AKU TIDAK TAKUT SENDIRI. TUHAN PUN JUGA SENDIRI. DAN DIA MENJADI YANG MAHA KUAT KARENA ITU (SOE HOK GIE)

Minggu, 28 November 2010

hukum progresif sebagai manivestasi nilai-nilai keadilan


1.     


LATAR BELAKANG
Bicara tentang system hukum maka kita bicara tentang apa saja yang dianaut oleh penegak hukum kita, entah itu anglo sexon, Islamic law, ataupun Eropa continental. Kesemuanya itu adalah system hukum yang dianut oleh berbagai Negara di dunia. Tidak berlebihan ungkapan Daniel S. Lev, [1]bahwa “negara-negara baru mewarisi banyak hal dari pendahulunya di masa kolonial, karena berbagai revolusi yang dibarengi dengan penghancuran total sekalipun, yang jarang terjadi pada negara-negara baru, tidak dapat menyapu bersih bekas-bekas masa silam.” Gambaran tersebut sangat tepat ditujukan pada kondisi Republik Indonesia yang sejak dikumandangkannnya. Proses meneruskan segala bentuk sisa-sisa tertib hukum masa lalu diIndonesia hingga dewasa ini sangat sulit dihindari karena lebih dari satu abad tatkala Indonesia ini masih disebut Nederlandsch-Indië (Hindia Belanda) “telah berlangsung proses introduksi dan proses perkembangan suatu sistem hukum asing ke/di dalam suatu tata kehidupan dan tata hukum masyarakat pribumi yang otohton.”[2] Sistem hukum asing yang dimaksud tidak lain adalah  sistem hukum Eropa (khususnya Belanda) yang berakar pada tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman dan Romawi-Kristiani, dan yang dimutakhirkan lewat berbagai revolusi, mulai dari ‘Papal Revolution’ hingga Revolusi kaumborjuis-liberal di Perancis pada akhir abad 19.
Karl Marx adalah satu diantara pemikir-pemikir yang secara sistematik mengaitkan hukum dengan struktur kekuasaan dan tuntutan pembaharuan (politik, ekonomi, sosial dan lain-lain). Menggunakan pendekatan kesejarahan dari sudut pandang ekonomi (historis materialisme), Marx menempatkan hukum tidak lebih dari sebuah instrumen untuk melindungi dan menjamin kepentingan kelas yang berkuasa (kapitalis) di satu pihak, dan memeras serta menindas kelas pekerja (proletar) di pihak lain. Kenyataan historis membenarkan analisis Marx bahwa dalam sistim politik, sosial atau ekonomi tertentu memang didapati berbagai aturan hukum yang diciptakan untuk kepentingan kekuasaan dan merugikan kepentingan rakyat banyak.Hukum-hukum dalam sistim kediktatoran dapat menjadi contoh mengenai kebenaran analisis Marx. [3]
Demikian pula sejarah nasional Indonesia. Betapa banyak hukum-hukum yang diciptakan demi kepentingan kaum kolonial dan merugikan rakyat Indonesia. Aturan-aturan hukum mengenai penggolongan penduduk beserta produk lanjutannya, begitu pula akibat pengaturan mengenai hukum agraria (tanah), perbedaan perlakuan dalam pemerintahan dan lain-lain merupakan contoh-contoh nyata hukum yang dibuat untuk kepentingan penguasa dan Sesungguhnya sejak pertengahan abad ke-20 orang sudah mulai menyadari betapa tidak sederhananya penegakan hukum. Tidak seperti menarik garis lurus antara dua titik. Dalam penegakan hukum jangan lagi orang bicara berdasar prinsip “peraturan dan logika” (rules and logic) semata. Realitas itu menandai ekspektasi konstitusi, yakni terciptanya supremasi hukum dan persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Peradilan yang independen dan tidak memihak (fair tribunal and independence of judiciary) sebagai salah satu prasyarat bagi suatu negara hukum (rule of law) dengan demikian juga masih sangat problematis. Perilaku-perilaku para aktor dunia peradilan yang masih belum bisa bersikap adil, bahkan less authoritativeness ketika menghadapi pihak yang memiliki relasi dengan kekuasaan di satu pihak dan more authoritativeness ketika berhadapan dengan masyarakat kecil di lain pihak, makin mengukuhkan belum terjadinya lompatan paradigmatik. Kenyataan ini menandai bahwa kekuasaan