AKU TIDAK TAKUT SENDIRI. TUHAN PUN JUGA SENDIRI. DAN DIA MENJADI YANG MAHA KUAT KARENA ITU (SOE HOK GIE)

Jumat, 10 Desember 2010

(TUGAS MATAKULIAH PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN) Kajian yuridis,filosofis dan sosiologis pada RUU-RAPERDA tentang Pekerja Rumah Tangga.


 gambar di ambil dari http://watatita.files.wordpress.com
diposkan oleh DWI ANDRIYANTO
DEMISIONER Ka.Bid KAJIBANG (kajian dan pengembangan) HmI MPO FH UII 2009-2010 M.




RUU PRT
Kajian yuridis
Ø  Pasal 5 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 A, Pasal 28 D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[1]
Yakni berisi tentang ke-Legal-an suatu peraturan
UUD 1945 amandemen ke IV pasal 5 ayat (1) berbunyi”presiden berhak mengajukan rancangan Undang-undang kepada dewan perwakilan rakyat”*
Dan juga pada pasal 27 ayat (2) UUD 1945 bernyanyi “tiap-yiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Pasal 28 A berbunyi “setiap orang berhak untuk serta berhak memperthankan hidup dan kehidupannya”**
Pasal 28 D ayat (2) “setiap orang berhak untuk bekerja serts mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”**[2]

Analisis penulis
Namun pada kenyataannya, keterbatasan lowongan kerja menyebabkan banyaknya warga negara mencari pekerjaan sebagai PRT, akibatnya tenaga kerja yang bekerja sebagai PRT disatu sisi dapat mengatasi masalah pengangguran, namun disisi lain terjadi resiko perlakuan yang tidak manusiawi terhadap PRT. Resiko tersebut dapat dialami oleh PRT selama proses perekrutan dan selama bekerja dengan demikian perlu dilakukan pengaturan perlindungan terhadap PRT. Dengan mengacu kepada Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka undang-undang ini harus memberi perlindungan kepada warga negara yang akan menggunakan haknya untuk mendapat haknya, khususnya pekerjaan sebagai PRT agar mereka dapat memperoleh perlindungan. Selama ini secara yuridis belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang perlindungan dan tata cara penyelesaian dalam menyelesaikan kasus-kasus yang dialami PRT. Perlindungan hukum bagi PRT masih tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, antara lain KUHP, pengaturan mengenai perlindungan anak, pengaturan mengenai kekerasan dalam rumah tangga.[3]
Secara yuridis, RUU ini bias, apakah mendudukkan RUU PRT sebagai bagian hukum perdata ataukah hukum pidana. Pada pasal-pasal penjelasan, RUU cenderung bicara teknis keperdataan seperti syarat-syarat PRT, jam kerja, hak-kewajiban pekerja dan majikan serta lainnya.
Tapi pada pasal sanksi, RUU memberikan ancaman pidana dan pelaku yang melanggar UU ini nantinya disebut penjahat. Bahkan dengan penjara minimal, layaknya UU Korupsi dan UU Narkoba. Sebagai contoh, kelalaian majikan memberikan upah apakah sebagai bentuk wanprestasi (perdata) atau penipuan (pidana). Kelalaian pemberi kerja membuat surat perjanjian kerja umumnya sebagai tindak pelanggaran administrasi (perdata), tapi dalam RUU ini diberi ancaman pidana.
Sebagai RUU, tentunya harus memegang asas-asas UU Yang Baik. Asas-asas ini salah satunya adalah bisa dilaksanakan dan operasional. Sayangnya, RUU ini dalam menjelaskan langkah penegakan hukum serta hukum acara tidak operasional. Sebagai contoh, pada pasal mempekerjakan PRT di bawah umur. Setelah penulis bertanya kepada para penggagas, proses memidanakan majikan ternyata tidak operasional dan kongkret.  Bahkan membuat hukum acara sendiri yang tak operasional.
RUU yang mengancam masyarakat dengan ancaman pidana, juga belum memenuhi asas-asas kriminologi.[4] Pilihan pidana minimal bagi majikan sebanding dengan koruptor dan bandar narkoba sangat tidak mendukung proses pemulihan kejahatan itu sendiri. Alih-alih ingin menghapus kejahatan yang dilakukan majikan, malah nantinya UU PRT sendiri yang membuat kejahatan terhadap warga negaranya secara sistematis dan terstruktural. Masih secara yuridis, konsep perlindungan hukum bagi PRT telah diatur dalam UU lain. Seperti  UU Ketenagakerjaan, UU Penghapusan KDRT, KUHP terutama Buku II tentang Kejahatan. Juga telah diatur dalam KUH Perdata tentang syarat-syarat perjanjian.



