AKU TIDAK TAKUT SENDIRI. TUHAN PUN JUGA SENDIRI. DAN DIA MENJADI YANG MAHA KUAT KARENA ITU (SOE HOK GIE)

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jumat, 17 Desember 2010

ANALISIS-YURIDIS PEROMPAK SOMALIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF ILMU HUKUM INTERNASIONAL





Diposkan oleh DWI ANDRIYANTO
DEMISIONER KA.BID KAJIBANG (KAJIAN DAN PENGEMBANGAN) HmI MPO FH UII 2009-2010 M

Read more...

Selasa, 14 Desember 2010

KESINERGIAN HUKUM ACARA PERDATA DENGAN PERKEMBANGAN ZAMAN

DIPOSTING OLEH DWI ANDRIYANTO. DEMISIONER KA.BID KAJIAN DAN PENGEMBANGAN (KAJIBANG) HmI MPO FH UII 2009-2010 M
Read more...

Jumat, 10 Desember 2010

(TUGAS MATAKULIAH PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN) Kajian yuridis,filosofis dan sosiologis pada RUU-RAPERDA tentang Pekerja Rumah Tangga.


 gambar di ambil dari http://watatita.files.wordpress.com
diposkan oleh DWI ANDRIYANTO
DEMISIONER Ka.Bid KAJIBANG (kajian dan pengembangan) HmI MPO FH UII 2009-2010 M.
Read more...

Minggu, 05 Desember 2010

MAKALAH "ARUS POLITIK DAN "KEKACAUAN" HUKUM

                                     Diposkan oleh=DWI ANDRIYANTO
          DEMISIONER KA.BID KAJIBANG HmI MPO FH UII 2009-2010 M
Read more...

Jumat, 03 Desember 2010

KEADILAN DALAM PERSPEKTIF LIBERAL

diposkan oleh:DWI ANDRIYANTO. KADER HmI MPO FH UII.
DEMISIONER KA.BID KAJIBANG HmI MPO FH UII. 2009-2010 M
Read more...

Rabu, 01 Desember 2010

INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE DAN PERKEMBANGANYA


diposting oleh DWI ANDRIYANTO

Read more...

HUKUM PIDANA KONTEMPORER DAN PERKEMBANAGANNYA


 www.jakarta-pos.com
diposkan oleh;DWI ANDRIYANTO
Read more...

ISLAM DAN KEBUDAYAAN NUSANTARA



Pendahuluan

1.LATAR BELAKANG
Proses modernisasi dan globalisasi menempatkan bangsa Indonesia dalam arus perubahan besar yang mempengaruhi segala dimensi kehidupan masyarakat, terutama kehidupan budaya. Pada hakekatnya perubahan itu merupakan proses historis yang panjang, yangbberkembang dari masa ke masa. Didalam sejarah Indonesia proses tersebut terlihat sejak dari awal pembentukan masyarakat pada masa prasejarah, kedatangan pengaruh kebudayaan Hindu- Budha, kedatangan agama dan kebudayaan Islam, serta hadirnya pengaruh Barat, sampai masa kini. Sudah difahami bahwa selama perjalanan sejarah tersebut di atas, bangsa Indonesia beberapa kali berada dalam situasi yang sama, yaitu berhadapan dengan kedatangan budaya lain yang berbeda sifatnya. Oleh karena itu, tidak dapat diingkari bahwa dalam proses yang panjang itu pernah terjadi pula ketegangan dan konflik. Akan tetapi, ketegangan dan konflik tersebut sebenarnya adalah bagian dari proses ke arah penyatuan.
Sebagai negara berkembang yang sedang melaksanakan pembangunan, maka bagi generasi muda Indonesia modern tetap diperlukan pendidikan kebudayaan, terutama yang berhubungan dengan sejarah kebudayaan dan peradaban bangsa. Hal ini ditekankan, karena upaya untuk pembangunan sumberdaya manusia yang memiliki kualitas dan integritas tinggi dibutuhkan landasan pemahaman dan kesadaran akan sejarah budaya masyarakat dan bangsa yang mantap. Masyarakat Indonesia masa kini merupakan suatu mozaik yang kompleks, yang akan sulit difahami hakekatnya tanpa mengetahui latar belakang historisnya, baik dalam aspek sosial, politik, ekonomi, maupun kultural. Tanpa mengecilkan arti pengaruh budaya yang lain, harus disadari bahwa kebudayaan Islam Indonesia merupakan salah satu unsur pembentuk mozaik budaya Indonesia, dan sudah mulai muncul di Nusantara pada abad XI M.
Interaksi antara agama dan kebudayaan itu dapat terjadi dengan, pertama agama memperngaruhi kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi bangunan. Kedua, agama dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan Indonesia mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan dan hajar. Dan ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitemnilai dan simbol agama[1]
Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan, yaitu, keduanya adalah sitem nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan. Agama, dalam perspektif ilmu-ilmu sosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar. Sementara seni tradisi merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia (dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom).
Baik agama maupun kebudayaan, sama-sama memberikan wawasan dan cara pandang dalam mensikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan kemanusiaannya. Misalnya, dalam menyambut anak yang baru lahir, bila agama memberikan wawasan untuk melaksanakan aqiqah untuk penebusan (rahinah) anak tersebut, sementara kebudayaan yang dikemas dalam marhabaan dan bacaan barjanji memberikan wawasan dan cara pandang lain, tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu mendo”akan kesalehan anak yang baru lahir agar sesuai dengan harapan ketuhanan dan kemanusiaan. Demikian juga dalam upacara tahlilan, baik agama maupun budaya lokal dalam tahlilan sama-sama saling memberikan wawasan dan cara pandang dalam menyikapi orang yang meninggal[2] Oleh karena itu, biasanya terjadi dialektika antara agama dan kebudayaan tersebut. Agama memberikan warna (spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama. Namum terkadang dialektika antara agama dan seni tradisi atau budaya lokal ini berubah menjadi ketegangan. Karena seni tradisi, budaya lokal, atau adat istiadat sering dianggap tidak sejalan dengan agama sebagai ajaran Ilahiyat yang bersifat absolut.
Epistemologi Pribumisasi Islam
Gagasan pribumisasi Islam, secara geneologis dilontarkan pertama kali oleh Abdurrahman Wahid pada tahun 1980-an. Dalam ‘Pribumisasi Islam’ tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Sehingga, tidak ada lagi pemurnian Islam atau proses menyamakan dengan praktik keagamaan masyarakat muslim di Timur Tengah. Bukankah Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah berarti tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri? Dalam hal ini, pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Inti ‘Pribumisasi Islam’ adalah kebutuhan bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan[3].Pribumisasi Islam telah menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya yang otentik dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan budaya.
Pada konteks selanjutnya, akan tercipta pola-pola keberagamaan (Islam) yang sesuai dengan konteks lokalnya, dalam wujud ‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari ‘Islam Otentik’ atau ‘Islam Murni’ yang ingin melakukan proyek Arabisasi di dalam setiap komunitas Islam di seluruh penjuru dunia. ‘Islam Pribumi’ justru memberi keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan beraneka ragam. Tidak ada lagi anggapan Islam yang di Timur Tengah sebagai Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami historisitas yang terus berlanjut[4],Sebagai contoh dapat dilihat dari praktek ritual dalam budaya populer di Indonesia, sebagaimana digambarkan oleh Kuntowijoyo, , menunjukkan perkawinan antara Islam dan budaya lokal yang cukup erat. Upacara Pangiwahan di Jawa Barat, sebagai salah satunya, dimaksudkan agar manusia dapat menjadi ‘wiwoho’, yang mulia. Sehingga berangkan dari pemahaman ini, masyarakat harus memuliakan kelahiran, perkawinan, kematian, dan sebagainya. Semua ritual itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kehidupan manusia itu bersifat mulia. Konsep mengenai kemuliaan hidup manusia ini jelas-jelas diwarnai oleh kultur Islam yang memandang manusia sebagai makhluq yang mulia[5].‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari Islam otentik mengandaikan tiga hal. Pertama, ‘Islam Pribumi’ memiliki sifat kontekstual, yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu dan perbedaan wilayah menjadi kunci untuk menginterpretasikan ajaran. Dengan demikian, Islam akan mengalami perubahan dan dinamika dalam merespons perubahan zaman. Kedua, ‘Islam Pribumi’ bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan dipahami sebagai ancaman terhadap penyimpangan terhadap ajaran dasar agama (Islam), tetapi dilihat sebagai pemicu untuk melakukan respons kreatif secara intens. Ketiga, ‘Islam Pribumi’ memiliki karakter membebaskan. Dalam pengertian, Islam menjadi ajaran yang dapat menjawab problem-problem kemanusiaan secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnik. Dengan demikian, Islam tidak kaku dan rigid dalam menghadapi realitas sosial masyarakat yang selalu berubah.Dalam konteks inilah, ‘Islam Pribumi’ ingin membebaskan puritanisme, otentifikasi, dan segala bentuk pemurnian Islam sekaligus juga menjaga kearifan lokal tanpa menghilangkan identitas normatif Islam. Karena itulah, ‘Islam Pribumi’ lebih berideologi kultural yang tersebar (spread cultural ideology)[6], yang mempertimbangkan perbedaan lokalitas ketimbang ideologi kultural yang memusat, yang hanya mengakui ajaran agama tanpa interpretasi. Sehingga dapat tersebar di berbagai wilayah tanpa merusak kultur lokal masyarakat setempat. Dengan demikian, tidak akan ada lagi praktik-praktik radikalisme yang ditopang oleh paham-paham keagamaan ekstrem, yang selama ini menjadi ancaman bagi terciptanya perdamaian.

Otentisitas Islam Pribumi
Cuma permasalahanya apakah Islam pribumi dapat dipandang ‘absah’ dalam perspektif doktrin Islam. Mengabsahan ini penting menyangkut sosialisasi dan internalisasi Islam pribumi sebagai wacana pembebasan umat di kalangan umat Islam sendiri. Kelompok puritan Islam telah menuduh Islam pribumi sebagai sebagai pengejawantahan dari praktek bid’ah yang telah menyimpang dari ajaran Islam. Lebih lanjut kelompok ini berkeyakinan ahli bid’ah adalah sesat (dlalalah). Dalam sejarah Islam Jawa telah direkam bagaimana upaya-upaya penguasa Islam waktu itu dalam memberangus praktek sufime yang mereka tuduh telah menyimpang dari ortodoksi Islam.
Ambillah contoh misalnya tentang konfik antara Syekh Siti Jenar dengan seorang raja dari Demak. Seperti diketahui, Syekh Siti Jenar dikenal sebagai seorang Wali yang mempunyai kecenderungan mistis yang sangat kuat. Jalan tarekat yang dia tempuh sering menimbulkan ketegangan antara ketentuan-ketentuan syari’at yang baku (doktris resmi Islam). Seringkali paham mistiknya yang sangat kuat itu menyebabkan ia meremehkan hukum-hukum yang sudah diadobsi dari kerajaan. Oleh karena itulah penguasa kerajaan Islam Jawa di Demak itu kemudian berusaha keras untuk memadamkan pengaruh mistik, sufi dan tarekat, karena paham-paham seperti itu menyebabkan orang menjadi individualistik dan meremehkan kekuasaan keraton.Demikianlah, akhirnya Demak menghukum Syekh Siti Jenar dengan cara membakar hidup-hidup (meskipun pada akhirnya konon dia tidak mati) yang melambangkan disirnakannya sufisme dan mistis Islam untuk digantikan dengan syari’at demi ketertiban negara. Walaupun Kuntowijoyo[7].menyimpulkan tragedi tersebut bukan katrena faktor keyakinan beragama antara keyakinan resmi yang diwakili oleh Raja Demak dengan keyakinan menyimpang yang dicontohkan oleh Syekh Siti Jenar, melainkan semata-mata karena faktor kekuasaan. Teori yang dapat ditunjukkan adalah bahwa jika ajaran Islam yang diusung ke dalam tradisi kerajaan menguntungkan atas langgengnya status quo kekuasaan, maka ajaran itu diadobsi bahkan dikembangkan, tetapi jika ajaran itu membahayakan kekuasaan; deligitimasisasi, berpotensi memimbulkan kegoncangan sosial, maka ajaran tersebut diberangus secepatnya.Klaim-klaim yang dilontarkan kelompok Islam Puritan perlu mendapat counter discourse untuk sebuah agenda dialog terbuka yang membuka peluang adanya new paradigm masing-masing yang berdialog. Kebanyakan kelompok Islam puritan mempunyai pemahaman bahwa al-Qur’an sebagai sumber ortodoksi adalah kitab yang komprehensif, sehingga masalah apapun yang ada disekitar manusia sampai kapanpun, akan ada jawaban-jawaban spesifik dalam al-Qur’an. Inilah yang dalam pandangan Mark R. Woodward[8].tidak akan mungkin terjadi. Sebab apa ? Karena itu bukan menjadi watak al-Qur’an, sebagaimana kitab suci yang lainnya, untuk berbicara secara komprehensif mengenai kosmologi, soteriologi, etika, ritual, dan aspek-aspek keagamaan lainnya.Sistem-sistem doktrinal, begitu kata Mark R. Woodward selanjutnya, yang komprehensif hanya bisa muncul melalui penafsiran. Teologi dan hukum Islam didasarkan pada penafsiran al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Formulasi doktrin itu telah dimulai tidak lama sesudah Nabi Wafat dan berpuncak dalam bentuk hadis dan syari’at semikanonik.[9]

