AKU TIDAK TAKUT SENDIRI. TUHAN PUN JUGA SENDIRI. DAN DIA MENJADI YANG MAHA KUAT KARENA ITU (SOE HOK GIE)

Rabu, 01 Desember 2010

INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE DAN PERKEMBANGANYA


diposting oleh DWI ANDRIYANTO


INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE
1.     
Sistem pemilihan hakim telah diuraikan[1]. Kini perhatian perlu dipusatkan pada dua kriteria yang mengatur pemilihan. Kriteria kesatu, dalam Pasal 2, bersifat pribadi para hakim dimana mereka harus “orang-orang yang berkarakter moral tinggi, yang memiliki kualitas yang diperlukan di negara mereka untuk pengangkatan dalam jabatan kehakiman tertinggi, atau mereka itu penasihat-penasihat hokum (juriconsult) yang kompetisinya diakui di bidang hukum internasional”. Kriteria lain dalam Pasal 9, adalah bahwa lembaga/badan para hakim itu secara keseluruhan “harus mencerminkan” bentuk-bentuk utama peradaban dan . . . . . system hukum pokok dunia …..”. Disini berkembang tendesi yang menuntut secara tegas adanya “pembagian imbang berdasarkan geografis “ yang telah menjadi karakter dari komposisi sejumlah organ atau badan PBB berkomposisi terbatas, yang memungkinkan diabaikannya kriteria pertama yaitu mengenai pribadi para hakim.
Mengingat pada peradilan ad hoc, karakter “yang mewakili” Para hakim semuanya sangat menonjol, tujuan utama dari PCJI dan ICJ adalah menjamin adanya sebuah badan dengan hakim-hakim yang independen. Oleh karena itu pasal 2 menetapkan pemilihan “tanpa memandang kebangsaan mereka”. Namun dalam praktek angota-anggota tetap Dewan Keamanan biasanya selalu menempatkan hakimnya dalam Mahkamah. sejalan dengan penegasan untuk menyampingkan aspek kebangsaan dalam pemilihan hakim, seorang hakim tidak dihalangi menyelesaikan perkara yang mana negara asal hakim itu menjadi salah satu pihak, sekaligus demikian, mungkin agak kurang konsisten, Pasal 31 memberi haka kepada pihak lain yang tidak menempatkan hakim yang berasal dari negara itu, dalam Mahkamah untuk mengajukan calon hakim ad hoc, dan apabila dalam suatu perkara masing-masing pihak mempunyai hakim yang berasal dari warga negaranya dalam Mahkamah, kedua pihak berhak mencalonkan hakim-hakim ad hoc. Kepentingan politis dari dimungkinkannya pengajuan hakim-hakim ad hoc adalah sebagai alat pembujuk kepada negara-negara untuk menggunakan Mahkamah, akan tetapi hal inin hamper sejalan dengan gagasan Mahkamah sebagai badan/lembaga independen dan ini juga bukan tidak disadari bahwa tidak akan ada hakim ad hoc yang memberikan suara yang bertentangan dengan negara asalnya. Memang ada benarnya, sebagaimana sering dikemukakan, bahwa pandangan-pandangan-pandangan negara yang mengangkat hakim itu perlu dijelaskan kepad Mahkamah, argument tersebut nampaknya dimaksudkan untuk maniadakan adanya agen-agen atau penasihat-penasihat negara tersebut.[2]
Kebebasan para hakim lebih lanjut dikukuhkan dengan masa jabatan mereka, tidak ada usia pension dan pemberhentian mereka hanya dapat dilakukan melalui keputusan suara bulat angota-anggota Mahkamah lainnya (Pasal 18). Lebih lanjut Pasal 16 melarang hakim-hakim itu melakukan “suatu tugas politis atau administrasi atau terikat pada pekerjaan lain yang bersifat profersioanal”, dan Pasal 17 melarang seorang hakim yang menangani perksrs tersebut di mana ia bertindak sebagai agen, penasihat dan sebagainya dalam kasus tersebut. Upaya pembatasan ini dimaksudkan untuk menjamin kebebasan dalam arti bahwa tidak adanya pekerjaan lain itu para hakim harus dibayar secara layak sebagai hakim. Dalam kenyataan hakim-hakim itu dibayar dengan pembebasan dari pajak pendapatan serta ditambah dengan tunjangan pensiun[3], demikian juga hakim-hakim ad hoc dibayar dari dana Mahkamah dan bukan oleh pihak seperti yang dilakukan dalam pengadilan-pengadilan ad hoc.
2.      Cara Berprakara di Muka Mahkamah
a)      Dalam Perkara Perdebatan (Contentious Case)
Menurut Pasal 34 (1) “hanya negara-negara yang dapat menjadi pihak dalam perkara-perkara di muka Mahkamah”. Negara-negra itu secara jelas dikelompokkan dalam tiga kategori. Kategori pertama mencakup semua anggota PBB yang berdasarkan Pasal 93 (1) Charter PBB, ipso facto peserta Statuta Mahkamah. Kategori kedua yaitu negara-negara bukan anggota PBB yang menunjukan hasrat berasosiasi tetap dengan Mahkamah, dan menurut Pasal 93 (2) telah menjadi anggota Statuta menurut syarat-syarat yang ditentukan dalam tiap-tiap kasus oleh Majelis Umum berdasarkan rekomendasi Dewan Keamanan. Syarat-syarat ini telah dikenakan kepad Switzerland pada tahun 1947 dan kepada Liechtenstein pada tahun 1950, yang mencakup penerimaan isi Statuta, kewajiban anggota PBB menurut Pasal 94 Charter, serta memberikan sumbangan dalam jumlah yang layak kepada anggota Mahkamah. Kategori ketiga meliputi negara-negra yang bukan anggota PBB namun ingin tampil di muka Mahkamah sebagai pihak-pihak sengketa tertentu atau kelompok sengketa tertentu namun tanpa menjadi Peserta Statuta. Menurut pasal 35 (2) Statuta, dan Resolusi Dewan Keamanan 15 Oktober 1946, dimungkinkan mengenakan persyaratan-persyaratan terhadap negara-negara tu yaitu bahwa negara-negara tersebut harus mematuhi keputusan-keputusan Mahkamah dan menerima syarat-syarat dalam Pasal 94 Charter. Mahkamah itu sendiri telah menetukan jumlah biaya perkara tertentu secara layak. Perbedaan jelas antara kategori kedua dan ketiga adalah bahwa, peserta kategori kedua dapat ber -partisispasi penuh dalam pola jurisdiksi wajib menurut Pasal 36 (3) – Optoinal Case- kategori ketiga dapat menandatangani optional case tetapi tidak dapat menggunakannya sebagai sandaran jika berhadapan dengan negara-negara yang menjadi anggota Statuta (yaitu kategori kesatu dan kedua) kecuali jika ada perjanjian khusus.
