AKU TIDAK TAKUT SENDIRI. TUHAN PUN JUGA SENDIRI. DAN DIA MENJADI YANG MAHA KUAT KARENA ITU (SOE HOK GIE)

Rabu, 29 Juni 2011

ANALISIS PEPRES NO 36 TAHUN 2005

Copyright of http://library.geneseo.edu
OLEH :DWI ANDRIYANTO 
 Adanya nama baru dalam peraturan perundang-undangan yaitu Perpres menimbulkan beberapa pertanyaan dan keingintahuan dari masyarakat. Pertanyaan tersebut antara lain adalah “Apakah yang dimaksud dengan Peraturan Presiden?”, “Kapan Peraturan Presiden dibuat?”, “Apa saja substansi yang dapat diatur dalam Peraturan Presiden tersebut?”. Mempertimbangkan beberapa pertanyaan tersebut, kami mencoba melakukan analisa berkaitan dengan kedudukan sumber hukum Peraturan Presiden. Berdasarkan hasil analisa kami, diketahui bahwa berdasarkan ketentuan pasal 11 Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyatakan bahwa: “Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah“.
Dengan melihat hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa Peraturan Presiden ditetapkan dalam rangka melaksanakan materi yang diperintahkan oleh Undang-undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Sehingga berdasarkan pengertian tersebut dapat juga dikatakan bahwa dibentuknya Peraturan Presiden setelah adanya Undang-undang ataupun Peraturan Pemerintah, yang apabila dapat dikatakan dimana Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tersebut merupakan komponen induknya dan Peraturan Presiden sebagai komponen pelaksana atau berfungsi sebagai alat administrasi negara dalam melaksanakan Undang-undang dan/atau Peraturan Pemerintah.
Relevansi dengan Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pertanyaan sebagaimana dimaksud diatas, menjadi lebih sering di dengar setelah ditetapkannya Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, oleh Presiden Republik Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono, pada tanggal 3 Mei 2005. Memperhatikan bagian pertimbangan (consideran) Peraturan Presiden tersebut di mana di sebutkan dalam : “ butir
a. Bahwa dengan meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah, maka pengadaannya perlu dilakukan secara cepat dan transparan dengan tetap memperhatikan prinsip     penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Kemudian dalam butir

b. Bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana telah ditetapkan dengan keputusan Presiden No. 55 tahun 1993 sudah tidak sesuai dengan landasan hukum dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum. Selanjutnya dalam butir
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan butir a dan butir b, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum “
Deputi Sekretaris Kabinet (Seskab) Bidang Hukum dan Perundangan, Lambok V Nahattandas mengatakan: “Dalam Perpres ini ada beberapa hal yang berbeda dengan Keppres 55/1993. Antara lain, adanya pencabutan hak atas tanah bila yang bersangkutan bersikeras tidak mau menjual tanahnya untuk digunakan sebagai kepentingan umum meskipun setelah melalui musyawah untuk menentukan nilai jual tanah tersebut….” (Kompas Cyber Merdeka, 6 Mei 2005).
Selanjutnya menurut Andi Malaranggeng “…. Keluarnya Perpres No. 36 tahun 2005 sebagai salah satu tindak lanjut dari KTT Infrastruktur……….” (Kompas Cyber Merdeka, 6 Mei 2005).
Pertanyaan ini menjadi lebih mendasar ketika masyarakat melihat bahwa substansi atau materi yang diatur dalam Peraturan Presiden sangat kental dengan pencabutan hak atas tanah, bangunan, tanaman, serta benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah oleh negara dengan pemberian ganti rugi senilai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk tanah, atau berdasarkan perhitungan dari instansi pemerintah yang bersangkutan dengan benda-benda selain tanah. Hal tersebut sangat meresahkan masyarakat dan menjadi masalah sosial yang timbul di masyarakat. Permasalahan utamanya adalah hak masyarakat atas hak atas tanah, bangunan, tanaman, serta benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah menjadi terganggu. Pemerintah dapat saja “ seolah-olah “ dalam rangka kepentingan umum yang sebenarnya adalah akses memperlancar “bisnis“ segelintir orang mencabut hak masyarakat tersebut, terlebih yang dimaksud dengan kepentingan umum dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tersebut telah mengalami perluasan kriteria jika dibandingkan dengan Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993. Sekalipun diatur mengenai musyawarah dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005, akan tetapi jika musyawarah gagal ditempuh kemudian terdapat uang pengganti dari pemerintah yang dititipkan ke pengadilan, hingga presiden sendiri yang mencabut hak atas tanah itu.

