AKU TIDAK TAKUT SENDIRI. TUHAN PUN JUGA SENDIRI. DAN DIA MENJADI YANG MAHA KUAT KARENA ITU (SOE HOK GIE)

Selasa, 10 Mei 2011

ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN ISLAM TENTANG JARIMAH PENYERTAAN DALAM KASUS EUTHANASIA



BAB I
PENDAHULUAN
1.      LATARBELAKANG
Kematian, pada umumnya dianggap sebagai suatu hal yang sangat menakutkan, namun akan dialami oleh setiap orang. Kematian merupakan suatu proses yang tidak dapat ditunda, namun kebanyakan orang tidak mau kematian itu datang dengan segera. Kebanyakan orang berharap agar kematian tidak muncul dengan tiba-tiba. Orang bukan hanya saja ngeri menghadap kematian itu sendiri, namun jauh lebih dari itu, orang ngeri menghadapi keadaan setelah kematian terjadi.
Sekitar tahun 400 sebelum Masehi, sebuah sumpah yang terkenal dengan sebutan “The Hippocratic Oath” yang dinyatakan oleh seorang Fisikawan Hipokratis Yunani, dengan jelas mengatakan:“Saya tidak akan memberikan obat mematikan pada siapapun, atau menyarankan hal tersebut pada siapapun.”- The Hippocratic OathSekitar abad ke-14 sampai abad ke-20, Hukum Adat Inggris yang dipetik oleh Mahkamah Agung Amerika tahun 1997 dalam pidatonya:“Lebih jelasnya, selama lebih dari 700 tahun, orang Hukum Adat Amerika Utara telah menghukum atau tidak menyetujui aksi bunuh diri individual ataupun dibantu.” – Chief Justice RehnquistTahun 1920, terbitnya buku berjudul “Permitting the Destruction of Life not Worthy of Life”. Dalam buku ini, Alfred Hoche, M.D., Dosen Psikologi dari Universtas Freiburg, dan Karl Binding, Dosen Hukum dari Universitas Leipzig, memperdebatkan bahwa seorang pasien yang meminta untuk diakhiri hidupnya harus, dibawah pengawasan ketat, dapat memperolehnya dari seorang pekerja medis.[1] Buku ini men-supporteuthanasia non-sukarela yang dilakukan oleh Nazi Jerman Tahun 1935, The Euthanasia Society of England, atau Kelompok Euthanasia Inggris, dibentuk sebagai langkah menyetujui euthanasia. Tahun 1939, Nazi Jerman memberlakukan euthanasia secara non-sukarela. Hal ini akan dibahas pada bab selanjutnya. Tahun 1955, Belanda sebagai negara pertama yang mengeluarkan Undang-Undang yang menyetujui euthanasia, dan diikuti oleh Australia yang melegalkannya di tahun yang sama.Setelah dua negara itu mengeluarkan undang-undang yang sah tentang euthanasia, beberapa negara masih menganggapnya sebagai konflik, namun ada juga yang ikut mengeluarkan undang-undang yang sama. Hal ini akan dibahas lebih lanjut di bab berikutnya.
Euthanasia sebenarnya bukanlah merupakan suatu persoalan yang baru. Bahkan euthanasia telah ada sejak zaman Yunani purba. Dari Yunanilah euthanasia bergulir dan berkembang ke beberapa negara di dunia, baik di Benua Eropa sendiri, Amerika maupun Asia. Di negara-negara barat, seperti Swiss, euthanasia sudah tidak dianggap sebagai suatu pembunuhan lagi, bahkan euthanasia sudah dilegalisasi dan diatur dalam Hukum Pidana[2].

2.      RUMUSAN MASALAH
1)      Bagaimanakah sejarah,  perkembangan euthanasia dan macam-macamnya didalam bidang kedokteran?
2)      Bagaimana euthanasia dalam persfektif islam?
3)      Adakah sanksi pidana bagi para pelaku (dalam KUHP dan hukum Islam)?