Dengan demikian jelaslah[4], bahwa organisasi-organisasi internasional tdak memiliki locus standi dalam perkara perdebatan di  muka Mahkamah. Hak-hak yang dimiliki mereka adalah memberikan informasi kepada Mahkamah dan meminta advisory opinion kepada Mahkamah dan mengenai hal ini akan dibaharui dalam uraian selanjutnya.

b)      Jurisdiksi Penasihat Mahkamah (Advisory Juridiction)
Pasal 65 Statuta menentukan bahhwa Mahkamah dapat memberikan suatu pendapat nasihat (advisory opinion) mengenia suatu masalah hukum atas permintaaan badan maupun yang diberi kuasa atau sesuai dengan Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk meminta hala tersebut[5]. Makna konstitusional penting dari prosedur ini bagi organ-organ perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi-organisasi antar-pemerintah akan mendapat pembebasan tersendiri nanti. Cukuplah dikemukakan dalam kesempatan ini bahwa negara-negara secara individu tidak memiliki kekuasaan untuk meminta advisory opinion Mahkamah.
Hak-hak merek terbatas pada pemberian informasi menurut Pasal 66, situasi seperti ini menjadi kebalikan dari jurisdiksi perdebatan (contentious jurisdiction) di mana negara-negara merupakan para pihak dan organisasi-organisasi hanya mempunyai hak terbatas diberikan informasi.
3.      Jurisdiksi Mahkamah
Jurisdiksi Mahkamah berlandaskan atas kesepakatan para pihak. Sebagaimana dinyatakan Pasal 36 (1), yang meliputi “semua perkara yang diajukan para pihak kepadanya…. “. Degan demikian, seperti dalam abitrase tradisional, cara compromis dapat disepakayi jika jurisdiksi Mahkamah bersandar pada perjanjian ad hoc. Memang ini bukan satu-satunya cara menyatakan persetujuan terhadap juridiksi Mahkamah, dan sesungguhnya tidak ada syarat yang khusus, oleh karena itu dalam perkara Corfu Charter[6]sebuah surat yang ditujukan kepada Register oleh Wakil Menteri Luar Negeri Albania telah dianggap mencukupi sebagai pernyataan kesetujuan pihak Albania. Lagi pula, karena dalam Statuta tidak terdapat syarat-syarat kesetujuan para pihak sebelumn bisa mengajukan permohonan kepada Mahkamah, ada kemungkinan untuk mengemukakan penolakan adanya jurisdiksi. Dalam kasus demikian Mahkamah melaksanakan pemberlakuan sepihak terhadap pihak lain yang meminta pemeriksaan perkara, tanpa menggugat perihal jurisdiksi, ini dianggap sebagai penerimaan atas jurisdiksi, boleh dikata hampir menyerupai suatu “ (estoppel by Conduct”[7]. Arena itu persetujuan dapat dinyatakan secara tegas ataupun diam-diam, dan dapat disimpulkan dari suatu tindakan atau serangakaian tindakan yang terus menerus[8].
Meskipun demikian, akan lebih baik apabila kesetujuan itu diberikan terlebih dahulu, dan Pasal 36 (1) melanjutkan dengan kalimat “…. dan semua masalah terutama yang diatur dalam Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa atau dalam perjanjian-perjanjian serta konveksi-konveksi yang berlaku”. Dalam kenyataannya Charter tidak memuat ketentuan-ketentuan mengenai jurisdiksi yang disepakati, wewenang Dewan Keamanan untuk merekomendasi para anggota bahwa mereka menyerahkan sengketa-sengketa hukum kepada Mahkamah, yang dinyatakan dalam Pasal 36 (3), oleh mayoritas hakim yang menangani kasus Corfu Channel tidak dipandang sebagai termasuk kewajiban yang harus dilaksanakan para pihak (walaupun pandangan itu “arbiter” karena Mahkamah memutuskan adanya jurisdiksi berdasarkan surat dari pihak Albania). Akan tetapi, terdapat banyak “traktat dan konvensi yang berlaku” yang menentukan penyerahan penyelesaian sengketa kepada Mahkamah[9]. Perku diingat bahwa tujuan pokok dari General Act 1928 adalah untuk mengukuhkan jurisdksi Mahkamah Permanen melalui cara ini, dan kita juga telah menyinggung tujuan serupa dari European Convention for the Pasific Settlement of Disputes 1957. Sebelumnya kita sudah melihat bagaimana sejumlah badan khusus dalam konstitusi mereka memiliki “compromise clause” untuk meredam perselisihan-perselisihan antar anggota-anggota yang memberlakukan bab konvensional mengenai jurisdiksi. Mahkamah setiap tahun menerbitkan teks klausula kompromis dalam traktat-traktat yang berlaku didalam Yearbook-nya. Ketentuan khusus dimuat dalam Pasal 37 menyangkut suksesi ICJ atas jurisdiksi yang tercantum dalam traktat-traktat yang dibuat sebelum tahun 1945 mengenai jurisdiksi PCIJ[10]. Yang terakhir juridiksi diperoleh berdasarkan Pasal 36 (2), “optional clause”, yang dengan mana ‘negara-negara Peserta Statuta ini setiap saat dapat menyatakan bahwa mereka terikat ipso facto dan tanpa perjanjian khusus, dalam hubungannya dengan negara lain yang memikul kewajiban serupa, terhadap jurisdiksi Mahkamah dalam semua sengketa hukum menyangkut perkara :
a.     Penafsiran sebuah perjanjian
b.    Suatu persoalan hukum internasional
c.    Adanya suatu fakta yang jika terjadi akan menimbulkan pelanggaran terhadap kewajiban internasional
d.   Sifat dan besarnya ganti rugi yang diberikan terhadap pelanggaran suatu kewajiban internasional.
