Copyright of http://2.bp.blogspot.com
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(Sebuah pengantar)[1]
Oleh :
DWI ANDRIYANTO[2]
"Kalau seorang perempuan itu berdaya, maka ia akan berdaya, dan kalau perempuan itu berdaya maka ia akan menyejahterakan keluarga dan masyarakatnya" (Julius Nyaree)
Kekerasan dapat terjadi dimana saja, di rumah, tempat kerja atau di tempat umum. Kekerasan terjadi pada semua orang, perempuan, laki-laki & anak-anak baik sebagai korban atau sebagai saksi. Bentuk kekerasan yang umum terjadi adalah domestic violence, kekerasan di dalam rumah kita sendiri. Yang dapat terjadi pada berbagai tingkat sosial masyarakat, berbagai tingkat usia, pada masyarakat di seluruh level profesi & pendapatan. Kekerasan bukan sesuatu yang bisa ditolerir atau diterima secara normal.
Bentuk KDRT[3]
ü Kekerasan Fisik & Psikis : kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, dan atau luka berat, sementara kekerasan psikis didefinisikan sebagai perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, dan mengakibatkan rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
ü Kekerasan seksual : meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Hal ini juga menyangkut perkosaan dalam rumah tangga (marital rape).
ü Penelantaran rumah tangga : adalah suatu keadaan yang menyebabkan pelarangan untuk bekerja, pemaksaan bekerja atau eksploitasi. Hal ini penting diatur karena faktanya ditemukan banyak kekerasan berdimensi ekonomi dalam rumah tangga, yang antara lain menyebabkan korban tidak boleh bekerja tetapi tidak diberikan nafkah layak, pengambilalihan aset ekonomi milik korban, serta eksploitasi berupa pemaksaan melakukan pekerjaan tertentu.
ü Kekerasan Ekonomi
Kekerasan ekonomi adalah suatu tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam atau di luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri yang bekerja untuk di-eksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sebagian suami juga tidak memberikan gajinya pada istri karena istrinya berpenghasilan, suami menyembunyikan gajinya,mengambil harta istri, tidak memberi uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi uang belanja sama sekali, menuntut istri memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak mengijinkan istri untuk meningkatkan karirnya.
DELIK DALAM KDRT
Undang Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga terdiri dari 56 Pasal yang terurai di dalam 10 Bab dan disertai dengan penjelasan. Undang Undang ini merupakan lex spesialis sekaligus pengembangan hukum dalam regim hukum pidana baik formil maupun materiilnya.
Terdapat 4 (empat) kekerasan yang diancam dengan pidana dalam undang undang ini yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelelantaran rumah tangga. Masuknya penelantaran rumah tangga yang digolongkan sebagai kekerasan tersebut merupakan manifestasi asas penghormatan hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan gender serta asas non diskriminasi yang dianut undang undang ini sekaligus merupakan pengejewantahan politik hukum Indonesia dalam rangka meningkatkan peran serta kaum perempuan di tengah masyarakat. Mengingat 3 (tiga) kekerasan lainnya diketahui telah diatur dalam KUHP.[4]
Kekerasan-kekerasan tersebut di atas hanya menjadi delik dalam undang undang ini apabila pelaku dan atau korban termasuk dalam lingkup rumah tangga yang meliputi suami, istri, anak, dan atau orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga baik karena hubungan darah, semenda, persusuan, pengasuhan, perwalian termasuk orang lain yang bekerja sepanjang mereka tinggal serumah dalam jangka waktu tertentu sehingga layak dan patut dapat dianggap sebagai anggota keluarga. Selanjutnya khusus untuk kekerasan fisik, psikis dan seksual yang pelaku atau korbannya adalah suami atau istri merupakan delik aduan.
Salah satu kelebihan yang menonjol dalam undang undang ini yakni kemudahan dalam pembuktian yang hanya membutuhkan keterangan seorang saksi korban saja dianggap cukup sepanjang didukung dengan satu alat bukti yang sah lainnya. Ketentuan ini jelas membelakangi ketentuan Pasal 185 ayat (2) Undang Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang bersesuaian dengan asas “satu saksi bukan saksi.” Kemudahan dalam hal pembuktian tersebut tentunya mutlak diperlukan mengingat lingkup rumah tangga yang diatur oleh undang undang ini dalam kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia masih dianggap tabu untuk dicampuri pihak luar sehingga pada gilirannya akan menyulitkan proses pembuktian.