masih menjadi panglima, bukan keadilan dan persamaan di dalam hukum. Sehingga, secara praktis tepatlah yang dikatakan oleh Marc Galanter (1970) bahwa “the haves come out ahead”. Dalam konteks teoritis, kenyataan ini mengukuhkan teorisasi “legal melee” Charles Sampford (1989) bahwa hukum tidaklah sistematis dan mengalami ketidakteraturan (legal disorder). Berbeda dengan pandangan ortodok yang menganggap hukum itu sistematis (law as a system) dan teratur. Artinya, hukum tunduk pada kekuatan-kekuatan sentripetal yang menciptakan institusi yang terorganisir, tetapi pada waktu yang sama juga tunduk pada kekuatan-kekuatan sentrifugal yang menciptakan konflik dan ketidakteraturan (disorder). Pasca orede baru, di era reformasi masyarakat indonesia sangat me-panglimakan hukum sebgai yang dapat diandalkan dalam era freformasi ini. Era politik pasca-Suharto adalah suatu masa transisi, yaitu peralihan dari suatu kekuasaan politik yang tertutup-sentralistis -otoriter menjadi terbuka-transparan-akuntabel. Seperti umumnya sebuah tatanan (order) transisi, maka suasana memang kacau (chaotic):yang lama sudah ambruk dan yang baru belum terbentuk. Meminjam istilah Boaventura de Sousa Santos, kita berada dalam suatu “paradigmatic transition”[4]
Kata kunci dalam gagasan hukum progresif adalah kesediaan untuk membebaskan diri dari faham status quo. Ide tentang pembebasan diri tersebut berkaitan erat dengan faktor psikologis atau spirit yang ada dalam diri para pelaku (aktor) hukum, yaitu keberanian (dare). Masuknya faktor keberanian tersebut memperluas peta cara berhukum, yaitu yang tidak hanya mengedepankan aturan (rule), tetapi juga perilaku (behavior). Berhukum menjadi tidak hanya tekstual, melainkan juga melibatkan predisposisi personal (Sadjipto Rahardjo, 2004). Pelaku hukum yang berani bukan sekedar pembicaraan atau sesuatu yang abstrak, melainkan sesuatu yang nyata ada dalam masyarakat.[5]
Asumsi dasar yang ingin diajukan oleh hukum progresif adalah mengenai pandangan tentang hubungan antara hukaum dengan manusia. Berkaitan dengan hal tersebut maka hukum tidak ada untuk dirinyaq sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih baik dan lebih besar, maka setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukum lah yang ditinjau dan diperbaiki serta bukan manusia yang dipaksa untuk dimasukkan kedalam sketsa hukum.[6]
Ubi societas ibi lus (dimana ada masyarakat disana ada hukum), demikian pribahasa latin mengajarkan pada kita.adappun pribahasa lain yang diungkapkan oleh Roscoe Pound yakni a tool of social enginnering “alat rekayasa masyarakat”, yakni hukum mempunyai misi agar sektor hukum dapat secara aktif memodernisasi masyarakat.[1] Law is a command of the Lawgiver (hukum adalah perintah dari penguasa), dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Demikian John Austin, seperti dikutip oleh Prof Lili Rasyidi.[2] Perdebatan mengenai hububngan hukum dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan. Pada sisi lain, pandangan berbeda datang dari kalangan aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum tidak dari dogmatika hukum dan undang-undang semata, akan tetapi dari kenyataan-kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat dan berpandangan bahwa hukum itu tergantung pada penerimaan umum dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup. Terlanjur memilih dan meyakini bahwa akan lebih praktis jika melanjutkan tradisi sistem hukum kolonial yang dianggap telah lebih dipahami serta memiliki struktur yang lebih pasti, ternyata bukan tanpa masalah dalam perjalanan selanjutnya. Mengesampingkan pilihan terhadap pemakaian hukum rakyat yang beragam dan tidak terumus secara eksplisit, dengan memilih pola hukum Eropa yang menganut asas ketunggalan melalui cara kodifikasi bukan tanpa konsekuensi.