     Hal diatas menandai besarnya cakupan di mana negara-negara bersedia untuk menerima jurisdiksi wajib di tahun 1945, seperti telah kita lihat, jurisdiksi itu menjadi wajib sifatnya sekali hal itu di terima/diakui secara sukarela (once it is voluntary accepted). Tidak ada keharusan untuk membuat suatu deklarasi menurut Pasal 36 (2)[11]dan, sesungguhnya, hanya berbeda dalam tingkat kesetujuan dengan jurisdiksi yang timbul berdasarkan Pasal 36 (1).
     Deklarasi ini dapat dibuat untuk “waktu tertentu” (Pasal 36 (3)) dan, dalam kenyataannya, sering dibatasi pada periode tahun tertentu. Tingkat keefektifan pemberian juridiksi wajib dibatasi oleh tiga factor. Pertama, deklarasi itu efektif “dalam hubungannya dengan negara lain yang menerima kewajiban serupa” dan, menurut ketentuan Pasal 36(3), dapat dibuat “dengan syarat imbal balik”. Oleh karena itu masalah pokok sengketa harus tercakup adanya dalam syarat-syarat penerimaan jurisdiksi kedua pihak, juga dapat menyandarkan kepada reservasi yang dibuat pihak yang lain dan pemberlakuan pembatasan pada jurisdiksi ratione materiae. Faktor kedua, bahwa kedua deklarasi itu harus berlaku langsung agar masing-masing pihak dapat menyandarkan pada pembatasan ratione temporis dari pihak yang lain[12]. Namun demikian, cukuplah jika kedua deklarasi para pihak itu berlaku dan hidup pada saat diajukian permohonan. Mahkamah tidak akan terhalang karena habisnya waktu berlaku sebuah deklarasi yang terjadi selama perkara berjalan[13]. Pandangan yang baik adalah bahwa, sekali sebuah deklarasi dibuat untuk suatu periode waktu tertentu, maka hal tersebut tidak dapat diakhiri secar sepihak sebelum waktu yang ditentukan itu berakhir, karena hal ini jika terjadi akan merusak tujuan dari optinal clause. Walaupun demikian, telah mulai ada praktek di man beberapa negara membuat deklarasi yang bisa diakhiri atas pemberitahuan, dan deklarasi-deklarasi demikian itu, jika digunakan untuk menghindari jangkauan mahkamah terhadap sengketa tertentu, dapat meniadakan penerimaan atas jurisdiksi wajib dan akan memperbaiki keseluruhan penerimaan validitas yang diragukan.
     Faktor yang ketiga, umumnya, timbul pembatasan dalam penambahan reservasi-reservasi ini akan menyampingkan sengketa tertentu atau keseluruhan golongan sengketa dari pengakuan jurisdiksi wajib. Beberapa dari reservasi semacam ini, seperti reservasi Amerika Serikat mengenai masalah-masalh di dalam jurisdiksi domestic Amerika Serikat “sebagaimana telah ditentukan oleh Amerika Serikat” bertentangan dengan prinsip dasar Psal 36 (6) yaitu bahwa Mahkamah akan memutus dengan atau tanpa adanya jurisdiksi dalam peristiwa persengketaan, validitas dan pengaruh reservasi-reservasi demikian belum ditentukan oleh Mahkamah. Meskipun demikian, dalam Norwegian Loans Case dan Interhandel Case (1959) beberapoa hakim menganggap reservasi-reservasi demikian itu tidak berlaku. Hakim Lauterpacht berkeyakinan bahwa reservasi-reservasi itu pada dasaranya tidak berlaku apabila hal itu menyatakan bahwa keselurah penerimaan optional clause tidak berlaku. Hakim-hakim lain berpendapat reservasi yang tidak berlaku dapat diputuskan dari pennerimaan tetap dan sah, dan Court’s Order 22 Juni 1973 dalam kaitan Nucler Test Case member banyak sumbangan terhadap pendapat ini. Reservasi lain yang sangat diragukan adalah bahwa hak untuk mengeluarkan suatu kategori sengketa melalui pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal, dengan akibat yang timbul dari pemberitahuan itu[14]. Dalam kenyataannya ditahun-tahun belakangan ini terlihat adanya suatu “kemunduran dalam optional clause”[15] dari ukuran yang mengarah kepada skeptisisme terhadap kemungkinan jurisdiksi wajib dapat dikukuhkan dalam waktu dekat. Seperti yang dilakukan sekarang, optional clause ditempatkan pada kedudukan yang sangat menguntungkan negara-negara “oportunis” yang menjadi statute tetapi tidak melakukan penerimaan ad hoc sebagaimana menurut Psal 36 (2) apabila kepentingannya sendiri memerlukan penyelesaian secara hokum untuk sengketa-sengketanya dan mengabaikannya jika negara itu merasa tidak berkepentingan.
Pasal 36 (5) mengatur peralihan wewenang oleh ICJ dari jurisdiksi yang diberikan kepada PCIJ melalui deklarasi-deklarasi berdasarkan Pasal 36 (2) lama, seperti Pasal 37 mengatur peralihan wewenang untuk “jurisdiksi konvensional”. Kiranya perlu untuk dikemukakan bahwa apabila sebuah negara tidak menjadi Peserta Statuta ICJ sampai beberapa waktu setelah Statuta berlaku, pernyataan negara itu akan kadaluarsa bersamaan dengan berakhirnya riwayat PCIJ dan karenanya tidak dapat lagi dipandang sebagai deklarasi “yang masih berlaku” untuk mana Pasal 36 (5) ditetapkan[16].
Disamping jurisdiksi terhadap permasalahan pokok, Mahkamah juga memiliki jurisdiksi insindental berkenaan dengan tiga hal, dengan melalui proses-proses perkara secara interlocutor (rekan dialog). Hal yang pertama adalah “preliminary objection”. Apabila suatu pihak mempertanyakan jurisdiksi Mahkamah, maka hal ini ditangani oleh Mahkamah sebagai tambahan pada putusannya dan tanpa mengurangi arti keputusan mengenai pokok permasalahan yang sebenarnya. Hal kedua adalah permohonan campur tangan (intervene), Menurut Pasal 63 Statuta terdapat hak untuk campur tangan bagi negara Peserta suatu perjanjian di mana penafsiran perjanjian itu menjadi pokok perkara dalam suatu sengketa. Semua permohonan untuk campur tangan lainnya dikabulkan atau tidaknya bergantung pada kebijaksanaan Mahkamah berdasarkan Pasal 63 Statuta, mahkamah harus diyakinkan bahwa negara itu benar-benar mempunyai kepentingan yang bersifat hukum yang dipengaruhi oleh keputusan perkara itu. Permohonan intervene demikian ada beberapa macam, dan permohonan Malta untuk ikut campur dalam perkara Libya-Tunisia tahun 1981 telah ditolak Mahkamah karena Malta tidak dapat memenuhi syarat pengujian sebagaimana dikemukakan diatas. Agaknya masih akan tetap menjadi pernyataan apakah harus ada mata rantai jurisdiksi antara para pihak yang sesungguhnya dengan pihak yang memohon campur tangan.