Kajian filosofis
Ø  bahwa bekerja merupakan hak asasi manusia yang wajib dijunjung tinggi, dihormati, dilindungi dan dijamin penegakannya;
Ø  bahwa setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak sesuai dengan keahlian, ketrampilan dan kemampuan;

Berdasarkan draf RUU yang dimiliki penulis, terdapat beberapa kelemahan yang cukup serius. Pertama, secara filosofis, konsep "membantu" di Indonesia adalah didasarkan pada  local wisdom/kearifan lokal. Majikan, merasa punya tanggung jawab sosial atas masyarakat yang kurang beruntung dengan memberikan pekerjaan ala kadarnya. Pola ini tidak didasari niat mengeksploitasi tapi prinsip tolong menolong. Tak dikenal prinsip upah, tapi bentuk terimakasih.[5]
Istilah Pembantu Rumah Tangga (PRT) kiranya sudah sangat melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Fenomena yang terjadi dewasa ini adalah mayoritas penduduk di kota besar merupakan pengguna PRT, sedangkan mayoritas penduduk di desa-desa merupakan orang yang berperan sebagai PRT. Bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga merupakan suatu alternatif lain bagi masyarakat pedesaan untuk dapat membantu perekonomian keluarga. Sehingga pada intinya PRT adalah "pekerja". Faktor kemiskinan, rendahnya pendidikan formal dan tidak adanya keahlian yang memadai menyebabkan kelompok ini tidak dapat masuk dalam pasar kerja "formal" dan memilih profesi ini sebagai lapangan pekerjaan. Karakteristik PRT pada umumnya dapat dilihat dari beberapa sisi. Pertama, didominasi oleh kaum perempuan. Kedua, usia yang masih sangat muda. Ketiga, waktu kerja yang panjang. Keempat, upah yang rendah. Kelima, tidak ada jaminan kesehatan dan sosial. Keenam, rentan terhadap eksploitasi baik oleh penyalur maupun pengguna jasa. Karakteristik tersebut diatas mendorong kita untuk memikirkan bagaimana mekanisme perlindungan PRT yang efektif dengan tidak menutup peluang untuk memperoleh pekerjaan. Hal ini harus merupakan landasan utama kita berpijak, mengingat menjadi PRT merupakan suatu kesempatan bekerja yang mudah diakses bagi semua orang tanpa memandang pendidikan, keahlian ataupun usia. Lebih jauh lagi pola perlindungannya juga harus memperhatikan fakta bahwa PRT ini lebih didominasi oleh kelompok perempuan yang rentan terhadap segala macam tindak kekerasan fisik, mental dan seksual, diskriminasi serta eksploitasi kerja.[6]