Problema yang kemudian muncul adalah masalah fleksibilitas norma tertulis dalam implementasinya pada lembaga pengadilan. Rumusan norma hukum yang eksplisit dalam wujud perundang undangan tidak jarang malah terkesan kaku dan limitatif, meski dalam pengimplementasiannya masih terbuka peluang bagi hakim untuk melakukan interpretasi, mengingat kodifikasi norma hukum apa pun memang tercipta dengan kondisi yang tidak selalu lengkap. Di samping aspek norma, faktor lembaga pengadilan juga merupakan problema tersendiri, karena lembaga tersebut keberadaannya juga merupakan hasil introduksi pemerintah kolonial ke dalam sistem hukum rakyat jajahan. Oleh karena itu, dalam penerapannya untuk kasus-kasus konkrit di pengadilan, norma atau kaidah hukum itu tidak jarang juga memunculkan pelbagai persoalan yang bermuara pada sulitnya mewujudkan keadilan substansial (substantial justice) bagi para pencarinya. Betapa tidak, cara pandang hakim terhadap hukum seringkali amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum. Hakim hanya menangkap apa yang disebut “keadilan hukum” (legal justice), tetapi gagal menangkap “keadilan masyarakat” (social justice). Hakim telah meninggalkan pertimbangan hukum yang berkeadilan dalam putusanputusannya. Akibatnya, kinerja pengadilan sering disoroti karena sebagian besar dari putusan-putusan pengadilan masih menunjukkan lebih kental “bauformalisme-prosedural” ketimbang kedekatan pada “rasa keadilan warga masyarakat.” Dalam kaitannya dengan uraian di muka, benar apa yang diutarakan Prof.Esmi Warassih dalam pidato pengukuhan beliau sebagai guru besar bahwa “Penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan masyarakat merupakan masalah, khususnya di negara-negara yang sedang berubah karena terjadi ketidakcocokan antara nilai-nilai yangmenjadi pendukung sistem hukum dari negara lain dengan nilai-nilai yangdihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri.”[3]
Perkembangan sistem hukum Indonesia, kita akan melihat adanya ciri-ciri yang spesifik dan menarik untuk dikaji. Sebelum pengaruh hukum dari penjajahan Belanda di Indonesia berlaku hukum adat dan hukum Islam yang berbeda-beda dari berbagai masyarakat adat di Indonesia dari setiap kerajaan dan etnik yang berbeda. Setelah masuk penjajah Belanda membawa hukumnya sendiri yang sebagian besarnya merupakan konkordansi dengan hukum yang berlaku di Belanda yaitu hukum tertulis dan perundang-undangan yang bercorak positivis. Walaupun demikian Belanda menganut politik hukum adat (adatrechtpolitiek), yaitu membiarkan hukum adat itu berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia asli dan hukum Eropa berlaku bagi kalangan golongan Eropa yang bertempat tinggal di Indonesia (Hindia Belanda). Dengan demikian pada masa Hindia Belanda berlaku pluralisme hukum. Perkembangan hukum di Indonesia menunjukkan kuatnya pengaruh hukum kolonial dan meninggalkan hukum adat. (baca Daniel S. Lev, 1990 : 438-473).[4] Beguti juga dengan para penegak hukumya (polisi,jaksa, penasehat hukum dll) mereka hanya
Penerapan sistem hukum yang ada saat ini, banyak yang menyimpang dari garis-garis yang telah dipatrikan oleh para panggagas reformasi. Harapan pada penegakan supremasi hukum pun merupakan agenda penting dari reformasi. Namun sistem yang membawa keadilan ini seolah tak berdaya untuk menguak dan membersihkan sistem yang penuh ketidakadilan. Satu hal yang menjadikan negara tetap diakui eksistensinya, yaitu menegakkan hukum. Keberhasilan atau kegagalan menjadikan hukum sebagai panglima keadilan sangat ditentukan oleh proses dan keputusan hukum yang dilakukan oleh negara saat ini. Upaya penegakan hukum di Indonesia sedang berada disebuah persimpangan. Hingga kini potret penegakan hukum masih buram. Menurut Munarman hal ini terjadi akibat proses panjang sistem politik masa lalu yang menempatkan hukum sebagai subordinasi politik. Sistem peradilan yang tidak independen dan memihak dengan dalih dan banyaknya kepentingan. Reformasi hukum yang dilakukan hingga kini belum menghasilkan keadilan bagi seluruh masyarakat. Keadilan masih dibayangi oleh kepentingan dan unsur kolusi para aparat penegak keadilan dinegeri yang ber-keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia ini.
Hukum progresif sebagai Manivestasi Nilai-Nilai keadilan
Konsep Hukum progresif
