbincangkan, entah dari sejarah filosofisnya atau dari segi berlakunya, indonesia telah banyak menuai “asam-manis” kerasnya kehidupan menuju kehidupan yang berkeadilan dan sejahtera. Indonesia telah banyak melewati masa-masa yang sangat keras. Seperti masa-masa diberlakukanya Agrarische Wet pada tahun 1980, Regelings Reglement, dan Indische StaatRegeling. Dan banhkan indonesia telah mempunyai undang-undang khusus tentang Agraria yaitu Undang-undang pokok ahraria(UUPA), yang dimana UU itu muncul setelah indonesia memperoleh kemerdekaannya. Sebagai realisasi dan keinginan pemerintah jajahan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari hasil pertanian di Indonesia pemerintah berusaha mempersempit kesempatan pihak-pihak pengusaha swasta untuk memperoleh jaminan yang kuat atas tanah-tanah yang diusahainya, seperti untuk memperoleh hak eigendom. Kepada para pengusaha oleh pemerintah hanya dapat diberikan hak sewa atas tanah-tanah kosong dengan waktu yang terbatas yaitu tidak lebih dari 20 tahunsebagai hak persoonliij. Tanah tersebut tidak dapat dijadikan jaminan hutang. Demikian juga dengan hak erfpacht oleh pemerintah tidak dapat diberikan,karena masih menghargai hak-hak adat yang tidak rnengenal adanya hak erfpact.
Perjuangan memperkuat kedudukan pengusaha-pengusaha pertanian di satu pihak dan penduduk di lain pihak terjadi pada tahun 1860-1870,dengan memajukan rancangan wet yang mengatur tentang pertanian yangdapat dilakukan di tanah-tanah bangsa Indonesia.
Penduduk Indonesia diberi izin menyewakan tanah kepada bukan bangsa Indonesia.Dalam rancangan  tersebut dimuat antara lain:
  1. Tanah negara (domein negara) dapat diberikan hak erfpacht paling lama 90 tahun,
  2. Persewaan tanah negara tidak dibenarkan,
  3. Persewaan tanah oleh orang Indonesia kepada bangsa lain akan diatur,
  4. Hak tanah adat diganti dengan hak eigendom,
  5. Tanah komunal diganti menjadi milik, jasan,
  6. Wet ini hanya berlaku di Jawa dan Madura,
Dengan amandemen Portman tidak menyetujui hak milik adat menjadi hak eigendom, dan milik adat tetap dijamin permakaiannya. Akhirnya pada tahun 1870 dibawah pimpinan Menteri Jajahan De Waal, Agrarische Wet ini ditetapkan dengan S. 1870-55. Tangga1 24 September 1960 merupakan suatu tanggal yang penting dalam kehidupan hukum di Indonesia, karena pada tanggal tersebut telah diundangkan dan mulai berlaku Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria” (Lembaga Negara 1960 No.104 n).
Dengan lahirnya Hukum Agraria Nasional dengan nama populer UUPA,maka secara total hukum Agraria Kolonial dihapuskan. Denganhapusnya hukum Agraria Kolonial, maka erupakan sejarah baru dan suasana baru bagi rakyat Indonesia untuk dapat menikmati sepenuhnya umi, Air, ruang angkasa dan kekayaan alam Indonesia ini, terutama kaum tani yang selama ini menompang di atas tanahnya sendiri. Hak-hak atas tanah yang dipunyai oleh rakyat tani yang selama ini tidakmempunyai .iaminan yang kuat, sekarang dengan berlega hati, telah dapat meminta agar tanahnya dapat diberi perlindungan dengan hak-hakyang diberikan kepadanya.
Hukum Agraria Nasional (UUPA) yang merupakan perombakan hukum Agraria Kolonial bertujuan untuk memperbaiki kemba!i hubungan manusia Indonesia dengan tanah yang selama ini sudah tidak jelas lagi. Perombakan hukum agraria kolonial itu dimaksudkan untuk merobah hukum kolonial kepada hukum nasional sesuai dengan cita-cita nasional, khususnya para petani. Selain itu untuk menghilangkan dualisme hukum yang berlaku serta memberikan kepastian hukum atas hak-hak seseorang atas tanah.