Bentuk interlocutory proceeding ketiga adalah permohonan untuk memerintahkan tindakan-tindakan sementara (interim measures) untuk melindungi hak-hak para pihak berdasarkan Pasal 41 Statuta. Mengenai hal ini yurisprudensi memperlihatkan bahwa keputusan Mahkamah akan bergantung kepada kedua factor yang saling berhubungan. Faktor pertama adalah kemungkinan bahwa Mahkamah memiliki jurisdiksi atas perkara, yang kedua adalah nilai urgensi dan risiko kerugian yang tidak dapat diganti apabila perintah perlindungan tidak dikeluarkan. Di sini harus ada pembuktian yang kuat (prima facie evidence) dengn dasar yang tepat mengenai adanya yurisdiksi dan juga harus ada risiko kerugian pada kepentingan suatu negara yang tidak dapat diganti dalam keputusan akhir[17].
Meskipun telah banyak gagasan dan diskusi yang dilakukan terhadap masalah upaya untuk mendorong penggunaan Mahkamah serta memperluas jurisdiksinya[18], namun nampaknya hanya ada sedikit prospek dalam waktu dekat ini untuk meningkatkan aktivitas melalui Mahkamah. Dalam dua dasawarsa pertama setelah tahun 1945 Mahkamah baru mengeluarkan tiga belas keputusan dan dua belas advisory opinion. Sulit untuk bisa diharapkan bahwa keputusan luar biasa dalam perkara South West African akan mampu menaikkan reputasi Mahkamah atau menambah kepercayaan yang memang perlu untuk mendorong penggunaan Mahkamah oleh negara-negara baru. Meskipun demikian adanya, pada tahun 1972 Mahkamah telah mengubah peraturan-peraturannya menyangkut tiga hal dengan maksud mendorong negara-negara lebih banyak memanfaatkan jurisdiksi Mahkamah, cara lainnya adalah dengan Chamber of the Court yang dipermudah dengan penyerahan kepada para pihak sebesar mungkin pengaruh mereka terhadap komposisi Ad Hoc Chamber. Prosedur-prosedur jalannya pemeriksaan perkara perdebatan dan perkara penasihatan telah diusahakan untuk lebih cepat. Dan saat ini mahkamah dapat menentukan preliminary objection seperti halnya penyelesaian perkara pada tingkat pertama, dengan demikian menghapus pemeriksaan ganda terhadap masalah-masalah yang sama pada tingkat pendahuluan pada tingkat pokok perkara[19].

4.      Hukum yang Berlaku
Masalah hukum yang berlaku dikemukakan dalam Pasal 38 dan merupakan pernyataan mengenai sumber-sumber utama hukum internasional. Perlu dicatat bahwa Pasal 368 (c) – prinsip-prinsip hokum yang dikenal oleh bangsa-bangsa beradab - merupakan pernyataan bantahan bahwa lacuna ada dalam hokum yang mengakibatkan suatu sengketa menjadi “non-justicuabel’. Referensi dalam Pasal 38 (2) kepada ‘keputusan-keputusan hukum” sebagai “bahan pelengkap bagi penentuan peraturan-peraturan hukum” juga dipandang tepat dengan catatan bahwa, meskipun Pasal 59 mencegah berlakunya doktrin kaku yang berkembang dari stare decisis, ketentuan itu memungkinkan Mahkamah memanfaatkan keuntungan dari kepermanenannya dengan melihat keputusan-keputusan terdahulu sebagai bahan pembuktian mengenai apa yang menjadi hukukmnya. Sudah barang tentu bahwa hal ini tidak terbatas pada melihat kepada keputusan-keputusan itu, biasanya dapat dijadikan pegangan. Wewenang untuk memutus ex aequo et bono (yang dalam beberapa perkara terdapat pada perjanjian khusus para pihak), walaupun secara teoritis dianggap penting, namun mungkin akan menyulitkan kita, karena hal itu merupakan kewenangan yang sejauh ini belum pernah digunakan oleh Mahkamah.

5.      Peranan Institusional Mahkamah
a.     Hubungan dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa
Apabila Statuta PCIJ sepenuhnya terlepas dari Convenant Liga Bangsa-Bangsa, maka statute ICJ merupakan “bagian integral” dari Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa dari ICJ dengan sendirinya merupakan “organ peradilan utama Perserikatan Bangsa-Bangsa” (Pasal 93 (1)), ini tidak sama dengan pada Liga, akan tetapi kesamaan dengan Liga adalah bahwa penyelesaian hokum oleh Mahkamah menjadi suatu bagian penting dari prosedur-prosedur umum untuk penyelesaian yang dimuat dalam konstitusi organisasi politik umum, walaupun tanpa pemberian kekuasaan untuk mengenakan penyelesaian peradilan wajib kepada organ yang disebut terakhir itu[20].
Majelis Umum dan Dewan Keamanan diberi peranan yang sama dalam proses pemilihan hakim sebagaimana yang diberikan kepada Assembly dan Council Liga, dan Dewan Keamanan mendapat peran yang sama seperti Concil Liga berkenaan dengan pelaksanaan keputusan yang dikeluarkan Mahkamah. Wewenang pelaksaan keputusan ini, yang dalam semua system hukum sangat penting bagi badan eksekutif pemerintah untuk memegang dan menggunakannya dalam upaya akhir, lebih efektif daripada badan peradilan itu sendiri, yang sudah barang tentu sangat penting bagi efektifnya proses penyelesaian secara hukum[21]. Menurut Convenant Liga, Council diberi kekuasaan untuk “mengusulkan langkah-langkah apa saja yang harus dilaksanakan guna memberlakukan” keputusan-keputusan Mahkamah (Pasal 13 (4)).