BAB II
PEMBAHASAN
       I.            Problematika Euthanasia diindonesia dan diberbagai negara
Euthanasia merupakan suatu persoalan yang dilematik baik di kalangan dokter, praktisi hukum, maupun kalangan agamawan. Di Indonesia masalah ini juga pernah dibicarakan, seperti yang dilakukan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam seminarnya pada tahun 1985 yang melibatkan para ahli kedokteran, ahli hukum positif dan ahli hukum Islam, akan tetapi hasilnya masih belum ada kesepakaran yang bulat terhadap masalah tersebut[3].
Menurut kode etik kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan :
  1. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus)
  2. Mengakhiri hidup seorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak akan mungkin sembuh lagi.
Seorang dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk mengakhirinya. Dari sudut pandang etika, euthanasia dan aborsi menghadapi kesulitan yang sama. Suatu prinsip etika yang sangat mendasar ialah kita harus menghormati kehidupan manusia. Bahkan kita harus menghormatinya dengan mutlak. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan lain. Dalam etika, prinsip ini sudah lama dirumuskan sebagai “kesucian kehidupan” (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut, karena itu di mana-mana harus selalu dihormati. Jika kita dengan konsekuen mengakui kehidupan manusia sebagai suci, menjadi sulit untuk membenarkan eksperimentasi laboratorium dengan embrio muda, meski usianya baru beberapa hari, dan menjadi sulit pula untuk menerima praktik euthanasia dan aborsi, yang dengan sengaja mengakhiri kehidupan manusia. Prinsip kesucian kehidupan ini bukan saja menandai suatu tradisi etika yang sudah lama, tetapi dalam salah satu bentuk dicantumkan juga dalam sistem hukum beberapa negara.
Dalam diskusi-diskusi tentang masalah euthanasia dan aborsi, kini prinsip kesucian kehidupan mulai dikritik. Nama-nama yang terkenal di antara kritisi itu adalah Peter Singer dan Helga Kuhse, dan etikawan terkemuka di Australia. Mereka berpendapat, faham kesucian kehidupan berasal dari suasana pemikiran moral Kristen dan karena itu tidak boleh diberlakukan untuk semua orang. Di tengah berlangsungnya sekularisasi kini, pengaruh agama Kristen sebagai pegangan moral makin berkurang dan makin banyak orang menempuh alur pemikiran moral yang lain.
Dalam bukunya Practical Ethics . Peter Singer menandaskan, “the doctrine of the sanctity of human life… is a product of Christianity. Perhaps it is now possible to think about these issues without assumsing the Christian moral framework that has, for so long, prevented any fundamental reassessment”. Peter Singer sendiri menerapkan pendapat ini bukan saja atas masalah euthanasia dan aborsi, namun juga dalam anggapannya yang amat kontroversial tentang kemungkinan mengakhiri kehidupan bayi cacat berat yang baru lahir. Dengan demikian ia memperluas diskusi tentang masalah aborsi sampai keinfanticide (pembunuhan anak kecil), yang dalam masyarakat pra-Kristen-Yunani Kuno dan kekaisaran Roma, umpamanya-memang sering dipraktikkan. Dalam tulisan ini tentu tidak mungkin membahas topik ini sampai tuntas. Kita akan membatasi diri pada beberapa catatan saja.[4]
Macam-macam Euthanasia
1)      Aktif

Euthanasia aktif adalah : suatu tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan memberikan suntikan maupun melepaskan alat-alat pembantu medika, seperti : melepaskan saluran zat asam, melepas alat pemacu jantung dan lain-lain. Yang termasuk tindakan mempercepat proses kematian disini adalah : jika kondisi pasien, berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih menunjukkan adanya harapan hidup. Tanda-tanda kehidupan masih terdapat pada penderita ketika tindakan itu dilakukan.
2)      Pasif
Euthanasia pasif adalah : suatu tindakan membiarkan pasien/penderita yang dalam keadaan tidak sadar (comma), karena berdasarkan pengamalan maupun ukuran medis sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi padanya, mungkin karena salah satu organ pentingnya sudah rusak atau lemah seperti: bocornya pembuluh darah yang menghubungkan ke otak (stroke) akibat tekanan darah terlalu tinggi, tidak berfungsinya jantung[5]. Euthanasia pasif artinya membiarkan si sakit mati secara alamiah tanpa bantuan alat bantu seperti pemberian obat, makanan, atau alat bantu buatan. Euthanasia pasif, membiarkan kematian. Euthanasia pasif biasanya dibedakan atas euthanasia pasif alamiah dengan bukan alamiah. Euthanasia pasif alamiah berarti menghentikan pemberian penunjang hidup alamiah seperti makanan, minuman dan udara. Sedangkan euthanasia pasif bukan alamiah berarti menghentikan penggunaan alat bantu mekanik buatan misalnya mencabut respirator (alat bantu pernapasan) atau organ-organ buatan. Euthanasia pasif alamiah sama dengan pembunuhan sebab dengan sengaja membiarkan si sakit mati tanpa makan-minum (membunuh pelan-pelan). Sedangkan mencabut alat bantu yang mungkin hanya berfungsi memperpanjang ‘penderitaan’ tidak sama dengan membunuh sebab memang si sakit tidak sengaja dimatikan melainkan dibiarkan mati secara alamiah.
Selain itu, euthanasia bisa juga dibedakan atas euthanasia voluter dan euthanasia non-voluter. Yang pertama berarti si sakit menghendaki dan meminta sendiri dan mengetahui kematiannya. Maka euthanasia voluter sering disamakan dengan bunuh diri, sedangkan euthanasia non-voluter sering disamakan dengan pembunuhan.[6]