BAB II
ISI
Sebelum indonesia merdeka
Masa Sebelum Agrarische Wet
Konflik pendekatan antara golongan Liberal dan Golongan konservatif dibelanda mengakibatkan raja mengeluarkan inruksi pada Gubernur Jendral utuk malakukan suatu survey dijawa, pada tahun 1870 (hasil survey tahnah dijawa belum disusun), pemerintah belanda mengeluarkan Agrarische Wet yang isinya menekankan pada dua hal: dimungkinkannya peusahaan-perusahaan perkebunan swasta dan diakuinya eksistensi tanah-tanah pribumi  atas hak adat mereka.[3]
Kaum liberal menekankan perlunya perusahaan swasta diijinkan untuk mengolah tanah, yaitu dengan mengakui hak kepemilikan perseorangan atas tanah yang dimiliki oleh orang Indonesia asli sehingga tanah tersebut dapat disewakan atau dijual oleh mereka; dan menyatakan semua tanah yang kepemilikannya tidak dapat dibuktikan menjadi tanah negara. Oleh karena itu dapat tersedia tanah yang cukup untuk disewakan kepada pihak swasta untuk jangka waktu yang lama (99 tahun) pada tingkat harga yang rendah.[4] Kaum konservatif menentang usul ini dengan menyatakan bahwa hak penduduk asli atas tanah didasarkan pada syarat-syarat yang bersifat asli, pengusaan bersama dan kebiasaan yang tidak dapat disatukan dengan konsep “hak milik” dari Barat modern.[5]
Tahun 1854, Partai Liberal, yang telah berkembang menjadi partai yang berkuasa sejak tahun 1848, melakukan pengawasan, melalui parlemen, atas masalah-masalah Hindia Belanda. Van de Putte, seorang pemimpin dari partai itu, mengajukan suatu Rancangan Undang-Undang Cultuur (Perkebunan). Rancangan ini mencita- citakan pengalihan tanah milik bersama menjadi milik perseorangan. Ini sebagian didasarkan pada pemikiran bahwa kepemilikan bersama dianggap sebagai suatu hambatan terhadap pengolahan tanah yang baik, tetapi sebab yang utama adalah kepemilikan perseorangan akan memudahkan penyewaan dan pembelian tanah-tanah oleh orang Eropa.[6] Golongan konsevatif yang sejak mula menentang perusahaan swasta di Jawa, merasa bahwa usul ini akan melanggar hak-hak penduduk asli. Namun, dibalik itu adalah kekwatiran bahwa pengakhiran milik bersama atas tanah, akan mengakibatkan suatu tingkat “kemakmuran”, akan hilang dengan adanya kepemilikan swasta, dan mengakibatkan kesulitan dalam mendapat tanah dan tenaga kerja.[7] Fraksi yang menekankan kemanusian di Partai Liberal yang dipimpin Van Hoevell, mendukung pandangan Partai Konservatif yang tidak menginginkan campur tangan atas adat istiadat dan pengusaan tetap penduduk asli. Kekalahan atas rencana ini.
Sampai dengan awal abad ke-19 kebijakan Agrarische Wet tidak berubah secara mendasar, pemerintah hanya mnegeluarkan aturan sewa tanah tahunan yang berlaku dalam jangka waktu tertentu. Tujuan kelompok Liberalisasi adalah:[8]
1.      Agar pemerintah memberikan pengakuan terhadap penguasaan tanah oleh pribumi sebagai Hak milik mutlak, (eigendom), yang memungkinkan penjualan dan penyewaan karena tanah-tanah dibawah Hak komunal tidak diperkenankan untuk dijual atau disewakan keluar;
2.      Agar denagn asas domein, pemerintah memberikan kesempatan kepada penguasa swasta untuk dapat menyewa tanah jangka panjang dan muah yang nantinya diberikan hak erfpacth.
Agrarisce Wet adalah suatu Undang-undang (yang dalam bahasa belanda kata “Wet” berarti Undang-undang) yang dibuat dinegeri Belanda pda taun 1870, Agrarisce Wet diundnagkan dalam S-1870-55 sebagai tambahan ayat-ayat baru pda pasal 62 regerings Reglement Hindia Belanda tahun 1854, semula terdiri dari 3 ayat. Dengan tambahan 5 ayat baru (ayat 4 sampai dengan 8) Oleh Agrarisce Wet, maka Regerings Reglement terdiri atas 8 ayat.[9] Sebagai peraturan pelaksanaan dari Agrariche wet, dengan keputusan Raja, tanggal 20 Juli 1980 No. 15 ditetapkan Keputusan agraria (Agrarisch Bsluit atau Perpu) dengan S. 1870-118, yang berlaku untuk Jawa Madura. Sedangkan untuk luar Jawa dan Madura sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam peraturan ini, akan diatur dengan suatu ordonnantie.
Pada pasal 1. Agrarisch besluit, dimuat tentang pernyataan-pernyataan secara umum (algemene-domeinverklaring) yang menganut suatu prinsip (azas) agrarian yaitu pernyataan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan eigendom seseorang adalah tanah negara (domein vanden Staat) Negara adalah sebagai eigenaar (pemegang hak milik) atau jika terbukti ada hak eigendom orang lain diatasnya. Dengan berlakunya dualisme hukum pertanahan di Indonesia, yang disamping berlakunya hukum adat berlaku juga hukum barat, maka mengenai hak- hak atas tanah dikenal hak-hak adat dan hak-hak barat di dalam KUH Perdata, buku kedua, tentang Hak Kebendaan, dikenal beberapa hak perorangan atas tanah, seperti hak eigendom, opstal, erfpacht, sewa hak pakai (gebruik) , hak pinjam (bruikleen).
Hak ulayat yang disebut juga dengan hak persekutuan adalah daerah dimana sekelompok masyarakat hukum adat bertempat tinggal pertahankan hidup tempat berlindung yang sifatnya magis-religius. Di dalam hak ulayat masyarakat hukumnya berhak mengerjakan tanah itu. Setiap anggota masyarakat dapat memperoleh bagian tanah dengan batasan- batasan. Persekutuan mengatur sampai di mana hak perseorangan dibatasi untuk kepentingan persekutuan. Ada hubungan erat hak persekutuan dengan hak perseorangan. Setiap anggota persekutuan diberi hak untuk mengerjakan tanah hak Ulayat di wilayahnya dengan diberi izin yang disebut dengan hak wenang pilih. Jika sebidang tanah di wilayah persekutuan itu telah dikerjakan oleh seseorang warganya secara terus menerus maka hubungannya dengan Tanah itu semakin kuat, sebaliknya hubungan tanah itu dengan persekutuannya semakin renggang dan lama kelamaan tanah itu akan di akui sebagai hak milik dari orang yang mengerjakannya.
            Pada masa penjajahan jepang, Peraturan-peraturan pertanahan yang berlaku sebelum masa penjajahan Jepang masih tetap berlaku, karena masa penjajahan yang begitu singkat belum sempat terpikirkan untuk mengadakan perombakan terhadap hukum pertanahan. Tidak banyak yang dapat diuraikan tentang hukum agraria pada jaman Jepang, keculai kekacauan dan keadaan yang tidak menentu terhadap penguasaan dan hak- hak atas tanah sebagaimana layaknya pada keadaan perang. Pemerintah jepang dalam melaksanakan kebijakan pertahanan dapat dkatakan hampir sama dengan kebijakan yang pemerintah hindia belanda.[10] Penduduk jepang meneluarkan suatu kebijakan yang dituangkan dalam Osamu Serey nomor 2 tahun 1944, dan Osamu Serey yang terakhir nomor 4 dan 25 tahun 1944.[11]
            Dalam pasal 10 Osamu Serey tersebut dinyatakan  bahwa untuk sementara waktu dilarang keras memndahtanankan harta benda yang tidak bergerak, suat-surat berharga, uang simpanan dibank, dan sebagainya dengan tidak mendapat izinterlebi dahulu dari tentara Dai Nippon[12]. Terhadap tanah pertikelir diurus oleh kantor siryooty kanrikosyadimana tanah-tanah pertikelir tidak lagi diusahakan ata dasar hak-hak pertuanan.[13]