Penulis berfokus pada solusi tentang rekontuksi sistem hukumnya, yaitu menurut penulis penegak hukum lebih menekankan pada mengutamakan nilai-nilai keadilan dalam melihat dan memutus peristiwa hukumnya. Hukum diindonesia sekarang ini entah penegak hukum dan penguasanya hanyalah memikirkan apa yang ada dalam undang-undangnya atau peraturanya (penganut aliran positivistik). Berbeada dengan hukum progresif mengandung semanagt pembebasan yaitu pembebasan dari tradisi berhukum konvensional yang legalistik dan linier. (Prof Sadjipto rahardjo), hukum progresif hadir ditengah-tengah ambruknya dunia hukum dinegeri ini, menyadarkan kita bahwa menjalankan hukum tidak sekedar menurut kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the latter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to the  very meaning) dari undang-undang atau hukum.hukum tidak hanya dijalankan dengan kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual, menjalankan hukum haruslah dengan determinasi, empaty, komitmen terhadap penderitaan bangsa untuk berani mencari jalan lain guna mensejahterakan rakyat. [5] berbanding terbalik dengan Aliran positivisme, hukum ini berasal dari ajaran sosiologis yang dikembangkan oleh filosof Perancis; August Comte (1798-1857), yang berpendapat bahwa terdapat kepastian adanya hukum-hukum perkembangan mengatur roh manusia dan segala gejala hidup bersama dan itulah secara mutlak. August Comte hanya mengakui hukum yang dibuat oleh negara. (Achmad Ali, 2002, : 265). Untuk memahami positivisme hukum tidak dapat diabaikan metodelogi positivis dalam sains yang mengaruskan dilakukannya validasi dengan metode yang terbuka atas setiap kalin atau proposisi yang diajukan. Karena itu bukti empirik adalah syarat universal untuk diterimanya kebenaran dan tidak berdasarkan otoritas tradisi atau suatu kitab suci.[6] Menurut Fletcher (Fletcher 1996 : 33) Positivisme hukum mempunyai pandangan yang sama tentang diterimanya validasi. Seperti halnya positivisme sains yang tidak dapat menerima pemikiran dari suatu proposisi yang tidak dapat diverifikasi atau yang tidak dapat difalsifikasi., tetapi karena hukum itu ada karena termuat dalam perundang-undangan apakah dipercaya atau tidak. Hukum harus dicantumkan dalam undang-undang oleh lembaga legislatif dengan memberlakukan, memperbaiki dan merubahnya.[7]
Kata-kata kunci yang terkenal dalam hukum progresif adalah:
  1. Hukum progresif itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Pada hakikatnya setiap manusia itu baik, sehingga sifat ini layak menjadi modal dalam membangun kehidupan berhukumnya. Hukum bukan raja (segalanya), tetapi sekadar alat bagi manusia untuk memberi rahmat kepada dunia dan kemanusiaan.16 Hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Maka, setiap ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau serta diperbaiki, bukan manusia yang dipaksapaksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum.[8]
  2.  Hukum progresif itu harus pro-rakyat dan pro-keadilan. Hukum itu harus berpihak kepada rakyat. Keadilan harus didudukkan di atas peraturan. Para penegak hukum harus berani menerobos kekakuan teks peraturan (diistilahkan sebagai "mobilisasi hukum"[9]jika memang teks itu mencederai rasa keadilan rakyat. Prinsip pro-rakyat dan pro-keadilan ini merupakan ukuran-ukuran untuk menghindari agar progresivisme ini tidak mengalami kemerosotan, penyelewengan, penyalahgunaan, dan hal negatif lainnya.[10]
  3. Hukum progresif bertujuan mengantarkan manusia kepada kesejahteraan dan kebahagiaan. Hukum harus memiliki tujuan lebih jauh daripada yang diajukan oleh falsafah liberal. Pada falsafah pascaliberal, hukum harus mensejahterakan dan membahagiakan. Hal ini juga sejalan dengan cara pandang orang Timur yang memberikan pengutamaan pada kebahagiaan.[11]
  4. . Hukum progresif selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the making). Hukum bukan institusi yang final, melainkan ditentukan oleh kemampuannya mengabdi kepada manusia. Ia terus-menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Setiap tahap dalam perjalanan hukum adalah putusan-putusan yang dibuat guna mencapai ideal hukum, baik yang dilakukan legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. Setiap putusan bersifat terminal menuju kepada putusan berikutnya yang lebih baik. Hukum tidak pernah bisa meminggirkan sama sekali kekuatankekuatan otonom masyarakat untuk mengatur ketertibannya sendiri. Kekuatankekuatan tersebut akan selalu ada, sekalipun dalam bentuk terpendam (laten). Pada saat-saat tertentu ia akan muncul dan mengambil alih pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan dengan baik oleh hukum negara. Maka, sebaiknya memang hukum itu dibiarkan mengalir saja.[12]
  5. Hukum progresif menekankan hidup baik sebagai dasar hukum yang baik. Dasar hukum terletak pada perilaku bangsanya sendiri karena perilaku bangsa itulah yang menentukan kualitas berhukum bangsa tersebut. Fundamen hukum tidak terletak pada bahan hukum (legal stuff), sistem hukum, berpikir hukum, dan sebagainya, melainkan lebih pada manusia atau perilaku manusia. Di tangan perilaku buru, sistem hukum akan menjadi rusak, tetapi tidak di tangan orangorang dengan perilaku baik.[13]
  6. Hukum progresif memiliki tipe responsif. Dalam tipe responsif, hukum akan selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri, yang disebut oleh Nonet dan Selznick sebagai "the souverignity of purpose". Pendapat ini sekaligus mengritik doktrin due process of law. Tipe responsif menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tidak dapat digugat.[14]
