AKU TIDAK TAKUT SENDIRI. TUHAN PUN JUGA SENDIRI. DAN DIA MENJADI YANG MAHA KUAT KARENA ITU (SOE HOK GIE)

Senin, 29 November 2010

benturan antara hukum dan keadilan masyarakat




Putusan bebas yang dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan beberapa waktu lalu, terhadap terdakwa dalam kasus korupsi Bank Mandiri yang dituntut oleh Jaksa 20 tahun penjara, mengundang berbagai pro dan kontra. Umumnya politisi dan masyarakat menyatakan prihatin terhadap putusan itu. Bagaimana bisa tuntutan 20 tahun divonis bebas? Dan yang lain menyatakan bahwa putusan tersebut telah mematikan rasa keadilan masyarakat. Komisi Yudisial (KY) sendiri, bereaksi akan segera meminta salinan putusan itu untuk dipelajari, dan jika ditemukan kejanggalan, KY akan memeriksa majelis hakim yang mengadili. Reaksi masyarakat terhadap putusan seperti itu, kerap sekali terjadi, terutama terhadap perkara yang mendapat perhatian masyarakat luas. Putusan hakim dianggap sebagai tidak adil dan sarat dengan nuansa koruptif dan kolutif.
Secara umum, anggapan seperti itu sah-sah saja, setidaknya dengan tiga alasan. Pertama, telah hampir hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, disebabkan terbongkarnya berbagai kasus penyuapan yang melibatkan aparat peradilan, terutama hakim. Kedua, telah terbangunnya opini masyarakat, bahwa setiap orang yang telah didakwa melakukan korupsi, hampir dipastikan benar-benar telah melakukan korupsi. Ketiga, saat ini sedang gencar-gencarnya upaya pemberantasan korupsi, sehingga jika orang yang didakwa melakukan tindakan korupsi tidak dijatuhi hukuman, hakim dianggap tidak memiliki niat memberantas korupsi, bahkan dianggap sebagai turut menyuburkan korupsi.
Dalam situasi seperti itu, menjadi dilema bagi hakim yang akan memutuskan suatu perkara, yakni antara pertimbangan yang mendahulukan kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran filosofis(keadilan).

