Copyright of static.arrahmah.net
Posisi kasus
ANALISIS
Karena berkelahi di sekolah masuk tahanan dan disidang. Anak yang belum lagi berusia 9 tahun ini mengalami trauma akibat peradilan yang harus dijalaninya. Sementara itu kasus ini terus berjalan dengan dalih mengikuti prosedur. Apakan prosedur bisa mengalahkan hati nurani? Ternyata pula ada unsur korupsi dan “peradilan hitam” di balik kasus ini.
Sebenarnya siapakah Raju? Bocah kelas tiga SD bernama lengkap Muhammad Azuar itu hanya anak desa biasa. Kasus Raju memang membuat kita terhenyak. Bagaimana mungkin anak di bawah umur itu didudukkan sebagai pesakitan di persidangan, dipaksa menyimak tuntutan, dan ditahan bersama para tahanan dewasa? ‘’Aku lihat mereka pakai baju hitam, di lehernya warna merah,'’ kata Raju, saat menggambarkan pakaian Tiurmaida Pardede, hakim tunggal yang mengadilinya.
Persoalannya sebenarnya sederhana, perkelahian antarbocah yang dimulai dari olok-olok (Bullying). Raju sendiri tidak lebih dari anak nakal, sebagaimana dibenarkan bocah-bocah desa itu. ‘’Wah, Raju dan abangnya itu sering memukuli kita. Coba tanya anak-anak di sini, pasti mereka pernah di-tokoki(dijitak) olehnya,'’ kata anak-anak itu. Kebiasaan Raju itu juga yang membuat perkara. Akibat adiknya, Iswandi, tidak mau bersekolah karena sering dijitak Raju, Armansyah (Eman) pun terlibat perkelahian dengan penjitak kepala adiknya itu, meski memiliki usia di atas Raju, Eman, anak penderas nira itu, kalah otot dibanding Raju yang dibesarkan dalam keluarga yang berkecukupan.
Wajar saja jika Eman malah ditindih Raju, dan perutnya berkali-kali dihajar lutut adik kelasnya itu. Usaha damai pun sudah dilakukan, Saidah sendiri membenarkan, pada 31 Agustus sore, tahun lalu, rumahnya dikunjungi Ani Sembiring dan anaknya, Eman. Saat itu Ani memberitahukannya soal perkelahian itu. Raju mengakui, perkelahian itu terjadi karena dia terus diejek Eman. ‘’Raju juga luka-luka. Bibirnya sampai pecah, kok,'’ kata Saidah. Saidah mengaku membawa Eman berobat. ‘’Saya sampai keluar uang Rp 75 ribu,'’ kata dia. Hanya, saat Ani dan Eman datang lagi esok harinya, ia mengaku menolak. ‘’Saya tak kasih karena tak sanggup penuhi itu,'’ kata dia. Saidah juga mengatakan, saat itu Ani mengancam akan melaporkan Raju ke polisi. 1 September 2005, dengan sepengetahuan Kepala Desa Paluh Manis, Syamsir Siregar, Ani melaporakn Raju ke polisi. Saidah juga mengaku pernah menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP), pada 3 September 2005 lalu, di Polsek Gebang, Langkat. Saat itu, ia menjelaskan, Raju lahir pada Mei 1997. Jadi ketika perkelahian terjadi, Raju berusia 8 tahun 3 bulan.
Pihak Polsek dan aparat desa pun bukan tanpa usaha mendamaikan. Sayang, tak kunjung berhasil. Awalnya, Ani hanya meminta ganti uang pengobatan kepada keluarga Raju sebesar Rp 500 ribu. Itu pun ditolak Saidah, dengan alasan tak punya uang. Ketiga kalinya, pada 27 Oktober 2005, upaya perdamaian ketiga dilakukan dengan bantuan LSM setempat. Saat itu pihak LSM mengajukan biaya pengobatan ke pihak Saidah-Sugianto sebesar Rp 3 juta (gila, anak berantem aja minta 3 juta). Tentu saja, upaya damai dengan dana yang lebih besar itu ditolak Saidah. Rupanya, berkas terus mengalir ke Kejaksaan Negeri Langkat. Sesuai hasil pemeriksaan anggota Badan Penelitian Kemasyarakatan untuk Sidang Pengadilan Anak (BAPAS), Armin Silalahi, menerangkan Raju bisa diproses di persidangan. Keterangan BAPAS menyatakan, ‘’Apabila terbukti bersalah, agar dapat diberikan tindakan dengn dikembalikan kepada orang tua, dengan pembimbingan diserahkan kepada BAPAS kelas I anak, orang tua, kejaksaan, serta aparat setempat, mengacu pada UU Nomor 3/1997 tentang Pengadilan Anak'’. Akhirnya, JPU dari Kejaksaan Negeri Stabat, Langkat, AP Frianto, melimpahkan berkas itu ke pengadilan. Raju dijerat pasal 351 KUHP soal penganiayaan. Persidangan bagi anak dilakukan secara tertutup dengan hakim tunggal Tiurmaida Pardede.