  7. Hukum progresif mendorong peran publik. Mengingat hukum memiliki kemampuan yang terbatas, maka mempercayakan segala sesuatu kepada kekuatan hukum adalah sikap yang tidak realistis dan keliru. Di sisi lain, masyarakat ternyata memiliki kekuatan otonom untuk melindungi dan menata dirinya sendiri. Kekuatan ini untuk sementara tenggelam di bawah dominasi hukum modern yang notabene adalah hukm negara. Untuk itu, hukum progresif sepakat memobilisasi kekuatan otonom masyarakat (mendorong peran publik).[15]
  8. Hukum progersif membangun negara hukum yang berhatinurani. Dalam bernegara hukum, yang utama adalah kultur, "the cultural primacy." Kultur yang dimaksud adalah kultur pembahagiaan rakyat. Keadaan tersebut dapat dicapai apabila kita tidak berkutat pada "the legal structure of the state" melainkan harus lebih mengutamakan "a state with conscience". Dalam bentuk pertanyaan, hal tersebut akan berbunyi: "bernegara hukum untuk apa?" dan dijawab dengan: "bernegara untuk membahagiakan rakyat."[16]
  9. Hukum progresif dijalankan dengan kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual tidak ingin dibatasi patokan (rule-bound), juga tidak hanya bersifat kontekstual, tetapi ingin keluar dari situasi yang ada dalam usaha mencari kebenaran makna atau nilai yang lebih dalam.[17]
  10. Hukum progresif itu merobohkan, mengganti, dan membebaskan. Hukum progresif menolak sikap status quo dan submisif. Sikap status quo menyebabkan kita tidak berani melakukan perubahan dan menganggap doktrin sebagai sesuatu yang mutlak untuk dilaksanakan. Sikap demikian hanya merujuk kepada maksim "rakyat untuk hukum"[18]
Penegakan hukum (law enforcement). Merupakan ujung tonbak dari terciptanya tatananhukum yang baik dalam masyarakat. Prof sarjono soekamto memaparkan penegakan hukum ialah “kegiatan penyerasian hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah yang mantab dan mengejawatah dan sikap tindak  sebagai rangkayan penjabaran nilai  tahap akhir, untuk menciptakan memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup”, lebih jauh Prof sarjono soekamto memaparkan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penegak hukm adalah:[19]
1)      Faktor hukumnya sendiri (termasuk faktor undang-undang)
2)      Faktor penegak hukum (pembentuk maupun penerap hukum)
3)      Faktor sarana atau fasilitas ynag mendukuang penegakan hukum.
4)      Faktor masyarakat
5)      Faktor kebudayaan
Ada istilah popular yang harus menjadi legal frame work bagi penegak keadilan yaitu salus populi suprema lex ( penegakan hukum demi kesejahteraan rakyat adalah segala -galanya, karena kepentingan dan keselamatan rakyat harus menjadi skala prioritas),istilah di atas akan sangat komplek dalam penerapannya mengingat tingkat pemahaman, penafsiran dan peletakannya masih terjadi perbedaan baik dikalangan akademisi maupun praktisi. Kalangan akademisi lebih mengedepankan fungsi sosiologis yang bersandar pada penalaran hukum (legal reasoning) guna mencapai nilai kesejahteraan masyarakat di bidang hukum yaitu dalam bingkai pengayom masyarakat, Konsepsi mengenai masyarakat tak dapat lepas dari konsepsi tentang manusia. Kegagalan dalam memahami manusia akan menyebabkan kegagalan yang sama dalam memahami masyarakat, serta kekeliruan dalam memperlakukannya. Manusia merupakan puncak kesempurnaan penciptaan. Di antara seluruh makhluk, manusialah yang dianugerahi keutamaan untuk memiliki “unsur ilahiyah” yakni perwujudan ruh Tuhan, yang kelak akan menjadi modal baginya untuk berakhlak berdasarkan sifat-sifat Tuhan.[20]
Dampak yang muncul dipermukaan banyak kita rasakan adanya idealisme yang menggebu dalam menyikapi terjadinya perubahan hukum yang menurutnya tidak sejalan dengan pola fikir yang dipelajarinya. Keadaan di atas kadang berbanding terbalik apabila kita sejajarkan dengan pemahaman dikalangan praktisi, asumsi itu tidak berlebihan karena kalangan praktisi sendiri masih ada yang pola fikirnya terbelah menjadi dua antara mengedepankan nilai normatif (baca: mengedepankan kepastian hukum) dengan nilai sosiologis (baca; mengedepankan nilai keadilan bagi pencari keadilan).Oleh karena kegelisahan itulah muncul gagasan tentang hukum progresif sebagai bagian dari sistem hukum yang harus ada diindonesia, Berbicara dalam terma tipologi, maka cara berhukum progresif dimasukkan ke dalam tipe berhukum dengan nurani (conscience). Berhukum sebagai mesin bertolak belakang dengan tipe hukum bernurani ini. Penilaian keberhasilan hukum tidak dilihat dari diterapkannya hukum materiel maupun formal, melainkan dari penerapannya yang bermakna dan berkualitas. Cara berhukum itu tidak hanya menggunakan rasio (logika), melainkan juga sarat dengan kenuranian atau compassion. Di sinilah pintu masuk bagi sekalian modalitas seperti tersebut di atas, yaitu empati, kejujuran, komitmen dan keberanian. Dengan demikian maka kita akan berbicara mengenai “nurani pengadilan” (conscience of the court), “nurani kejaksaan”, “nurani advokat” dan seterusnya.