    II.            Euthanasia dalam perpektif Islam
Tindakan euthanasia dalam hukum Islam belum ada kejelasan dalam hal pengkategorian tindakan pembunuhan yang merupakan suatu jarimah. Sebagaimana diketahui bahwa suatu perbuatan dapat digolongkan sebagai suatu jarimah apabila memenuhi unsur-unsur jarimah. Dalam hukum pidana Islam dikenal dua unsur jarimah yaitu jarimah umum dan khusus. Yang dimaksud dengan unsur- unsur umum yaitu unsur-unsur yang terdapat pada setiap jarimah, sedangkan unsur khusus adalah unsur yang hanya ada pada jenis jarimah tertentu dan tidak terdapat pada jenis jarimah yang lain. Adapun yang termasuk unsur umum jarimah adalah sebagai berikut:[7]
1)      Unsur Formal, yaitu adanya nash atau ketentuan yang menunjuknya sebagai jarimah. Unsur ini sesuai dengan prinsip yang menyatakan bahwa jarimah tidak terjadi sebelum dinyatakan dalam nash.
2)      Unsur material, yaitu adanya perbuatan yang melawan hukum yang pernah dilakukan.
3)      Unsur moral, yaitu adanya niat pelaku untuk berbuat. Dengan kata lain, unsur ini berhubungan dengan tanggung jawab pidana yang hanya dibebankan atas orang mukallaf dalam keadaan bebas dari unsur keterpaksaan atau ketidaksadaran penuh.
Unsur khusus dari jarimah merupakan unsur yang membedakan antara jarimah yang satu dengan jarimah yang lain. Misalnya unsur jarimah pembunuhan akan berbeda dengan unsur jarimah pencurian, zina dan sebagainya
Dalam hukum Islam, pembunuhan dikenal ada tiga macam, yaitu:[8]
1)      Pembunuhan sengaja (Al-qathl al’amd), yaitu suatu perbuatan yang direncanakan dahulu dengan menggunakan alat dengan maksud menghilangkan nyawa
2)      Pembunuhan semi sengaja (Al-qathl sibhu al-’amd), yaitu suatu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud membunuhnya, tetapi mengakibatkan kematian.
3)      Pembunuhan karena kesalahan (Al-qathl al-khatta), yaitu pembunuhan yang terjadi karena adanya kesalahan dan tujuan perbuatannya.
A.    Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya Firman Allah SWT : Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS Al-An’aam : 151)
Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja).(QS An-Nisaa` : 92) Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar. Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah : Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh (QS Al-Baqarah : 178). Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan. Firman Allah SWT :Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula) (QS Al-Baqarah : 178)  Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting,berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111).  Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).  Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya,yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.(HR Bukhari dan Muslim).
B.     Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien.
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.”
Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya?
Abdul Qadim Zallum, mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi. Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu.[9]
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).