Masa Agrarische Wet
A.Domain Verklaring
Ketentuan Agrariasche Wet pelaksanaanya diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan dan keputusan, diantara yang perlu dibahas adalah suatu koninklijk belsuit  yang dikenal dengan sebutan Agrarische belsuit. Ini diundangkan dalam S.1870-118.[14]
             Agrarische belsuit hamya berlaku dijawa dan madura, maka apayang dinyatakan dalam pasal 1 yag berbunyi”dengan tidak mengurangi berlakunya ketenyuan dalam pasal 2 dan 3 Agrarische Wet, tetap diperahankan asas semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein(milik)negara.”.[15] ini dikenal dengan sebagai domein Varklaring (pernyataan dmein) semula juga berlaku ntuk jawa dan madura saja, tetapi keudian pernyataan domein tersebut diberlakukan juga untuk daerah pemerintahan langsung diluar jawa dan madura, dengan suatu ordonansi yang diundanglan dalam S.1875-119.[16]
             Teori domein ini menciptakan hak-hak barat tertentu, seperti hak eigendom, hak opstal dan hak erfpacht, namun juga membiarkan hak-hak adat terus berlanjut sehinga dijawa khususnya terdapat bermacam-macam hak yaitu hak milik adat, hak milik individu, hak milik yang ddasarkan pada agrarische eigendom, hak milik yang diberikan oleh pemerintahan belnda pada pribum ,hak milik kerajaan hak milik sewa, membangun menusahakan hak-hak milik orang lain serta hak-hak atas tanah pemerintah yang dikuasai oleh orang-orang asing asia(china yang berlokasi di jakarta,karawang dan bekasi)[17]
Dalam praktek pelaksanaan perundang-undangan pertahanka domein verklaring,yang berfungsi:[18]
  1. Sebagai landasan hukum begi pemerintah yang diwakili negara sebagai emilik tanah, untuk memberikan tanah denagn hak-hak barat ang datur dalam KUHperdata, seperti hak efparth, hak opstal dan lain-lainya. Dalam rangka domein verklaring, pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik negara kepadapenerima tanah.
  2. Dibidang pembuktian pemilikan.