Hadis dan syari’at termasuk aspek doktrin yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Fazlur Rahman,[10] mendefinisikan hadis sebagai “:suatu narasi, biasanya sangat pendek, yang pokok isinya memberikan informasi mengenai apa yang dikatakan, dilakukan atau apa yang disetujui dan tidak disetujui dari para sahabatnya …”. Bukti kuat menunukkan bahwa hadis berisi banyak informasi mengenai praktek-sosial keagamaan komunitas Muslim awal, berapa diantaranya dapat dilacak langsung ke Nabi.[11]Selain itu semua itu merupakan hasil proses simbolisasi yang lewatnya prinsip-prinsip al-Qur’an digunakan untuk membangkitkan atau menafsirkan ulang bentuk-bentuk praktek kepercayan, sosial dan keagamaan. Upaya-upaya merujuk pernyataan-pernyataan dan praktek-praktek ini ke Nabi SAW akan meligitimasi inpvasi dan interpretasi keagamaan.
Selain itu, hadis dikembangkan untuk mendukung tradisi politik dan doktrin yang luas. Penting kaitannya dengan hal ini, Muslim syi’ah mempunyai bentuk hadis yang berbeda dengan mayoritas Sunni. Hal ini membawa kepada pengamatan juniboll (1953) bahwa salah satu dari tujuan utama formulasi hadis adalah untuk mengabsahkan kedudukan-kedudukan teologis dengan mengaitkannya dengan Nabi. Ulama tampak mengakui, proses “pengumpulan” tidak bisa dilanjutkan untuk jangka waktu tak terbatas tanpa terjerembab ke dalam pemalsuan yang tidak terbatas pula. Oleh karena itu, sepanjang zaman Islam era ketiga, dikembangkan ilmu transmisi hadis dan temuan-temuan yang kan didokumentasikan dengan baik ini, dirancang dalam enam kumpulan semikanotik (kutub as-sittah) yang, bersama al-Qur’an, merupakan inti Islam “ortodok”.[12]
Kemunculan literatur hadis memberikan contoh jernih peran penafsiran dan simbolisasi dalam evolusi tradisi-tradisi kitabiah. Proses ini merupakan perangkat yang melaluinya prinsip-prinsip dasar al-Qur’an digunakan untuk menyusun dan menafsirkan tradisi yang hidup, yang pada gilirannya meberikan basis untuk menyusun dan menafsirkan tradisi yang hidup, yang pada gilirannya memberikan basis untuk skripturalisasi hadis (melalui asosiasi simboliknya dengan Nabi Muhammad). Hadis menawarkan model untuk ritual rakyat (popular ritual) dan agama pemujaan (devotional religion), dan ini melengkapi suatu lingkaran penafsiran.Sama halnya dengan peran penafsiran dalam pertumbuhan syari’at, Goldziher.[13] melihat bahwa perkembangan hukum didorong sebagian besar oleh penaklukan Arab tas kawasan Byzantium dan Persia, dan syari’at menggunakan yurisprudensi Romawi.
Hukum Islam didasarkan pada empat prinsip fundamental : (1) al-Qur’an, (2) al-Hadis, (3) Konsensus Ulama (ijma’), (4), analogi (qiyas) (Rahman, 1979 : 68). Ia berupaya untuk memperluas prinsip-prinsip fundamental dari al-Qur’an atau hadis, dengan memunculkan petunjuk lengkap untuk semua segi tingkah laku keagamaan dan sosial.Karakter syari’at bersama dengan penggunaan konsensus dan analogi sebagai prinsip-prinsip penafsiran memunculkan perdebatan tentang pokok persoalan yang jauh terlepas dari tema sentral al-Qur’an dan tampaknya akan melanggar sejumlah hadis, tema yang membebaskan “dari beban yang menyusahkan”.[14] Diantara perdebatan-perdebatan ini – dan satunnya yang akan diperhitungkan dalam ulasan-ulasan tentang pribumisasi Islam – adalah tentang kultus roh Jawa (javanese spirit cult) dan teori kerajawian, yakni yang berhubungan dengan keabsahan perkawinan antara manusia dan roh. Goldziher berpendapat bahwa bentuk asus hukum ini merupakan salah satu dari faktor utama yang mendorong berkembangnya sufisme.Penjelasan panjang tersebut untuk menjawab klaim kelompok puritan bahwa kelompok mereka yang paling otentik dalam mempraktekkan ajaran Islam sehari-hari. Otentisitas memang menjadi salah satu kriteria kebenaran sebuah pemahaman ajaran agama. Tetapi seringkali diabaikan di sini proses-proses sosial, politik dan budaya yang mempengaruhi pemikiran dan perumusan (sistem) ajaran tersebut, suatu dimensi historis dari ajaran agama. Kaum puritan mengabaikan dimensi tafsir dalam ajaran agama, seolah-olah agama adalah paket dari langit yang superlengkap dengan juklak dan juknis, padahal realitas yang telah ditunjukkan tidaklah demikian. Ajaran agama sarat dengan penafsiran, dan penafsiran terkait dengan ruang dan waktu, di sana ada dialektika dengan struktur budaya di mana tafsir itu lahir, sehingga di sini Islam Pribumi menemukan keabsahannya.
Dakwah dan Tradisi Lokal
Sejak kehadiran Islam di Indonesia, para ulama telah mencoba mengadobsi kebudayaan lokal secara selektif, sistem sosial, kesenian dan pemerintahan yang pas tidak diubah, termasuk adat istiadat, banyak yang dikembangkan dalam perspektif Islam. Hal itu yang memungkinkan budaya Indonesia tetap beragama, walaupun Islam telah menyatukan wilayah itu secara agama.Kalangan ulama Indonesia memang telah berhasil mengintegrasikan antara keIslaman dan keindonesiaan, sehingga apa yang ada di daerah ini telah dianggap sesuai dengan nilai Islam, karena Islam menyangkuit nilai-nilai dan norma, bukan selera atau idiologi apalagi adat. Karena itu, jika nilai Islam dianggap sesuai dengan adat setempat, tidak perlu diubah sesuai dengan selera, adat, atau idiologi Arab, sebab jika itu dilakukan akan menimbulkan kegoncangan budaya, sementara mengisi nilai Islam ke dalam struktur budaya yang ada jauh lebih efektif ketimbang mengganti kebudayaan itu sendiri.Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau budaya Indonesia. Sama seperti Islam di Arab saudi,
Arabisme dan Islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah (mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha), dengan cukup cerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu. Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya.[15] Berbeda dengan agama-agama lain, Islam masuk Indonesia dengan cara begitu elastis. Baik itu yang berhubungan dengan pengenalan simbol-simbol Islami (misalnya bentuk bangunan peribadatan) atau ritus-ritus keagamaan (untuk memahami nilai-nilai Islam).


Dapat kita lihat, masjid-masjid pertama yang dibangun di sini bentuknya menyerupai arsitektur lokal-warisan dari Hindu. Sehingga jelas Islam lebih toleran terhadap warna/corak budaya lokal. Tidak seperti, misalnya Budha yang masuk “membawa stupa”, atau bangunan gereja Kristen yang arsitekturnya ala Barat. Dengan demikian, Islam tidak memindahkan simbol-simbol budaya yang ada di Timur Tengah (Arab), tempat lahirnya agama Islam.Demikian pula untuk memahami nilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam dulu, memang lebih luwes dan halus dalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat yang heterogen setting nilai budayanya. Mungkin kita masih ingat para wali –yang di Jawa dikenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka dapat dengan mudah memasukkan Islam karena agama tersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam racikan dan kemasan bercita rasa Jawa. Artinya, masyarakat diberi “bingkisan” yang dibungkus budaya Jawa tetapi isinya Islam.

Sunan Kalijaga misalnya, ia banyak menciptakan kidung-kidung Jawa bernafaskan Islam, misalnya Ilir-ilir, tandure wis semilir. Perimbangannya jelas menyangkut keefektifan memasukkan nilai-nilai Islam dengan harapan mendapat ruang gerak dakwah yang lebih memadai. Meminjam pendapat Mohammad Sobary (1994: 32) dakwah Islam di Jawa masa lalu memang lebih banyak ditekankan pada aspek esoteriknya, karena orang Jawa punya kecenderungan memasukkan hal-hal ke dalam hati. Apa-apa urusan hati. Dan banyak hal dianggap sebagai upaya penghalusan rasa dan budi. Islam di masa lalu cenderung sufistik sifatnya.[16] Secara lebih luas, dialektika agama dan budaya lokal atau seni tradisi tersebut dapat dilihat dalam perspektif sejarah. Agama-agama besar dunia: Kristen, Hindu, termasuk Islam, karena dalam penyebarannya selalu berhadapan dengan keragaman budaya lokal setempat, strategi dakwah yang digunakannya seringkali dengan mengakomodasi budaya lokal tersebut dan kemudian memberikan spirit keagamaannya. Salah satu contoh yang baik adalah tradisi kentrungan atau wayang yang telah diisi dengan ajaran kristen tentang cerita Yesus Kristus di Kandhang Betlehem dan diisi oleh Islam tentang ajaran kalimusodo (kalimat syahadat) atau ajaran keadilan dan yang lainnya.
Dialektika antara agama dan budaya lokal juga terjadi seperti dalam penyelenggaraan sekaten di Yogyakarta (atau di Cirebon), dan hari raya atau lebaran ketupat di Jawa Timur yang diselenggarakan satu minggu sesudah Idulfitri. Dalam perspektif sejarah Islam Indonesia, upacara Sekaten merupakan kreativitas dan kearifan para wali untuk menyebarkan ajaran Islam. Upacara sekaten ini merupakan upacara penyelenggaraan maulid Nabi yang ditransformasikan dalam upacara sekaten. Substansinya adalah untuk memperkenalkan ajaran tauhid (sekaten ubahan dari syahadatain) sekaligus melestarikan atau tanpa mengorbankan budaya JawaWujud dakwah dalam Islam yang demikian tentunya tidak lepas dari latar belakang kebudayaan itu sendiri. Untuk mengetahui latar belakang budaya, kita memerlukan sebuah teori budaya. Menurut Kuntowijoyo dalam magnum opusnya Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi,[17] sebuah teori budaya akan memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut: Pertama, apa struktur dari budaya. Kedua, atas dasar apa struktur itu dibangun. Ketiga, bagaimana struktur itu mengalami perubahan. Keempat, bagaimana menerangkan variasi dalam budaya.Persoalan pertama dan kedua, akan memberikan penjelasan mengenai hubungan antar simbol dan mendasarinya. Paradigma positivisme –pandangan Marx di antaranya– melihat hubungan keduanya sebagai hubungan atas bawah yang ditentukan oleh kekuatan ekonomi, yakni modus produksi.
Berbeda dengan pandangan Weber yang dalam metodologinya menggunakan verstehen atau menyatu rasa. Dari sini dapat dipahami makna subyektif dari perbuatan-perbuatan berdasarkan sudut pandang pelakunya. Realitas ialah realitas untuk pelakunya, bukan pengamat. Hubungan kausal –fungsional dalam ilmu empiris-positif– digantikan hubungan makna dalam memahami budaya. Sehingga dalam budaya tak akan ditemui usaha merumuskan hukum-hukum (nomotetik), tapi hanya akan melukiskan gejala (ideografik).[18] Dengan demikian, mengikuti premis Weber di atas, dalam simbol-simbol budaya yang seharusnya dipahami atau ditangkap esensinya adalah makna yang tersirat. Dari sini lalu dapat dikatakan bahwa dalam satu makna (esensi), simbol boleh berbeda otoritas asal makna masih sama.Demikian pula dengan ritus-ritus semacam ruwahan, nyadran, sekaten maupun tahlilan. Semua pada level penampakannya (appearence) adalah simbo-simbol pengungkapan atas nilai-nilai yang diyakini sehingga dapat mengungkapkan makna ’subyektif’ (kata ini mesti diartikan sejauhmana tingkat religiusitas pemeluknya) dari pelakunya. Tindakan seperti ini ada yang menyebut sebagai syahadat yang tidak diungkapkan, tetapi dijalankan dalam dimensi transeden dan imanen.
Dengan kata lain high tradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya abstrak, jika ingin ditampakkan, perlu dikongkretkan dalam bentuk low tradition yang niscaya merupakan hasil pergumulan dengan tradisi yang ada. Dalam tradisi tahlilan misalnya, high tradition yang diusung adalah taqarrub ilallah, dan itu diapresiasikan dalam sebuah bentuk dzikir kolektif yang dalam tahlilan kentara sekali warna tradisi jawaismenya. Lalu muncul simbol kebudayan bernama tahlilan yang didalamnya melekat nilai ajaran Islam. Dan Kuntowijiyo merekomendasikan kepada umat Islam untuk berkreasi lebih banyak dalam hal demikian, karena akan lebih mendorong gairah masyarakat banyak menikmati agamanya.



Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau, beragam bahasa dan budaya. Sebagai sebuah negara tentu ini merupakan sesuatu yang tak biasa. Dibandingkan dengan negara-negara Eropa atau negara Timur lainnya tampak jelas perbedaannya. Secara jelas Jerman atau Korea misalnya, negara dibatasi oleh oleh ciri-ciri yang mempunyai nilai-nilai kebangsaan yang khas, karena itu munculah istilah negara-bangsa. Bisa dikatakan bahwa kebudayaan dalam sebuah negara-bangsa bersifat natural atau dengan kata lain kebudayaan bila dikonsepkan dalam suatu pernyataan politis adalah sesuatu yang terberi.Indonesia dengan beragam budayanya merupakan sebuah bangsa. Namun sulit menjelaskan secara tegas ciri-ciri kebudayaan dalam konteks nasionalitas. Denis Lombard sejarawan yang menulis traktat sejarah pulau Jawa (Nusa Jawa Silang Budaya, 1999) melihat bahwa kebudayaan yang menjadi nilai-nilai kebangsaan di Indonesia terbentuk lewat osmose (atau difusi) bermacam kebudayaan, seperti Belanda, India, Cina dan Arab. Sampai saat ini proses akulturasi bahkan terus terjadi dalam dinamika kehidupan di kepulauan Nusantara.
Kebudayaan sebagai konsep yang integral dengan pemahaman tentang nasionalisme baru muncul dan dalam arti tertentu dipahami setelah indonesia menjadi negara berdaulat. Terma kebudayaan nasional tertulis dalam Undang-Undang Dasar 45. Boleh dibilang bahwa kebudayaan nasional terbentuk seiring dengan terbentuknya ideologi negara. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila termaktub ciri khas apa yang kita kenal sebagai kepribadian bangsa. Penghormatan atas kemerdekaan, menjunjung tinggi perdamaian abadi dan keadilan sosial adalah beberapa contoh nilai-nilai yang mencerminkan nilai-nilai kebangsaan.Memang hal ini akan mencuatkan sebuah pertanyaan. Misalnya bukankah kebudayaan dalam arti tertentu terkait dengan simbol-simbol yang terbatas pada suatu daerah? Misalnya bahasa, pakaian, dan juga pola hidup daerah tertentu. Lalu bagaimana konsep kebudayaan nasional itu dapat dirumuskan? Bila kita cermati kembali, kebudayaan nasional dapat diartikan sebagai keseluruhan kebudayaan yang ada di setiap daerah yang ada dalam negara Indonesia. Dalam konteks ini kita tak bisa mengatakan bahwa kebudayaan nasional adalah cerminan dari keragaman kebudayaan daerah. Dalam arti apa kebudayaan nasional dapat dipahami? Secara konseptual memang sulit memahami terma kebudayaan, namun satu hal dapat dipahami bahwa dalam konsep kebudayaan nasional terdapat sebuah kesatuan makna yang mencerminkan keindonesiaan.
Pada masa orde baru, penyebaran Pancasila sebagai ideologi dianggap sebagai sebuah upaya pembudayaan. Neils Mulder dalam bukunya Mistisisme Jawa (2001) menjelaskan bahwa Pancasila merupakan perwujudan dari nilai-nilai luhur kebangsawanan yang ada di masa lalu. Sehingga upaya pemberadaban (atau pembudayaan) menurutnya merupakan sebuah upaya mewujudkan pesan-pesan yang ada di masa lalu yang telah di idealkan. Rezim orde baru melakukan praktik pembudayaan Pancasila, namun seperti kita pahami praktik ini dilakukan secara koersif. Di sini terlihat sebuah sistem kuasi-totaliter yang dipraktikkan oleh negara. Hasilnya, upaya pembudayaan tak pernah menyentuh semua lapisan masyarakat dan kehidupan politik terbentuk secara terpusat.
Pada masa reformasi, setiap warga berhak mengungkapkan sikap politik. Kemudian muncul banyak partai Islam, dan dalam beberapa hal terlihat mengendalikan cakrawala politik yang ada. Saya kira itu wajar, karena Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar sedunia. Tradisi keilmuan Islam yang pernah menjadi dinamika pada awal menyebarnya Islam ke Indonesia kembali hidup. Isu-isu keagamaan kembali menghiasi media informasi yang ada. Apakah ini tanda kemunduran ataukah sebaliknya? Pembudayaan yang dilakukan sistem pemikiran Islam tidak hanya dalam ranah etika dan moral, tapi juga pembudayaan nilai-nilai intelektualitas. Karena itu adalah wajar untuk bersikap optimistis.
Kepulauan Nusantara sebelum negara terbentuk adalah wilayah yang terhubung satu sama lain lewat perdagangan. Wilayah yang dapat dikatakan terbuka secara internasional. Kosmopolitanisme pada masa ini menjadi syarat keberlangsungan dinamika kehidupan. Maka tak heran bila banyak budaya-budaya mainstream meninggalkan jejaknya di Nusantara.
Melihat dinamika yang ada pada masa ini bolehlah kita berasumsi bahwa kepulauan Nusantara pada saat itu mempunyai budaya kosmopolit. Meski belum memenuhi hukum kosmopolitanisme seperti yang dirumuskan oleh Kant, yakni keramahtamahan universal (universal hospitality), namun keterbukaan terhadap berbagai macam kebudayaan bisa menjadi semacam acuan tentang adanya nilai-nilai kosmopolitanisme.
Islam hadir sebagai seperangkat ide atau gagasan yang diterima oleh penduduk kepulauan Nusantara dalam dinamika kehidupan masa perdagangan ini. Islam membentuk sebuah pandangan dunia, menandaskan mentalitas dan sebuah kepribadian. Tradisi keilmuan boleh dibilang mulai menggejala pada kurun ini. Jaringan ulama yang membawa ilmu agama dan kesusastraan dalam hal ini menjadi agen kebudayaan yang kemudian berkembang di Nusantara.Selain sebuah perasaan sama-sama terjajah yang dialami oleh sebagian besar penduduk kepulauan di Indonesia, Islam telah membentuk simpul-simpul identitas kebudayaan yang menjadi benih nasionalisme. Jadi kebudayaan nasional saya pikir tak lepas dari apa yang kita mengerti sebagai tradisi keislaman. Karena Islam membentuk sebuah mentalitas. Ada pun kebudayaan Barat yang mewariskan ilmu-ilmu positif tampaknya hanya memberi kontribusi pada nilai-nilai praktis dan ekonomis dalam penyelenggaraan negara. Artinya, kebudayaan Barat tak banyak memberikan nilai-nilai keindonesiaan dalam ranah kepribadian, ia hanya menggejala dalam konteks permukaan saja.
Dengan nilai-nilai yang dibawanya (ilmu agama dan sastra), Islam telah membuka jalan menuju kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme Islam tentu tidak hanya dalam konteks etika dan moral, tapi juga kita kenali dalam dinamika keilmuan—khususnya ilmu agama. Kebudayaan dengan makna etisnya dalam hal ini benar-benar ditegaskan. Berawal dari sinilah menurut saya terbentuk sebuah perilaku cosmopolitic. Perilaku yang menegaskan keutuhan jiwa yang dengannya dapat terwujud, seperti kata Jacques Derrida dalam bukunya On Cosmopolitanism and Forgiveness (2001), budaya ramah sebagai sesuatu yang alami secara publik.
Sampai saat ini waktu kedatangan Islam di Indonesia belum diketahui secara pasti,dan memang sulit untuk mengetahui kapan suatu kepercayaan mulai diterima oleh suatu komunitas tertentu. Di samping itu wilayah Nusantara yang luas, dengan banyak daerah perdagangan yang memungkinkan terjadinya kontak dengan orang asing, mengakibatkan suatu daerah mungkin lebih awal menerima pengaruh Islam daripada daerah lain. Oleh karena itu, sulit untuk mengatakan secara pasti kapan agama Islam masuk di Nusantara secara keseluruhan. Dengan demikian rangkaian berbagai macam data, baik arkeologis maupun data lain berperan menunjukkan keberadaan orang Islam di daerah bersangkutan.            Beberapa ahli menyebutkan bahwa berdasarkan berita Cina dari dinasti T’ang, Islam sudah mulai diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia pada abad VII-VIII M. Berita tersebut menceritakan bahwa orang Ta-shih mengurungkan niatnya untuk menyerang kerajaan Ho-ling yang dipimpin Ratu Si-mo, karena pemerintahan di Ho-ling sangat kuat. Groeneveldt mengidentifikasikan Ta-shih sebagai orang-orang Arab, dan Ho-ling diidentifikasikan sebagai Kalingga, serta Si-mo sebagai Sima. Akan tetapi, berita tersebut belum dapat dibuktikan secara arkeologis, yakni dari sudut peninggalan budaya material. Dengan kata lain, belum ditemukan bukti-bukti artefaktual tentang keberadaan orang-orang Islam di Indonesia pada abad VII-VIII M.
Pada sisi lain diketahui bahwa masa itu sampai abad XIV M di Indonesia kerajaan-kerajaan Hindu-Budha beserta institusi-institusi keagamaannya masih berkembang dengan baik. Meskipun hal itu tidak dapat diartikan bahwa orang Islam belum menjejakkan kakinya di bumi Indonesia. Namun, paling tidak mungkin belum terbentuk komunitas Muslim yang cukup signifikan. Kegiatan pelayaran-perdagangan yang dilakukan oleh kaum Muslim dari Arab dan Persia pada waktu itu memang sudah menjangkau kawasan Asia Tenggara dan Cina. Hal itu dapat diketahui dari sumber-sumber Muslim sendiri, seperti Ibn Khurdadhbih (846), Ibn Rusteh (903), dan Al Biruni(1030). Mereka menyebutkan kunjungan mereka ke beberapa tempat seperti: Kalah (Kedah),Zabag (Jawa), Fansur (Barus). Pengertian Jawa di sini tentunya mencakup pelabuhan-pelabuhan kuno di pesisir utara pulau Jawa, seperti Tuban, Sedayu,Gresik. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa pada akhir abad XI M di Indonesia,khususnya di Jawa , sudah ada penganut agama Islam yang bermukim di kota pelabuhan. Bukti arkeologis itu berupa batu nisan bertulis dari pemakaman kuno 3Leran, di dekat kota Gresik (Jawa Timur). Pada batu nisan itu tertulis nama:Fatimah binti Maimun bin Hibatallah, dan disebutkan bahwa ia meninggal pada tahun 475 H. bersamaan dengan tahun 1082 M. Artinya masih dalam periode kekuasaan kerajaan Kadiri. Jika dilihat dari namanya tampak bahwa dua generasi di atas Fatimah (ayah dan kakeknya) sudah memeluk agama Islam. Namun, tidak jelas betul apakah mereka bumiputera yang memeluk agama Islam, ataukah pendatang yang menetap di pelabuhan terdekat.Dari sisi lain, nama Fatimah tidak diawali oleh gelar apapun. Tidak seperti nama Malik al-Saleh dari Samudra-Pasai yang diawali dengan gelar al-sultan.Dengan demikian berarti Fatimah adalah seorang muslimat dari kalangan rakyat biasa. Hal ini dapat difahami karena waktu itu pusat kekuasaan yang bercorak Hindu masih solid di kerajaan Kadiri.Setelah tahun 1082 M data tentang keberadaan orang Islam di Nusantara baru muncul pada abad XIII M, yaitu dalam bentuk nisan berprasasti huruf Arab di kompleks makam Tuan Makhdum di Barus (pantai barat Sumatra Utara).Prasasti itu memuat nama: Siti Tuhar Amisuri, dan tahun meninggalnya, yaitu 602 H. yang bersamaan dengan tahun 1205 M. Ditilik dari namanya, diduga simati adalah seorang wanita bumiputra yang memeluk agama Islam. Selain itu, ia juga diduga seorang anggota masyarakat biasa, karena namanya tidak diawali oleh gelar atau sebutan kebangsawanan. Akan tetapi, sangat mungkin pada waktu itu di wilayah Barus memang belum terbentuk institusi politik atau kerajaan yang bercorak Islam. Meskipun Barus sebagai produsen kapur barussudah dikenal dunia internasional jauh sebelum tarikh Masehi.
Pada tahapan berikutnya, terbentuklah kerajaan yang bercorak Islam. DiIndonesia kerajaan Islam yang tertua adalah Samudra-Pasai yang terletak dipantai timur Aceh sekarang. Di tempat itu sekarang masih ada kampong bernama Samudra dan Pasai, yang terletak di pantai Selat Malaka. Di situs tersebut ditemukan pemakaman kuno, yang nisan-nisannya memuat prasasti dengan bahasa dan huruf Arab. Pada salah satu nisan tersebut tercantum prasasti yang memuat nama al-sultan al Malik al Saleh yang wafat pada tahun 696 H(bertepatan dengan tahun 1297 M). Pencantuman sebutan al-sultan itulah yangmenjadi dasar interpretasi keberadaan suatu institusi politik Islam di kawasan tersebut.Tentunya sebelum terbentuk institusi politik Islam, terlebih dahulu sudah
terjadi penyebaran agama Islam secara luas di kalangan masyarakat. Hal itu tersirat di dalam sumber-sumber tertulis yang terkait dengan kawasan tersebut. Marcopolo yang pada tahun 1292 berkunjung ke beberapa pelabuhan di kawasan 4 itu, seperti Ferlec (=Perlak), mengatakan bahwa penduduk kota beragama Islam,sedang penduduk pedalaman masih kafir. Di sisi yang lain sumber tertulis local seperti Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu hanya mengkisahkan bahwa Meurah Silu, pemimpin di Samudra-Pasai, di-Islam-kan oleh Fakir Muhammad yang datang dari atas angin. Setelah itu namanya diganti menjadi Malik al-Saleh.Di Jawa institusi politik Islam yaitu kesultanan Demak baru lahir padaabad XV, bersamaan dengan mundurnya kerajaan Majapahit. Pergantian pemegang kekuasaan politik dari Majapahit ke Demak pada tahun1519 hakekatnya adalah usaha perebutan tahta di antara anggota keluarga raja.Dalamhal ini penguasa Demak yang juga keturunan Bhrawijaya Kertabhumi merasa berhak pula atas kendali kekuasaan kerajaan Majapahit. Sekalipun demikian tidak dapat pula diabaikan bahwa perbedaan pandangan keagamaan juga memberikan kemungkinan kepada Demak untuk menaklukkan Majapahit.Harus dicatat pula bahwa sudah sejak masa kejayaan Majapahit sudah adaorang-orang Islam yang tinggal di kota kerajaan, sebagaimana tampak darikubur-kubur Islam kuno di Tralaya. Nisan-nisan kuno tersebut memuat angka tahun tertua: 1290 Ç = 1368 M, dan angka tahun termuda 1533 Ç = 1611 M, tetapi tidak memuat nama sama sekali. Data itu menggambarkan bahwa pada tahun1368 M , yang masih dalam masa keemasan Majapahit, sudah ada orang Muslim yang tinggal di kota kerajaan, sebab situs Tralaya diduga berada di selatan kraton Majapahit. Beberapa nisan di situs tersebut memuat relief surya majapahit yang diyakini merupakan lambang kerajaan Majapahit, sehingga ditafsirkan bahwa orang yang dikuburkan di tempat tersebut adalah keluarga dekat raja, dan beragama Islam