Nilai Putusan dan Pendapat Umum
Menurut Sudikno Mertokusumo (2000:1), dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan, yaitu : kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Demikian juga putusan hakim untuk menyelesaikan suatu perkara yang diajukan di pengadilan, bahwa putusan yang baik adalah yang memerhatikan tiga nilai atau unsur, yaitu nilai yuridis (kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan), dan nilai filosofis (keadilan). 
Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan itu ditegakkan sebagaimana yang dinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Adapun nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat. Masyarakat mengharapkan bahwa pelaksanaan hukum harus memberi manfaat, karena memang hukum adalah untuk manusia, maka dalam melaksanakan hukum jangan sampai justru menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Demikian juga, hukum dilaksanakan bertujuan untuk mencapai keadilan, sehingga dengan ditegakkannya hukum akan memberikan keadilan bagi masyarakat. Meskipun sebenarnya keadilan itu sendiri bersifat subyektif dan individualistis.
Dalam memutus suatu perkara, ketiga unsur di atas secara teoritis, harus mendapat perhatian secara proporsional dan seimbang, meskipun dalam prakteknya tidak selalu mudah untuk mengusahakan kompromi terhadap unsur-unsur tersebut. 
Pertentangan yang terjadi dalam setiap menanggapi putusan hakim terhadap suatu perkara, dengan apa yang diinginkan masyarakat, biasanya berkisar antara sejauh mana pertimbangan unsur yuridis (kepastian hukum) dengan unsur filosofis (keadilan) ditampung di dalamnya. Kepastian hukum harus ditegakkan agar tidak timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi memang peraturannya adalah demikian, sehingga Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat (lex dura sed tamen scripta). 
Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, hakim terikat dengan hukum acara, yang mengatur sejak memeriksa hingga memutus. Dan, hasil pemeriksaan itulah nantinya yang akan menjadi bahan pertimbangan untuk mengambil putusan. Fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan merupakan bahan utama untuk dijadikan pertimbangan dalam suatu putusan. Sehingga ketelitian, kejelian dan kecerdasan dalam mengemukakan/menemukan fakta suatu kasus merupakan faktor penting dan menentukan terhadap hasil putusan. Selain itu, dalam perkara korupsi, dalam batas-batas tertentu, semangat untuk memberantas korupsi aparat penegakan hukum juga memegang peranan dalam menentukan hasil suatu putusan. Oleh karena itu, tidak heran jika apa yang ada dalam pikiran masyarakat dapat berbeda dengan putusan hakim. Maka setiap individu hakim, dituntut bersikap lebih teliti dan jeli dalam memeriksa perkara dan jernih serta cerdas berpikir dalam mengambil putusan. Hakim dituntut lebih bijaksana dalam menyikapi pendapat masyarakat. Pendapat masyarakat (umum) tidak boleh diabaikan begitu saja dalam mempertimbangkan suatu perkara. Satjipto Rahardjo menyatakan, bahwa peranan pendapat umum (masyarakat) sangat penting berkaitan dengan masalah efektivitas berlakunya hukum. Suatu pembuatan hukum yang dilakukan tanpa memperhatikan pendapat umum mengandung risiko untuk tidak dijalankan dengan baik (2000:157). 
Tetapi perlu diingat, bahwa pendapat umum dalam masyarakat mengenai suatu masalah hukum bisa berbeda-beda tergantung berbagai faktor, diantaranya pendidikan dan pekerjaan yang bermuara kepada tingkat kesadaran hukum masyarakat itu. Sehingga pendapat umum (masyarakat) terhadap suatu kasus bukan sesuatu yang absolut. Oleh karena itu, jika terjadi pertentangan antara kepastian hukum dengan rasa keadilan masyarakat, selalu didahulukan kepastian hukum. 
Dalam perkara pidana ada adagium yang menyatakan, bahwa lebih baik melepaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Ungkapan itu sepintas lalu terkesan menganggap sepele terhadap pelaku tindak kejahatan dan mempermudah melepaskan pelaku yang diduga melakukan korupsi, sehingga tidak ada upaya maksimal untuk mengungkap kebenaran yang sesungguhnya. Tetapi sebenarnya tidak demikian. Adagium hukum tersebut lebih menekankan kepada “sikap ekstra hati-hati” dalam menjatuhkan putusan. Jangan sampai orang yang tidak bersalah dihukum, disebabkan sikap tidak profesional dalam menangani perkara, begitu juga secara mudah pula melepaskan pelaku kejahatan dari hukuman yang seharusnya dijatuhkan, hal itu tentu saja harus sesuai dengan keyakinan hakim yang profesional. Dan dalam kaidah (fikih) Islam dikenal suatu aturan umum yang menyebutkan, bahwa “menghindarkan bahaya (mudharat) didahulukan daripada mengambil manfaat (mashlahah)”.
Selain itu, dalam (hukum) Islam juga, terdapat prinsip peradilan yang lebih menekankan kepada kebenaran formil dalam penjatuhan hukum (dalam bidang perdata), sebagaimana pernyataan Nabi Muhammad Saw dalam sebuah hadits :  “Kalian minta Aku memutuskan sengketa kalian. Sungguh Aku adalah manusia biasa, yang mungkin salah satu pihak lebih pintar mengemukakan bukti, sehingga kumenangkan. Maka orang yang telah Aku putuskan berhak terhadap sesuatu barang, yang sebenarnya bukan haknya, maka berarti barang itu adalah sepotong dari api neraka.” Sabda Nabi di atas menunjukkan, bahwa pemeriksaan di sidang pengadilan (perdata) adalah hanya sejauh kemampuan manusia, dan bersifat formil, dan sekaligus sebagai ancaman terhadap orang yang berusaha menutupi kejahatannya dengan kepandaiannya. Bahwa sepandai apapun seseorang menutupi kejahatan yang ia lakukan dalam pemeriksaan di pengadilan, sehingga pengadilan menjatuhkan putusan yang memenangkannya karena kepintarannya itu, di akhirat nanti pasti tidak akan dapat lepas dari hukuman.

Perkecil Kesenjangan
Harus diakui, bahwa persoalan hukum bukanlah persoalan yang mudah dipahami dan dicerna oleh masyarakat umum. Dalam masalah hukum terdapat kaidah-kaidah yang menuntut pemahaman lebih dalam. Sehingga antara keinginan masyarakat umum selalu tidak sejalan dengan hukum. Kesenjangan antara kebenaran hukum dan keadilan masyarakat masih sering terjadi dan terasa dalam kehidupan ini. Memadukan nilai yuridis, sosiologi dan filosofis dalam suatu hukum (putusan), sebagai prasyarat berfungsinya hukum secara efektif, tidak mudah dilakukan, sehingga penegakan hukum terasa kurang efektif pula.
Namun sebenarnya kesenjangan itu, antara kebenaran yuridis dan rasa keadilan masyarakat, dapat diperkecil jika hukum dilakukan oleh institusi yang kredibel. Adanya anggapan bahwa lembaga peradilan (hakim) telah mematikan rasa keadilan masyarakat, tidak lain karena telah terlanjur muncul kesan kuat dalam masyarakat,  yang tidak percaya terhadap sistem peradilan yang ada. Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap peradilan, disebabkan adanya tindakan oknum aparat peradilan yang kontra produktif terhadap tugas-tugas yang harus diselesaikannya. 
Untuk itu di satu pihak, aparat peradilan, harus berupaya memperbaiki citranya dengan menegakkan hukum secara benar, dengan memperhatikan nilai-nilai kebenaran hukum dan keadilan masyarakat serta menimbulkan semangat memberantas segala tindakan kejahatan, dan di lain pihak, masyarakat, agar lebih memahami lagi nilai-nilai kebenaran hukum yang menjadi pegangan aparat peradilan dalam menangani perkara. Pada akhirnya, dengan semakin kecilnya kesenjangan antara kebenaran hukum dengan keadilan masyarakat, akan menciptakan sinergi dalam upaya penegakan hukum, menuju tata kehidupan yang tertib.