Pada tahun 1874 pemerintah mengeluarkan Staadblad nomor 97 yang menetapkan bahwa tanah-tanah dalam kekuasan desa adalah tanah penggembalaan bersama, tanah untuk usaha pertanian penduduknya secara terus-menerus, tanah ntik kepentingan umum, selain tanah-tanah itu , ketika akan dipergunakan seharusnya dengan izin pemerintah. Dalam kenyataanya, staadblad ini menimbulakan berbagai pertentanga. Denagn adanya berbagai pertentanagn tersebut, pemerintah akhirnya hak-hak pribumi atas kepemilikan sebidang tanah yang berasal dari pegolahan atau pengambilan hasil hutan denagn cara diakui dan distujui oleh para tetngga, kepala desa dan residen. Mulai saat itu terjadi penguatan konflik kepentingan antara masyarakat adat dengan pemerintah mengenai tnah-tanah hak milik dan hak ulayat.[19]
            Lalu pada masa itu juga ada yang disebut tanah-tanah Landerijenberzitrecht oleh Gouw Giok Siong disebut sebagai tanah-tanah tioghoa,[20] karena subyeknya terbatas pada golongan asia timur teruta aorang cna, para golongan itu banayak mempunyai tanah di sekitar jkarta, katawang dan bekasi yang disebut “tanah pertikelir  denga “hak usaha”, seperti hak orang-prang pribumi jikatanah partikelir yanbersagkutan kembali kepada negara, mak ahak usaha yang memegang hak menjadi hak milik adat, yan subyeknya timur asing, semula apa yang menjadi disebut “altijddurende erfpacht”, kemudian dengan S.1926-121 menjadi Landerijenberzitrecht pada hakikatnya hak ini tidak berbeda dengan hak mlik adat.[21]
            Kemungkinan bagi non pribumi untuk memperolah tanah hak adat dibatasi oleh peraturan-peraturan yang dikenal sebagai larangan pengasingan tanah(ground vervreemdingsverbod) yang diundangkan dalam S.1875-179, yang menyatakan bahwa “hak milik adat atas tanah olen orang-orang pribum tidak dapat dipindahkan kepada orang non pribumi”, oleh karena itu semua perbuatan yang bertuajan untuk secara lagsung ataupun tidak secara langsung memindahkanya adalah batal karena hukum. [22]