Penyebaran Islam
Sebelum kesultanan Demak lahir, penyebaran agama Islam di Jawa sudah dilakukan, baik oleh orang asing maupun oleh bumiputera sendiri. Adapun caracara penyebaran yang dilakukan antara lain melalui pernikahan dengan wanita setempat, dakwah, pendidikan, dan kesenian. Sebagian penyebar agama Islam itu,beberapa di antaranya tergolong dalam Wali Sanga, mendirikan pesantrenpesantren yang muridnya datang dari berbagai penjuru, dan kemudian terbentuklah komunitas-komunitas Muslim di banyak tempat di Jawa. Sementara itu penyebaran Islam juga ditujukan ke pulau-pulau lain, seperti Maluku, Lombok, Kalimantan, dan Sulawesi. Penyebaran tersebut dipelopori olehpara ulama, termasuk Wali Sanga, dan kemudian mendapat dukungan politis dari para penguasa. Hal semacam ini tampak dalam penyebaran Islam misalnya
di Kalimantan Selatan.Pada tahap awalnya Islam disebarkan di Nusantara melalui jalur perdagangan, dalam arti Islam dibawa dan diperkenalkan kepada masyarakat Nusantara oleh para pedagang asing. Hal itu sejalan dengan lalu lintas perdagangan pada abad VII – XVI M, yakni dari Asia Barat dan Asia Selatan ke Asia Timur dan Asia Tenggara, serta sebaliknya. Di samping itu, di dalam Islam menyampaikan ajaran agama kepada pihak lain merupakan kewajiban bagi semua orang. Peran serta kaum pedagang dalam penyebaran Islam di Nusantara tergambar dalam Babad atau Hikayat di banyak daerah. Para pedagang asing, termasuk pedagang-pedagang Muslim, biasanya tinggal di pelabuhan-pelabuhan Nusantara dalam waktu yang cukup lama,karena selain melaksanakan kegiatan jual-beli mereka juga menunggu angina untuk berlayar pulang ke negerinya. Mereka biasanya tidak membawa keluarga,karena situasi pelayaran masa itu keras dan berat. Oleh karena itu merekabiasanya membentuk keluarga dengan menikahi wanita bumiputra, yang terlebihdahulu diislamkan. Dengan demikian, keturunan mereka sudah menjadi generasi pertama bumiputra yang beragama Islam. Hal semacam ini lebih menguntungkan lagi apabila wanita bumiputera itu adalah anak keluarga terkemuka, karena status sosialnya ikut mempercepat penyebaran Islam di tempat tersebut. Cara penyebaran Islam semacam itu sering tersirat dalam sumber-sumber tertulis
setempat.Jalur lain yang juga memegang peran dalam penyebaran Islam di Nusantara adalah tasawuf. Ajaran tasawuf yang diberikan oleh para sufi (= ulamaahli tasawuf) mengandung persamaan dengan konsep-konsep pikiran mistis Hindu-Budha yang berkembang di Nusantara waktu itu. Hal itulah yang antara lain mempermudah Islam diterima oleh masyarakat Nusantara. Kecuali melalui perdagangan, perhikahan, dan tasawuf, penyebaran Islam juga dilakukan melalui pendidikan. Dalam hal ini pendidikan yang diselenggarakan oleh ulama-ulama di pesantren atau pondok. Lembaga pendidikan tersebut tidak sukar diterima oleh masyarakat Nusantara waktu itu,karena sistemnya tidak jauh berbeda dari lembaga pendidikan yang dikelola olehpara rsi pada masa sebelumnya. Pesantren-pesantren itu banyak menarik perhatian masyarakat, termasuk yang belum memeluk agama Islam, karena para ulama pemimpin pesantren dipandang sebagai orang-orang terpelajar, santun,dan suka menolong.Cara penyebaran Islam yang lain adalah melalui seni, misalnya seni sastra,seni pertunjukan, seni musik, seni pahat, dan seni bangunan. Melalui seni pertunjukan, misalnya wayang yang digemari masyarakat Jawa, ajaran agama Islam dapat disampaikan dengan cara disisipkan dalam lakon-lakon yang masih didasarkan pada ceritera-ceritera Jawa Kuno. Selain itu, para pujangga waktu itu
juga menggubah ceritera baru untuk dipergelarkan, seperti cerita Menak Demikian pula lirik dalam tembang untuk mengiringi pergelaran tersebut, juga dipakai untuk mengungkapkan ajaran agama yang baru.
Seni bangunan juga dipakai sebagai sarana untuk penyebaran agama Islam di Nusantara. Salah satu contohnya adalah gaya arsitektur yang dipilih dalam membangun mesjid. Sebagaimana diketahui gaya arsitektur mesjid kuno yang disebut gaya Nusantara dikembangkan dari arsitektur yang sudah dikenal sebelumnya, namun disesuaikan dengan kebutuhan peribadatan agama Islam.Dengan demikian para Muslim baru tidak merasa gamang datang ke tempatperibadatan baru (mesjid) yang bentuk dan suasananya sudah akrab bagi mereka.Berbicara mengenai masuknya Islam di Nusantara, selain menyangkut waktu dan cara, juga tidak lepas dari pembawanya dalam tahap pertama. Dalam hal ini yang dimaksud adalah etnik pembawa Islam dari luar Nusantara. Sebab meskipun agama Islam diturunkan di jazirah Arab, tetapi penyebarannya ke Nusantara diduga tidak sepenuhnya dan tidak langsung dilakukan oleh etnik Arab. Etnik lain juga berperan dalam hal itu, misalnya: Persia, India, bahkan mungkin juga Cina. Interpretasi tersebut didasarkan antara lain pada:
1.      adanya beberapa jirat dan nisan kubur yang didatangkan dari Gujarat
(pantai barat India)
2.      adanya episode yang mengisahkan peranan orang Arab dan India
dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara, antara lain dalam
Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Babad Tanah Jawi.
3.      berita yang ditulis Ma-huan (sekretaris Laksamana Cheng-ho yang
berkunjung ke Majapahit pada tahun 1415) tentang keberadaan etnik
Cina yang beragama Islam di Jawa
Pada tahap berikutnya, penyebaran Islam tampaknya dalam banyak hal sudah dilakukan oleh orang-orang bumiputera sendiri. Hal ini tampak dari peran para wali di Jawa, dan ulama-ulama lain seperti Dato’ ri Bandang di Sulawesi Selatan, serta Tuanku Tunggang di Parang di Kalimantan Timur. Di dalam sumber-sumber tertulis setempat dikisahkan bahwa mereka menyebarkan agama Islam kepada para pemuka masyarakat, dan mendirikan pesantren yang banyak menarik murid dari berbagai daerah. Banyak legenda yang mengisahkan kelebihan para wali, terutama tentang kealiman dan kekuatan supranatural mereka.
Di Jawa mereka disebutkan berjumlah sembilan, sehingga mereka lazim disebut Wali Sanga, meskipun nama-nama anggotanya tidak selalu sama. Nama yang sering disebut dalam sumber-sumber tertulis setempat adalah: Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Drajat, Sunan Giri, dan Sunan (Te)mBayat. Kadang-kadang disebutkan pula Sunan Bejagung, Sunan Geseng, Syeh Siti Jenar, dan Sunan Sendang. Tentang para wali tersebut ada beberapa hal yang secara historis belum pasti, namun makam-makam mereka sampai sekarang masih ramai diziarahi orang.

Perubahan dan Kesinambungan Budaya
Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia membawa perubahanperubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Candi dan petirtaan tidak dibangun lagi, tetapi kemudian muncul masjid, surau, dan makam. Sistem kasta di dalam masyarakat dihapus, arca dewa-dewa serta bentuk-bentuk zoomorphic tidak lagi dibuat. Para seniman ukir kemudian menekuni pembuatan kaligrafi, mengembangkan ragam hias flora dan geometris, serta melahirkan ragam hias stiliran. Kota-kota mempunyai komponen dan tata ruang baru.Bahkan pada abad XVII M Sultan Agung memunculkan kalender Jawa, yang pada dasarnya merupakan “perkawinan” antara kalender Çaka dan Hijriyah. Akan tetapi, pada sisi lain budaya tidak dapat dikotak-kotakkan, sehingga terjadi pula kesinambungan-kesinambungan yang inovatif sifatnya. Masjid dan cungkub makam mengambil bentuk atap tumpang, seperti Masjid Agung Demak,yang bentuk dasarnya sudah dikenal pada masa sebelumnya sebagaimanatampak pada beberapa relief candi.
            Demikian pula menara masjid tempat muazin menyerukan azan, seperti menara di Masjid Menara di Kudus. Bentuk dasarnya tidak jauh berbeda dari candi gaya Jawa Timur yang langsing dan tinggi, tetapi detailnya berbeda. Bagian kepalanya berupa bangunan terbuka, relung-relungnya dangkal karena tidak berisi arca, dan hiasan relief diganti dengan tempelan piring porselin.
Bangunan makam Islam merupakan hal baru di Indonesia kala itu,karenanya tercipta nisan, jirat, dan juga cungkub, dalam berbagai bentuk karya seni. Nisan makam-makam tertua di Jawa, seperti makam Fatimah bin Maimun dan makam Malik Ibrahim, menurut penelitian merupakan benda yang diimpordalam bentuk jadi, sebagaimana tampak dari gaya tulisan Arab pada prasastinya dan jenis ornamentasi yang digunakan. Namun, nisan makam-makam berikutnyadibuat di Indonesia oleh seniman-seniman setempat. Hal ini antara lain tampak dari ragam hias yang digunakan, misalnya lengkung kurawal, patra, dsb. Bahkan di pemakaman raja-raja Binamu di Jeneponto (SulawesiSelatan) di atas jirat adapatung orang yang dimakamkan. Ini adalah suatu hal yang tidak pernah terjadi ditempat lain.Pada tata kota, terutama kota kerajaan di Jawa, juga dapat dilihat adanyaperubahan dan kesinambungan. Di civic centre kota-kota tersebut ada alun-alun,kraton, masjid agung, dan pasar yang ditata menurut pola tertentu. Disekelilingnya terdapat bangunan-bangunan lain, serta permukiman penduduk yang juga diatur berkelompok-kelompok sesuai dengan jenis pekerjaan, asal, dan status sosial.
1.KESIMPULAN
Di dalam perjalanannya, suatu kebudayaan memang lazim mengalami perubahan dan perkembangan. Oleh karena itu, corak kebudayaan di suatu daerah berbeda-beda dari jaman ke jaman. Perubahan itu terjadi karena ada kontak dengan kebudayaan lain, atau dengan kata lain karena ada kekuatan dari luar. Hubungan antara para pendukung dua kebudayaan yang berbeda dalamwaktu yang lama mengakibatkan terjadinya akulturasi, yang mencerminkan adanya pihak pemberi dan penerima. Di dalam proses itu terjadi percampuran unsur-unsur kedua kebudayaan yang bertemu tersebut. Mula-mula unsurunsurnya masih dapat dikenali dengan mudah, tetapi lama-kelamaan akan muncul sifat-sifat baru yang tidak ada dalam kebudayaan induknya.Rupanya proses seperti diuraikan di atas berulang kali terjadi di Indonesia,termasuk ketika Islam masuk dan berkembang di Indonesia. Pertemuan dan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha,
Prasejarah, dan Islam ( kemudian juga kebudayaan Barat) terjadi dalam jangka waktu yang panjang, dan bertahap.Tidak dipungkiri bahwa selama itu tentu terjadi ketegangan serta konflik. Akan tetapi hal tersebut adalah bagian dari proses menuju akulturasi. Faktor pendukung terjadinya akulturasi adalah kesetaraan serta kelenturan kebudayaan pemberi dan penerima, dalam hal ini kebudayaan Islam dan pra-Islam. Salah satu contohnya adalah bangunan masjid. Akulturasi juga memicu kreativitas seniman,sehingga tercipta hasil-hasil budaya baru yang sebelumnya belum pernah ada,juga way of life baru.
Setelahmengetahui bahwa terjadi akulturasi dan perubahan sehingga
terbentuk kebudayaan Indonesia-Islam, maka perlu difikirkan bagaimana pengembangannya pada masa kini dan masa mendatang. Dalam hal budaya materi memang harus dilakukan pengembangan-pengembangan sesuai dengan kemajuan teknologi, supaya tidak terjadi stagnasi, tetapi tanpa meninggalkan kearifan-kearifan yang sudah dihasilkan.
Hasil akulturasi menunjukkan bahwa Islam memperkaya kebudayaan yang sudah ada dengan menunjukkan kesinambungan, namun tetap dengan ciri9 ciri tersendiri. Hasil akulturasi juga memperlihatkan adanya mata rantai-mata rantai dalam perkembangan kebudayaan Indonesia. Supaya mata rantai-mata rantai tersebut tetap kelihatan nyata, harus dilakukan pengelolaan yang terintegrasi atas warisan-warisan budaya Indonesia. Hal ini perlu dikemukakan dan ditekankan, mengingat banyak warisan budaya yang terancam keberadaannya, terutama karena kurangnya kepedulian dan pengertian masyarakat Indonesia sendiri.

