1. PBB dan Hak Asasi Manusia
Ide tentang hak asasi manusia yang berlaku saat ini merupakan senyawa yang dimasak di kancah Perang Dunia II. Selama perang tersebut, dipandang dari segi apa pun akan terlihat bahwa satu aspek berbahaya dari pemerintahan Hitler adalah tiadanya perhatian terhadap kehidupan dan kebebasan manusia. Karenanya, perang melawan kekuatan Poros dibela dengan mudah dari segi perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan yang mendasar. Negara Sekutu menyatakan di dalam "Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa" (Declaration by United Nations) yang terbit pada 1 Januari 1942, bahwa kemenangan adalah "penting untuk menjaga kehidupan, kebebasan, independensi dan kebebasan beragama, serta untuk mempertahankan hak asasi manusia dan keadilan."[1] Dalam pesan berikutnya yang ditujukan kepada Kongres, Presiden Franklin D. Roosevelt mengidentifikasikan empat kebebasan yang diupayakan untuk dipertahankan di dalam perang tersebut: kebebasan berbicara dan berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan dari hidup berkekurangan, dan kebebasan dari ketakutan akan perang.[2] Pembunuhan dan kerusakan dahsyat yang ditimbulkan Dunia II menggugah suatu kebulatan tekad untuk melakukan sesuatu guna mencegah perang, untuk membangun sebuah organisasi internasional yang sanggup meredakan krisis internsional serta menyediakan suatu forum untuk diskusi dan mediasi. Organisasi ini adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa / PBB, yang telah memainkan peran utama dalam pengembangan pandangan kontemporer tentang hak asasi manusia.
Para pendiri PBB yakin bahwa pengurangan kemungkinan perang mensyaratkan adanya pencegahan atas pelanggaran besar-besaran terhadap hak-hak manusia. Lantaran keyakinan ini, konsepsi-konsepsi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang paling awal pun bahkan sudah memasukkan peranan pengembangan hak asasi manusia dan kebebasan. Naskah awal Piagam PBB (1942 dan 1943) memuat ketentuan tentang hak asasi manusia yang harus dianut oleh negara manapun yang bergabung di dalam organisasi tersebut, namun sejumlah kesulitan muncul berkenaan dengan pemberlakuan ketentuan semacam itu. Lantaran mencemaskan prospek kedaulatan mereka, banyak negara bersedia untuk "mengembangkan" hak asasi manusia namun tidak bersedia "melindungi" hak itu.[3] Akhirnya diputuskan untuk memasukkan sedikit saja acuan tentang hak asasi manusia di dalam Piagam PBB (UN Charter), di samping menugaskan Komisi Hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights) -- komisi yang dibentuk PBB berdasarkan sebuah ketetapan di dalam piagam tersebut -- untuk menulis sebuah pernyataan internasional tentang hak asasi manusia. Piagam itu sendiri menegaskan kembali "keyakinan akan hak asasi manusia yang mendasar, akan martabat dan harkat manusia, akan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan serta antara negara besar dan negara kecil." Para penandatangannya mengikrarkan diri untuk "melakukan aksi bersama dan terpisah dalam kerja sama dengan Organisasi ini "untuk memperjuangkan" penghargaan universal bagi, dan kepatuhan terhadap, hak asasi manusia serta kebebasan-kebebasan mendasar untuk seluruh manusia, tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama."[4]
Komisi Hak Asasi Manusia mempersiapkan sebuah pernyataan internasional tentang hak asasi manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada tanggal 10 Desember 1948. Pernyataan ini, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights), diumumkan sebagai "suatu standar pencapaian yang berlaku umum untuk semua rakyat dan semua negara" Hak-hak yang disuarakannya disebarkan lewat "pengajaran dan pendidikan" serta lewat "langkah1angkah progresif, secara nasional dan internasional, guna menjamin pengakuan, dan kepatuhan yang bersifat universal dan efektif terhadapnya."[5] Dua puluh satu pasal pertama Deklarasi tersebut menampilkan hak-hak yang sama dengan yang terdapat di dalam Pernyataan Hak Asasi Manusia (Bill of Rights) yang termaktub di dalam Konstitusi Amerika Serikat sebagaimana yang telah diperbarui saat ini. Hak-hak sipil dan politik ini meliputi hak atas perlindungan yang sama dan tidak pandang bulu, perlindungan hukum dalam proses peradilan, privasi dan integritas pribadi, serta partisipasi politik. Namun pasal 22 sampai 27 menciptakan kebiasaan baru. Pasal-pasal ini mengemukakan hak atas tunjangan ekonomi dan sosial seperti jaminan sosial -- suatu standar bagi kehidupan yang layak -- dan pendidikan. Hak-hak ini menegaskan bahwa, sesungguhnya, semua orang mempunyai hak atas pelayanan-pelayanan dari negara kesejahteraan. Hak asasi manusia, sebagaimana yang dipahami di dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia yang muncul pada abad kedua puluh seperti Deklarasi Universal, mempunyai sejumlah ciri menonjol. Pertama, supaya kita tidak kehilangan gagasan yang sudah tegas, hak asasi manusia adalah hak. Makna istilah ini tidak jelas -- dan akan menjadi salah satu obyek penelitian saya -- namun setidaknya kata tersebut menunjukkan bahwa itu adalah norma-norma yang pasti dan memiliki prioritas tinggi yang penegakannya bersifat wajib.