Kasus yang seharusnya diselesaikan dalam keluarga dan sekolah diperpanjang hingga pengadilan. Pengadilan pun tidak melihat kasus ini cacat hukum dengan mesidangkan anak di bawah umur (bahkan sempat menahannya bersama dengan tahanan orang dewasa). Lantas kemana nurani sehingga mengalahkan kepentingan prosedur dan keadilan? Keadilan macam apa?
ANALISIS
Tentang sidang raju yang cacat
Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak.Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Yang terakhir, institusi penghukuman.[1]
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia berhadapan dengan hukum, yaitu:[2]
1. Status Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;
2. Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum
Pelaksanaan Sitem Peradilan Pidana Anak sebagaimana telah dipaparkan diatas ditegakkannya demi mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata lain, Sitem Peradilan Pidana Anak berdasarkan pada perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak(protection child and fullfilment child rights based approuch). Deklarasi Hak-Hak Anak tahun 1959 dapat dirujuk untuk memaknai prinsip kepentingan terbaik untuk anak. Prinsip kedua menyatakan bahwa anak-anak seharusnya menikmati perlindungan khusus dan diberikan kesempatan dan fasilitas melalui upaya hukum maupun upaya lain sehingga memungkinkan anak terbangun fisik, mental, moral, spiritual dan sosialnya dalam mewujudkan kebebasan dan kehormatan anak. Dalan kerangka hak sipil dan politik, prinsip ini dapat dijumpai dalam 2 (dua) Komentar Umum Komisi Hak Asasi Manusia (General Comments Human Rights Committee) khsususnya Komentar Umum Nomor 17 dan 19) sebagai upaya Komisi melakukan interpretasi hukum atas prinsip kepentingan terbaik anak dalam kasus terpisahnya anak dari lingkungan orang tua (parental separation or divorce.[3]
Sehubungan dengan hal ini, Muladi yang menyatakan bahwa criminal justice system memiliki tujuan untuk : (i) resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana; (ii) pemberantasan kejahatan; (iii) dan untuk mencapai kesejahteraan sosial.[4] Berangkat dari pemikiran ini, maka tujuan sistem peradilan pidana anak terpadu lebih ditekankan kepada upaya pertama (resosialiasi dan rehabilitasi) dan ketiga (kesejahteraan sosial).
Kasus-kasus kejahatan yang melibatkan anak sebagai pelaku kejahatan membawa fenomena tersendiri. Mengingat anak adalah individu yang masih labil dan emosional, maka penanganan kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak perlu mendapat perhatian khusus, yang dimulai dati hukum acara pidana yang berlaku terhadap anak. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hukum acara pidana khusus untuk anak yang berkonflik dengan hukum, hak dan kewajiban yang diperoleh anak yang berkonflik dengan hukum, dan bagaimana penanganan yang diberikan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, Undang-undang No.3 Tahun 1997 memberikan landasan formil-juridis dalam pembentukan 1embaga Peradilan Anak sebagai lembaga Peradilan Khusus yang berada dalam ruang lingkup Peradilan Umum. Dalam skripsi yang berjudul "lmplementasi UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Dalam Memberikan Perlindungan Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum (Analisis Kasus Raju di Pengadi1an Negeri Stabat) ini mengetengahkan suatu permasalahan tersendiri mengenai eksistensi dan implementasi dati UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam memberikan per1indungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.