Dalam Charter, Pasal 94 (2) mengatur :
“Apabila suatu pihak dalam suatu perkara tidak memenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh suatu keputusan yang dikeluarkan Mahkamah, pihak yang lain dapat meminta bantuan kepada Dewan Keamanan, yang jika dianggap perlu, dapat mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi atau memutuskan tentang tindakan-tindakan yang diambil guna melaksanakan keputusan itu”.
Hal ini, karenanya, akan memperkenankan penggunaan sebagai upaya akhir,    tindakan tindakan oemaksaan (enforcement measures) dari Bab VII meskipun Dewan Keamanan tidak dituntut untuk bertindak demikian. Faktor-faktor, yang sebagian besar bersifat politik, yang cenderung memperlemah ketentuan Bab VII, telah dikemukakan[22]. Dalam hubungan hal khusus ini perlu  ditambahkan mengenai keengganan Uni Soviet untuk menggunakan Mahkamah serta keberatan yang mungkin saja dikeluarkan terhadap usaha penggunaan Pasal 94 dalam kaitan dengan apa yang dimaksud Pasal tersebut. Untunglah, negara-negara jarang menolak untuk mematuhi atau melaksanakan keputusan-keputusan Mahkamah, penolakan Albania untuk membayar ganti rugi yang diputuskan dalam perkara Corfu Channel serta penolakan Iceland untuk mematuhi keputusan dalam perkara Fisher Jirisdiction merupakan kekecualian (yang mana juga harus ditambahkan penolakan Iran untuk mematuhi perintah Mahkamah mengenai pelepasan sandera-sandera warga Amerika Serikat)[23]. Meski demikian, perlu dicatat bahwa pelaksanaan institusional lebih merupakan hal mustahil dan pihak yang menang dalam perkara akan dibiarkan dengan tindakan-tindakan sendiri sejalan dengan kewajiban-kewajiban berdasarkan Charter PBB, khususnya Pasal 2 (4).
Tidak ditemukan adanya prosedur untuk mengubah Statuta PCIJ, oleh karena itu diselenggarakan konferensi khusus seluruh negara penandatangan Statuta pada Tahun 1929, yang kemudian melaporkan mengenai beberapa perubahan Statuta kepada Assembly Liga yang selanjutnya Assembly “mensahkannya” dalam bentuk sebuah Protokol yang terbuka untuk ditandatangani. Barulah pada tahun 1933 Protokol itu dapat diberlakukan, ini disebabkan karena keterlambatan sejumlah ratifikasi dan bahkan kemudian, Protokol itu dinyatakan berlaku walaupun masih kekurangan tiga ratifikasi namun Council berhasil diyakinkan bahwa tidak ada keberatan dari negara terkait. Akan halnya ICJ mata rantai institusional sedemikian erat untuk melaksanakan Pasal 69 Statuta yang mengatur amandemen Statuta dengan cara yang sama, atau tepatnya dengan proses yang sama seperti amandemen Charter itu sendiri, tunduk pada ketentuan yang dibuat begi turut sertanya negara-negara peserta tetapi bukan anggota PBB. Pasal 70 memberi wewenang kepada Mahkamah untuk mengusulkan suatu amandemen.
Dalam masalah anggaran kaitannya dengan PBB adalah seerat seperti halnya hubungan PCIJ dengan Liga. Pasal 33 Statuta mengatur tentang pengeluaran-pengeluaran Mahkamah yang dipikul oleh PBB “dengan cara yang ditentukan oleh Majelis Umum”. Anggaran Mahkamah, karenanya, merupakan sebagian dari keselurahan anggaran PBB yang disetujui oleh Majelis Umum berdasarkan Pasal 18 Charter. Perkiraan jumlah anggaran dipersiapkan Kantor Pendaftaran (Registry) yang bekerjasama erat dengan Sekretaris Jenderal, hal ini membuat Kantor Pendaftaran secara administrative memiliki kebebasan dalam menggunakan dana-dana itu sesuai dengan alokasi yang telah ditentukan. Bagi negara yang bukan anggota PBB namun menjadi anggota Statuta, Majelis Umum menetapkan suatu persentase sumbangan/iuran tahunan yang dilakukan berdasarkan Pasal 93 (2) Charter, Mahkamah sendiri menentukan besarnya biaya-biaya dari negara-negara yang berperkara di muka Mahkamah berdasarkan Pasal 35 (3) Statuta ICJ.
Hubungan antara Mahkamah dan PBB dengan nampak sangat erat. Meskipun demikian, Mahkamah adalah “organ peradilan”, sehingga hubungan itu harus sedemikian rupa di mana kebebasan peradilan Mahkamah diakui. Oleh karena itulah Mahkamah, menjadi satu-satunya organ utama yang tidak mengajukan laporan tahunan mengenai kegiatan-kegiatannya yang kemudian menjadi dasar diskusi dan mungkin kritik, di dalam Majelis Umum. Kekhawatiran bahwa hubungan yang erat itu akan melanggar kemerdekaan dan integritas Mahkamah sebagian besar mungkin keliru karena hal itu mengabaikan peranan politik yang banyak dimainkan oleh Mahkamah[24] serta pertumbuhan pentingnya peranan Mahkamah dalam perkembangan konstitusional PBB dan badan-badan khusus, jika dibandingkan dengan peranannya sebagai hakim (adjudicator) terhadap sengketa-sengketa antar negara. Sekarang kita beralih kepada peranan “konstitusional” ini.
b.    Opini-Opini Nasihat
Kita telah melihat bahwa tidak ada organisasi internasional yang mempunyai locus standi di hadapan Mahkamah sebagai pihak dalam kasus perdebatan (contentious case), ini merupakan akibat dari ketentuan “hanya negara” dalam Pasal 34 (1). Satu-satunya kesempatan berpartisispasi dalam kasus/perkara-perkara demikian yang dipikirkan bagi organisasi-organisasi internasional adalah menyampaikan informasi yang berkenaan dengan kasus-kasus kehadapan Mahkamah[25] , yang mana organisasi-organisasi politik internasional berhak melakukannya berdasarakan Psal 34 (2) baru dan yang menyatakan “apabila konstruksi dari perangkat konstitusi (organisasi tertentu) ….. atau suatu konvensi internasional yang disahkan di bawahnya menjadi persoalan dalam suatu perkara dimuka Mahkamah …..” (Pasal 34 (3)).