Perbandingan euthanasia dalam KUHP dan hukum islam (jarimah)
Didalam hukum pidana Indonesia sebagaimana terkandung di dalam Pasal 344 KUHP, dimana dijelaskan bahwa melakukan euthanasia merupakan suatu tindakan pidana.[10] Pasal 344 KUHP tersebut menyatakan secara tegas: barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara, paling lama dua belas tahun[11].
Dalam hukum Islam, hingga saat ini belum ada kejelasan atau kepastian tentang eksistensi euthanasia, apakah euthanasia itu termasuk dalam jarimah atau bukan. Meskipun dalam hukum Islam belum ada kejelasan atau ketidakpastian dalam menentukan apakah euthanasia termasuk jarimah atau bukan, akan tetapi dalam hal euthanasia aktif yang dilakukan hanya berdasar inisiatif dokter sendiri tanpa adanya persetujuan dari pasien. Sekiranya dapat dimasukkan dalam kategori jarimah pembunuhan, dan pelaku dimungkinkan dihukum sesuai dengan hukum jarimah yang ada. Pendapat demikian didasarkan atas pertimbangan karena perbuatan itu telah memenuhi syaratsyarat untuk dapat dilaksanakan dalam qishash, antara lain:[12]
1)      Pembunuhan adalah orang yang baligh, sehat, dan berakal;
2)      Ada kesengajaan membunuh;
3)      Ikhtiyar (bebas dari paksaan);
4)      Pembunuh bukan anggota keluarga korban;
5)      Jarimah dilakukan secara langsung.
Antara pembunuhan sengaja dengan euthanasia aktif ada suatu perbedaan yang mendasar, meski secara teknis ada persamaan. Dalam pembunuhan sengaja, terdapat suatu maksud atau tujuan yang cenderung pada tindak kejahatan. Sedangkan dalam euthanasia aktif, pengakhiran hidup pasien dilakukan secara sengaja dan terencana. Namun pembunuhan ini dilakukan atas kehendak dan permintaan pasien atau korban kepada dokter yang merawat dan maksud atau tujuan yang terdapat di dalamnya cenderung pada suatu pertolongan, yang dalam hal ini menolong meringankan beban yang diderita oleh pasien. Perbedaan yang mendasar itulah yang menyebabkan adanya ketidakjelasan kedudukan pelaku euthanasia dalam jarimah. Oleh karena itu yang menjadi persoalan adalah apakah dari segi hukum pidana Islam melakukan tindakan euthanasia dapat dikategorikan telah melakukan jarimah.
 III.            Sanksi pidana pelaku Euthanasia dalam Islam
Berdasarkan pembahasan diatas eutanasai aktif yang dilkukan dokter, suster dan pihak keluarga secara diam-diam dapat dikategorikan pembunuhan yang disengaja jadi haram hukumnya. sebab pembunuhan disengaja adalah suatu perbuatab yang disertai niat (direncanakan sebelumnya) untuk membunuh orang lain dengan menggunakan alat-alat yang mematikan. karena itu dokter dan suster harus bertanggung jawab terhadap tindakan euthanasia yang dilakukannya. sebab tindakan yang menyebabkan kematian seseorang tanpa alasan sah sangat dilarang oleh Allah seperti diungkapkan dalam Q.S. al-An`am (6):151 Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (Q.S. AlAn-am :151).
Selaras dengan hal itu untuk melindungi hak hidup setiap individu maka islam menetapkan hukuman qiyas yaitu hukuman yang sebanding dengan kejahatan yang dilakukan, seperti yang dijelaskan dalam QS. al-Maidah (5): 45 Artinya : “Dan kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qiyasnya.” (Q.S.al-Maidah : 45) Jadi, dokter yang melakukan euthanasia aktif secara diam-diam (sepengetahuan/izin kelurga pasien) dijatuhi hukuman qiyas. sedangkan euthanasia aktif yang dilakukan dokter dengan sepengetahuan keluarga dan atau korban termasuk pembunuhan semi sengaja sehingga pelakunnya dijatuhi hukuman diyat (membayar denda). berbeda dengan euthanasia pasif karena ditolerir ileh syara (boleh). sehingga pelaku euthanasia pasif /negatif tidak dikenai sangsi pidana. Berbeda dengan delik penyertaan dalam KUHP.
 BAB II
PENUTUP
Ø  KESIMPULAN
Dalam ISLAM euthanasia dibagi 2 yaitu:
1)      Aktif: tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan kedalam tubuh pasien tersebut. Dari hasil keterangan diatas, dapat disimpulkan  bahwa Euthanasia aktif menurut agama ISLAM adalah HARAM. Karena termasuk pembunuhan dengan sengaja, walaupun niatnya meringankan dan atas perintah keluarga pasien atau pasien itu sendiri. Dan telah dijelaskan dalam surat Al-an’am:151.An-nisa’:92 & 29.
2)      Pasif: tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Dalam syari’ah ISLAM dijelaskan bahwa hukum euthanasia pasif adalah sesuai dengan pengetahuan hukum berobat(attadawiyah) itu sendiri.
a.       Menurut jumhur ulama’ hukumnya sunnah.
b.      Sebagian ulama’ lainnya seperti syafi’iyah Hanabilah yang dikemukakan Syaikhul Islam Ibnu yaitu “wajib”.
c.       Menurut abdul Qadim Zallum adalah ‘sunnah”.
Berdasarkan uraian diatas mengenai sah atau tidnya Euthanasia menurut Islam, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut :
  1. Yang berhak mengakhiri hidup seseorang hanyalah Allah SWT. Oleh karena itu, orang yang mengakhiri hidupnya dengan cara dan alasan yang bertentangan dengan ketentuan agama (tidak bilhaq), seperti euthanasia aktif, adalah perbuatan bunuh diri, yang diharamkan dan diancam Allah dengan hukuman neraka selama-lamanya.
  2. Euthanasia aktif tetap dilarang, baik dilihat dari segi kode etik kedokteran, Undang-Undang Hukum Pidana, lebih-lebih menurut Islam yang menghukumnya dengan haram. Terhadap keluarga yang menyuruh, maupun dokter yang melaksanakan, dipandang sebagai pelaku pembunuhan sengaja. Sedangkan dokter yang melaksanakan euthanasia aktif atas permintaan pasien, dipandang sebagai membantu terlaksananya bunuh diri.
  3. Euthanasia pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang kondisi organ utama pasien berupa batang otaknya sudah mengalami kerusakan fatal. Sedangkan kerusakan organ jantung, paru-paru, dan korteks, dalam dunia kedokteran sekarang masih bisa diatasi. Maka tindakan euthanasia terhadap pasien dalam kondisi seperti ini sama dengan pembunuhan.
  4. Euthanasia menimbulkan dilema karena disatu sisi euthanasia dilakukan dengan rasa kasihan terhadap penderitaan pasien yang tak kunjung sembuh
    sehingga terkesan selaras dengan rasa kemanusiaan tetapi disatu sisi euthanasia dapat melanggar hukum baik dari etika kedokteran, hukum positif maupun
    hukum Islam;
  5. Pelaku euthanasia aktif/positif dijatuhi hukuman qisas jika euthanasia itu dilakukan diam-diam oleh dokter tanpa sepengaetahuan keluarga dan atau
    korban. pelaku euthanasia aktif/positif dijatuhi hukuman diyat (membayar denda) jika dokter melakukan euthanasia aktif dengan sepengetahuan keluarga
    dan atau korban. sedangkan pelaku euthanasia pasif/negatif tidak dijatuhi hukuman pidana.
 DAFTAR PUSTAKA
----------Alfred Hoche, M.D. Permitting the Destruction of Life not Worthy of Life . Leipzig PRESS.1992.
-----------Akh. Fauzi Aseri, Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum Pidana dan Hukum Islam, dalam Problematika Hukum Kontemporer, Editor oleh Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995
-----------Azar Basyir, Ahmad. Ikhtisar Fiqh Jinayah Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: UII Press, 2001
----------Djazuli, Fiqh Jinayat Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2000,
----------Hardinal, Euthanasia dan Persentuhannya dengan Hukum Kewarisan Islam, Dalam Mimbar Hukum No 6 Tahun VII, Jakarta: Ditbanpera Islam, 1996
-----------Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
-----------Moeljanto, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Yogyakarta: UGM, 1978.
-----------Singer, Peter. Practical Ethics, edisi ke-2, 1993
----------Surbakti, Natangsa .Euthanasia dalam Hukum Indonesia, Suatu Telaah Kefilsafatan Terhadap Eksistensi dalam Konteks Masyarakat Indonesia Modern, Dalam Jurnal Hukum, Vol. I No. 1 Maret 1998, FH. UMS