SETELAH INDONESIA MERDEKA
Masa Sebelum terbentuknya undang-undang pokok agraria(UUPA)
Pada periode setelah indonesia mereka yaitu setelah pendudukan jepan berakhir diindonesia, banyak produk hukum legislasi yang dikeluarkan termasuk produk hukum gararia, nasional. Produk hkum agraria tersebut dapat dikerjakan dalam waktu yang snagat panjang pada periode ini baru selsai  setelah terjadi perubahan sistem politik atau periode sedudahnya.[23]  Hukum agraria produk hukum ada janman kolonial memilik karakter ekploatif, dualisik dan feodalik.[24] Terutama adanya asas domein varkring yang menyertainya, sangat bertentangan dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat, oleh karena itu timbl tuntutan segara diadakan perbaharuan hukum agraria.[25]
Meskipun bangsa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya serta menciptakan suatu landasan ideal dan Undang-undang Dasar, namun untuk melakukan perombakan hukum kolonial secara total tidak mungkin dapat dilaksanakan dalam waktu yang singkat. Beberapa ketentuan agraria baru sebagai awal dari perombakan agrarian Kolonial antara lain:
  1. Pengawasan terhadap Penindakan Hak-Hak Atas Tanah.
Oleh karena belum ada waktu yang cukup untuk mengatur kedudukan tanah sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pasal 33(3) Undang-Undang Dasar 1945 maka untuk menyelamatkan aset negaral, agar dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang kelak dibuat yang mengutamakan hak warga Negara tidak semakin sulit perlu pengawasan tentang pemindahan hak-hak Barat baik berupa serah pakai atau dengan cara lainnya yang melebihi jangka waktu 1 tahun undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1952, menentukan tentang pemindahan hak tanah-tanah dan benda tetap lainnya, menyebutkana penyerahan hak pakai buat lebih dari setahun dari setahun perbuatan pemindahan hak mengenai tanah dan barang-barang tetap lainnya yang tahluk hukum Eropah hanya dapat dilakukan dengan izin dari Menteri Agraria.
  1. Penguasaan Tanah-Tanah
Sesuai dengan domein yang dianut oleh hukum agraria pada jaman kolonial, yang mengatakan bahwa semua tanah yang diatasnya tidak ada eigendom seseorang atau milik menurut hukum adat adalah milik negara yang bebas (vrijland'sdomein). Pada jaman penjajahan Jepang untuk memperlancar usaha-usaha rangan-maka fungsi vrijlandsdomein ini mulai menyimpang. Kepada instansi atau departemen diberi keleluasaan untuk mempergunakan hak tanah sebagaimana yang dikehendakinya bahkan banyak pindahtangankan atau diterlantarkan. Untuk menertibkan keadaan ini pemerintah mengeluarkan suatu peraturan tentang Penguasaan Tanah Negara ini yaitu P.P Nomor 8 Tahun 1953. Di dalam Peraturan pemerintah ini dijelaskan bahwa penguasaan atas tanah negara diserahkan Menteri Dalam Negeri kecuali jika penguasaan ini oleh Undang-undang atau peraturan lain telah diserahkan kepada suatu kementerian.
  1. Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat
Sebagai akibat dari pemakaian tanah-tanah oleh rakyat yang bukan haknya (tanah negara atau tanah hak orang lain), yang pada masa penjajahan Jepang di perkenankan untuk menimbulkan krisis bahan makanan, di kwatirkan keadaan ini semakin menimbulkan masalah, banyak tanah-tanah perkebunan menjadi sasaran penggarapan rakyat, hingga keadaan perkebunan semakin memprihatinkan. Untuk mencegah semakin meluasnya penggarapan yang dilakukan oleh rakyat terhadap tanah-tanah perkebunan dimaksud, maka dengan Undang-Undang Darurat nomor 8 Tahun 1954., ditetapkan bahwa kepada Gubernur ditugaskan untuk mengadakan perundingan antara pemilik perkebunan dan rakyat penggarap mengenai penyelesaian pemakaian tanah itu. Di dalam penyelesaian pemakaian ini harus diperhatikan kepentingan rakyat, kepetingan penduduk di tempat letaknya perkebunan dan kedudukan Jun dalam perekonomian negara.
  1. Penghapusan Tanah- Tanah Partikulir
Sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yang tercantum dalam landasan ideal Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menginginkan adanya kehidupan yang adil dan merata sesuai dengan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka ketentuan-ketentuan pertanahan yang berlaku pada zaman Hindia Belanda yang nyata-nyata bertentangan dengan rechts-idea bangsa Indonesia harus segera dihapuskan, 'Ketentuan yang bertentangan itu antara lain pengakuan tentang tanah-tanah partikulir. Oleh karena itu maka dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958, tanah-tanah partikulir ini dihapuskan. Yang dimaksud dengan tanah partikulir dalam Undang-Undang inilah tanah eigendom di atas mana pemiliknya sebelum Undang-Undangi berlaku mempunyai hak-hak pertuanan (Pasal I UU No. I Tahun 58) Yang dimaksud dengan hak pertuanan ialah :
  1. hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilikan serta memberhentikan kepala-kepala kampung atau desa dan kepala-kepala umum.
  2. hak untuk menuntut kerja paksa atau memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk.
  3. hak mengadakan pungutan-pungutan baik yang berupa biaya atau hasil tanah dari penduduk.
  4. hak untuk mendirikan pasar-pasar, memungut biaya pemakaian jalan dan penyeberangan.
  5. hak-hak yang menurut peraturan lain dan/atau adat setempat sederajat dengan hak pertuanan.
Dengan dihapuskannya tanah-tanah partikulir ini, maka tanah sebut menjadi tanah negara. Kepada pemilik tanahdiberikan ganti rugi berupa uang atau bantuan lainnya. Berdasakan pada ketentuan dalam Pasal II aturan perlihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undnag-undang dasar ini”.[26] Maka peraturan perundang-undangan yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial belanda masih tetap dapat diberlakukan selama pemerintah belum dapat membuat produk hukum-hukum baru yang sesuai dengan jiwa kemerdekaan. [27]
Untuk memenuhi tuntutan tersebut pada tanggal 6 maret 1948. Presiden membentuk sebuah komisi yang dikenal dengan panitia tanah konvesi. Pada komisi ni lahir Undang-undang nomor 13 tahun 1948 yang mengahapus hak konversi, sementara sambil menunggu aturan lebih lanjut meka pemerintah mengeluarkan ndang-undang darurat  nomor 6 tahun 1951. Tentan perubahan peraturan persewaan tanah rakyat, kemudian undang-undang ini dikukuhkan menjadi undang-undang no 6 tahun 1952. Kemudian pula dibentuk undang-undang nomor 1 tahun 1952 tertanggal 2 januari 1952 yang kemudian dikukuhkan menjadi undang-undnag nomor 24 tahun 1954 tentang pemindahan dan pemakaian tanah-tanah dan baran tetap lainya. Yang mempunyai titel menurut hukum eropa dan ditindak lanjuti denagn surat keputusan menteri kehakiman nomor JS.5/1/19 tanggal 7 januari 1952 serta tambahan lembaan  negara nomor 262.[28]
Akhirnya di pertengahan tahun 1954 pemerinh indonesia dapat megeluarkan peraturantentang hukum agraria yaitu UU no 24 tahun 1954 tentang penetapan Undang-undang darurat tentang pemindahan hak tanah-tanah dan barang-barang tetap lainya yang tunduk pada hukum eropa


Undang-undang yang berhasil dibuat oleh pemerinah setelah merdeka sebelum lahirnya undang-undang pokok agraria (UUPA) antara lain:[29]
  1. UU no 13 tahun 1948 yang disempurnakan oleh UU no. 5 tahun 1950 tentang penghapusan hak konversi.
  2. Undang-undang nomor 1 tahun 1958 tetang tanah partikelir.
  3. UU no.6 tahun 1952 tentang perubahan persewaan tanah rakyat
  4. UU no.24 tahun 1954 tentang penambahan peraturan dalam pengawasan pemindahan hak atas tanah
  5. UU no 78 tahun 1957 penarika besanya canon dan cijns
  6. UU darurat no. 1 tahun 1956 tentang larangan dan penyesuaina pemakaian tanah tanpa izin
  7. UU no. 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil
  8. Kepre no. 55 tahun 1955 dan undang-undang no. 7 1958. Dan masih banyak aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah.