Sebaliknya, yurisdiksi penasihatan dari Mahkamah disediakan bagi organisasi-organisasi tidak kepada negara-negara. Namun, berlainan dengan suatu keputusan dalam perkara perdebatan, suatu opini nasihat (advisory opinion) tidak dengan sendirinya memiliki kekuatan mengikat. Opini nasihat tidak dapat menciptakan suatu res judicata[26]dan tegas-tegas tidak ada para pihak. Oleh karena itu opini nasihat merupakan suatu pernyataan yang jauh “lebih lemah” mengenai hokum disbanding dengan suatu keputusan, dalam arti hukum tegas, keefektifan moral dan politis pendapat nasihat merupakan persoalaan lain, dan para hakim itu sendiri telah mengatakan “semua konsekuensi moral melekat pada martabat dari organ yang mengeluarkan opini itu …..[27] atau “kedudukan hukum sebagaimana ditegaskan oleh Mahkamah”[28].
Hak untuk meminta suatu pendapat nasihat adalah suatu hak asli (original right) berdasarkan Pasal 96 (1) Charter yang diperuntukan bagi Majelis Umum dan Dewan Keamanan[29]. Hak itu merupakan sebuah hak derivative (derivative right) (dalam arti diberikan oleh Majelis berdasarkan Pasal 96 (2)) bagi ECOSOC, Dewan Pewalian, Komite Interim dan Komite mengenai Permohonan-Permohonan untuk Peninjauan Kembali Keputusan-Keputusan UN administrative Tribunal –semua organ PBB- dan semua badan khusus kecuali UPU (yang tidak memiliki wewenang untuk meminta pendapat nasihat). Pada majelis dan dewan Keamanan pendapat nasihat itu dapat diminta “mengenai suatu persoalan hukum”, karena hal itu dalam beberapa kesempatan dikemukakan keraguan mengenai apakah suatu masalah yang diajukan merupakan masalah “hukum” atau “politik”. Mengingat bahwa persoalan-persoalan politis berada di luar yurisdiksi Majelis untuk mengajukannya dan yurisdiksi mahkamah untuk memberikannya[30]. Mahkamah tidak pernah berada pada tugas untuk memberikan suatu opini atas permintaan, maka dari itu Mahkamah dapat saja menolak atas dasar kelayakan. Namun demikian, penolakan untuk memberikan suatu opini tidak boleh didasarkan atas alas an bahwa pokok persoalan dari masalah-masalah itu sifatnya “politis”, karena perbedaan antara permasalahan-permasalahan “hukum” dan “politik” punya arti banyak dan tidak dapat dipakai sebagai suatu criteria yurisdiksi. Suatu jawaban yang lebih tepat untuk Mahkamah adalah bahwa yurisdiksi untuk membuat keputusan yang diminta telah diberikan di tempat lain (misalnya kepada Dewan Keamanan atau Majelis Umum) dan tidak dapat ditinjau kembali oleh Mahkamah. Dapat juga dikatakan bahwa hal yang sama bagi organ yang meminta opini nasihat untuk melaksanakan kelayakan dan bahwa melibatkan Mahkamah dalam suatu opini apabila persoalan telah meningkat pada sengketa-sengketa substansial anatara negara-negara Anggota yang mempengaruhi kewajiban-kewajiban mereka, atau apabila oposisi politik terhadap suatu opini menjadi demikian besarnya sehingga opini tersebut tdak akan diterima oleh seluruh Anggota hanya akan merusak reputasi Mahkamah dan menambah kesulitan untuk mendapat suatu solusi akhir terhadap sengketa-sengketa tersebut. Pengalaman yang tidak menyenangkan dari opini nasihat terhadap perkara Certain Expenses mendukung pandangan ini. Namun demikian sama halnya apabila baik organ yang meminta maupun Mahkamah sependapat mengenai kelayakan memberikan opini nasihat, maka akan merusak reputasi Mahkamah apabila Mahkamah menolak untuk mempertimbangkan kata awal “politis” dan implikasi-implikasi dari masalah di hadapannya. Suatu opini yang didasarkan atas alas an hukum semata-mata dan diabstrakan dari konteks politik yang dimintakan tidak akan mungkin memberikan suatu kemanfaatan.
Akan halnya dengan badan-badan khusus sebuah klausula yang cukup baik, yang dipakai pertama kali dalam perjanjian hubungan dengan ILO, memberikan pembatasan yang lebih ketat lagi terhadap lingkup pendapat yang dimintakan, klasula itu menyatakan “mengenai masalah-masalah hukum yang timbul dalam lingkup aktivitas-aktivitasnya selain daripada masalah-masalah mengenai hubungan saling menguntungkan dari Organisasi dan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau badan-badan hukum”[31]. Juga terdapat suatu keharusan untuk memberitahukan ECOSOC mengenai permintaan itu.
Akhirnya, terdapat pembatasan yang sekarang benar-benar ditetapkan dalam yurisprudensi Mahkamah bahwa suatu advisory opinion tidak akan diberikan apabila sebenarnya dimungkinkan untuk dilakukan pemberian keputusan mengenai suatu sengketa antara para pihak, yang salah satu di antaranya menolak ikut serta dalam pemeriksaan perkara[32]. Namun demikian, berlakunya pembatasan ini harus dipertimbangkan dengan mengingat pendapat Mahkamah dalam Perkara Peace Treaties[33] dan Perkara Namibia[34]). Dalam perkara pertama Mahkamah menekankan bahwa opininya diberikan terhadap permintaan sebuah organ, bukan kepada negara-negara, mereka tidak terikat secara hukum, dan bahwa dalam prinsip Eastern Carelia Case tidak berlaku apabila, seperti dalam perkara ini, pendapat itu semata-mata merupakan persoalan prosedural dan bukan menyangkut pokok permasalahan perkaranya. Dalam perkara yang kedua Mahkamah berpendapat bahwa tidak ada sengketa yang diminta keputusannya antara negara-negara terkait (seperti halnya ketika Mahkamah memutuskan dalam tahun 1966 yang menolak locus standi dari Ethiopia dan Liberia) dan prinsip Eastern Carelia karenanya tidak dapat dipakai. Kalimat yang dikemukakan oleh Mahkamah, yaitu bahwa “Jawaban dari Mahkamah, sebagai sebuah organ Perserikatan Bangsa-Bangsa mewakili keikutsertaanya dalam kegiatan-kegiatan Organisasi dan pada prinsipnya, tidak boleh ditola”[35] memperlihatkan bahwa penolakan dilakukan dengan perasaan berat, untuk diketahui bahwa tidak ada kasus yang pernah ditoal oleh ICJ.