Hal tersebut menunjukan diperlemahnya akses masyarakat akan hak atas tanah dan dilanggarnya hak sipil-politik dan hak ekonomi, sosial, budaya oleh masyarakat oleh pemerintah. Tetapi mungkin saja justru para pemodal yang diuntungkan, termasuk investor asing. Sahala Sianipar, Direktur Golin/Haris Internasional Pte Ltd Singapura, perusahan public relation yang bermarkas di AS, mengungkapkan, bahwa beberapa investor asing memang belum mau meneken persetujuan investasi di proyek infarstruktur karena belum ada jaminan soal pertanahan di Indonesia. Investor asing tidak mungkin berhadapan langsung dengan masyarakat di Indonesia. Sebab itu, investor menginginkan agar pemerintah mengatur soal tanah (Jawa Pos Online, 08/05/2005). Dan nampaknya bahwa pemerintah ingin menguasai tanah masyarakatnya dengan harga murah. Pada kenyataan – seperti yang disampaikan Abdul Haris Kepala Subdit Pertanahan Bappenas Jakarta - bahwa berdasarkan hasil pemantauan proyek-proyek pemerintah yang berupa pinjaman luar negeri diperoleh bahwa salah satu faktor penghambat pelaksanaan proyek tersebut adalah kurangnya dana pengadaan tanah, adanya hambatan dalam proses pembebasan tanah, maupun hambatan dalam permukiman kembali (Media Indonesia Kamis, 26 Mei 2005).
Permasalahan Hukum dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005;
a. Permasalahan Formal : Ketentuan pasal 11 Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyatakan bahwa: “Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah“.
Berdasarkan ketentuan tersebut jelaslah bahwa Peraturan Presiden dibuat untuk melengkapi materi yang diperintahkan Undang-undang atau berisi materi yang diperintahkan oleh Peraturan Pemerintah. Artinya juga bahwa Peraturan Presiden sesungguhnya dibuat sebagai sarana administrasi pemerintah, namun menunjuk (according) Undang-undang dan /atau Peraturan Pemerintah. Bagaimana dengan Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanan Kepentingan Umum? Telah diketahui bersama bahwa keluarnya Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 merupakan salah satu tindak lanjut dari Infrastucture Summit 2005. Artinya bahwa Peraturan Presiden tersebut bukanlah merupakan materi yang diperintahkan oleh Undang-undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, sehingga secara formil Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 adalah cacat hukum dan harus dicabut oleh Presiden.
b. Permasalahan Materiil: Perihal Pencabutan Hak Atas Tanah (pasal 2 ayat 1 b, pasal 18): Mengenai permasalahan pencabutan hak atas tanah, Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Hak Asasi Manusia telah memberikan jaminan serta perlindungan terhadap hak milik atas tanah, sebagaimana dinyatakan dalam :
1. UU No. 5 tahun 1960 (UUPA ) : Pasal 6: Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial Penjelasan pasal 6 ; ? Lihat penjelasan umum (II angka 4). “.......... tetapi dalam ketentuan tersebut tidaklah berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). UUPA memperhatikan pula kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok : kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyatnya ( pasal 2 ayat 3 ) .............”.
2. Pasal 36 ayat 1 dan 2 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 36 :
1. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa dan masyarkat dengan cara yang tidak melanggar hukum.
2. Tidak seorangpun boleh dirampas hak miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum
3. Pasal 71 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 71 ;
Pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam UU ini, peraturan per-UU-an lain, dan hukum internasional tentang HAM yang diterima oleh Negara Republik Indonesia Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas maka dengan tegas dapat dinyatakan bahwa Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 bertentangan dengan UUPA dan UU HAM.