2.KRITIK DAN SARAN
Saya disini sebagai penyusun makalah ini telah memperoleh kesimpulan dan kebudayaan memang merupakan asset terbesar bangsa Indonesia,islam sebagai agama terbesar diindonesia telah menjadi akar kebudayaan bangsa Indonesia,walaupun kegiatan-kegiatan atau ritual-ritual seperti yang ada dikebudayaan bangsa Indonesia tidak dibenarkan oleh ajaran islam.



[1] Ibid., hal. 195
[2] Lihat Hendar Riyadi, Respon Muhammadiyah dalam Dialektika Agama, Pikiran Rakyat, Senin 24 Pebruari 2003

                                                                     
[3] Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, (Jakarta : Desantara, 2001), hal. 111


[4] Khamami Zada dkk., “Islam Pribumi : Mencari Wajah Islam Indonesia”, dalam Tashwirul Afkar, jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan, Edisi No. 14 tahun 2003, hal. 9-10
[5] Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan, 1991), hal. 235
[6] Khamami Zada dkk., Islam Pribumi … hal. 12
[7] Kuntowijoyo, Paradigma Islam … hal. 232-233
[8] Lihat Mark R. Woodward, Islam Jawa : Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogyakarta : LKIS, 1999) hal. 90
[9] Ibid., hl. 91
[10] Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of Chicago Press, 1979), hal. 54
[11] Lihat Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, (Princeton ; Princeton University Press, 1981), hal. 31-42, atau Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of Chicago Press,
[12] Mark R. Woodward, Islam Jawa … hal. 91
[13] Goldziher, Introduction to Islamic … hal. 45

[14] Ibid., hal 55
[15] Anjar Nugroho, “Dakwah Kultural : Pergulatan Kreatif Islam dan Budaya Lokal”, dalam Jurnal Ilmiah Inovasi, No.4 Th.XI/2002

[16] Marwanto, “Islam dan Demistifikasi Simbol Budaya”, dalam Solo Pos, Kamis 22 Juli 2002
[17] Kuntowijoyo, Paradigma Islam… hal 45
[18] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid … hal. 110-111
DAFTAR PUSTAKA

Adrisijanti Romli, Inajati, 1997, “Islam dan Kebudayaan Jawa”, dalam Cinandi,
Yogyakarta: Panitia Lustrum VII Jurusan Arkeologi UGM, hlm. 146-150
-----------------------------, 2001, Arkeologi Perkotaan Mataram-Islam, Yogyakarta : Jendela
---------------------, 2003, ”Bandar Niaga Barus Raya. Kajian Perbandingan dengan
Bandar Kuno di Pulau Jawa”, Seminar Internasional Barus Raya, Jakarta:
2003
---------------------, 1991, ”Makam-Makam Kesultanan dan Para Wali Penyebar
Islam di Pulau Jawa”, dalam Aspek-Aspek Arkeologi Indonesia, no. 12,
Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Damais, L.Ch., 1995, “Makam Islam di Tralaya”, dalam Epigrafi dan Sejarah
Nusantara (terj.), Jakarta: EFEO, hlm. 223-334
Guillot, Claude, (ed.), 2002, Lobu Tua. Sejarah Awal Barus, Jakarta: EFEO &
Pusat Penelitian Arkeologi.
Miksic, John, 1996, Indonesian Heritage. Ancient History, Singapore: Didier Millet
Pte Ltd.
Subarna, Abay D., 1987, ”Unsur Estetika dan Simbolik pada Bangunan Islam”,
makalah pada Diskusi Ilmiah Arkeologi II
Tjahjono, Gunawan, 1998, Indonesian Heritage. Architecture, Singapore: Didier
Millet Pte Ltd 10
Tjandrasasmita, Uka, 1985, The Arrival and Expansion of Islam in Indonesia
Relating to Southeast Asia, Jakarta: Masagung Foundation
Tjandrasasmita, Uka (ed.), 1990, Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Balai
Pustaka

Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, (Jakarta : Desantara,2001)
Anjar Nugroho, “Dakwah Kultural : Pergulatan Kreatif Islam dan Budaya Lokal”, dalam Jurnal Ilmiah Inovasi, No.4 Th.XI/2002
Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of Chicago Press, 1979)
Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, (Princeton ; Princeton University Press, 1981), hal. 31-42, atau Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of Chicago Press, 1979)
Hendar Riyadi, Respon Muhammadiyah dalam Dialektika Agama, Pikiran Rakyat, Senin 24 Pebruari 2003
Khamami Zada dkk., “Islam Pribumi : Mencari Wajah Islam Indonesia”, dalam Tashwirul Afkar, jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan, Edisi No. 14 tahun 2003
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme transendental, Bandung : Mizan, 2001
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan, 1991)
Mark R. Woodward, Islam Jawa : Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogyakarta : LKIS, 1999)
Marwanto, “Islam dan Demistifikasi Simbol Budaya”, dalam Solo Pos, Kamis 22 Juli 2002


Read more...

Selasa, 30 November 2010

EKSEKUSI MATI DAN EITHUNASIA DALAM KONTROVERSI ISU


diposkan oleh   >>DWI ANDRIYANTO


A.Pendahuluan
Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.

Pada tahun 2005, setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara, termasuk Indonesia. Dari data tersebut 94% praktek hukuman mati hanya dilakukan di empat negara: Iran, Tiongkok, Saudi Arabia, dan Amerika Serikat.
Metode
Dalam sejarah, dikenal beberapa cara pelaksanaan hukuman mati:

    * pancung kepala: Saudi Arabia dan Iran,
    * sengatan listrik: Amerika Serikat
    * digantung: Mesir, Irak, Iran, Jepang, Yordania, Pakistan, Singapura
    * suntik mati: Tiongkok, Guatemala, Thailand, AS
    * tembak: Tiongkok, Somalia, Taiwan, Indonesia, dan lain-lain
    * rajam: Afganistan, Iran

Kontroversi
Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktek hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan masalah kesejahteraan atau kemiskinan suatu masyarakat dan dan berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum.Dukungan hukuman mati didasari argumen diantaranya bahwa hukuman mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika pada hukuman penjara penjahat bisa jera dan bisa juga membunuh lagi jika tidak jera,pada hukuman mati penjahat pasti tidak akan bisa membunuh lagi karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya memelihara kehidupan yang lebih luas. Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya hukuman. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban sendiri,keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban.Lain halnya bila memang keluarga korban sudah memaafkan pelaku tentu vonis bisa diubah dengan prasyarat yang jelas.
Hingga Juni 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktek hukuman mati, termasuk Indonesia, dan lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktek hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara negara malakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati.[1]
Praktek hukuman mati di juga kerap dianggap bersifat bias, terutama bias kelas dan bias ras. Di AS, sekitar 80% terpidana mati adalah orang non kulit putih dan berasal dari kelas bawah. Sementara di berbagai negara banyak terpidana mati yang merupakan warga negara asing tetapi tidak diberikan penerjemah selama proses persidangan.
Kesalahan vonis pengadilan
Sejak 1973, 123 terpidana mati dibebaskan di AS setelah ditemukan bukti baru bahwa mereka tidak bersalah atas dakwaan yang dituduhkan kepada mereka. Dari jumlah itu 6 kasus di tahun 2005 dan 1 kasus di tahun 2006. Beberapa diantara mereka dibebaskan di saat-saat terakhir akan dieksekusi. Kesalahan-kesalahan ini umumnya terkait dengan tidak bekerja baiknya aparatur kepolisian dan kejaksaan, atau juga karena tidak tersedianya pembela hukum yang baik.
Seiring Kesalahan Vonis Mati terhadap Terpidana mati
Dalam rangka menghindari kesalahan vonis mati terhadap terpidana mati, sedapat mungkin aparat hukum yang menangani kasus tersebut adalah aparat yang mempunyai pengetahuan luas dan sangat memadai, sehingga Sumber Daya manusia yang disiapkan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan adalah sejalan dengan tujuan hukum yang akan menjadi pedoman didalam pelaksanaannya, dengan kata lain khusus dalam penerapan vonis mati terhadap pidana mati tidak adalagi unsur politik yang dapat mempengaruhi dalam penegakan hukum dan keadilan dimaksud.
Hukuman mati menurut sisitem hukum diindonesia
Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.Walaupun amandemen kedua konstitusi menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati.[2]
Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.Hingga 2006 tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti: KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara.[3]
Di Indonesia, sejumlah perundangan menetapkan adanya hukuman mati pada para pelaku kasus pidana. Beberapa vonis mati pernah dijatuhkan hakim antara lain:
 * Kolonel Laut (S) M. Irfan Djumroni. Dia divonis mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti) III-Surabaya pada 2 Februari 2006. Dia dipecat dari kesatuan TNI-AL karena membunuh isterinya Ny Eka Suhartini dan Ahmad Taufik SH, hakim pada Pengadilan Agama Sidoarjo, pada 21 September 2005 bersamaan sidang putusan gono gini perceraiannya di Pengadilan Agama Sidoarjo. Dia dinilai melanggar pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, pasal 351 KUHP tentang pembunuhan, dan melanggar UU Nomor 12 tahun 1951 tentang kepemilihan senjata tanpa izin.[4]
Tafsir UUD 1945 oleh Mahkamah Konstusi terkait dengan konstitusionalitas “Hukuman Mati” yang telah ditunggu lama akhirnya tiba juga,Terkait dengan itu, MK menyatakan bahwa kejahatan-kejahatan yang diatur dalam Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a; serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a UU Narkotika tergolong ke dalam kelompok kejahatan yang paling serius baik menurut UU Narkotika maupun menurut ketentuan hukum internasional yang berlaku pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Dengan demikian, kualifikasi kejahatan pada pasal-pasal UU Narkotika di atas dapat disetarakan dengan “the most serious crime” menurut ketentuan Pasal 6 ICCPR.[5]
MK juga memberikan beberapa catatan penting, sebagaimana dituangkan dalam pertimbangan hukum putusan, salah satunya adalah ke depan, dalam rangka pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pidana mati, maka perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia hendaklah memperhatikan dengan sungguh-sungguh: bahwa pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif; pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun; pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa; eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh. Selain itu, demi kepastian hukum yang adil, MK juga menyarankan agar semua putusan pidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) segera dilaksanakan Terhadap putusan ini, empat orang Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinions). Pendapat berbeda Hakim Konstitusi H. Harjono khusus mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon Warga Negara Asing. Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi mempunyai pendapat berbeda mengenai Pokok Permohonan. Sedangkan Hakim Konstitusi H.M. Laica Marzuki dan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan mempunyai pendapat berbeda baik mengenai kedudukan hukum (legal standing) maupun Pokok Permohonan.[6]
Pertanyaannya sekarang, apakah rezim hukuman mati di Indonesia sudah pasti terus bertahan?
Jawabannya adalah iya dan tidak. “Iya” karena hukuman mati dapat dijatuhkan dengan syarat-syarat khusus dan spesifik, dan “Tidak” karena Mahkamah hanya memutuskan konstitusionalitas Hukuman Mati pada UU Narkotika.
Bagaimana dengan ketentuan hukuman mati pada UU lainnya, misalnya dalam KUHP atau UU Darurat?
Mulai saat ini, pertimbangan hukum Mahkamah dapat dijadikan senjata pamungkas untuk memangkas berbagai ketentuan hukuman mati di berbagai UU yang tidak sesuai dengan tafsir Mahkamah.