Didalam pembahasan terhadap permasalahan tersebut penulis melakukan penelitian dengan metode penelitian hukum nornatif dan empiris (yuridis-sosiologis) dimana dalam tahap awal penulis terlebih dahulu melakukan penelitian terhadap bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan anak dan perlindungan hukum yang diberikan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum berdasarkan UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Tahap selanjutnya penulis melakukan penelitian dengan menggunakan tekhnik wawancara dan mengumpulkan bahan dari narasumber yaitu Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) dan Pengadilan Negeri Stabat untuk mengetahui bagaimana upaya perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dalam praktek di lapangan. Dati penelitian tersebut dapat diketahui bahwa peran UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum ternyata sangat minimal dan belum menunjukkan efektifitas yang baik dimana banyak anak yang berkonflik dengan hukum ternyata mendapat perlakuan sewenang-wenang dati aparat penegak hukum seperti yang terjadi pada Muhammad Azuar alias Raju, yang didakwa atas perbuatan penganiayaan karena berkelahi dengan Armansyah alias Eman yang dilakukan pada hari Rabu tanggal 31 Agustus 2005 bertempat di Gang Antara Desa Paluh Mauis Kec. Gebang Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Raju yang masih berusia 8 (de1apan) tahun terpaksa harus mendekam di Rutan Pangkalan Brandan selama beberapa jam bersama tahanan dewasa dan mendapat stigma dari Hakim tunggal yang memeriksa perkaranya sebagai anak nakal. Bahwa dalam menyikapi permasalahan tersebut, perlu diambil langkah bijak yang melibatkan peran pemerintah, aparat penegak hukum, organisasi masyarakat sipil dalam upaya perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum dengan menerapkan ketentuan UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan merevisi kembali ketentuan-ketentuan dati undang-undang tersebut yang dirasa masih kurang sesuai dalam upaya perlindungan terhadap anak yang berkunflik dengan hukum.
Tentang hakim yang menyidangkan perkara dan ketiadaannya LAPAS anak
Disidangkan dengan hakim tunggal, merujuk pada pasal 11 ayat (1) UU no3 tahun 1997. Yang berbunyi “Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama sebagai hakim tunggal”.walaupun dalam ayat selanjutnya bisa dikesampingkan dengan adanaya menggunakan hakim majelis yaitu ayat (2) yang berbunyi “Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Ketua Pengadilan Negeri dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan hakim majelis”.
Dalam hal ini menurut penulis perkara raju bukan merupakan perkara yang mendapatkan penanganan serius dari aparat penegak hukum. Bukan berarti kasus ini tidak penting atau tidak perlu penanganan yang sangat intensif. Akan tetapi meurut penulis kasus rajau ini hanya kasus umum yang biasa dilakukan oleh anak-anak bahkan orang dewasa sekalipun. Sehingga hakaim sepatutnya bisa memutus dengan seadil-adilnya.
Tentang ketiadaan LAPAS anak di daerah hukumnya sebenarnya tidak terlalu diributkan. Sesungguhnya walaunpun ketiadaan LAPAS anak, akn tetapi bisa ditempatkan bersama orang dewasa. Akan tetapi harus dipisahkan atau di “sekat” dari narapidana orang dewasa, ini merujuk ketidakadaan LAPAS anak di daerah hukumnya.
Putusan yang seharusnya
Menurut hemat penulis raju selayaknya mendapatkan putusan bebas (atau setidak-tidaknya dikembalikan kepada orang tua untuk dibina kemabali bersama kelaurga dan masyarakat), penulis merujuk pada beberapa faktor seperti raju masih dibawah umur, penyidikan/ proses penyelidikan dari awal sudah cacat hukum, tidak adanya LAPAS untuk anak ditempat kasus itu disidangkan. Dan lain sebagainya.