Oleh sebab itu, dikarenakan dalam ilmu hukum dikenal asas hukum “Lex superior derogat legi inferiori” yang artinya peraturan yang lebih tinggi mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah, sehingga dalam hal ini yang berlaku adalah UUPA dan UU HAM. Perihal Ganti Kerugian (pasal 1 angka 11, pasal 10, pasal 12, pasal 13, pasal 15 ): Berkaitan dengan permasalahan ganti kerugian, dimana dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005, dinyatakan bahwa dengan pencabutan hak atas tanah, bangunan, tanaman, serta benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah oleh negara dengan pemberian ganti rugi senilai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk tanah, atau berdasarkan perhitungan dari instansi pemerintah yang bersangkutan dengan benda-benda selain tanah, menimbulkan keresahan bagi masyarakat. dalam kondisi senyatanya dimana harga jual tanah itu bisa tiga kali lipat atau lebih dari NJOP, sehingga hal ini telah membawa masyarakat kepada kondisi yang menurun. Berbeda dengan ketentuan dalam UUPA, sebagaimana diuraikan sebagai berikut :       
Pasal 18 ( UUPA ) Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan UU. Penjelasan pasal 18 ; Pasal ini merupakan jaminan dari rakyat mengenai hak-haknya atas tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti kerugian yang layak. Mengenai permasalahan ganti kerugian yang layak ini, seharusnya dapat juga dipertimbangkan tidak hanya sebatas pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), harga bangunan, dan tanaman yang ditetapkan oleh instansi pemerintah, tetapi berkaitan juga dengan ganti kerugian atas relasi sosial, seperti antara lain dengan pindah dari tempat semula ketempat yang kurang accessble mengakibatkan biaya transportasi untuk ke kantor, ke sekolah, ke pasar menjadi lebih mahal dan menggangu hak-hak ekonomi rakyat. Dengan demikian ketentuan dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 telah bertentangan dengan UUPA. Tiada Demokrasi Tanpa Landreform Judul diatas - adalah sebuah jargon, yang merupakan focal point yang bisa di-breakdown untuk memberikan analisis kongrit atas situasi yang kongrit kondisi agraria sekaligus jargon tersebut merupakan sebuah progam perjuangan (tindakan kongrit) – yang beberapa tahun yang lalu (2001) pernah penulis sampaikan dalam sebuah pertemuan nasional NGO/LSM yang bergerak disektor agraria, ormas petani dan gerakan mahasiswa. Asumsi-asumsi tersebut diatas dibangun dengan bersandar dalam beberapa hal: Pertama. Problem agraria bukan hanya persoalan pertanian. Kedua. Sebagai jawaban atas point pertama maka persoalan agraria harus menjadi persoalan hak warga negara. Ketiga, bahwa persoalan agraria erat kaitannya dengan perubahan sosial. Dalam pengertian seperti tersebut diatas, maka konsolidasi demokrasi sebagai tuntutan transisi menuju demokrasi mensyarakat adanya pelembagaan politik demokrasi. Produk hukum sebagai pelembagaan atas politik untuk itu harus merupakan manifestasi dari aspirasi perjuangan nasional, perjuangan demokrasi dan perjuangan kerakyatan. Dalam konteks agraria, maka produk hukum agraria hendaknya merupakan pelembagaan dari aspirasi reforma agraria sebagai upaya membangun kemerdekaan nasional, demokrasi dan keadilan sosial. Produk-produk hukum agraria yang seharusnya merupakan pelembangaan politik demokratis dari cita-cita reforma agraria, sesungguhnya telah diamanatkan oleh Tap MPR IX tahun 1999 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Namun ternyata produk-produk perundangan yang kemudian keluar justru menyimpang dari harapan itu, yang itu bisa kita lihat dalam UU No.7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, UU No.24/2004 tentang Penetapan Perpu No.1/2004 tentang Perubahan UU No.41/1999 tentang Kehutanan menjadi UU, dan UU No.18/2004 tentang Perkebunan.
Perpres 36/2005 jelas menyimpang dari semangat reforma agraria, tetapi juga menyimpang dari semangat demokrasi yang ditandai dengan menumpuknya kekuasaan untuk mengambilalih tanah di tangan presiden. Investor asing dan dunia usaha menyambut gembira Perpres ini yang lahir sebagai komitmen kepada KTT Infrastruktur 2005.
Namun bagi masyarakat Perpres ini adalah ancaman karena pemerintah hanya menilai tanah dari NJOP, tanpa mengindahkan fungsi sosial tanah, tanpa mengindahkan ganti rugi non fisik seperti hilangnya pekerjaan, dan tanpa mengindahkan pemukiman kembali. Disinilah semakin tidak jelas perspektif kepentingan umum dari penguasa, karena bagi sebagian besar rakyat Indonesia yang masih dalam kondisi miskin dan tertindas, justru penghormatan atas hak atas tanah rakyat adalah hal yang sangat penting.
Berjuang Demi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia.
Menyadari dengan sangat, bahwa Perpres 36/2005 sangat berpotensial melanggar hak sipil-politik dan hak ekonomi, sosial, dan budaya warga negara Indonesia, terutama masyarakat miskin dan tertindas seperti buruh, petani, dan miskin kota. Perpres 36/2005 harus dicabut dan dipersiapkan payung hukum yang mengatur tentang reforma agraria sebagaimana UUPA 1960. Kemudian Pemerintah hendaknya dalam melaksanakan pembangunan nasional, apalagi yang memiki aspek kepentingan umum, hendaknya mampu mengatasi kontradiksi-kontradiksi yang terjadi antara industri dengan pertanian dan antara kota dan desa.