Hukuman mati menurut Islam
Di dalam Islam, hukuman tidak berangkat dari pendapat manusia atau kesepakatan manusia belaka. Karena apa yang ada dalam pandangan manusia memiliki keterbatasan. Seringkali apa yang dalam pandangan manusia baik, pada hakikatnya belum tentu baik. Demikian juga, apa yang dalam pandangan manusia buruk, hakikatnya belum tentu buruk. Sehingga bagi umat Islam, harus mengembalikan penilaian baik atau buruk, terpuji dan tercela menurut pandangan syariat. Dalam hal ini Allah sebagai Syaari’ atau pembuat syariat.
Sistem persanksian (uqubat) dalam Islam meliputi empat hal: hudud, jinayat, ta’zir dan mukhalafat[7]. Hudud adalah sanksi-sanksi atas kemaksiatan yang telah ditetapkan kadarnya dan menjadi hak Allah untuk menentukan hukumannya. Dinamakan hudud karena umumnya mencegah orang berbuat maksiat, untuk tidak kembali kepada kemaksiatan yang telah ditetapkan hadnya. Dalam masalah hudud, tidak ada pemaafan baik dari hakim ataupun terdakwa. Karena hudud adalah hak Allah. Tidak seorangpun yang berhak menggugurkannya dalam kondisi apapun.
Tindakan maksiat yang wajib dikenakan sanksi yang merupakan bagian dari hudud adalah zina, liwath (homo), qadzaf, minum khamr, pencurian, riddah, hirabah dan bughat. Walaupun bermacam-macam bentuknya, tetapi bentuk sanksi untuk masing-masing pelanggaran ini telah ditetapkan dalam AlQura’an dan hadits. Hukuman mati, misalnya berlaku bagi pezina muhshan. Yaitu yang sudah pernah menikah. Allah SWT menetapkan hukuman rajam bagi perbuatan ini. Hukuman mati juga berlaku bagi pelaku homoseksual (laki-laki mendatangi laki-laki melalui duburnya). Hukum syara’ dalam masalah liwath ini menurut sunnah dan ijma’ shahabat adalah membunuh kedua pelakunya. Hukum mati juga berlaku bagi orang? yang murtad, yang telah mendapat peringatan namun tetap tidak mau kembali. Sementara selain hudud, ada jenis hukuman mati untuk kasus jinayat (kriminal) yaitu membunuh dengan sengaja. Baik membunuh seorang muslim ataupun kafir dzimmy (yang keamanannya di bawah kaum muslimin). Hukum orang yang membunuh dengan sengaja (tanpa alasan syar’iy) adalah dibunuh. Yaitu qishash bagi pelakunya, jika wali yang terbunuh tidak memaafkan. Tetapi bila dimaafkan, maka diyatnya (denda) diserahkan kepada walinya. Inilah hukum-hukum Allah SWT. Bagi seorang muslim, maka ia harus meyakini, bahwa dimana ada syara’ maka di snalah terletak kemaslahatan bagi manusia.
Esensi hukuman mati dalam Islam
Ada dua fungsi hukuman dalam Islam. Yaitu:
v  Jawajir
v  jawabir
yang pertama adalah jawazir adalah mencegah kejahatan yang lebih besar. Penerapan hukuman akan membawa, bahkan orang-orang yang lemah iman dan ketaqwaannya pun takut untuk melakukan kejahatan. Dengan demikian, ketentraman masyarakat akan terjaga.
Kedua jawabir yaitu penebus bagi pelaku. Artinya, dosa-dosa pelaku akan terampuni dan ia tidak akan dituntut lagi di akhirat. Sanksi akhirat bagi seorang muslim akan? gugur oleh sanksi yang dijatuhkan negara di dunia. ?Inilah yang menyebabkan dalam kondisi kaum muslimin berada dalam tingkat ketaqwaan tinggi, maka hukuman tidak akan banyak dijatuhkan. Adapun bagi yang melanggar, mereka sangat ingin segera dihukum agar dosanya tertebus.
Pada masa Rasulullah Saw, sangat masyhur kasus al Ghamidiyah yang justru meminta dihukum rajam karena sudah melakukan zina. Ghamidiyah mengatakah, “yaa Rasuulullah sucikanlah aku”. Demikian juga Maiz yang juga meminta agar ia dihukum rajam. Rasulullah Saw mengomentari tentang mereka: “Laqod taabats taubatan, law qusimats bayna sab’iina min ahlil madiinah lawasi’athum: Sungguh ia telah bertaubat, seandainya taubatnya dibagi diantara 70 penduduk madinah, sungguh akan tertutup semuanya. Hal ini menunjukkan betapa besar pahala orang yang bertaubat dan menjadikan sanksi tadi sebagai penebus dosanya. Mereka rela menanggung rasa sakit had dan qishash di dunia, karena takut azhab akhirat. ?Hanya persoalannya, hukuman ini hanya bisa ditegakkan oleh Daulah Khilafah Islamiyah, bukan oleh RT, RW, ormas atau partai. Sehingga pangkal persoalan bagi kaum muslimin saat ini bukan dari sisi apakah hukuman mati itu penting atau tidak, tetapi bahwa mereka wajib menegakkan hukum-hukum Allah SWT dalam naungan khilafah Islamiyah, agar seluruh kewajiban umat Islam dapat terealisasikan.Namun di sisi yang lain sebelum hukuman mati tersebut diterapkan secara konsisten, memang ada persyaratan-persyaratan tertentu yang wajib dipenuhi. Yaitu, jika maksudnya adalah hukuman mati menurut hukum/ syariat islam maka syarat pertama yang wajib dipenuhi adalah syariat Islam sudah benar-benar ditegakkan secara masal. Artinya kemudian, jika terdapat sebagian masyarakat menghendaki dilaksanakannya hukuman mati secara islami namun kenyataannya masyarakat secara umum masih berhukum di luar syariat islam maka praktek hukuman mati tersebut tidak syah secara syar’i (~menurut jumhur ulama). Sedangkan syarat-syarat hukuman mati yang lain dapat dilihat secara teknis menurut sebab atau akibatnya. Dan jika maksudnya adalah kita ingin meniru hukuman mati seperti yang berlaku juga di sebagian negara-negara lain yang bukan berasal dari hukum islam, maka saya berlepas diri dari hal ini…Sebab pertanyaannya adalah: Adakah hukum yang lebih adil selain hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT?? TIDAK ADA. Sebab, sesungguhnya darah dan nyawa 1 orang yang tidak berdosa atau bisa jadi orang yang seharusnya tidak berhak dihukum mati karena tidak memenuhi syarat untuk dihukum mati di mata Allah SWT adalah lebih bernilai daripada bumi beserta segala isinya. Dan sesungguhnya, bagi saudara-saudara muslim dan mu’min sejati maka produk hukum apa saja yang datang dari Allah SWT dan Rasul-Nya sudah cukup baginya. Mereka akan ikhlas menerimanya, bahkan seandainya tidak sesuai dengan hati dan nuraninya pun mereka akan tetap menerimanya. Karena sejatinya, keadilan dan kebenaran adalah milik Allah SWT.
Meskipun demikian, jika dalam hal ini kita hanya sekedar membahas apakah hukuman mati itu perlu? Ya. Sebab sekali lagi, efek jera dari pelaksanaan hukuman mati tersebut telah terbukti merupakan cara terbaik membuat masyarakat menjadi jera, lebih taat hukum, lebih menghormati hak asasi manusia secara umum untuk sama-sama dapat hidup secara bebas dan tidak terdzolimi, dan lebih menutup kemungkinan adanya konflik dan budaya balas dendam di antara masyarakat secara masal apalagi secara turun-temurun.
QISHASH
Menurut syaraâ’ qishash ialah pembalasan yang serupa dengan perbuatan pembunuhan melukai merusakkan anggota badan/menghilangkan manfaatnya, sesuai pelangarannya.[8]
Allah SWT telah menjelaskan yaitu Wa lakum fil qishaashi hayaatun yaa uulil albaab. La’allakum tattaquun: “Dan dalam (hukum) qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa”[9]. Maksudnya, disyariatkannya hukum qishash bagi kalian -yakni membunuh si pembunuh-terdapat hikmah yang sangat besar yaitu menjaga jiwa. Sebab jika si pembunuh mengetahui akan dibunuh lagi, maka ia akan takut untuk melakukan pembunuhan. Itulah sebabnya dalam qishash ada jaminan hidup bagi jiwa si pembunuh.
“:Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”.[10]

Hadist riwayat Bukhari ra., ia berkata:
Dari Abdullah Ibnu Abbas ra, dia berkata: Dahulu pada Bani Israil adanya qishash dan tidak ada pada mereka diyat, lalu Allah berfirman kepada umat ini:”Diwajibkan atas kami qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang mendeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).
Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”. Abdullah Ibnu Abbas berkata: “Pemaafan adalah keluarga korban pembunuhan menerima diyat (tidak menindak Qishash) dalam pembunuhan disengaja”. Ibnu Abbas berkata: “Mengikuti dengan cara yang baik adalah menuntut (diyat dari pembunuh) dengan cara yang baik, dan (pembunuh) supaya memenuhi dengan terbaik”.

Satu satunya Negara Islam yang masih memegang hukum qishash (exsekusi) dan melaksanakan suatu keputusan yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Kubro (Pengadilan Agung)[11] sesuai dengan ajaran Islam. Memang betul, hukum qishash di Saudi tidak dilaksanakan secara merata, terutama untuk golongan atasan, tapi secara global hukum qishash (exsekusi) telah menjadi ciri khas untuk diterapkan di negara itu secara hukum mengenai suatu perkara atau dalam istilah lainya lazimnya, apa bila semua persyaratan hukum telah dipenuhi, harus dilaksanakan hukum qishash (eksekusi).[12] Maka, pembunuh, perampok, pemerkosa, penjahat dan terpidana mati lainya yang dianggap telah merusak di muka bumi hukumnya lazim harus di bunuh artinya keputusan hukum itu secara hukum harus dieksekusi. pencuri hukumya lazim harus potong tangannya dan penzina hukumya dirajam. Kata “lazimnya” termasuk katagori yang lazim dipakai dalam keputusan hukum qishash (exsekusi). Allah berfiman &ldquo”Sesungguhnya pembalasan terhadap orangorang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negri tempat kediamannya. Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar &ldquo”.[13]Allah berfirman &ldquo”Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya At Taurat bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa , mata dengan mata , hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishashnya. Barang siapa yang melepaskan hak qishashnya, maka kelepaskan hak itu menjadi penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang yang zalim&rdquo”.[14]
Qishash ada 2 macam :
1. Qishash jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuhan.
2. Qishash anggota badan, yakni hukum qishash atau tindak pidana melukai, merusakkan anggota badan, atau menghilangkan manfaat anggota badan.
Syarat-syarat Qishash
a. Pembunuh sudah baligh dan berakal (mukallaf). Tidak wajib qishash bagi anak kecil atau orang gila, sebab mereka belum dan tidak berdosa.
b. Pembunuh bukan bapak dari yang terbunuh. Tidak wajib qishash bapak yang membunuh anaknya. Tetapi wajib qishash bila anak membunuh bapaknya.
c. Oran g yang dibunuh sama derajatnya, Islam sama Islam, merdeka dengan merdeka, perempuan dengan perempuan, dan budak dengan budak.
d. Qishash dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, anggota dengan anggota, seperti mata dengan mata, telinga dengan telinga.
e. Qishash itu dilakukan dengn jenis barang yang telah digunakan oleh yang membunuh atau yang melukai itu.
f. Oran g yang terbunuh itu berhak dilindungi jiwanya, kecuali jiwa oran g kafir, pezina mukhshan, dan pembunuh tanpa hak. Hal ini selaras hadits rasulullah, ‘Tidakklah boleh membunuh seseorang kecuali karena salah satu dari tiga sebab: kafir setelah beriman, berzina dan membunuh tidak dijalan yang benar/aniaya’[15]
Pembunuhan olah massa / kelompok orang
Sekelompok orang yang membunuh seorang harus diqishash, dibunuh semua..
Qishash anggota badan
Semua anggota tubuh ada qishashnya. Hal ini selaras dengan firman-Nya, ‘Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.[16]
HIKMAH QISHASH
Hikmah qishash ialah supaya terpelihara jiwa dari gangguan pembunuh. Apabila sesorang mengetahui bahwa dirinya akan dibunuh juga. Karena akibat perbuatan membunuh oran g, tentu ia takut membunuh oran g lain. Dengan demikian terpeliharalah jiwa dari terbunuh. Terpeliharalah manusia dari bunuh-membunuh.Ringkasnya, menjatuhkan hukum yang sebanding dan setimpal itu, memeliharakan hidup masyarakat: dan Al-Quran tiada menamai hokum yang dijatuhkan atas pembunuh itu, dengan nama hukum mati atau hukum gantung, atau hukum bunuh, hanya menamai hukum setimpal dan sebanding dengan kesalahan. Operasi pemberantasan kejahatan yang dilakukan pemerintah menjadi bukti betapa tinggi dan benarnya ajaran islam terutama yang berkenaan hukum qishash atau hukum pidana Islam.
DIYAT
Pengertian Diat
Diyat ialah denda pengganti jiwa yang tidak berlaku atau tidak dilakukan padanya hukuman bunuh.
ü  Bila wali atau ahli waris terbunuh memaafkan yang membunuh dari pembalasan jiwa.
ü  Pembunuh yang tidak sengaja
ü  Pembunuh yang tidak ada unsur membunuh.
Macam-macam diyat
Diyat ada dua macam :
  1. Diyat Mughalazhah, yakni denda berat
Diyat Mughalazhah ialah denda yang diwajibkan atas pembunuhan sengaja jika ahli waris memaafkan dari pembalasan jiwa serta denda aas pembunuhan tidak sengaja dan denda atas pembunuhan yang tidak ada unsur-unsur membunuh yang dilakukan dibulan haram, ditempat haram serta pembunuhan atas diri seseorang yang masih ada hubungan kekeluargaan. Ada pun jumlah diat mughallazhah ialah : 100 ekor unta terdiri 30 ekor unta berumur 3 tahun, 30 ekor unta berumur 4 tahun serta 40 ekor unta berumur 5 tahun (yang sedang hamil).
Diat Mughallazah ialah : Pembunuhan sengaja yaitu ahli waris memaafkan dari pembalasan jiwa. Pembunuhan tidak sengaja / serupa Pembunuhan di bulan haram yaitu bulan Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab.Pembunuhan di kota haram atau Mekkah.Pembunuhan orang yang masih mempunyai hubungan kekeluargaanseperti Muhrim, Radhâ’ah atau Mushaharah.Pembunuhan tersalahdengan tongkat, cambuk dsb.Pemotongan atau membuat cacat angota badan tertentu.
  1. Diyat Mukhaffafah, yakni denda ringan.
Diyat Mukhoffafah diwajibkan atas pembunuhan tersalah. Jumlah dendanya 100 ekor unta terdiri dari 20 ekor unta beurumur 3 tahun, 20 ekor unta berumur 4 tahun, 20 ekor unta betina berumur 2 tahun, 20 ekor unta jantan berumur 2 tahun dan 20 ekor unta betina umur 1 tahun.
Diyat Mukhoffafah dapat pula diganti uang atau lainya seharga unta tersebut. Diat Mukhoffafah adalah sebagai berikut :Pembunuhan yang tersalah.Pembunuhan karena kesalahan obat bagi dokter.Pemotongan atau membuat cacat serta melukai anggota badan.
Ketentuan-ketentuan lain mengenai diat :
1. Masa pembayaran diyat, bagi pembunuhan sengaja dibayar tunai waktu itu juga. Sedangkan pembunuhan tidak sengaja atau karena tersalah dibayar selama 3 tahun dan tiap tahun sepertiga.
2. Diyat wanita separo laki-laki.
3. Diyat kafir dhimmi dan muâ’hid separo diat muslimin.
4. Diyat Yahudi dan Nasrani sepertiga diat orang Islam.
5. Diyat hamba separo diat orang merdeka.
6. Diyat janin, sepersepuluh diat ibunya, 5 ekor unta.
Diyat anggota badan :
Pemotongan, menghilangkan fungsi, membuat cacad atau melukai anggota badan dikenakan diyat berikut :
Pertama : Diyat 100 (seratus) ekor unta. Diat ini untuk anggota badan berikut :
a. Bagi anggota badan yang berpasangan (kiri dan kanan) jika keduan-duanya potong atau rusak, yaitu kedua mata, kedua telinga, kedua tangan, kedua kaki, kedua bibir (atas bawah) dan kedua belah buah zakar.
b. Bagi anggota badan yang tunggal, seperti : hidung, lidah, dll..
c. Bagi tulang sulbi ( tulang tempat keluar air mani laki-laki)
Kedua : Diyat 50 ekor unta. Diyat ini untuk anggota badan yang berpasangan, jika salah satu dari keduanya ( kanan dan kiri) terpotong.
Ketiga : Diat 33 ekor unta ( sepertiga dari diatyang sempurna). Diyat ini terhadap :
a. Luka kepala sampai otak
b. Luka badan sampai perut
c. Sebelah tangan yang sakit kusta
d. Gigi-gigi yang hitam
Gigi satu bernilai 5 ekor unta. Kalau seseorang meruntuhkan satu gigi orang lain harus membayar dengan 5 ekor unta. Kalau meruntuhkan 2, harus membayar 10 ekor. Bagaimana kalau seseorang meruntuhkan semua gigiorang lain, apakah harus membayar 5 ekor unta kali jumlah gigi tersebut ? Ulama berbeda pendapat. Sebagian berpendapat : cukup membayar diyat 60 ekor unta (dewasa). Ulama lain berpendapat harus membayar 5 ekor unta kali jumlah gigi.
Hal Sumpah
Orang yang menuduh membunuh harus mengemukakan bukti dan orang yang menolak tuduhan harus bersumpah. Apabila ada pembunuhan yang tidak diketahui pembunuhnya, wali dari yang terbunuh bisa menuduh kepada sesorang atau suatu kelompok yang mempunyai kaitan dengan pembunuhan, yaitu menyebutkan data-data.
Data-data yang dikemukakan seperti :
ü  ü Orang yang dituduh pernah bertengkar pada hari-hari sebelumnya
ü  ü Orang yang dituduh pernah disakitkan hatinya.
ü  ü Adanya alat yang hanya dimiliki oleh tertuduh
ü  ü Adanya berita dari seseorang tertuduh kalau tidak menerima tuduhan bisa membela diri dengan bersumpah, bahwa ia betul-betul tidak membunuh.