Kendatipun hukum progresif sangat menekankan pada perilaku nyata dari para aktor hukum, namun ia tidak mengabaikan peran dari sistem hukum di mana mereka berada. Dengan demikian hukum progresif memasuki dua ranah, yaitu sistem dan manusia. Keduanya membutuhkan suntikan yang mencerahkan sehingga menjadi progresif. Para pelaku boleh bertindak progresif, tetapi apabila sistemnya menghambat, seperti cerita tentang jaksa kecil, maka tindakan mereka menjadi sia-sia belaka. Seorang jaksa yang berpikiran dan bertindak progresif akan terbentur pada tembok “satu dan tidak dapat dipecah-pecah” itu. Alih-alih menjadi “pahlawan”, mereka malah menjadi orang yang bersalah (culprit). Hal yang sebaliknya juga dapat terjadi, yaitu manakala sumberdaya manusia yang menjalankan hukum itu tidak berwatak dan berpikir progresif.
Berdasarkan pemahaman di atas, maka progresifitas menyangkut, baik peran pelaku hukum, maupun sistem itu sendiri. Keadaan menjadi ideal, manakala baik manusia maupun sistemnya sama-sama progresif. Para aktor dalam hukum belch progresif, tetapi, seperti contoh di atas, apabila sistemnya tidak mendukung, maka mereka yang progresif malah akan menjadi pihak yang salah (culprit).Dengan demikian, dalam konteks ide hukum progresif, maka kita perlu juga untuk meneliti mana-mana sistem yang menghambat atau berpotensi menghambat laju hukum progresif. Hal yang sebaliknya dapat juga terjadi, yaitu manakala sistem dan sekalian perangkat lunak telah dirancang dengan progresif, tetapi apabila sumberdaya manusia yang ada tidak progresif, maka rancangan tersebut tak dapat diwujudkan secara optimal.
Membangun kekuatan hukum yang bermoral dan berkeadilan untuk mematahkan kekuatan pro status quo sungguh merupakan upaya yang tidak ringan dengan hanya membalikkan sebelah tangan. Upaya tersebut tentu saja harus dimulai dari bawah dan tidak dari atas. Dari bawah maknanya, proses pendidikan hukum yang selama ini berlangsung di Indonesia hendaknya berbenah dan mengubah haluan. Fakultas-fakultas hukum tidak sekedar mendidik mahasiswa hukum yang akan menjadi calon-calon tukang menerapkan hukum positip yang kerjanya seperti robot yang tidak bernurani, melainkan harus mendidik manusiamanusia yang memahami hukum sambil menata dan mengasah qalbunya atau nuraninya agar dalam menekuni profesi mereka menegakkan hukum, yang bersangkutan mampu berpihak pada kata hatinya yang paling dalam. Proses tersebut harus tercermin dalam usaha pembaharuan pendidikan hukum di tanah air kita, yang mengarah pada perubahan sikap seseorang terhadap masalah yang dihadapi bangsa ini. Hal itu harus dilakukan sebagai imbangan dari pendidikan tinggi hukum yang berpretensi “akademis universiter” atau“teoritis ilmiah”[21]. Janganlah hanya bersikaf diam, akan tetapi siap menghadapai tantangan jaman (hukum yang carut-marut), sebagai mahasiswa hukum selayaknya kita mempunyai sebuat etos perjuangan demi merubah suatu peradaban, yang dimana kita akhirnya keluar dari proses dimana kita terpuruk. Bersikaf ikhlas dan terus berfikir itu adalah sebuah keharusan bagi setiap manusia khususnya mahasiswa Karena Keutuhan bentuk perjuangan tersebut dituntut untuk tetap dijaga dengan sikap diri yang bernama “ikhlas”. Ikhlas mencerminkan suatu bentuk hubungan antara makhluk dan khaliknya. Oleh sebab itu ikhlas tidak dicerminkan oleh ucapan atau janji seorang manusia kepada manusia lainnya melainkan dicerminkan dari konsistensi perjuangan dan pengorbanan yang ia lakukan. Konsistensi ini tidak tergantung pada imbalan yang ia terima dari sesama manusia. Bahkan berjihad dengan segala pengor-banannya lebih sering mendapat celaan oleh manusia lainnya daripada imbalan. Maka dari itu ikhlas menjadi penyempurna atas perjuangan menegakkan kebenaran. Inilah kunci bagi pejuang yang tidak akan lupa diri ketika menerima satu tahap keberhasilan juga tidak akan tenggelam ketika mengalami kegagalan.[22]



PENUTUP
  1. KESIMPULAN