Kajian sosiologis
Ø  bahwa jenis pekerjaan rumah tangga merupakan salah satu alternatif untuk menyerap jumlah tenaga kerja sebagai upaya mengurangi jumlah pengangguran di dalam negeri;
Ø  bahwa jenis pekerjaan rumah tangga mempunyai karakteristik tersendiri sehingga memerlukan perlindungan;
Ø  bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Ketiga, secara sosiologis, tiap daerah mempunyai pola sendiri-sendiri dalam menggerakkan local wisdom ini. Jawa berbeda dengan daerah Minang. Bali berbeda dengan Papua. Jakarta berbeda dengan Manado. Sebagai contoh, di Jakarta, pola PRT lebih didasari sistem industri dengan mengenalkan sistem gaji, THR, cuti dan sebagainya. Sedangkan konsep ini tak bisa diterapkan untuk daerah-daerah yang masih memegang adat adi luhung yang disebut "ngenger".
Di beberapa lingkungan pondok pesantren, seorang kiai mempunyai santri yang juga berfungsi layaknya pembantu.  Dari membersihkan pekarangan, mencari pakan ternak hingga bersih-bersih rumah. Mereka nyebutnya "nyantrik". Contoh di atas akan ditemui beragam setiap daerah. Sampai saat ini memang belum ada peraturan perundangan yang secara khusus melindungi Pekerja Rumah Tangga khususnya di dalam negeri. Hal ini karena jasa pekerjaan rumah tangga di Indonesia tidak dianggap sebagai hubungan kerja formal melainkan hanya sebagai hubungan kerja informal antara pekerja/PRT dan majikannya. Oleh karenanya profesi PRT ini mempunyai karakteristik tersendiri yaitu dalam bekerja mereka tinggal dengan majikan, serta sarat dengan nuansa "kekeluargaan".
Selain nuansa kekeluargaan tersebut diatas, di dalam tradisi Jawa ada budaya "ngenger", dimana sebuah keluarga dapat mengajak kerabatnya yang miskin untuk tinggal di rumahnya. Dalam tradisi ini, anak lakilaki dan perempuan yang masih muda pergi meninggalkan desa-desa mereka untuk tinggal dengan paman, bibi atau kerabat lainnya yang kaya dengan harapan bahwa anak-anak tersebut akan disekolahkan dan dirawat dengan baik. Sebagai balasannya, anak-anak ini diharapkan dapat membantu untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Kondisi seperti ini memang membuat mereka merasa nyaman untuk bekerja dan dilakukan dengan rasa suka cita, namun disisi lain, mereka tidak menyadari bahwa situasi seperti ini membuat mereka mudah untuk dieksploitasi.

Problems solfing yang ditawarkan oleh penulis
Melihat pertimbangan di atas, maka alangkah baiknya untuk mengambil langkah sebagai berikut;
1.      Menurunkan rancangan dari RUU menjadi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) bagi daerah yang membutuhkan peraturan tentang PRT. Hal ini didasari pertimbangan filosofis dan sosiologi di atas. Dengan Perda, peraturan lebih aplikatif karena melihat kondisi sosial masing-masing daerah. 
2.      Jika masih mempertahankan menjadi RUU, maka hendaknya diperbaiki dalam merumuskan konsep. Baik dalam hukum acara, apa yang dimaksud PRT dan sanksi bagi yang melanggar. RUU ini juga harus menegaskan perkecualian pemberlakuan untuk hal-hal ke wilayah daerah dengan syarat-syarat tertentu.
3.      Kriminalisasi harus dibikin seminimal mungkin karena RUU ini lebih bersifat UU administrasi. Sedangkan jika ada tindak pidana dalam hubungan majikan-PRT, maka menggunakan UU lain yang sudah ada.



[1] RUU Pekerja rumah tangga. Dipost dari http//www.legalitas.com
[2] Lihat UUD 1946 Amandemen ke-IV
[3] Merujuk kepada Penjelasan Umum RUU Pekerja rumah tangga.
[4] Moeljatno.Asas-asas hukum pidana. Gama media.edisi revis.jogjakarta
[5] Lihat http//dwiandriyanto@blogspot.com
[6] Merujuk pada penjelasan umum pada RUU Pekerja rumah tangga.