KIFARAT PEMBUNUHAN
Pembunuh disamping dia wajib menyerahkan diri unutk dibunuh atau diat (denda) maka ia diwajibkan juga membayar kifarat. Diyat adalah jenis denda sebagai tanda penyesalan atau belasungkawa kepada keluarga korban. Sedang kifarat adalah jenis denda sebagai tanda taubat kepada Allah SWT.Ada pun kifarat akibat pembunuhan adalah memerdekakan hamba yang Islam atau dia wajib puasa dua bulan secara berturut-turut. Hal ini selaras dengan.[17]

Pro-kontra Hukuman Mati
Diindonesia
Melanggar HAM.
Indonesia masih menganut adanya hukuman mati sebagaimana diatur di dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Hingga akhir 2006 terdapat setidaktidaknya 10 peraturan perundang-undangan di Indonesia yang masih mengandung ancaman hukuman mati. Beberapa peraturan perundangundangan yang masih mengatur hukuman mati antara lain Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUPM), Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika[18].
2. Walaupun hukuman mati masih diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan di Indonesia, namun dapat dinyatakan telah ada moratorium selama bertahun-tahun mengingat sedikitnya eksekusi yang dilakukan. Sejak 1945 sampai dengan 2003 tercatat ’hanya’ 15 orang yang dieksekusi.[19] Jumlah ini kecil bila dibandingkan dengan periode 10 tahun terakhir (1998-2008) yang berjumlah 17 orang.[20] Eksekusi hukuman mati mempunyai kecenderungan meningkat pada tahun-tahun terakhir. Pada periode Januari-Juli 2008 telah ada 6 terpidana mati yang dieksekusi. Pada periode 18-19 Juli 2008 eksekusi terjadi dengan jarak waktu yang sangat pendek yaitu tidak lebih dari satu jam.[21]
3. Dapat diduga kuat bahwa kembalinya hukuman mati didorong oleh perdagangan obat-obatan terlarang daripada oleh meningkatnya violent crime.[22]Dugaan tersebut benar bila kita melihat data terakhir. Untuk periode 1998- 2008, kasus narkotika dan psikotropika adalah kasus yang paling banyak divonis hukuman mati yaitu sebanyak 68 kasus dan kemudian disusul 32 kasus pembunuhan.[23]

ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA HUKUMAN MATI MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 39 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DENGAN HUKUM ISLAM
Penelitian ini mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai perbedaan konsep perlindungan hak hidup menurut Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dengan konsep perlindungan hak hidup menurut Hukum Islam, disamping persamaan-persamaannya. Akan tetapi berhubung luasnya perlindungan hak hidup itu, maka penelitian ini difokuskan pada perlindungan yang berkaitan dengan penjatuhan hukuman mati, mengingat sampai saat ini, hal tersebut masih selalu menjadi pembicaraan hangat. Satu pihak berpemdapat hukuiman mati tidak searah dengan konsep perlindungan hak hidup, bahkan melanggar Hak Asasi Manusia; di pihak lain, hukuman mati merupakan jaminan terhadap perlindungan hak hidup, artinya hak hidup seseorang ataupun masyarakat akan terjamin tidak dilanggar oleh siapapun jika ditegakkan penjatuhan hukuman mati.Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normative yang bersifat deskriptif. Data penelitian ini diperoleh dari Bahan Hukum Primer dan Bahan Hukum Sekunder. Untuk mengumpulkan data, digunakan teknik mencatat dokumen. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis penafsiran komparatif. Sifat dasar analisis ini bersifat induktif, yaitu cara-cara menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus kearah hal-hal yang bersifat umum.Bahwa Undang Undang Nomor 39Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam sama-sama tegasnya melindungi hak hidup,yakni hak hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Tidak boleh menghilangkan nyawa seseorang kecuali menurut yang dibenarkan oleh syara'. Ada perbedaan konsep jaminan perlindungan hak hidup antara Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dengan Hukum Islam. Menurut Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dengan menghapus hukuman mati akan terlindungi hak hidup seseorang, sedangkan menurut Hukum Islam, dengan penerapan hukuman mati, hak hidup seseorang akan dijamin terlindungi,Mengingat bahwa segala ketentuan dalam kitab suci diyakini kebenarannya, maka haruslah tidak ragu-ragu bagi para penegak hukum untuk menegakkan hukum dalam kitab suci tersebut, antara lain dengan tetap tegas menerapkan hukuman mati demi menjamin hak hidup seseorang.[24]
 Kongres Internasional Menentang Hukuman Mati
Lebih seratus anggota parlemen, wakil organisasi hak asasi, penelitidan ahli hukum hari Kamis ini akan berkumpul di Straßburg, Perancis, untuk menghadiri Kongres Internasional Menentang Hukuman Mati.Kongres dua hari itu diselenggarakan dipbawah payung Dewan Eropa dan Parlemen Eropa. Tujuannya adalah untuk membahas situasi aktual di negara-negara yang masih memberlakukan hukuman mati. Kemudian para peserta akan membahas strategi kampanye menghapuskan hukuman mati.Ketua parlemen Jerman, Wolfgang Thierse, dalam kata sambutannya pada panitia kongres, menyebut hukuman mati sebagai 'tindakan barbar'.Pada hari kedua, Jum'at besok, kongres akan dihadiri oleh ketua Parlemen Eropa, Nicole Fontaine, ketua Asosiasi Parlemen Eropa, Lord Russel Johnston, dan para ketua parlemen negara-negara Eropa. Menurut panitiaenyelenggara kongres, para eserta kemudian akan menyusun surat himbauan terbuka untuk menghapuskan hukuman mati di seluruh dunia. Akan hadir juga ketua parlemen dari Ukraina dan Cile, yang baru-baru ini menghapuskan hukuman mati.Selain membahas situasi di berbagai negara, peserta dengan bantuan para praktisi hukum akan membahas strategi kampanye besar-besar-an penghapusan hukuman mati. Debat besar tampaknya akan berlangsung mengenai pelaksanaan hukuman mati di Amerika Serikat, negara yang menganggap dirinya benteng demokrasi dan hak asasi, tetapi masih melaksanakan eksekusi hukuman mati. Menurut keterangan organisasi hak asasi amnesty international, dari 195 negara, ada 109 negara yang tidak melasanakan hukuman mati lagi. Sementara di 75 negara, hukuman mati sudah dihapus dari perundangannya. Hal itu terutama dilakukan  negara-negara Eropa dan Amerika Selatan. Di 86 negara, hukuman mati masih dilaksanakan.
Diantara anggota Dewan Eropa, hanya Rusia, Albania dan Turki yang masih memuat hukuman mati sebagai sanksi hukum. Namun di ketiga negara itu, sejak beberapa tahun terakhir hukuman mati tidak dilaksanakan.lagi. Di Amerika Latin, hukuman mati masih dilakukan di Kuba dan Guatemala. Di Meksiko, hukuman mati bisa dilaksanakan dalam situasi darurat. Di negara-negara Amerika Latin lainnya, hukuman mati sudah dihapuskan atau tidak dilaksanakan lagi.Diantara negara-negara yang masih memberlakukan hukuman mati, Cina menempati posisi teratas dalam hal eksekusinya. Tahun 1998, lebih dari 1000 orang dihukum mati. Dan sejak awal tahun ini, menurut keterangan organsisasi-organisasi hak asasi, sudah ratusan orang yang dieksekusi. Hukuman mati juga masih sering dilaksanakan di Arab Saudi, Taiwan, Afghanistan, Sierra Leone dan Ruanda. Amerika Serikat mulai memberlakukan kembali sanksi hukuman mati tahun 1976. Sejak itu, sudah 717 orang yang dieksekusi.[25]
Sejumlah negara Uni Eropa meminta Indonesia mencabut hukuman mati yang dianut Indonesia dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Alasannya, hukuman mati sudah tidak relevan lagi diterapkan saat ini. Keberatan tersebut disampaikan Duta Besar Finlandia untuk Indonesia Markku Niluloja, Dubes Federasi Jerman Joachim Braudre Groeger dan Konselir UE Ulrich Eckle kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta, Selasa (4/7).
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin yang ikut pertemuan menjelaskan, pro kontra seputar hukuman mati di Indonesia memang sudah lama menjadi wacana di dalam negeri. Karena itu, keberatan UE bisa memperkaya wacana tersebut. Hamid mengakui, hukuman mati dalam KUHP sudah ada sejak Indonesia merdeka. Sampai saat ini, Indonesia sudah mengeksekusi 71 orang terpidana mati. Menurut Hamid, Wapres Kalla langsung menolak keberatan tersebut. Hamid menambahkan, pertemuan dengan para petinggi UE ini tidak menyinggung masalah terorisme[26]
Euthanasia
Arti Euthanasia adalah kematian baik atau kematian bahagia. Ini ditujukan pada mengakhiri kehidupan seorang (manusia) yang dilakukan orang lain untuk mencegah rasa sakit dalam penderitaan yang berkepanjangan. Ada 2 bentuk dasar euthanasia, (1) Sukarela. Seorang pasien yang mati secara perlahan-lahan adalah menyakitkan. Oleh sebab itu, seorang pasien meminta bantuan untuk mempercepat proses kematiannya. Ini berarti dibantu bunuh diri. (2) Bukan sukarela. Ini berarti menyebabkan kematian seseorang yang tidak mampu lagi meminta tolong untuk mengalami kematian. Hal ini termasuk bayi dan orang yang dalam keadaan koma (sekarat). Orang-orang yang mendukung euthanasia mengatakan bahwa jika seseorang tidak normal atau tidak memiliki kehidupan yang produktif, dia seharusnya dibunuh saja. Tetapi apakah itu normal? Siapakah yang berhak berkata apakah kehidupan yang produktif itu? Ada banyak contoh orang yang tidak normal, tetapi hidup bahagia berguna. Bayi-bayi yang lahir cacat, orang yang lanjut usia, orang sakit, orang yang terganggu mentalnya adalah target euthanasia. Ketika kita mengambil keputusan untuk hidup atau mati diluar dari kehendak Allah atau menyerahkan ke tangan manusia yang tidak sempurna, maka banyak masalah yang akan terjadi![27]
Negara Belanda telah menemukan jalan yang menyarankan praktek euthanasia. Sebelum tahun 1973, euthanasia tidak diperbolehkan di Belanda. Sejak saat itu, para dokter dan suster secara aktif terlibat dalam pembunuhan orang yang belum siap untuk mati. Pada tahun 1990, 9% dari kasus kematian di Belanda dilaksanakan oleh para dokter. Setengah dari kasus ini adalah pasien yang dibunuh tanpa persetujuan mereka. Ada organisasi-organisasi yang mempublikasikan buku-buku untuk mengajar orang bagaimana membunuh diri mereka sendiri atau orang lain. Di Amerika Serikat, Jack Kevorkian menjadi terkenal oleh karena menolong banyak orang membunuh diri mereka sendiri.