Kedua, hak-hak ini dianggap bersifat universal, yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Pandangan ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa karakteristik seperti ras, jenis kelamin, agama, kedudukan sosial, dan kewarganegaraan tidak relevan untuk mempersoalkan apakah seseorang memiliki atau tidak memiliki hak asasi manusia. Ini juga menyiratkan bahwa hak-hak tersebut dapat diterapkan di seluruh dunia. Salah satu ciri khusus dari hak asasi manusia yang berlaku sekarang adalah bahwa itu merupakan hak internasional. Kepatuhan terhadap hak serupa itu telah dipandang sebagai obyek perhatian dan aksi internasional yang sah.
Ketiga, hak asasi manusia dianggap ada dengan sendirinya, dan tidak bergantung pada pengakuan dan penerapannya didalam sistem adat atau sistem hukum di negara-negara tertentu. Hak ini boleh jadi memang belum merupakan hak yang efektif sampai ia dijalankan menurut hukum, namun hak itu eksis sebagai standar argumen dan kritik yang tidak bergantung pada penerapan hukumnya. Keempat, hak asasi manusia dipandang sebagai norma-norma yang penting. Meski tidak seluruhnya bersifat mutlak dan tanpa perkecualian, hak asasi manusia cukup kuat kedudukannya sebagai pertimbangan normatif untuk diberlakukan di dalam benturan dengan norma-norma nasional yang bertentangan, dan untuk membenarkan aksi internasional yang dilakukan demi hak asasi manusia. Hak-hak yang dijabarkan di dalam Deklarasi tersebut tidak disusun menurut prioritas; bobot relatifnya tidak disebut. Tidak dinyatakan bahwa beberapa di antaranya bersifat absolut. Dengan demikian hak asasi manusia yang dipaparkan oleh Deklarasi itu adalah sesuatu yang oleh para filsuf disebut sebagai prima facie rights.
Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun pemerintah. Adanya kewajiban ini, sebagaimana halnya hak-hak yang berkaitan dengannya, dianggap tidak bergantung pada penerimaan, pengakuan, atau penerapan terhadapnya. Pemerintah dan orang-orang yang berada di mana pun diwajibkan untuk tidak melanggar hak seseorang, kendati pemerintah dari orang tersebut mungkin sekaligus memiliki tanggung jawab utama untuk mengambil langkah-langkah positif guna melindungi dan menegakkan hak-hak orang itu.[6] Akhirnya, hak-hak ini menetapkan standar minimal bagi praktek kemasyarakatan dan kenegaraan yang layak. Tidak seluruh masalah yang lahir dari kekejaman atau pementingan diri sendiri dan kebodohan merupakan problem hak asasi manusia. Sebagai misal, suatu pemerintah yang gagal untuk menyediakan taman-taman nasional bagi rakyatnya memang dapat dikecam sebagai tidak cakap atau tidak cukup memperhatikan kesempatan untuk rekreasi, namun hal tersebut tidak akan pernah menjadi persoalan hak asasi manusia.
Meski hak asasi manusia dianggap menetapkan standar minimal, deklarasi-deklarasi kontemporer tentang hak asasi manusia cenderung untuk mencantumkan hak dalam jumlah yang banyak dan bersifat khusus, dan bukannya sedikit serta bersifat umum. Deklarasi Universal menggantikan tiga hak umum yang diajukan oleh Locke -- yakni hak atas kehidupan, kebebasan, dan kekayaan pribadi -- dengan sekitar Hak Asasi Manusia dua lusin hak khusus. Di antara hak-hak sipil dan politik yang dicanangkan adalah hak untuk bebas dari diskriminasi; untuk memiliki kehidupan, kebebasan, dan keamanan; untuk bebas beragama; untuk bebas berpikir dan berekspresi; untuk bebas berkumpul dan berserikat; untuk bebas dari penganiayaan dan hukuman kejam; untuk menikmati kesamaan di hadapan hukum; untuk bebas dari penangkapan secara sewenang-wenang; untuk memperoleh peradilan yang adil; untuk mendapat perlindungan terhadap kehidupan pribadi (privasi); dan untuk bebas bergerak. Hak sosial dan ekonomi di dalam Deklarasi mencakup hak untuk menikah dan membentuk keluarga, untuk bebas dari perkawinan paksa, untuk memperoleh pendidikan, untuk mendapatkan pekerjaan, untuk menikmati standar kehidupan yang layak, untuk istirahat dan bersenang-senang, serta untuk memperoleh jaminan selama sakit, cacat, atau tua.
