AKU TIDAK TAKUT SENDIRI. TUHAN PUN JUGA SENDIRI. DAN DIA MENJADI YANG MAHA KUAT KARENA ITU (SOE HOK GIE)

Jumat, 01 Juli 2011

JAWABAN ATAS PERTANYAAN


JAWABAN ATAS PERTANYAAN DARI SAHABAT TERBAIK SAYA IHSAN LUTFI.
BISMILLAHIRROHMANIRROHIM
Pertanyaan yang di sajikan oleh IHSAN pada tanggal 26-06-2011 sebagai berikut:
1.      Dimana kedudukan TAP MPR RI dalam hierarki peraturan perundang-undangan?
2.      Bagaimana posisi dan keabsahan peraturan perundang-undangan yang tidak masuk dalam hierarki (menurut uu no 10 tahun 2004, pasal 7 ayat 1)?

Uraian singkat
Manusia sebagai makhluk sosial pasti saling berhubungan antara satu individu dengan individu lainnya. Dalam perjalanannya, manusia membutuhkan hukum supaya terjalin suatu hubungan yang harmonis. Pada dasarnya manusia secara alami mempunyai kaidah seperti norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma adat sebagai aturan dalam kehidupannya. Akan tetapi norma-norma itu tidak cukup untuk menjamin keberlangsungan kehidupan manusia karena tidak tegasnya sanksi bagi yang melanggarnya sehingga kesalahan itu bisa terulang lagi, maka disusunlah suatu hukum yang mempunyai sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya.
Pada hakikatnya tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Setiap hubungan kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Hukum berfungsi sebagai pengatur keseimbangan antara hak dan kewajiban manusia sebagai makhluk sosial, dan mewujudkan keadilan dalam hidup bersama. Karena pentingnya kedudukan hukum dalam tatanan masyarakat, maka dalam pembentukan peraturan hukum tidak bisa terlepas dari asas hukum, karena asas hukum adalah landasan utama dalam pembentukan hukum.
Didalam penyelenggaraan pemerintahan baik dipusat maupun didaerah, pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Menurut S.J. Fockema Andrea dalam bukunya “Rechtsgeleerd handwoorden book” perundangan-undangan atau legislation, mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu :
a.       perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara baik ditingkat pusat maupun daerah;
b.      perundangan-undangan merupakan semua peraturan-peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah.
Jadi jelas bahwa apabila kita membicarakan peraturan perundang-undangan, hal ini berkaitan dengan norma hukum yang bentuknya tertulis, yang dibuat oleh lembaga-lembaga yang mempunyai kewenangan untuk membentuknya, seperti DPR (Pasal 20 ayat (1) Amandemen Pertama UUD 1945) atau DPRD Kabupaten/Kota bersama dengan Bupati/Walikota ( Pasal 3 ayat 7 huruf b TAP MPR No. III Tahun 2000.
Jawab:
Jawaban singkat menanggapi soal no.1
Berbicara mengenai hierarki perundang-undangn maka kita berbicara masalah keabsahan tentang posisi atau kedudukan suatu peraturan. Mas Subagio dalam bukunya “Lembaran Negara Republik Indonesia Sebagai Tempat Pengundangan Dalam Kenyataan”(1983)[1] mengartikan “pengundangan” sebagai penempatan suatu peraturan perundangan negara yang tertentu di dalam suatu lembaran resmi sebagaimana diatur dalam suatu peraturan perundangan dan mengedarkannya kepada umum untuk diketahui.
Tentang kedudukan TAP MPR RI menurut A. Hamid SA (alm) dan Maria Farida (sekarang Hakim MK) Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR merupakan hukum dasar, sehingga tidak termasuk jenis peraturan perundang-undangan. Menurut kedua ahli tersebut yang namanya peraturan perundang-undangan adalah undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya dari Pusat sampai daerah. Namun menurut hukum positif (TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 yang kemudian dicabut oleh TAP MPR Nomor III/MPR/2000 dan penjabarannya dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, Undang-Undang Dasar dan TAP MPR dikategorikan sebagai (termasuk) jenis peraturan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, TAP MPR tidak lagi dimasukkan (dihapus) sebagai jenis peraturan perundang-undangan karena di Era Reformasi tidak akan ada lagi ada TAP MPR, kecuali sisa TAP MPRS dan TAP MPR  masa Orde Lama dan Orde Baru dan awal Reformasi yang masih “dianggap” berlaku sampai dibentuknya suatu undang-undang atau sudah selesainya suatu masalah yang diatur dalam TAP MPR tersebut berdasarkan TAP MPR Nomor I/MPR/2003.
Pengertian diatas berbeda sekali dengan arti yuridis UU No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan[2]. Dalam arti yuridis, pengundangan tidak termasuk tindakan pengumuman resmi berlakunya peraturan atau penyebarluasan di masyarakat. Pengundangan sendiri merupakan syarat mutlaq berlaku mengikatnya sebuah aturan, sehingga berlakulah fictie dalam hukum setiap orang dianggap mengetahui.
Dengan adanya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 20 ayat (1) yang menentukan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang[3], maka berbagai Peraturan Perundang-undangan tersebut diatas sudah tidak sesuai lagi. Dengan demikian diperlukan Undang-Undang yang mengatur mengenai Pembentukan Peraturan perundang-undangan, sebagai landasan yuridis dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah, sekaligus mengatur secara lengkap dan terpadu baik mengenai sistem, asas, jenis dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan, persiapan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan, maupun partisipasi masyarakat. Undang-Undang ini pada dasarnya dimaksudkan untuk membentuk suatu ketentuan yang baku mengenai tata cara Pembentukan Peraturan Perundang undangan, serta untuk memenuhi perintah Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.