Mengapa Euthanasia itu salah?
Praktek euthanasia adalah salah karena melanggar prinsip bahwa kehidupan itu diberikan oleh Allah. Allah tidak menyetujui “tangan yang menumpahkan darah orang tidak bersalah”(Amsal 6:16,17). Kehidupan berasal dari Allah. Adalah keputusan Allah untuk memberi kehidupan dan mengambilnya kembali (Pengkhotbah 12:7; Ayub 1:21). Dalam Alkitab, “menumpahkan darah orang yang tidak bersalah” disebut pembunuhan (1 Yohanes 3:15; Kejadian 9:6).
Kematian raja Saul adalah contoh dari euthanasia (1 Samuel 31:1-6). Saul tidak mau orang-orang Filistin menemukan dirinya tetap hidup. Dia tahu mereka akan menyiksa dia. Kemudian dia meminta pembawa senjatanya untuk membunuhnya. Tetapi ketika pembawa pedang itu menolak, Saul menjatuhkan dirinya ke atas pedangnya sendiri dan mati. Saul melakukan bunuh diri, dan dia melakukan itu supaya mencegah penderitaan. Dia membunuh dirinya sendiri dan itu adalah perbuatan dosa (Keluaran 20:13).
Tidak semua penderitaan itu buruk. Meskipun kita tidak selalu mengerti mengapa kita menderita, beberapa hal yang baik bisa berasal dari penderitaan itu. Rasul Paulus mengerti hal ini (2 Korintus 12:7-10). Di dalam tubuhnya ada duri yang dipohonkannya kepada Allah untuk memindahkannya, tetapi harus disadari Paulus bahwa itu adalah untuk kebaikannya. Ayub juga adalah contoh terbaik dalam hal ini (Yakobus 5:11).
Isu tentang euthanasia ini muncul kira-kira sebagai akibat dari murahnya hidup manusia. Euthanasia adalah akibat dari hilangnya hormat pada kehidupan manusia. Kalau orang mengerti dan menghormati kesucian dari hidup manusia, maka mereka tidak akan memutuskan untuk mengakhirinya.
Dalam sebuah keluarga Cina ada seorang kakek yang tidak mampu lagi memberi nafkah bagi keluarga, maka dia dianggap sebagai orang yang tidak berguna apa-apa. Lalu suatu hari putranya menaikkannya ke gerobak dan membawanya ke puncak sebuah gunung serta membiarkannya di sana hingga mati. Putranya ini pergi bersama cucunya. Setelah mereka membawa kakek ini ke gunung itu dan pada saat dalam perjalanan pulang, cucu ini berkata kepada ayahnya: “Saya senang ayah membawa saya supaya saya tahu dimana akan membawa ayah ketika sudah tua nanti.”
Allah telah memberi kita hak untuk membuat pilihan dalam kehidupan ini. Banyak orang di dunia sekarang ini tidak lagi percaya untuk membedakan apakah kita hidup atau mati. Allah menghendaki kita untuk “memilih hidup” (Ulangan 30:19).

Kesimpulan
Untuk menanggapi masalah ini di dalam masyarakat kita, kita harus menguatkan rumah tangga. Allah mengajarkan hal ini baik di dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru (Ulangan 6:6,7: Amsal 22:6; Mazmur 127:3-5; Efesus 6:1-4). Marilah kita mengajarkan nilai kehidupan manusia! Marilah kita menentang praktek mengakhiri kehidupan manusia yang tidak bersalah![28]

IV.         Beberapa aspek euthanasia.
A.                       Aspek Hukum. Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana.
B.                       Aspek Hak Asasi. Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
C.                      Aspek Ilmu Pengetahuan. Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.
D.                      Aspek Agama. Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.


Ringkasan
1.Euthanasia belum mempunyai kesamaan sudut pandang antara hak azasi manusia,hukum,
ilmu pengetahuan dan agama.
2.Euthanasia tidak bisa dipandang hanya dari satu sudut pandang saja.
3.Euthanasia tidak bisa disamakan dengan pembunuhan berencana.
4.Euthanasia bisa merupakan kebenaran pada salah satu aspek, tetapi belum tentu merupakan kebenaran, bahkan pelanggaran kebenaran pada aspek lainnya.

PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari keseluruhan pembahasan makalah ini selanjutnya dapat beberapa poin kesimpula sebagai berikut:
v  Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya

v  Dalam sejarah, dikenal beberapa cara pelaksanaan hukuman mati:
    * pancung kepala: Saudi Arabia dan Iran,
    * sengatan listrik: Amerika Serikat
    * digantung: Mesir, Irak, Iran, Jepang, Yordania, Pakistan, Singapura
    * suntik mati: Tiongkok, Guatemala, Thailand, AS
    * tembak: Tiongkok, Somalia, Taiwan, Indonesia, dan lain-lain
    * rajam: Afganistan, Iran
v  Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.Walaupun amandemen kedua konstitusi menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati
Di dalam Islam, hukuman tidak berangkat dari pendapat manusia atau kesepakatan manusia belaka. Karena apa yang ada dalam pandangan manusia memiliki keterbatasan. Seringkali apa yang dalam pandangan manusia baik, pada hakikatnya belum tentu baik. Demikian juga, apa yang dalam pandangan manusia buruk, hakikatnya belum tentu buruk. Sehingga bagi umat Islam, harus mengembalikan penilaian baik atau buruk, terpuji dan tercela menurut pandangan syariat. Dalam hal ini Allah sebagai Syaari’ atau pembuat syariat. Allah SWT telah menjelaskan yaitu Wa lakum fil qishaashi hayaatun yaa uulil albaab. La’allakum tattaquun: “Dan dalam (hukum) qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa”. Maksudnya, disyariatkannya hukum qishash bagi kalian -yakni membunuh si pembunuh-terdapat hikmah yang sangat besar yaitu menjaga jiwa. Sebab jika si pembunuh mengetahui akan dibunuh lagi, maka ia akan takut untuk melakukan pembunuhan. Itulah sebabnya dalam qishash ada jaminan hidup bagi jiwa si pembunuh
v  Diyat ialah denda pengganti jiwa yang tidak berlaku atau tidak dilakukan padanya hukuman bunuh.
§  Bila wali atau ahli waris terbunuh memaafkan yang membunuh dari pembalasan jiwa.
§  Pembunuh yang tidak sengaja
§  Pembunuh yang tidak ada unsur membunuh.
v  Indonesia masih menganut adanya hukuman mati sebagaimana diatur di dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Hingga akhir 2006 terdapat setidaktidaknya 10 peraturan perundang-undangan di Indonesia yang masih mengandung ancaman hukuman mati. Beberapa peraturan perundangundangan yang masih mengatur hukuman mati antara lain Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUPM), Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika

B.Saran
Hukuman mati memberikan efek jera bagi para pelaku pwmbunuhan dan alain-lain.walaupun manurut Undang Undang Nomor 39Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam sama-sama tegasnya melindungi hak hidup,yakni hak hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Tidak boleh menghilangkan nyawa seseorang kecuali menurut yang dibenarkan oleh syara'. Ada perbedaan konsep jaminan perlindungan hak hidup antara Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dengan Hukum Islam. Menurut Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dengan menghapus hukuman mati akan terlindungi hak hidup seseorang, sedangkan menurut Hukum Islam, dengan penerapan hukuman mati, hak hidup seseorang akan dijamin terlindungi,Mengingat bahwa segala ketentuan dalam kitab suci diyakini kebenarannya, maka haruslah tidak ragu-ragu bagi para penegak hukum untuk menegakkan hukum dalam kitab suci tersebut, antara lain dengan tetap tegas menerapkan hukuman mati demi menjamin hak hidup seseorang.


[1] Data dari Koran kompas,tgl 15/6/2006,dari redaksi
[2] .isi  dari amandemen kedua UU 1945 pasal 28 ayat 1
[3] Data dari Pemuda aNSOR
[4] Data dari Koran kompas edisi tgl 3 februari 2006
[5] Jurnal konstitusi hal 121
[6] Makalah yang dimuat di Jakarta post 05/10/2007”tentang hukuman mati”
[7] Muhammad daud ali”pengantar hukum islam”hlm 89
[8] Nur Dewi Ratih, Rahma Fitriana Sari, Faeruzy Arnandi, Viki Suryo Bawono, Ria Hu,”Qishash”paper,Universitas negari Jakarta,2001 hlm 3
[9] QS al Baqarah: 179:
[10] (QS. Al-Baqarah, 2 : 178)
[11] Pengadilan di Saudi arabia
[12] LEMBAGA SENI BUDAYA TELUK BONE http://www.telukbone.org Menggunakan Joomla! Generated: 13 December, 2008, 16:26
[13] Al Maaidah 33
[14] Al Maaidah 45
[15] (HR. Turmudzi dan Nasaâ’)
[16] (QS. Al-Maidah : 45)

[17] QS. An Nisaa: 92
[18] Lihat Kontras ,’ Praktik Hukuman Mati di Indonesia’, http://www.kontras.org/hmati/data/Working%20Paper_Hukuman_Mati_di_Indonesia.pdf, diakases  pada 17 September 2008. Dalam data Kontras terdapat 11 peraturan perundang-undangan. Namun salah satunya, yaitu UU No. 11/Pnps/1963 telah dicabut pada 1999.
[19] William Schabas, makalah disampaikan dalam seminar internasional, Discussion on Death Penalty- Contemporary Challenges, Delegation of European Commission and Departemen of Philosofy Faculty of Humanities University of Indonesia, di Hotel Mandarin Jakarta, 14 Desember 2004
[20] Ibid
[21] Lihat Imparsial, ‘Deskripsi data Hukuman Mati Sejak 1998-2008’. Updated hingga Juli 2008. Tulisan
[22] Lihat Schabas, op.cit (note 2)
[23] Lihat, Imparsial Deskripsi Data Hukuman Mati sejak 1998-2008, updated hinggal Juli 2008

[24] Muzni, 2007,makalah penelitian,UNS
[25] Kongres Internasional Menentang Hukuman Mati
[26]Metrotvnews.com, Jakarta
[27] (Ayub 1:21).
[28] Sabda Hidup (Januari-Maret 2005)
DAFTAR PUSTAKA

  • Pro.Dr.H.Kaelan M.S,2007,Pendidikan Kewarganegaraan,paradigma,yogyakarta
  • Prof,H.Mohammad Daud Ali,S.H.1996.Hukum Islam,Rajawali pers,Jakarta
  • Pro.Dr.H.Kaelan M.S,2004,Pendidikan Pancasila, paradigma,yogyakarta
  • Dokumen ini bisa diakses di: http://ohchr.org/english/law/ccpr-death.htm.
  • Dokumen ini bisa diakses di: http://www.cidh.org/Basicos/basic7.htm.
  • Dokumen ini bisa diakses di: http://www.echr.coe.int/NR/rdonlyres/D5CC24A7-DC13-4318-B457-5C9014916D7A/0/EnglishAnglais.pdf.
  • Dokumen ini bisa diakses di: http://www.echr.coe.int/NR/rdonlyres/D5CC24A7-DC13-4318-B457-5C9014916D7A/0/EnglishAnglais.pdf.
  • Tafsir UUD 1945 oleh Mahkamah Konstusi terkait dengan konstitusionalitas “Hukuman Mati”
§  isi  dari amandemen kedua UU 1945 pasal 28 ayat 1
§  Data dari Pemuda aNSOR
§  Data dari Koran kompas edisi tgl 3 februari 2006
§  Jurnal konstitusi hal 121
§  Makalah yang dimuat di Jakarta post 05/10/2007”tentang hukuman mati”
§  Nur Dewi Ratih, Rahma Fitriana Sari, Faeruzy Arnandi, Viki Suryo Bawono, Ria Hu,”Qishash”paper,Universitas negari Jakarta,2001 hlm 3
  • LEMBAGA SENI BUDAYA TELUK BONE http://www.telukbone.org Menggunakan Joomla! Generated: 13 December, 2008, 16:26
§  (HR. Turmudzi dan Nasaâ’)
  • Lihat Kontras ,’ Praktik Hukuman Mati di Indonesia’, http://www.kontras.org/hmati/data/Working%20Paper_Hukuman_Mati_di_Indonesia.pdf, diakases  pada 17 September 2008. Dalam data Kontras terdapat 11 peraturan perundang-undangan. Namun salah satunya, yaitu UU No. 11/Pnps/1963 telah dicabut pada 1999.
  • William Schabas, makalah disampaikan dalam seminar internasional, Discussion on Death Penalty- Contemporary Challenges, Delegation of European Commission and Departemen of Philosofy Faculty of Humanities University of Indonesia, di Hotel Mandarin Jakarta, 14 Desember 2004
  • Lihat Imparsial, ‘Deskripsi data Hukuman Mati Sejak 1998-2008’. Updated hingga Juli 2008. Tulisan
  • Lihat Schabas, op.cit (note 2)
  • Lihat, Imparsial Deskripsi Data Hukuman Mati sejak 1998-2008, updated hinggal Juli 2008
§  Muzni, 2007,makalah penelitian,UNS
  • Kongres Internasional Menentang Hukuman Mati
§  Metrotvnews.com, Jakarta

Read more...