AKU TIDAK TAKUT SENDIRI. TUHAN PUN JUGA SENDIRI. DAN DIA MENJADI YANG MAHA KUAT KARENA ITU (SOE HOK GIE)

Senin, 29 November 2010

rekontruksi hukum dan pengaruh politik



Di kalangan ahli hukum dewasa ini berkembang dua pendapat tentang hubungan sebab akibat antara politik dan hukum. Pandangan yang pertama adalah Kaum Idialis, yang cenderung berpandangan dari sudut das sollen. Pandangan ini mengacu pada pendapat Roscue Pound[1] yang menyatakan bahwa ”law as a tool of social enginering”. Pendapatnya menyatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan dan merekayasa perkembangan masyarakat, termasuk di dalamnya adalah kehidupan politiknya. Wajar jika secara idologis mereka meletakkan hukum sebagai pemandu dan penentu arah perjalanan masyarakat, karena memang pada dasarnya hukum difungsikan untuk menjamin ketertiban dan melindungi kepentingan masyarakatnya. Pandangan yang kedua mengacu pada pandangan Von Savigny yang menyatakan bahwa hukum selalu berkembangsesuai dengan perkembangan masyarakatnya, hukum tumbuh dan mati bersama masyarakatnya.[2] Hal ini didasarkan keyakinan bahwa pada dasarnya hukummerupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat. Artinya adalah bahwa hukum harus menjadi dependent variable atas keadaan luarnya, salah satuny adalah politik. Dalam bahasa lain dapat dinyatakan bahwa hukum adalah produk politik.
Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa kalau kita melihat hubungan antara subsistem politik dengan subsistem hukum, akan tampak bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah.[3]
Moh. Mahfud MD selanjutnya berpendapat bahwa hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan. Ia juga menekankan bahwa politik hukum merupakan bagian dari ilmu hukum. Jika ilmu hukum diibaratkan sebagai sebuah pohon, maka filsafat merupakan akarnya, sedangkan politik merupakan pohonnya yang kemudian melahirkan cabang-cabang berupa berbagai bidang hukum seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan bidang hukum lainnya.
Pandangan Mahfud di atas menggambarkan keadaan pembentukan undang-undang di Indonesia yang menitikberatkan pada politik daripada hukum, walaupun produk akhir politik tersebut tetap sebagai produk hukum yang harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat. Hal inilah yang belum disadari oleh pembentuk undang-undang bahwa keputusan politik yang dituangkan dalam suatu undang-undang merupakan produk hukum yang secara yuridis, isinya harus dilaksanakan, walaupun kemudian disadari bahwa undang-undang tersebut sulit dilaksanakan karena substansinya sarat dengan elemen-elemen politik. Mahfud sendiri menyatakan bahwa hukum terpengaruh oleh politik karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum.[4]
Law is a command of the Lawgiver (hukum adalah perintah dari penguasa), dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Demikian John Austin, seperti dikutip oleh Prof Lili Rasyidi. Perdebatan mengenai hubungan hukum dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan. Pada sisi lain, pandangan berbeda datang dari kalangan aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum tidak dari dogmatika hukum dan undang-undang semata, akan tetapi dari kenyataan-kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat dan berpandangan bahwa hukum itu tergantung pada penerimaan umum dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup.
Menurut Daniel S. Lev , yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergangtung pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya.
Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak diidentikan dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan struktur kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk hukum. Maka untuk memahami hubungan antara politik dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri.[5]
Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum. Sehubungan dengan itu, ada dua kata kunci yang akan diteliti lebih jauh tentang pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup kata “process” dan kata “institutions,” dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai produk politik. Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk peraturan perundang-undang oleh suatu institusi politik yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik yang besar dalam institusi politik.[6] Sehubungan dengan masalah ini, Miriam Budiarjo[7] berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan. Dalam proses pembentukan peraturan hukum oleh institusi politik peranan kekuatan politik yang duduk dalam institusi politik itu adalah sangat menentukan. Institusi politik secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah institusi yang vacum tanpa diisi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu. karena itu institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik. Kekuatan- kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang dimiliki oleh kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang tercermin dalam struktur kekuasaan lembaga negara, seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga-lembaga negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari infrastruktur politik adalah seperti : partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain. Dengan demikian dapatlah disimpilkan bahwa pembentukan produk hukum adalah lahir dari pengaruh kekuatan politik melalui proses politik dalam institusi negara yang diberikan otoritas untuk itu.


[1] Roscoe Pound dalam Soerjono Soekanto, 1985, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, Hal. : 30.
[2] Soerjono Soekanto, 1985, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, Hal. : 9
[3] Satjipto Rahardjo, 1985, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung, Sinar Baru, Hal : 71.
[4] Mahfud MD, Moh. Politik Hukum di Indonesia, LP3ES.hal.9
[5] Lev, Daniel S., Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta, 1990.
[6] Http//aldianharikhman.blogspot.com
[7] Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. ke 27, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.