Meskipun demikian, karena ada batas terhadap yurisdiksi untuk memberikan opini-opini dan terhadap kekuasaan meminta opini-opini itu, maka suatu “masalah pendahuluan/preliminary questions’ mengenai kompetensi yurisdiksi dapat terjadi. Namun, perlu dicatat bahwa meskipun oleh Pasal 68 Statuta dikatakan “dalam melaksanakan tugas-tugas member nasihatnya Mahkamah akan selalu dipedomani oleh ketentuan-ketentuan…. Yang diberlakukan dal perkara-perkara perdebatan sepanjang ketentuan-ketentuan itu dapat diterapkan” tidak ada tahapan tersendiri untuk dikeluarkannya keputusan “penolakan pendahuluan/preliminary objection”, oleh karena masalah yurisdiksi dipandang sebagai bagian dan paket dari opini pokok perkara.
Sebelum melangkah kepada masalah-masalah konstitusional khusus untuk mana pendapat-pendapat/opini-opini itu diminta, adalah perlu untuk membedakan antara apa yang disebut opini “compulsive” dan opini nasihat biasa. Karena kurangnya hubungan langsung para pihak kepada Mahkamah. Organisasi-organisasi telah mengupayakan suatu saran untuk mana perselisihan pendapat dengan negara-negara dapat, dengan melalui perjanjian terlebih dahulu yang menetapkan cara lain untuk memperoleh opini nasihat dan untuk penerimaan pendapat itu sebagai opini yang mengikat, diserahkan kepada Mahkamah. General Convention on Privileges and Immunities 1946 serta Headquarters Agreement between the UN and the USA 1947 keduanya memakai sarana tersebut. Tidak perlu dikemukakan, bahwa kekuatan mengikat opini itu berasal dari perjanjian pendahuluan dan bukan dari opini itu sendiri.
Selain itu, opini nasihat digunakan untuk tiga tujuan pokok. Pertama opini nasihat dipaka sebagai cara untuk menjamin wewenang penafsiran ketentuan-ketentuan Charter, atau ketentuan dari dokumen-dokumen konstitusional badan-badan khusus ; Perkara Admissions and Competence[36], Perkara IMCO[37], ataupun Expenses Case 20 Juli 1962, merupakan contoh-contoh yang nyata, Meskipun demikian, perlu ditambahkan bahwa penafsiran-penafsiran ini adalah “otoritatif” dan tidak mengikat secara mutlak (strictly binding). Charter, sudah jelas, tidak mempunyai ketentuan khusus mengenai penyelesaian sengketa-sengketa atau penafsiran – tidak ada yang disebut “compromissory clause” – juga Mahkamah tidak diberi suatu wewenang peninjauan kembali secara hukum atas legalitas dari tindakan organ-organ PBB berdasarkan permintaan dari negara anggota (selain cara dari UN Adminstrative Tribunal yang akan dibahas di bawah nanti).
Yang kedua, opini nasihat digunakan untuk menjadi pedoman beberapa organ dalam melaksanakan tugas-tugas mereka. Perkara-perkara Peace Treaties[38], Reservations[39],Reparatons[40], South West Africa (voting)[41], UN Administrative Tribunals[42],ILO Administrative Tribunal(UNESCO)[43] dan Namibia[44] semuanya itu merupakan perkara-perkara opini nasihat jenis ini. Khususnya dalam kaitan dengan dua tujuan inilah bahwa Sekretaris Jenderal PBB memenuhi peranan Omics curiae, yang memberikan informasi baik melalui pernyataan-prnyataan tertulis dan dokumentasi dan/atau dengan cara argumentasi lisan sebagai nasihat kepada Mahkamah. Ketiga, opini nasihat dipakai sebagai cara memperkenalkan suatu jenis cara lain dari keputusan-keputusan pengadilan-pengadilan administrative. Rincian dari prosedur-prosedur berdasarkan isi Pasal XII Statuta ILO Adminitrative Tribunal dan Pasal XI Statuta UN Adminitrative Tribunal akan dipaparkan dalam pembahasan selanjutnya. Dasar-dasar atas mana dapat diminta opini nasihat agak berbeda antara kedua Statuta itu, dan selain dari itu, merupakan wewenang Governing Body dan administrative Board of the Pensions Fund yang dapat menolak keputusan ILO Tribunal, sedangkan dalam kaitan UN Administrative Tribunal penolakan ini dapat dikemukakan oleh negara anggota, Sekretaris Jenderal atau individu yang dikenai keputusan tersebut. Dengan demikian Statuta UN Administrative Tribunal menempatkan anggota staf individu pada kedudukan yang sama pada tahap ini, sedangkan ILO Administrative Tribunal tidak. Kesulitan lainnya adalah untuk menjamin beberapa jenis kesamaan di muka ICJ sekalinya perkara permintaan nasihat diajukan, karena individu sama sekali tidak disebut dalam Statuta Mahkamah sebagai pihak yang memiliki locus standi. Kesulitan ini ditemukan dalam Pasal XI Statuta UN Administrative Tribunal dengan cara meminta Sekretaris Jenderal “untuk menyerahkan kepada Mahkamah opini-opini mengenai orang yang berkenaan dengan….” Dan melalui rekomendasi bahwa negara-negara dan Sekretaris Jenderal membatasi diri mereka pada pernyataan-pernyataan tertulis, sebelum mereka mengemukakan pernyataan-pernyataan lisan. Tetapi dalam kaitan ILO Tribunal, Statuta badan ini tidak memuat ketentuan-ketentuan mengenai perwakilan pendapat-pendapat individu di muka Mahkamah. Oleh karena itu dalam ILO Administrative Tribunal (UNESCO) Case[45] tahun 1956 ICJ menolak memberikan nasihat bagi anggota staf baik dalam bentuk suatu memorandum tertulis atau pernyataan lisan, dan UNESCO sendiri menyampaikan kepad Mahkamah suatu pernyataan tertulis untuk dijadikan nasihat bagi anggota-anggota staf. Mahkamah sendiri menyelenggarakan pemeriksaan perkara secara lisan namun menyatakan bahwa tidak ada persamaan antara para pihak, meskipun demikian Mahkamah mengakui bahwa ketentuan dalam Statuta ILO Tribunal pada hakikatnya dimaksudkan untuk melindungi para pegawai, namun ditambahkan oleh Mahkamah bahwa “tidak adanya kesamaan yang tidak nyata atau yang nominal tidak semestinya membiarkan kekeruhan atau penggagalan obyek pokok perkara tersebut”[46]. ICJ menolak memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang memerlukan suatu opini, selain dari yang berkenaan dengan kompetisi pengadilan, atas pertimbangan bahwa masalah itu tidak menampakkan suatukarakter masalah “yurisdiksi” atau “kesalahan fundamental” yang menjadi pokok utamanya yang atas mana, berdasarkan Pasal XII, dapat dimintakan opini Mahkamah. Dalam Application for Review of Judgment No. 158 of the UNAT[47] ICJ kembali menegaskan bahwa persamaan (equality) dilengkapi dengan kesempatan untuk mengajukan pernyataan-pernyataan tertulis dan, bagaimana juga meperkuat keputusan UN Administrative Tribunal, opini-opini itu, sekalinya diberikan, akan mengikat terhadap pengadilan-pengadilan dan organisasi-organisasi yang terkait secara keseluruhan.