Sejarah pembentukan undang-undang pokok agraria (UUPA)
Sejak awal kemerdekaan telah dibentuk komisi atau panitia yan diberi tugas menyusun dasar-dasar ukum araria yang baru, panitia tersebut diantaranya adalah:[30]
1.      Panitia Agraria Jogja, dengan penetapan Presiden no. 16 tahun 1948, panitia ini menghasilkan 12 butir saran yang disampaikan kepada DPR bulan juli 1948;
2.      Panitia Agararia Jakarta, 19 maret 1951 dengan putusan presiden no. 36 tahun 1951, panitia jogja dibubarkan dan digantikan oleh panitia jakarta yang dikuasai oleh Sarimi Reksodihardjo, wakil ketua sadjarwo, sarimin digantikan oleh singgih Praptodihardjo sehubungan diangkatnya menjadi gubernur Nusa tenggara. Panitia jakarta menghasil kan 5 kesimpulan;
3.      Panitia Shuwardjodengan keputusan presiden no 1 tanggal 9 maret 1956 , panitia ini diberi tugas untuk mempersiapka  Rancangan undang-undang Pokok agraria.
4.      Rancangan sunardjo, diajukan kepada DPR tanggal 24 april 1958 disebut rancangan sunardjo karena pada sat itu menteri agraria yang mewakili pemerintah mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR adalah sunardjo, setelah dibahas, DPR membentuk panitia Ad Hoc yang diketuai oleh AM.tambunan.

Dalam pembahasan dan persetujuan RUU Agararia ini, yang diajukan kepada DPR-GR yang diketuai pada waktu itu oleh Haji Zainun arifin dalm sidang pleno 12 september 1960. Dalam pembahsan ini DPR hanya melakukan 3 kali sidang yaitu pada tanggal 12,13,14 september 1960 pagi, seluruhnya hanya diperlukan 6 jam saja pembicaraan , untuk periapan pembicaraan diperlukan seluruhnya lebih dari 45 jam, diantaranya lebih dari 20 jam untuk pertemuan informal diluar forum resmi sidang.
Pengesahan, pengundangan dan berlakunaya pada hari sabtu tanggal 24 september 1960. Rancangan undang-undnag yang telah disetujua oleh DPR-GR tersebut disahkan Presiden soekarno menjadi undang-undang no. 5 tahun 1960.denagn peraturan dasar pokok-pokok agraria.[31]


Masa diberlakukanya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
Tahun 1960 merupakan tahun keemasan bagi hukum agraria nasional, karena pada tahun tersebut lahir Undang-undang nomor 5 tahun 1960 yang disebut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Lahirnya UUPA yang memakan waktu 12 tahun penggodokan memiliki arti penting bagi masalah pertanahan nasional khususnya bagi kaum tani. Tidak heran jika sempat juga dikeluarkan keputusan Presiden yang menyatakan bahwa tanggal 24 September merupakan hari lahir UUPA sebagai hari Tani. UUPA bermaksud untuk mengatasi dualisme hukum yang masih berlaku berkaitan dengan pengaturan sumber-sumber agraria di Indonesia, yaitu hukum barat warisan Belanda Agrarisch Wet 1870 dan hukum adat. Dengan demikian, UUPA 1960 merupakan hukum nasional yang baru yang disesuaikan dengan keadaan-keadaan baru di lapangan agraria dan ditujukan pada pencapaian tatanan agraria yang adil. Terutama pentingnya perlindungan bagi golongan ekonomi lemah (buruh tani dan petani miskin). Namun demikian, UUPA 1960 yang memberi legitimasi secara formal terhadap pelaksanaan Reforma Agraria dan terlebih pelaksanaan Land Reform di Indonesia, sejauh ini tidak bisa disimpulkan bahwa UUPA 1960 telah dijalankan.[32]
Peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang dicabut karena berunya Undang-undang pokok agraria, antara lain:
  1. Seluruh pasal 51 IS.jadi juga termasuk ayat-ayat yang merupakan Agrarich Wet,
  2. Semua pernyataan domein dari pemerintah hindia belanda
  3. Peraturan mengenai Hak agrarische Eigendom (S.1872-117 dan S.1873-38)
  4. Pasal-pasal  buku ke II Kitab undang-undang hukum perdata sepanjang mengenai agraria.[33]

Pada era ini aroma kapitalisme lebih kuat mencengkeram sehingga berpengaruh pada kebijakan negara soal agraria. Dalam pandangan Noer Fauzi politik agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang kapitalistik dijalankan Orde Baru secara sentralistik, otoritarian dan sektoral sepanjang 32 tahun (Noer Fauzi, 2007). Kondisi ini tidak memberi ruang yang leluasa bagi program agraria yang berpihak pada rakyat. Justru sebaliknya ekspansi kapitalisme perkebunan semakin kuat dan banyak menyerobot tanah rakyat sehingga memicu maraknya konflik agraria dibelakang hari.