Ø  Kondisi apa pun yang terjadi pada saat ini, baik dalam proses maupun dalam penegakan hukum di Indonesia, tentu saja tidak dapat dilepaskan dari rangkaian peristiwa serta kondisi objektif masa lalu sebagai latar belakang. Merubah suatu sistem tidak semudah yang kita bayangkan, merubah sistem akan menhancurkan seluruh pondasi yang telah bangsa indonesia letakkan. Mereknontruksi (menyusun kembali) akan sedikit mudah, karena hanya merenovasi bangunannya, bukan pondaasinya akan tetapi masih tetap perlu memerlukan waktu, tenanga, materill an yang terpenting adalah keasadaran moral setiap pelaku hukum. Keinginan kuat untuk memodernisasikan hukum di Indonesia yang merdeka dan berdaulat, merupakan salah satu alasan memilih untuk melanjutkan keadaan serta sistem hukum masa kolonial. Pertimbanganitu diambil karena untuk memilih hukum rakyat Indonesia sendiri juga dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah, sebab hukum rakyat disamping tidak tertulis juga sangat pluralistik adanya. Oleh sebab itu,setelah melalui serangkaian pengkajian dan pertimbangan, keputusan memilih untuk menggunakan hukum tertulis dengan sistem kodifikasi sebagai pelanjutan keadaan (status quo) masa kolonial, semata-mata didasarkan pada pertimbangan segi kepraktisan dan kepastian. Setelah melampaui proses pengujian melalui perjalanan waktu, penggunaan hukum tertulis yang dipositipkan penguasa itu ternyata tidak selalu sesuai dengan harapan masyarakat yang mencari keadilan. Keadilan yang diberikan oleh para penegak hukum dirasakan hanya sebatas keadilan hukum (legal justice) dan sama sekali tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat (substantial justice). Akibatnya, penegakan hukum di negeri ini tampak jelas carut marutnya. Oleh karena yang terjadi adalah “penegakan hukum semu” (pseudo law enforcement). Suatu keadaan dimana seolah-olah telah dilakukan penegakan hukum, padahal sesungguhnya aparat penegak hukum sama sekali tidak melakukan apa pun yang sesuai dengan harapan masyarakat.
Ø  progresif memang muncul dari kerisauan kita sebagai bangsa terhadap kurangnya keberhasilan cara kita berhukum untuk turut memecahkan problem-problem besar bangsa dan negara kita. Cara-cara berhukum yang lama, yang hanya mengandalkan penerapan undang-undang, sudah waktunya untuk ditinjau kembali. Selama ini, dengan cara berhukum yang demikian itu, hukum kurang mampu untuk memecahkan problem sosial. Penegakan hukum memang sudah dilakukan, tetapi belum menyelesaikan problem sosial.Suatu cara berhukum yang baru perlu dilakukan untuk menembus kemacetan. Sejak hukum progresif menyimpan banyak alternatif terhadap cara berhukum yang lama, maka sekalian arsenal kesenjataan yang ada pada hukum progresif perlu dikerahkan, mulai dari pengkonsepan kembali hukum, paradigma, penegakan hukum, pembuatan hukum, pendidikan dan lain-lain.
Ø  Seruan untuk menggalang kekuatan dalam wadah gerakan moral yang disebut “kekuatan hukum progresif “ sebagai sebuah kekuatan hukum anti-status quo sesungguhnya merupakan respons terhadap keadaan pseudo law enforcement tadi. Tanpa menafikan kehadiran hukum positif, kekuatan hukum progresif harus diberi makna yang lebih makro. Artinya, sebagai suatu gerakan moral dari sejumlah kekuatan yang dapat terdiri atas para ahli hukum (baik sebagai pendidik, aparatur penegak hukum, maupun birokrat),
Ø  mereka harus bersatu untuk secara pro-aktif mengupayakan agar proses pendidikan, pengembangan, maupun penegakan hukum di Indonesia berpihak dan mengutamakan keadilan bagi sebanyak-banyaknya rakyat Indonesia. Semua itu hanya mungkin dapat dilakukan secara berkesinambungan apabila tunas-tunas bangsa yang sedang dipersiapkan untuk menjadi ahli hukum di masa-masa mendatang juga diubah proses pembelajarannya. Adalah conditio sine qua non terhadap mereka caloncalon sarjana hukum Indonesia masa depan itu pembelajarannya dilengkapi dengan pendidikan budi pekerti, etika serta moral keagamaan yang kuat, sehingga kecerdasan intelektual mereka akan tumbuh secara simultan bersama kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
Ø  Kader HmI harus berpegang teguh pada khittoh perjuanganya. Seorang kader yang berpegang teguh pasti akan tahu tentang apa yang harus dilakukanya, menuju nilai-nilai keadilan itu hampir mirip dengan tujuan HmI. Yakni ....turut bertanggungjwab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoai ALLAH SWT. Inilah seharusnya yang menjadi tonggak persamaan persepsi kita.



[1] Daniel S. Lev., “Hukum Kolonial dan Asal-usul Pembentukan Negara Indonesia” dalam Hukum dan Politik di Indonesia-Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta: LP3ES, 1990, hlm. 438.