Dengan demikian, ketentuan Kovenan sepanjang yang mengatur persoalan pencabutan kebebasan seseorang secara umum mutatis mutandis berlaku pada seorang anak yang melakukan tindak pidana.[5] Namun, apabila terdapat ketentuan yang ruang lingkup berlakunya secara khusus ditujukan bagi anak-anak, maka ketentuan tersebut mempunyai implikasi hukum yang berbeda. Kovenan mengatur jaminan perlindungan hak asasi anak yang dicabut hak-haknya[6] dengan menggunakan legal term”terdakwa/terpidana/orang di bawah umur” (Pasal 10 ayat (3) dan (4), Pasal 14 ayat (1) dan (4)). Artinyalegal term ini harus dibaca dengan menginterpretasikan dengan merujuk pada ketentuan KHA dalam mendefinisikan anak.[7] Dengan kata lain, anak-anak harus mendapatkan jaminan yang sama dalam pemenuhan hak-haknya sebagaimana semua proseder dan pentahapan yang relavan yang diberlakukan bagi pelaku kriminal dewasa.[8] Konsekuensi logis dan yuridisnya, negara dibebani kewajiban untuk memberikan perlakuan yang berbeda antara orang dewasa dan anak yang melakukan suatu tindak pidana (Pasal 14 ayat (1)). Dalam perspektif penafsiran Ilmu Hukum, karena kedua instrumen ini telah diratifikasi dengan demikian menjadi hukum positif (Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia),[9] maka Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik menjadi lex generalis, sedangkan KHA menjadi lex specialis.
[1] Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, mengutip Robert C. Trajanowics and Marry Morash, dalam Juvenile Delinquency : Concept and Control, op. cit, hlm. 2
[2] Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, mengutip Harry E. Allen and Cliffford E. Simmonsen, dalam Correction in America : An Introduction, ibid
[3] Rachel Hodgkin and Peter Newell, Implementation Handbook for The Convention on The Rigts of The Child, UNICEF, New York, 1998, hal. 39
[5] Lihat mukadimah KHA yang menyatakan : Mengingat bahwa kebutuhan untuk memberikan pengasuhan khusus kepada anak, telah dinyatakan dalam Deklarasi Jenewa mengenai Hak-hak Anak tahun 1924 dan dalam Deklarasi Hak-hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum pada tanggal 20 November 1959 dan diakui dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia, dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (terutama dalam pasal 23 dan pasal 24), dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (terutama pasal 10) dan dalam statuta-statuta dan instrumen-instrumen yang relevan dari badan-badan khusus dan organisasi-organisasi internasional yang memperhatikan kesejahteraan anak,
[6] Lihat paragraph 11 butir b Peraturan-Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya menegaskan bahwa menghilangkan kebebasan berarti bentuk penahanan atau hukuman penjara ataupun penempatan seseorang pada suatu tempat penahanan, di mana orang tersebut tidak diperkenankan pergi sesukanya, atas perintah sesuatu pihak kehakiman, administratif atau pihak umum lainnya.
[7] Lihat Pasal 1 KHA yang menyatakan bahwa untuk tujuan-tujuan Konvensi ini, seorang anak berarti setiap manusia di bawah umur delapan belas tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal.
[8] OFFICE OF THE HIGH COMMISSIONER FOR HUMAN RIGHTS IN COOPERATION WITH THE INTERNATIONAL BAR ASSOCIATION, HUMAN RIGHTS IN THE ADMINISTRATION OF JUSTICE: A Manual on Human Rights for Judges, Prosecutors and Lawyers UNITED NATIONS New York and Geneva, 2003, hal. 441
[9] Hal yang patut dicatat meskipun kedua instrumen Hukum Hak Asasi Manusia ini bersumber pada konvensi/perjanjian internasional, namun manakala Pemerintah Indonesia meratifikasi kedua instrument tersebut menggunakan instrumen hukum dengan derajat yang berbeda. KHA melalui Keputusan Presiden, sedangkan Kovenan Hak Sipil dan Politik melalui Undang-Undang. Perbedaan ini akan berimplikasi secara hukum pada saat mengimplementasikan KHA dalam tataran operasionalisasi. Dalam legislative drafting, KHA tentu saja tidak dapat dijadikan sebagai konsideran hukum, sebagai contoh UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak mencantumkan KHA sebagai landasan hukum pembuatan undang-undang ini. Kedua dalam tataran praktek, hakim jarang menggunakan KHA karena derajatnya hukumnya lebih rendah ketimbang UU Perlindungan Anak. Asas hukum lex superior derogat lege inferiori dapat menjadi amunisi hakim untuk mengesampingkan KHA.