Masa Demokrasi terpimpin Masa Orde baru
Program landreform memiliki tujuan untuk memperkuat dan memperluas pemilikan tanah bagi warga negara Indonesia, terutama kaum tani. Juga untuk menghapus sistem tuan tanah dan pemilikan tanah tanpa batas. Dalam hal ini, pemilikan tanah tanpa batas tidak diperkenankan lagi sehingga diatur luas maksimum tanah yang dapat dimiliki. Kelebihan tanah dari batas maksimum itu diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian untuk kemudian dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan dalam program redistribusi tanah. Sejak awal pelaksanaannya tahun 1961, program landreform sering dianggap sebagai gagasan PKI, konsepsi komunis, lebih-lebih setelah terjadinya Gerakan 30 September PKI. Dengan dibubarkannya partai komunis itu, dianggap perlu juga untuk membubarkan program landreform dan tanah-tanah yang telah diredistribusi kepada rakyat harus dikembalikan kepada pemiliknya semula. Padahal, konsep landreform yang memberi penggantian kerugian berbeda dengan konsepsi komunis di mana tanah diambil negara tanpa suatu ganti rugi. Jatuhnya Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi ternyata tidak menyurutkan pelaksanaan landreform. Di bawah payung Orde Baru, landreform tetap dijalankan. Bahkan Presiden Soeharto sendiri menyatakan, ìPelaksanaan landreform harus berjalan terus, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan agar supaya diselesaikan pelaksanannya secepatnya”.
Namun, sekali lagi, tujuan mulia ini hanya sebatas pintu gerbang. Dalam praktek, pemerintahan Orde Baru mengupayakan pengelolaan lahan seluas-luasnya bagi pengusaha pemilik modal. Hal ini sesuai dengan arah politik pemerintah Orde Baru saat itu yang ingin mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Rekayasa dan intimidasi menjadi bagian dari praktek-praktek pelepasan hak atas tanah dari rakyat petani kecil. Kini, ketika angin reformasi berhembus, ketika Orde Baru tumbang, kaum petani kembali ambil suara. Mereka menuntut kembali tanah-tanah mereka yang dulu diambil dalam gerakan reclaiming. Tidak jarang reclaiming tersebut dibarengi dengan ketegangan fisik dan upaya-upaya destruktif.

Masa Reformasi
Momentum tersebut semakin menggelinding dengan dikeluarkannya TAP MPR RI No. IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Selanjutnya pidato politik Presiden RI pada 31 Januari 2007 tentang reforma agraria menyebutkan bahwa program reforma agraria dilakukan secara bertahap dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin. Menurut SBY tanah tersebut berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat (Pidato Politik Presiden 2007).
Selanjutnya BPN-RI mengusung sebuah program yang disebut dengan PPAN (Program
Pembaruan Agraria Nasional) yang didengungkan akan mengalokasikan tanah objek reforma agraria seluas 9,25 juta hektar (8,15 juta ha berasal dari hutan konversi, dan 1,1 juta ha berasal dari tanah di bawah kewenangan langsung BPN) (Joyo Winoto, 2006 dalam Noer Fauzi, 2007).Namun program yang telah dicanangkan sejak 2006 tersebut hingga akhir 2008 ini belum juga terealisasi. Peraturan Pemerintah yang diharapkan menjadi payung hukumnya juga belum ditandatangai oleh Presiden RI. Belum lagi permasalahan isi materi tentang alokasi yang adil bagi petani miskin. Reforma agraria yang disampaikan oleh SBY tersebut masih pada retorika politik yang belum menunjukkan tanda-tanda realisasi.Kekhawatiran para penggiat reforma agraria adalah bahwa kekuatan neoliberalisme di negara kita sudah sangat kuat. Sistem yang kapitalistik ini sudah semakin meresap ke dalam sistem kita. Reforma agraria yang bernafas populis dan berpihak kepada rakyat dianggap tidak mencerminkan negara yang menjunjung tinggi liberalisasi ekonomi. Watak era sekarang sama dengan orde baru, aroma kental kepentingan modal (kapitalisme).
Saat ini petani yang memperjuangkan tanahnya rentan untuk dikriminalisasi oleh negara karena dianggap melanggar UU No.18 Thn. 2004 tentang Perkebunan. Untuk Sumatera Utara saja kriminalisasi terhadap petani antara lain terjadi pada kasus ditahannya 29 warga Banjaran Secanggang Langkat pada Juni 2008 lalu, kriminalisasi terhadap para petani di Pergulaan Serdang Bedagai, kriminalisasi terhadap petani di Maria Hombang Simalungun.
Catatan tentang permasalahan konflik dan sengketa yang terjadi menurut Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara paling sedikit ada 699 kasus konflik/sengketa tanah yang ada di Sumatera Utara. Hal tersebut tentunya bisa muncul karena adanya ketidakadilan dan merupakan cerminan belum terpenuhinya hak-hak rakyat
Ada rentang waktu yang sangat panjang yakni 48 tahun sejak UUPA diundangkan sampai dengan 2008 ini. Namun belum terlihat kebijakan yang signifikan yang mewujudkan keadilan agraria tersebut. Peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang ada selanjutnya ternyata banyak yang tidak senafas dengan semangat UUPA seperti UU No.11/1967 Tentang Pertambangan, UU No.5/1967 tentang Kehutanan, UU No.25/2007 tentang Penanam Modal, UU No.1/1974 tentang Pengairan dan UU No. 9/1985 tentang Perikanan.
Harapan tentang reforma agraria yang sejati tentunya masih menjadi cita-cita bersama yang harus juga didorong secara bersama-sama. Niat baik negara masih terus ditunggu untuk secara bersungguh-sungguh dalam menjalankan janji-janjinya. Bersungguh-sungguh berarti benar-benar memberikan keadilan bagi para petani miskin yang tidak memiliki tanah sebagai alat produksi.