MEDIA INTERNET
ü  //http.hukum online.com.
ü  //http.greatandre.blogspot.com.


[1] Alfred Hoche, M.D. Permitting the Destruction of Life not Worthy of Life . Leipzig PRESS.1992.
[2] Hardinal, Euthanasia dan Persentuhannya dengan Hukum Kewarisan Islam, Dalam Mimbar Hukum No 6 Tahun VII, Jakarta: Ditbanpera Islam, 1996, hal 7-8.
[3] Akh. Fauzi Aseri, Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum Pidana dan Hukum Islam, dalam Problematika Hukum Kontemporer, Editor oleh Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, hal. 51.
[4] Peter Singer. Practical Ethics, edisi ke-2, 1993, hlm 173.
[5] //http.hukum online.com. diakses pada hari sabtu tanggal 7 Mei 2011.
[6] //http.greatandre.blogspot.com. diakses pada hari minggu tanggal 8 Mei 2011.
[7] Ahmad Azar Basyir, Ikhtisar Fiqh Jinayah Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: UII Press, 2001, hal. 8.
[8] Djazuli, Fiqh Jinayat Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2000, hal. 123.
[9] Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada.hal. 122.
[10]Natangsa Surbakti, Euthanasia dalam Hukum Indonesia, Suatu Telaah Kefilsafatan Terhadap Eksistensi dalam Konteks Masyarakat Indonesia Modern, Dalam Jurnal Hukum, Vol. I No. 1 Maret 1998, FH. UMS, hal. 115.
[11] Moeljanto, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Yogyakarta: UGM, 1978, hal. 124.
[12] Ahmad Azar Basyir, Op. Cit, hal. 16.