Kelebihan lainnya adalah mengenai ketentuan tentang pidana pokok berupa pidana penjara atau denda yang jauh lebih berat dibanding ancaman pidana yang diancam dalam KUHP atas kekerasan sejenis. Selain itu dalam KUHP tidak dikenal ancaman pidana denda maksimal, hanya mengatur ancaman minimal saja, sementara Undang Undang Penghapusan KDRT mengenal ancaman denda maksimal tersebut.
Kekerasan terhadap istri
KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri. Setelah membaca definisi di atas, tentu pembaca sadar bahwa kekerasan pada istri bukan hanya terwujud dalam penyiksaan fisik, namun juga penyiksaan verbal yang sering dianggap remeh namun akan berakibat lebih fatal dimasa yang akan datang.[5]
Gejala-gejala yang akan ada, Perlu diketahui bahwa gejala-gejala istri yang mengalami kekerasan adalah merasa rendah diri, cemas, penuh rasa takut, sedih, putus asa, terlihat lebih tua dari usianya, sering merasa sakit kepala, mengalami kesulitan tidur, mengeluh nyeri yang tidak jelas penyebabnya, kesemutan, nyeri perut, dan bersikap agresif tanpa penyebab yang jelas. Jika anda membaca gejala-gejala di atas, tentu anda akan menyadari bahwa akibat kekerasan yang paling fatal adalah merusak kondisi psikologis yang waktu penyembuhannya tidak pernah dapat dipastikan.
Beberapa faktor penyebab
1. Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan bahwa anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleran.
2. Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat.
3. Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena merupakan masalah keluarga dan bukan masalah sosial.
4. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri, kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.
5. Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.
6. Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.
7. Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.
8. Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.
9. Melakukan imitasi, terutama anak laki-laki yang hidup dengan orang tua yang sering melakukan kekerasan pada ibunya atau dirinya.
Selain itu, faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap istri berhubungan dengan kekuasaan suami/istri dan diskriminasi gender di masyarakat. Dalam masyarakat, suami memiliki otoritas, memiliki pengaruh terhadap istri dan anggota keluarga yang lain, suami juga berperan sebagai pembuat keputusan. Pembedaan peran dan posisi antara suami dan istri dalam masyarakat diturunkan secara kultural pada setiap generasi, bahkan diyakini sebagai ketentuan agama. Hal ini mengakibatkan suami ditempatkan sebagai orang yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada istri. Kekuasaan suami terhadap istri juga dipengaruhi oleh penguasaan suami dalam sistem ekonomi, hal ini mengakibatkan masyarakat memandang pekerjaan suami lebih bernilai. Kenyataan juga menunjukkan bahwa kekerasan juga menimpa pada istri yang bekerja, karena keterlibatan istri dalam ekonomi tidak didukung oleh perubahan sistem dan kondisi sosial budaya, sehingga peran istri dalam kegiatan ekonomi masih dianggap sebagai kegiatan sampingan.[6]
Perspektif Islam
Membentuk rumah tangga dalam Islam adalah dalam rangka menegakkan syariat Islam, menuju ridho Allah Swt. Suami dan istri harus saling melengkapi dan bekerja sama dalam membangun rumah tangga yang harmonis menuju derajat takwa. Allah SWT berfirman dalam Qs. at-Taubah [9]: 71. Dan Qs. an-Nisâ’ [4]: 19:
Ayat tersebut merupakan seruan kepada para suami agar mereka mempergauli isteri mereka secara ma’ruf. Menurut ath-Thabari, ma’ruf adalah menunaikan hak-hak mereka. Ayat ini juga memerintahkan menjaga keutuhan keluarga. Jika ada sesuatu yang tidak disukai pada diri isterinya, selain zina dan nusyuz, suami diminta bersabar dan tidak terburu-buru menceraikannya. Sebab, bisa jadi pada perkara yang tidak disukai, terdapat sisi-sisi kebaikan.Jika masing-masing, baik suami maupun istri menyadari perannya dan melaksanakan hak dan kewajiban sesuai syariat Islam, niscaya tidak dibutuhkan kekerasan dalam menyelaraskan perjalanan biduk rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat terhindarkan karena biduk rumah tangga dibangun dengan pondasi syariat Islam, dikemudikan dengan kasih sayang dan diarahkan oleh peta iman.[7]
[1] Disampaikan dalam penyuluhan hukum,pada KKN merapi,tanggal 24 maret 2011.
[2] Mahasiswa FH UII angkatan 2008 dan kader HmI MPO FH UII.
[3] Dikutip dari Desertasi Dr.AROMA ELMINA MARTHA.DOSEN FH UII.
[4] Greatamdre.blogspot.com
[6] Departemen Kesehatan, Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan. Jakarta: Departemen Kesehatan.2002.