[2] Soetandyo Wignjosoebroto boleh disebut sebagai satu-satunya Guru Besar (bukan Ilmu Hukum) di Indonesia namun secara konsisten dan tekun melalui beberapa bukunya mencoba mengintroduksikan dengan cara mengelaborasi kembali kondisi Indonesia di masa lalu termasuk proses pemberlakuan hukum asing kepada rakyat jajahan kala itu, sehingga generasi bangsa Indonesia dewasa ini diharapkan mendapatkan panduan yang
jelas mengenai hal tersebut Untuk lebih lengkapnya paparan itu dapat dibaca pada bukunya. Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke HukumNasional – Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994, hlm. 1.
[3] Diposting dari. http/www.supanto.staff.hukum.uns.ac.id.tanggal 17 agustus.jam 11.00 Wib.
[4] Sousa, Boaventura de Sousa, Toward a New Common Sense: Law, Science and Politics in the Paradigmatic Transition, N.Y. : Routledge, 1995. Diposting diwww.supanto.staff.hukum.@blogspot.com tanggal 17 agustus.jam 12.00 Wib.
[5] http//www.supanto.staff.hukum.@blogspot.com. tanggal 17 agustus.jam 13.00 Wib.
[6] Satjipto raharjo.hukum progresif sebuah sintesa hukum indonesia.cet I,yogyakarta.Genta publising.2009.hal.5.

[7] Munir fuady.aliran hukum kritis(paradigma ketidakberdayaan hukum),bandung:P.T citra aditya bakti,2003.hlm. iii.
[8] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. II, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 2002.
[9] Lihat Esmi Warassih Pujirahayu, “Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewujudkan Tujuan Hukum (Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan)”; Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Undip, Semarang, 14 April 2001, h. 12. Dikutip oleh erman suparman.makalah kuliah ASAL USUL SERTA LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU HUKUM INDONESIA (Kekuatan Moral Hukum Progresif sebagai das Sollen)
[10]  Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Op.Cit
[11] Satjipto raharjo.hukum progresif sebuah ..Op.Cit..hal.Vi.
[12] Bushar Muhammad, Asas_Asas Hukum Adat, Suatu Pengantar, Cet. ke 4, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983.
[13] Fletcher, George P, Basic Concepts of Legal Thougt, (terjemahan)Oxford University Press, New York, 1996.
[14] Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif..., Op. Cit., hlm.32.
[15] Ibid., hlm. 24.
[16] Ibid., hlm. 18-19.
[17] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), hlm. 9-15.
[18] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007),hlm. x.
[19] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku: Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009), hlm. ix dan 168.
[20] Satjipto Rahardjo, Hukum responsif..., Op. Cit., hlm. 6-7.
[21] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum..., Op. Cit., hlm. 75-81
[22] Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm.67
[23] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum..., Op. Cit., hlm. 17.
[24] Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif..., Op. Cit., hlm. 143.
[25] Soerjono soekamto. “penegakan hukum lalu lintas dan kepatuhan terhadapnya” dalam majalah hukum dan pembangunan, no.1 januari 1978.jakrta:FH UI.1978 dikutip oleh munir fuady.Aliran hukumkritis... Op.Cit. hlm.46.
[26] Khittoh Perjuangan.(wawasan sosial).Konstitusi HmI kongres ke-27.di yogyakarta.
[27] Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional. LPHK Fakultas Hukum Unpad, Bandung: Binacipta, 1976, hlm. 3.
[28] Khittoh Perjuangan.(Etos Perjuangan)Konstitusi HmI kongres ke-27.di yogyakarta.





DAFTAR PUSTAKA
Ali .Achmad, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. II, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 2002.
Daniel S. Lev., “Hukum Kolonial dan Asal-usul Pembentukan Negara Indonesia”.        dalam Hukum dan Politik di Indonesia-Kesinambungan dan Perubahan.   Jakarta: LP3ES, 1990, hlm. 438.
Fletcher, George P, Basic Concepts of Legal Thougt, Oxford University Press, New York, 1996.
Fuady.Munir. Aliran hukum kritis(paradigma ketidakberdayaan hukum),bandung:P.T citra aditya bakti,2003.
Khittoh Perjuangan. Konstitusi HmI kongres ke-27.di yogyakarta.
Kusumaatmadja.Mochtar, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional. LPHK Fakultas Hukum Unpad, Bandung: Binacipta, 1976.
Muhammad .Bushar, Asas_Asas Hukum Adat, Suatu Pengantar, Cet. ke 4, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983.
Rahardjo, Satjipto. Membedah Hukum Progresif , Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006.
Rahardjo, Satjipto. Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum .Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007.
Raharjo.Satjipto,Hukum progresif sebuah sintesa hukum indonesia.cet I, Yogyakarta.Genta publising.2009.
Wignjosoebroto. Soetandyo Dari Hukum Kolonial Ke HukumNasional – Dinamika      Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994.

Makalah dan media internet
http/www.supanto.staff.hukum.uns.ac.id
http//andre_aja@blogspot.co.id
erman suparman. makalah kuliah ASAL USUL SERTA LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU HUKUM INDONESIA (Kekuatan Moral Hukum Progresif sebagai das Sollen).