Jawaban singkat menanggapi soal no.2
Mengenai hal tersebut, TAP MPR setelah diundangkannya UU 10/2004 sifatnya tidak mengikat keluar, dimana TAP MPR tersebut hanya berlaku secara intern saja untuk kalangan MPR tersebut.   Tidak semua TAP MPR tersebut dihapus, terutama mengenai kepentingan publik. Pengaturan tersebut kira-kira tertuang dalam TAP MPR tahun 2003. Walaupun TAP MPR tersebut belum diundangkan dalam UU (lex posteriori legi priori)[4], maka TAP MPR tersebut tetap berlaku untuk hal - hal tertentu tersebut saja. Sesungguhnya Keluarnya UU no 10 tahun 2004 adalah upaya penyempurnaan dalam rangka penetapan kembali sumber tertib hukum dan bentuk serta tata urut perundang-undangan RepubliK Indonesia dimasa yang akan datang[5]. Sehingga segala peraturan yang telah ada sebelum UU no 10 tahun 2004 diberlakukan dianggap masih sah, selama belum ada suatu peraturan yang mengatur tentang hal yang sama. TAP MPR RI sebenarnya sama dengan Kepres, saya menyamakanya karena sebenarnya keduanya itu hanyalah sebuah penetapan, yang dimana pada waktu dikelurakannya terjadi kekosongan hukum, mka agar dapat di atur, maka keluarlah peraturan itu. Dalam TAP MPR no III tahun 2000 pasal 3 ayat 2 telah termaktub bahwa MPR RI merupakan pengemban kedaulatan Rakyat[6]. Yaitu diberi mandat oleh rakyat.


[1] Mas soebagio.lembaran negara republik indonesiasebagai tempat pengundangan dalamkenyataan. Bandung: Alumni.1983.
[2] Lihat UU no 10 tahun 2004.“Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah” (Pasal 1 angka 11)
[3] Lebih jelas Lihat UUD 1945 amandemen ke IV. Bab IIV tentang DEWAN PERWAKILAN RAKYAT.
[4] Merupakan asas hukum,  asas itu diambil dari bahasa latin yang artinya hukum/peraturan yang lebih tinggi mengalahkan atau menyampingkan hukum/peraturan yang dibawahnya.
[6] Lihat Tap MPR RI No II tahun 2000.“Ketetapan majelis permusyawaratan rakyat Republik indonesia merupakan putusan majelsi permusyawaratan rakyat sebagai pengmban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang Majelis permusyawaratan rakyat”