Deklarasi Universal menyatakan bahwa hak-hak ini berakar di dalam martabat dan harkat manusia, serta di dalam syarat-syarat perdamaian dan keamanan domestik maupun internasional. Dalam penyebarluasan Deklarasi Universal sebagai sebuah. "standar pencapaian yang bersifat umum," PBB tidak bermaksud untuk menjabarkan hak-hak yang telah diakui di mana-mana atau untuk mengundangkan hak-hak ini di dalam hukum intemasional. Justru Deklarasi tersebut mencoba untuk mengajukan norma-norma yang ada di dalam moralitas-moralitas yang sudah mengalami pencerahan. Meski tujuan sejumlah besar partisipan Deklarasi itu adalah untuk menampilkan hak-hak ini di dalam sistem hukum domestik maupun internasional, hak tersebut dipandang bukan sebagai hak-hak hukum (legal rights) melainkan sebagai hak-hak moral yang berlaku secara universal (universal moral rights).
Turunan-turunan Deklarasi Universal tidak hanya meliputi pernyataan hak asasi manusia di dalam banyak konstitusi nasional melainkan juga sejumlah perjanjian internasional tentang hak asasi. Yang pertama dan barangkali yang paling berarti adalah Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (European Convention on Human Rights). Konvensi yang dicetuskan di Dewan Eropa (European Council) pada 1950 ini menjadi sistem yang paling berhasil yang dibentuk demi penegakan hak asasi manusi.[7] Konvensi ini menyebutkan hak-hak yang kurang lebih serupa dengan yang terdapat di dalam dua puluh satu pasal pertama Deklarasi Universal. Konvensi tersebut tidak memuat hak ekonomi dan hak sosial; hak-hak ini dialihkan ke dalam Perjanjian Sosial Eropa (European Social Covenant), dokumen yang mengikat para penandatangannya untuk mengangkat soal penyediaan berbagai tunjangan ekonomi dan sosial sebagai tujuan penting pemerintah.
Sejumlah kalangan mengusulkan agar suatu pernyataan hak asasi internasional di PBB hendaknya tidak berhenti menjadi sekadar suatu deklarasi melainkan juga tampil sebagai norma-norma yang didukung oleh prosedur penegakan yang mampu mengerahkan tekanan intemasional terhadap negara-negara yang melanggar hak asasi manusia secara besar-besaran. Rencana yang muncul di PBB adalah meneruskan Deklarasi Universal dengan perjanjian-perjanjian yang senada. Naskah Perjanjian Internasional (International Covenants) diajukan ke Majelis Umum guna mendapatkan persetujuan pada tahun 1953. Untuk menampung usulan mereka yang meyakini bahwa hak ekonomi dan hak sosial bukan merupakan hak asasi manusia yang sejati atau bahwa hak-hak tersebut tidak dapat diterapkan dalam cara yang sama dengan penerapan hak-hak sipil dan politik, dua perjanjian dirancang, yaitu Perjanjian Hak-hak Sipil dan Politik (Covenant on Civil and Political Rights) serta Perjanjian Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights). Lantaran permusuhan dalam era Perang Dingin saat itu, dan tamatnya dukungan bagi perjanjian hak asasi manusia yang dibuat Amerika Serikat, gerakan yang didasarkan pada Perjanjian Internasional ditangguhkan dalam waktu yang lama. Perjanjian itu belum juga disetujui Majelis Umum sampai 1966. Selama tahun-tahun tersebut ketika Perjanjian itu tampaknya tak berpengharapan, PBB mengeluarkan sejumlah perjanjian hak asasi manusia yang lebih terbatas yang bersangkutan dengan topik-topik yang relatif tidak kontroversial seperti pemusnahan suku bangsa / genosid, perbudakan, pengungsi, orang-orang tanpa kewarganegaraan, serta diskirminasi.[8] Perjanjian-perjanjian ini umumnya ditandatangani oleh sejumlah besar negara -- walau tidak ditandatangani oleh Amerika Serikat -- dan lewat mereka PBB mulai memetik sejumlah pengalaman untuk menjalankan perjanjian-perjanjian hak asasi manusia.
Pada selang waktu antara Deklarasi Universal yang terbit pada tahun 1948 dan persetujuan akhir Majelis Umum bagi Perjanjian Intemasional yang keluar pada tahun 1966, banyak negara Afrika dan Asia yang baru terbebas dari kekuasaan penjajah, memasuki PBB. Negara-negara ini umumnya bersedia mengikuti upaya berani untuk menegakkan hak asasi manusia, namun mereka memodifikasikannya guna mewakili kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri: mengakhiri kolonialisme, mengutuk eksploitasi negara-negara Barat terhadap negara-negara sedang berkembang, serta menghancurkan apartheid dan diskriminasi rasial di Afrika Selatan. Perjanjian yang lahir pada tahun 1966 itu menyatakan kebutuhan-kebutuhan tersebut: keduanya berisi paragraf-paragraf yang serupa yang menegaskan hak setiap bangsa untuk menentukan nasib sendiri dan untuk mengontrol sumber-sumber alam mereka sendiri. Hak atas kekayaan pribadi dan atas ganti rugi untuk kekayaan yang diambil oleh negara, yang tercantum dalam Deklarasi Universal, dihapuskan dari Perjanjian itu. Setelah persetujuan dari Majelis Umum keluar pada tahun 1966, Perjanjian itu memerlukan tanda tangan dari tiga puluh lima negara untuk diikat di dalam daftar para penandatangan. Negara ketiga puluh lima menerakan tandatangan pada tahun 1976, dan Perjanjian itu kini berlaku sebagai hukum internasional.