Persoalan khusus ini telah dibahas secara panjang lebar, bukan semata-mata karena hal ini mempunyai riwayat yang berbelit, tetapi karena persoalan ini menampakkan perkembangan luar biasa di mana kepentingan-kepentingan individu dibawa ke muka ICJ untuk diputus dengan cara meminta opini, dan sedikit banyak mengurangi kesulitan-kesulitan yang ada dalam kaitan pemanfaatan keberadaan Mahkamah untuk tujuan ini di mana sebelum itu, pada dasarnya, “hanya negara-negara” yang dapat menjadi pihak-pihak dalam perkara di muka Mahkamah[48]. Kita juga akan menemui permasalahan serupa dalam hubungannya dengan European Court of Human Rights.


[1] Rosenne,The internasional of justice,.1957.Hlm.136.
[2] Bowett.D.W.the law of internasuional institusional,(terjemahan),universitas cambridge,1992.Hlm.337.
[3] Lihat general assembly resolution 86(I),11 desember 46,dengan alasan terjadi senjang waktu berakhirnya liga bangsa-bangsa dan pembentukan persyarikatan bangsa-bangsa, ILO diberitugas untuk mengurus rencana mempensiunkan hakim-hakim yang bertugas dalam PCIJ.
[4] Weissberg,the internasional status of the UN,1961,Hlm,195.
[5] Bandingkan dengan pasal14 covenen liga yang menyebutkan tentang opini-opini yang diminta oleh assembly atau council “atas suatu sengketa atau maslah”
[6] Pleriminary objection,1948,I.C.J report.
[7] Mioroties schol case,P.C.I.J seri A,no,15.
[8] Sebagaimana dalam monetary gold cas,I.C.J report 1948,sejauh menyangkut inggris,amerika serikat,perancis dan itali.
[9] Dapat dicatat keengganan mahkamah untuk memperkenenkan suatu pihak bahwa traktat itu batal atau berakhir masa berlakunya dan kewajiban-kewajiban mengajugganan perkara yurisdiksi karenanya berakhir fhisheris yurisdiktion case. Yang dputus tanggal 2 february 1973.
[10] Lihat south west african case,1950 dan I.C.J report 133.
[11] Sampai tahun 1972 hanya 46 negara dari jumlah 145 negara yang melakukan hal itu.
[12]Lihat elektronic company case,
[13] Nottebohm case 1953,I.C.J 111
[14] Pernyataan portugal tanggal 19 desember 1955.
[15] Artikel waldock dalam britis year book of internasional Law.32 1955-1956.
[16] Aerial inciden of july,27,1955.
[17] Mendelson,BYIL,46,Hlm.259.
[18] Jenks,the prospect for internasional adjudication,1964,yang memuat uraian komparatif mengenai upaya-upaya ini.
[19] American jurnal of internasional Law,67,1973.Hlm.195.
[20] Lihat bowell.Op.Cit,tentang badan-badan khusu.
[21] Schachter,”enforcement of internasional judical  and arbital decision” A.J.I.L 54,1060..atau juga lihat reismen”the rool of economic agencies in the inforcement of internasional judgement and award”,internasional organization,1965,Hlm.929.
[22] Lihat pembahasan pembuka
[23] Lihat anglo-arranian oil case
[24] Ini merupakan isu sentral thesis rossene,the internasional court of justice,
[25] I.L.C
[26] Hakim azevedo dalam advisory opinion on the peace treaties,I.C.J report 1950,Hal.80.
[27] Hakim lauterpact dalam advisory opinion on the south awest frican committee .I.C.J report 1956.Hlm.47.
[28] G.A.O.R(IV) plenary 536.
[29] Krylov dan zoricic dalam advisory opinion on admission,I.CJ report 1958.
[30] Greig,”the advisor jurisdiction of the I.C.J and the sttelment of the disputes between state”.1966.Hlm.58.
[31] Relationship agreement,pasal 11
[32] The eastren carelia case,PCIJ,seri B,no.5 sebuah opini yang dimita oleh liga.
[33] I.C.J report 1950
[34] I.C.J report 1972.alinea 30-35.
[35] I.C.J report 1950 hal.71.
[36] I.C.J report 1948, 1950, hLm.4
[37] I.C.J report  1960,
[38] Ibid.1950.hlm.221
[39] Ibid.1951.hlm.15
[40] Ibid.1949.hlm.174
[41] Ibid.1955.hlm.67
[42] Ibid.1954.hlm.47
[43] Ibid.1956.hlm.77
[44] Ibid.1971.hlm.16
[45] Ibid.1956.hlm.77
[46] Ibid.hlm.86
[47] Advisory opinion 12 juli 1973.I.C.J report 1973.Hlm.167.
[48] Hakim morozov menolak sebagian besar bahwa prosedur itu bertentangan dari statuta mahkamah,ibid,