[1] Winahyu Herwiningsih, menutip dari bukunya Rianto Bachiadi,et, al, eds, Perubahan politik dan Agenda Perbaharuan Agararia Diindonesia, FE UI, Jakarta, 1997, Hlm. 28-31
[2] Winahyu Herwiningsih, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total media dan FH UII,Yogyakarta,2009,Hlm 1
[3]Op.Cit, Hlm. 135.
[4] J.S. Furnivall, Netherlands India, A Study of Rural Economy (London: Cambridge University Press, 1939), Hlm. 78-79. Dikuip juga oleh Mochammad Tauchid, Masalah Agraria II (Jakarta : Penerbit Tjakrawala, 1952), Hlm. 63.
[5] Hiroyhoshi Kano, Land Tenure System and the Desa Community in Nineteenth Century Java .versi Indonesia (Tokyo: Institute of Development Economics, 1977), Hlm. 5.
[6] J.S. Furnivall, Op.Cit. h. 164.
[7] Ibid. 164.
[8] Winahyu Herwiningsih, Hak Menguasai ... Hlm. 137.
[9] Boedi Harsono, Hukum agraria Indonesia, Jilid I, cetakan ke-12, Djambatan, Jakarta, 2008. Hlm. 33
[10] Winahyu Herwiningsih, Hak Menguasai ... Op,Cit Hlm. 139.
[11] Ibid. Hlm. 139.
[12] AP.Parlindungan, Benerapa masala dalam UUPA(Undang-undang pokok agraria), Mandar Maju, bandung 1993,Hlm. 43
[13] Winahyu Herwiningsih, Hak Menguasai. Dikutip dari buku tuntunan bagi pejabat pembuat akta tanah ,  yayasan budaya bina sejahtera, jakarta 1981.Hlm 673.
[14] Boedi Harsono, Hukum agraria,,Op.Cit.Hlm.41.
[15] Ibid.Hlm.41-42.
[16] Ibid.Hlm. 42.
[17] Winahyu Herwiningsih, Hak Menguasai ... Op,Cit Hlm 136.
[18] Ibid.
[19] Op.Cit. Hlm. 136-137.
[20] Gouw Giok Sioung(sudargo guatama), hukum antar golongan suatu pengantar, penerbit universitas,jakarta,1957
[21] Boedi Harsono, Hukum agraria,,Op.Cit.Hlm. 53.
[22] Ibid.Hlm. 63.
[23] Winahyu Herwiningsih, Hak Menguasai ... Op,Cit Hlm. 139.
[24] Moh. Mahfud MD, politik hukum diindonesia, Pustaka LP3ES indonesia,1998, Hlm.118.
[25] Op,Cit Hlm.139.
[26] Lihat UUD 1945
[27] Winahyu Herwiningsih, Hak Menguasai ... Op,Cit Hlm. 140.
[28] Ibid.hlm.141.
[29] Ibid.hlm. 144-145.
[30] Lebih jelas, Ibid.hlm. 145-150.  Atau Boedi Harsono, Hukum agraria,,Op.Cit.Hlm.125-130.
[31] Boedi Harsono, Hukum agraria,,Op.Cit.Hlm. 131-132.
[32] www.Legalitas.com
[33] Ibid.Hlm.134.

DAFTAR PUSTAKA
AF, Hasanudin, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Al-Husna Baru, 2004.
Dalimunthe, Chadidjah, “Pelaksanaan Land Reform di Indonesia dan Permasalahannya"
USU-Press, Medan, 1998.
Gautama, Sudargo, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, cet ke-6, Bandung: Alumni,
1981.
Gouw Giok Sioung(sudargo guatama), hukum antar golongan suatu pengantar, penerbit
universitas,jakarta,1957.
Harsono, Boedi Hukum agraria Indonesia,Sejarah UUPA, isi dan pelaksanaannya,Jilid I,
cetakan ke-12, Djambatan, Jakarta, 2008.
Moh. Mahfud MD, politik hukum diindonesia, Pustaka LP3ES indonesia,1998.
Parlindungan,AP. Benerapa masalah dalam UUPA(Undang-undang pokok agraria), Mandar
Maju, bandung 1993.
Parlindungan. A.P. Prof. Dr.SH, "Komentar Atas Undang-Undang Pokok agrarian
Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, 1998.
Rajagukguk, E. 1995. Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup.
Jakarta: Chandra Pratama.
Soekanto, soerjono dan Taneko, B, soeleman, Hukum Adat Indonesia, cet ke- II, jakrta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2007.
Supriadi, hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2007
Tauchid, Mochammad. Masalah Agraria II , Jakarta : Penerbit Tjakrawala, 1952.
Winahyu Herwiningsih, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total media dan FH
UII,Yogyakarta,2009.

Dari media inetrnet
Google.eman_ramelan@yahoo.com
www.Legalitas.com

Peraturan peundang-undangan
UUD 1945
UU no.5 tahun 1960. Tentang Pokok agraria(UUPA).