2. Ciri-Ciri Gagasan Hak Asasi Manusia Kontemporer
Kendati ide mutakhir hak asasi manusia dibentuk semasa Perang Dunia II, pengertian baru tersebut masih tetap menggunakan sejumlah gagasan umum tentang kebebasan, keadilan, dan hak-hak individu. Tidak begitu keliru untuk memandang naik daunnya kosakata hak asasi manusia belakangan ini sebagai penyebarluasan gagasan lama belaka. Gagasan bahwa hukum kodrat atau hukum dari Tuhan mengikat semua orang dan mengharuskan adanya perlakuan yang layak adalah soal kuno, dan gagasan ini erat terkait dengan gagasan tentang hak kodrati di dalam tulisan-tulisan para teroretisi seperti Locke dan Jefferson maupun di dalam deklarasi hak seperti Deklarasi Hak Manusia dan Hak Warga Negara (Declaration of the Rights of Man and the Citizen) di Perancis dan Pernyataan Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat (Bill of Rights). Gagasan bahwa hak-hak individu berhadapan dengan pemerintah bukanlah hal baru, dan orang dapat mengatakan bahwa gagasan hak asasi manusia yang ada saat ini hanya merupakan pengembangan konsep ini.
Namun kalau kita menganggap bahwa Deklarasi Universal dan Perjanjian Internasional secara umum mewakili pandangan kontemporer mengenai hak asasi manusia, meskipun dapat mengatakan bahwa pandangan tentang hak asasi manusia saat ini memiliki tiga perbedaan dibanding konsepsi-konsepsi sebelumnya, terutama yang berlaku pada abad kedelapan belas. Hak asasi manusia yang ada saat ini bersifat lebih egalitarian, kurang individualistis, dan memiliki fokus intemasional.
Egaliterianisme
Egaliterianisme dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia saat ini terlihat jelas, pertama, dalam tekanannya pada perlindungan dari diskriminasi, maupun pada kesamaan di hadapan hukum. Meski manifesto-manifesto hak asasi manusia yang lahir pada abad kedelapan belas terkadang juga mencanangkan kesederajatan di depan hukum, perlindungan dari diskriminasi merupakan perkembangan yang baru muncul pada abad kesembilan belas dan kedua puluh. Kemenangan atas perbudakan datang pada abad kesembilan belas, namun perjuangan melawan sikap-sikap dan praktek-praktek yang bersifat rasis merupakan perjuangan sentral yang lahir pada abad kita. Tuntutan akan persamaan bagi perempuan di seluruh bidang kehidupan juga baru saja ditempatkan di dalam agenda hak asasi manusia.[9]
Kedua, egalitarianisme yang terdapat dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia kontemporer dapat dilihat dalam pencantuman hak kesejahteraan. Konsepsi-konsepsi hak politik terdahulu biasanya memandang fungsi hak politik adalah untuk menjaga agar pemerintah tidak mengganggu rakyat. Penyalah gunaan kekuasaan politik dinilai sebagai soal pelanggaran pemerintah untuk melakukan sesuatu yang seharusnya tidak mereka lakukan, dan bukan merupakan soal kegagalan pemerintah untuk melakukan sesuatu yang seharusnya mereka lakukan. Kewajiban-kewajiban yang lahir dari hak-hak ini sebagian besar adalah kewajiban negatif (negative duties) -- yaitu kewajiban-kewajiban untuk menahan diri, atau kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu. Kewajiban positif (positive duties) sebagian besar ditemukan dalam kewajiban pemerintah untuk melindungi hak-hak rakyat dari gangguan internal dan eksternal.
Hak atas perlindungan hukum (hak atas sidang pengadilan yang adil, kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang, kebebasan dari penganiayaan dan dari hukuman kejam) dipandang sebagai penangkal bagi penyalah gunaan sistem hukum. Penyalahgunaan-penyalahgunaan sistem hukum ini mencakup manipulasi sistem hukum untuk menguntungkan sekutu serta merugikan musuh penguasa, memenjarakan lawan politik, dan memerintah lewat teror. Hak atas privasi (kehidupan pribadi) dan otonomi (kebebasan dari intervensi terhadap rumah tangga dan korespondensi, kebebasan bergerak, kebebasan memilih tempat tinggal dan lapangan pekerjaan, serta kebebasan berkumpul atau berserikat) dilihat sebagai penangkal bagi intervensi terhadap wilayah pribadi, yang meliputi upaya pemerintah untuk mengawasi bidang kehidupan yang paling pribadi dan untuk mengontrol orang dengan membatasi di mana mereka boleh tinggal, bekerja, dan bepergian. Hak atas partisipasi politik (hak atas kebebasan berekspresi, atas pengajuan petisi kepada pemerintah, atas pemberian suara, dan atas pencalonan diri untuk jabatan pemerintahan) dinilai sebagai penangkal bagi penyalahgunaan yang berupa upaya untuk menafikan keluhan, menekan perbedaan pendapat dan oposisi, melumpuhkan pembentukan golongan pemilih yang terdidik, serta memanipulasi sistem pemilihan umum guna mempertahankan kekuasaan. Pencegahan berbagai penyalahgunaan ini terutama mengharuskan pemerintah untuk membiarkan rakyatnya bergerak leluasa. Namun lebih dari itu, pemenuhan hak-hak ini mengharuskan adanya pemberian keuntungan positif seperti sidang pengadilan yang adil, pemilihan umum yang bebas, dan perlindungan dari pelanggaran yang dilakukan oleh polisi dan pegawai pemerintah lainnya.
Tetapi sebagaimana yang sering ditunjukkan oleh Marx dan kaum sosialis lainnya, sekalipun pemerintah dibatasi agar tidak melakukan penyalahgunaan yang baru didaftar tersebut, namun problem sosial dan ekonomi seperti perbudakan, kemiskinan, kebodohan, penyakit, diskriminasi, dan eksploitasi ekonomi tidak bakal bergeming karenanya. Jadi sejak tampilnya Marx, gerakan bagi perubahan sosial mulai menaruh kepedulian besar terhadap masalah-masalah sosial dan ekonomi ini, maupun terhadap pelanggaran hak-hak politik. Hasilnya adalah upaya untuk memperluas lingkup kosakata hak dengan memasukkan problem-problem tersebut ke dalam agenda hak asasi manusia. Sarana untuk menyalurkan pelayanan-pelayanan yang dituntut oleh hak-hak ini adalah negara kesejahteraan modern, suatu sistem politik yang menggunakan kewenangan perpajakannya atau kontrol ekonominya untuk mengumpulkan sumber-sumber yang dibutuhkan guna memasok pelayanan-pelayanan kesejahteraan yang esensial bagi seluruh penduduk yang memerlukannya. Kalangan Marxis dan sosialis tidak sendirian dalam upaya pengembangan hak-hak kesejahteraan: "empat kebebasan" dari Roosevelt, misalnya, juga mencakup kebebasan dari hidup berkekurangan.
Rupanya terkandung tiga keyakinan dalam perkembangan tersebut, di mana problem-problem sosial dan ekonomi mulai dilihat sebagai problem-problem yang harus dipecahkan pemerintah dan karenanya, jika tetap tak terpecahkan juga, dipandang sebagai pelanggaran hak-hak politik. Salah satu dari keyakinan ini adalah bahwa kemiskinan; eksploitasi, dan diskriminasi merupakan ancaman bagi kesejahteraan dan martabat manusia, yang sama seriusnya dengan pelanggaran secara sengaja terhadap hak-hak politik tradisional.
Keyakinan kedua adalah bahwa penderitaan manusia dan ketimpangan yang parah bukan merupakan hal yang tak terhindarkan, melainkan merupakan hasil yang lahir dari kondisi sosial, politik dan ekonomi yang dapat diubah sehingga dapat dikenai kontrol moral atau politik. Salah satu dasar bagi pandangan optimis ini adalah tingginya tingkat kemakmuran yang dapat dicapai di Eropa, Amerika Utara, Jepang dan Australia serta kemunculan sistem yang secara politis efektif untuk memberlakukan hak-hak kesejahteraan di negara-negara ini. Keyakinan terakhir adalah bahwa sistem politik, ekonomi, dan sosial benar-benar tidak dapat dipisahkan -- atau bahwa kekuasaan pemerintah sering diperalat untuk menciptakandan mempertahankan institusi-institusi ekonomi dan sosial yang menguntungkan kelompok-kelompok tertentu. Andaikata pemerintah ikut mendukung suatu sistem ekonomi yang memberikan kekayaan berlimpah bagi segelintir orang dan sebaliknya membiarkan sejumlah besar orang berada dalam kesengsaraan, dan andaikata sistem semacam itu sebenarnya bukannya tak terhindarkan dan sebaliknya dapat digantikan oleh sistem yang jauh lebih mendukung bagi kesejahteraan dan martabat setiap orang, masuk akal tampaknya bila pemerintah dapat dituduh atas keterlibatannya dalam kejahatan-kejahatan yang lahir dari sistem yang ada. Karena keyakinan-keyakinan ini sudah mulai meluas, pemerintah dibebani tugas untuk menyediakan perbaikan-perbaikan lewat pemanfaatan sumberdaya dan kewenangan redistributifnya.
Reduksi Individualisme
Manifesto-manifesto hak yang mutakhir telah melunakkan individualisme dalam teori-teori klasik mengenai hak-hak kodrati. Dokumen-dokumen baru memandang manusia sebagai anggota keluarga dan anggota masyarakat, bukan sebagai individu yang terisolasi yang musti mengajukan alasan-alasan terlebih dulu agar dapat memasuki masyarakat sipil. Deklarasi Universal, misalnya, menyatakan bahwa "Keluarga merupakan unit kelompok masyarakat yang alami dan mendasar, dan berhak atas perlindungan dari masyarakat maupun Negara." Dalam Perjanjian Internasional, hak-hak kelompok telah dimasukkan di dalam kerangka hak asasi manusia dengan memberikan tempat terhormat bagi hak setiap bangsa untuk menentukan nasib sendiri dan untuk mengontrol sumber-sumber alam mereka. Selanjutnya, hak asasi manusia tidak lagi erat dikaitkan dengan teori kontrak sosial, meski John Bawls telah mencoba untuk membangun kembali kaitan ini[10] Di dalam dokumen-dokumen mutakhir hak asasi manusia hanya terdapat sedikit acuan pada dasar-dasar filosofis. Upaya-upaya selepas perang untuk merumuskan norma-norma hak asasi manusia internasional telah mengarah pada perpecahan filosofis dan ideologis yang tak dapat dipulihkan kembali. Dalam upaya menghimpun dukungan sebanyak mungkin untuk gerakan hak asasi manusia, landasan filosofis bagi hak asasi manusia sayangnya dibiarkan tak terumuskan.
3. Hak-Hak Internasional
Perbedaan ketiga antara hak asasi manusia yang berlaku sekarang dan hak-hak kodrati pada abad kedelapan belas adalah bahwa hak asasi manusia telah mengalami proses internasionalisasi.[11]Hak-hak ini tidak hanya diwajibkan secara internasional -- sesuatu yang bukan merupakan hal baru -- melainkan saat ini hak tersebut juga dipandang sebagai sasaran yang layak bagi aksi dan keprihatinan internasional. Meski hak kodrati pada abad kedelapan belas juga sudah dilihat sebagai hak bagi semua orang, hak-hak ini lebih sering berlaku sebagai kriteria untuk membenarkan pemberontakan melawan pemerintah yang ada, ketimbang sebagai standar-standar yang bila dilanggar oleh pemerintah akan dapat membenarkan adanya pemeriksaan dan penerapan tekanan diplomatik serta tekanan ekonomi oleh organisasi-organisasi internasional. Kendati negara tetap berkehendak mempertahankan kedaulatannya dan ingin mencegah kalangan luar agar tidak melakukan campur tangan ke dalam urusan-urusan mereka, prinsip bahwa pemeriksaan internasional dan sanksi nonmiliter dapat dibenarkan dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berskala besar, kini memiliki kedudukan yang mantap.[12] Saat ini sistem paling efektif bagi penegakan internasional terhadap hak asasi manusia ditemukan di Eropa Barat, yakni di dalam Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (European Convention on Human Rights). Konvensi ini memberikan sebuah pernyataan hak asasi manusia, Komisi Hak Asasi (Human Rights Commission) untuk memeriksa keluhan-keluhan, dan Mahkamah Hak Asasi Manusia (Human Rights Court) untuk menangani persoalan-persoalan interpretasi. Setiap negara yang meratifikasi Konvensi Eropa harus mengakui kewenangan Komisi Hak Asasi Manusia untuk menerima, memeriksa, dan menengahi keluhan-keluhan dari negara-negara anggota lainnya tentang pelanggaran hak asasi manusia. Pertanggungjawaban terhadap keluhan-keluhan yang diajukan oleh individu bersifat pilihan, sebagaimana prosedur untuk merujukkan seluruh persoalan yang tidak dapat dipecahkan oleh komisi itu kepada Mahkamah Hak Asasi Manusia.
Komisi Hak Asasi Manusia, yang menerima beratus-ratus keluhan setiap tahun mempelajari apakah keluhan itu dapat diterima, serta memeriksa dan menengahi keluhan yang memang dapat diterima. Negosiasi yang didasari oleh semangat persahabatan dengan pihak-pihak yang terlibat merupakan prosedur standar, namun bila ini gagal, suatu perkara dapat diajukan ke Mahkamah Hak Asasi Manusia atau ke Komite Menteri (Committee of Ministers) di Dewan Eropa. Komisi dan Mahkamah hak asasi manusia itu saat ini sudah menangani banyak kasus serta telah menyusun kerangka prosedur dan peraturan yang cukup banyak. Secara umum mereka telah maju dengan sangat hati-hati, namun kehati-hatian ini telah dihargai lewat kepercayaan negara-negara anggotanya terhadap integritas sistem ini dan oleh kesediaan terus-menerus dari badan-badan tersebut untuk menerima pembatasan kedaulatan yang disyaratkan oleh sistem ini.
Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights), yang dibentuk di PBB, juga menyediakan prosedur -- meski lebih lemah ketimbang prosedur dalam Konvensi Eropa -- bagi perlindungan internasional terhadap hak asasi manusia. Perjanjian ini menciptakan Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee) untuk mengawasi kepatuhan, sebuah Komite dengan tiga fungsi pokok. Fungsi pertama adalah untuk mengkaji laporan-laporan dari negara-negara yang tunduk pada Perjanjian itu yang disyaratkan guna menyampaikan "langkah-langkah yang telah mereka ambil yang memberikan pengaruh pada hak-hak yang diakui disini dan mengenai kemajuan-kemajuan yang dibuat dalam pemenuhan hak-hak ini". Fungsi kedua adalah untuk menerima, mempertimbangkan, dan menengahi keluhan dari suatu anggota bahwa anggota lainnya melanggar ketentuan-ketentuan Perjanjian tersebut. Suatu negara berkedudukan rawan di hadapan tuntutan-tuntutan semacam itu hanya jika ia menerima kewenangan komite itu untuk menerima keluhan. Hanya enam belas dari delapan puluh negara yang sudah meratifikasi perjanjian itu yang bersedia bertanggung jawab terhadap keluhan-keluhan yang diajukan ke Komite. Fungsi ketiga Komite ini adalah untuk menerima, mempertimbangkan dan menengahi keluhan-keluhan dari individu-individu yang berdiam di negara yang melanggar kewajiban-kewajibannya. Protokol yang bersifat pilihan yang menunjukkan kesediaan Komite Hak Asasi Manusia untuk menerima keluhan-keluhan individual semacam itu telah mendapatkan tanda tangan yang cukup untuk dapat diberlakukan. Masih harus dilihat seberapa efektif Komite ini menegakkan norma-norma Perjanjian tersebut, namun jelas bahwa hanya sedikit, jikalau memang ada, sanksi berat yang ditetapkannya. Sistem perlindungan hak asasi manusia serupa itu adadi dalam OAS (Organization of American States / Organisasi Negara-Negara Amerika). Komisi Inter-Amerika untuk Hak Asasi Manusia (Inter-American Commission on Human Rights) didirikan pada 1959 dan menjadi organ resmi OAS pada tahun 1970. Komisi ini memainkan peran penting dalam usaha untuk menyelidiki serta membeberkan pelanggaran hak di Amerika Latin sepanjang dekade tujuh puluhan. Pada 1969 Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia (American Convention on Human Rights) disahkan lewat sebuah konferensi khusus yang disponsori OAS.[13]
Konvensi Amerika memperoleh ratifikasi yang cukupuntuk mulai diberlakukan pada tahun 1978. Konvensi ini melahirkan dua institusi, Komisi Inter-Amerika untuk Hak Asasi Manusia dan Mahkamah Inter-Amerika untuk Hak Asasi Manusia (Inter-American Court of Human Rights). Komisi ini merupakan pengganti bagi komisi yang pernah dibentuk pada 1959 dan komisi ini berpijak pada piagam OAS maupun pada konvensi tersebut. Ini menggabungkan peranan pendahulunya dengan fungsi-fungsi yang diberikan konvensi itu. Mahkamah tersebut menyelenggarakan pertemuan pertamanya pada 1979 dan sejak itu sudah mengeluarkan sejumlah pendapat yang bersifat Saran. Pada Maret 1986 Mahkamah ini menerima kasus litigasi pertamanya.[14] Mahkamah ini terdiri dari tujuh hakim, yang dipilih oleh negara-negara yang telah meratifikasi konvensi itu. Meski sistem Inter-Amerika mirip dengan sistem Eropa dalam banyak hal, konteks sosial dan politik bagi pengoperasiannya sama sekali berbeda. Apalagi, problem hak asasi manusia yang dihadapinya jauh lebih berat. Berdasarkan alasan-alasan- ini, evolusinya bakal menarik untuk disimak. Di Afrika, OAU (Organization of African Unity / Organisasi Persatuan Afrika) baru-baru ini mengesahkan Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak Rakyat (African Charter on Human and Peoples' Rights).[15] Namun, Di Timur Tengah dan di Asia, institusi-institusi regional yang dibentuk bagi pengembangan hak asasi manusia belum muncul sama sekali.
[1]naskah "Declaration by United Nations" tertanggal 1 Januari 1942, lihat H.F. van Panhuys dkk., ed., International Organization and Integration (The Hague: Martinus Nijhoff, 1981), vol. 1A.
[2]Lihat Douglas Lurton, Roosevelt's Foreign Policy, 1933 1941: Franklin D. Roosevelt's Unedited Speeches (Toronto: Longmans, Green, 1942), 324
[3]Untuk sebuah tinjauan sejarah tentang Universal Declaration of Human Rights dan sebuah garis besar tentang isu-isu pokok yang diperdebatkan sebelum pemberlakuannya, lihat Louis B. Sohn, "A Short History of the United Nations Documents on Human Rights," di dalam Commission to Study the Organization of Peace, The United Nations and Human Rights: Eighteenth Report of the Commission (Dobbs Fery, New York: Transnational Publishers, 1968), 43-56; dicetak ulang di dalam Louis B. Sohn dan Thomas Buergenthal, ed., International Protection of Human Rights (Indianapolis: Bobbs Merrill, 1973), 505. Simak juga John P. Humphrey, Human Rights and the United Nations: A Great Adventure (Dobbs Ferry, New York Transnational Publishers, 1984).
[4] Ian Brownlie, ed., Basic Documents on Human Rights (Oxford: Clarendon Press, 1971), 93-105.
[5] Ibid.
[6] Untuk bahasan tentang soal apakah pemerintah- pemerintah yang bukan merupakan pemerintah yang membawahi seseorang juga harus menjaga hak asasi orang tersebut, lihat James W. Nickel, "Human Rights and the Rights of Aliens", di dalam Peter G. Brown dan Henry Shue, ed., The Border That Joins (Totowa, New York: Rowman & Littlefield, 1983), 31-45.
[7] Ihwal sistem Eropa, lihat Frede Castberg, The European Convention on Human Rights (Dobbs Ferry, New York: Oceana Publications, 1974); James E.S. Fawcett, The Application of the European Convention on Human Rights (Oxford: Clarendon Press, 1969); dan Secretary to the European Commission of Human Rights, Stock-Taking on the European Convention on Human Rights: A Periodic Note on the Concrete Results Achieved Under the Convention (Strasbourg: Dewan Eropa, 1979).
[8] Sejumlah besar dari dokumendokumen ini dapat ditemukan di dalam Brownlie, ed., Basic Documents on Human Rights. Dokumen-dokumen yang relevan di sana termasukConvention on the Prevention and Punishment of the Crimes of Genocide (Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman terhadap Kejahatan Genosid, 1948), 116420; Slavery Convention (Konvensi tentang Perbudakan , 1926, diubah lewat Protocol, 1953), 121- 127; Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade and Institutions and Practices Similar to Slavery (Konvensi Pelengkap tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan Institusi serta Praktek yang Serupa dengan Perbudakan, 1956), 128-134;Convention Relating to the Status of Refugees (Konversi tentang Status Pengungsi, 1951), 135- 452; Convention Relating to the Status of Stateless Persons (Konvensi tentang Status Orang Tanpa Kewarganegaraan, 1954), 153- 169; International Convention of the Elimination of All Forms of Racial Discriminations (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1966), 237-252; dan Declaration on Elimination of Discrimination Against Women (Deklarasi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, 1967), 183-187.
[9] Perihal hak-hak perempuan dalam konteks intemasional, lihat Margaret K. Bruce, "Work of the United Nations to the Status of Women" Human Rigkts Journal 4 (1971): 365-412 Margaret E. Galey, "International Enforce ment of Women's Rights," Human Rights Quarterly 6 (1984): 463490; Terry Ellen Polson, " The Rights of Working Women: An International Perspective," Virginia Journal of International Law 14 (1974): 729-746; dan Jane P. Sweeney, "Promoting Human Rights Through Regional Organizations: Women's Rights in Western Europe," Human Rights Quarterly 6 (1984): 491-506.
[10] John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1971).
[11] Lihat Louis Henkin, The Rights of Man Today ( Boulder, Colo: Westview Press, 1978), xi-xiii.
[12] Tentang intervensi, lihat Richard B. Lillich dan Frank C. Newman, "How Effective in Causing Compliance with Human Bights Law Are Coercive Measures That Do Not Involve the Use of Armed Force?" dalam Lillich dan New man, ed., International Human Rights: Problems of Law and Policy (Boston: Little, Brown, 1979),1979, 3tS8-482; atau Richard B. Lillich, "Intervention to Protect Human Rights," McGill Law Journal 15 (1969) 205-219.
[13] Untuk diskusi mengenai Inter-American Commission lihat, antara lain, "Regional Approaches to Human Rights: The Inter-American Experience: A Panel (Burgenthal, Vargas Carreno, Schneider, Armstrong, Oliver)," American Society of International Law Proceedings 72 (1978): 197-223; C.S. White IV, "Practice and Pleadings Before the Inter-American Commission on Human Rights: Human Rights 4 (Musim Panas 1975): 413-431; Robert E. Norris, "Observation in Loco: Practice and Procedure of the Inter-American Commission on Human Rights," Texas International Law Journal 15 (1980): 46-95; dan Anna P. Schreiber, The Inter-American Commission on Human Rights (Leiden: Sigthoff, 1970).
[14] Naskah American Convetion termuat di dalam Brownlie, ed., Basic documents on Human Rights, 3990427. Untuk tulisan mengenai pengadilan hak asasi manusia, lihat artikel-artikel dari Thomas Buergenthal: The Inter-American Court of Human Rights, American Journal of International Law 76 (1982): 235-245; dan "The Advisory Practice of the Inter-American Human Rights Court," American Journal of International Law 79 (1985): 1-27. Lihat juga Manuel D. Vargas, "Individual Access to the Inter-American Court of Human Rights,"International Law and Politics 16 (1984): 601-617.
[15] Lihat B. Obinna Okere, "The Protection of Human Rights in Africa and the African Charter on Human and Peoples' Rights: A Comparative Analysis with the European and American Systems," Human Rights Quarterly 6 (1984): 141-159; dan Rhoda Howard, "Evaluating Human Rights in Africa: Some Problems of Implicit Comparisons," Human Rights Quarterly 6 (1984): 160-179.