www.jakarta-pos.com
diposkan oleh;DWI ANDRIYANTO
mendefinisikan suatu obyek, termasuk hukum dan pelbagai cabang serta sub cabangnya merupakan pekerjaan yang gampang-gamoang sukar. dikatakan gampang karena obyek itu sendri demikian mudah untuk dikenali meskipun hanya pada sisi luarnya saja. dikatakan sukar, sebab substansi dari obyek yang didefinisikan seringkali sukar untuk dipahami atau pemahaman atas obyeknya itu seringkali tidak utuh atau bulat, tetapi dipahami hanya sebagian-sebagian saja. oleh karena itu, dapat dimengerti, bahwa definisi dari para sarjana tentang suatu obyek bisa berbeda-beda antara satu dengan lainnya. namun karena adanya kebutuhan untuk mendefinisikannya, mau tidak mau pendefinisiannya itu harus dilakukan, terlepas dari kekurangan atau ketidak sempurnaannya.
Demikian pula halnya dengan pendefinisian hukum pidana internasional itu sendiri, bukanlah pekerjaan yang mudah untuk dilakukan. dalam rangka untuk mengerti dan memahami hukum internasional, mau tidak mau pendefinisian harus dilakukan. dalam hal ini, berlaku suatu adagium, bahwa adanya suatu definisi dari obyek yang akan dipelajari betapapun tidak sempurnanya, masih lebih baik daripada tidak ada definisi sama sekali. secara ringkas, hukum pidana internasional dapat didefinbisikan sebagai berikut.hukum pidana internasional adalah sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur tentang kejahatan internasional.
Definisi ini tentulah sangat singkat dan umum sehingga belum menggambarkan tentang apa sebenarnya hukum pidana internasional itu. meskipun definisi ini masih sangat singkat dan umum, namun sudah menggambarkan secara singkat tentang apa yang dimaksud dengan hukum pidana internasional. ada dua hal yang secara eksplisit dapat ditemukan dalam definisi ini.
- hukum pidana internasional itu merupakan sekumpulan kaidah-kaidaj atau asas-asas hukum.
- obyek yang diaturnya adalah tentang kejahatan atau tindak pidana internasional.
disamping dua hal yang eksplisit, masih ada lagi hal yang secara implisit terkandung didalamnya yang pada umunya merupakan hal yang sudah biasa dalam suatu ilmu hukum, tetapi tidak dimunculkan didalamnya yakni, tentang subyek-subyek hukum dan apa tujuannya. tegasnya, siapakah yang merupakan subyek dari hukum internasional itu dan tujuan apa yang dikehendaki atau diwujudkannya.
atas dasar itu maka dapatlah dirumuskan definisi yang lebih lengkap tentang hukum pidana internasional, sebagai berikut:
hukum pidana internasional adalah sekumpulan kaidah-kaidah dari asas-asas hukum yang mengatur tentang kejahatan internasional yang dilakukan oleh subyek-subyek hukumnya, untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
berdasarkan definisi ini dapatlah ditarik adanya 4 unsur yang secara terpadu atau saling kait antara satu dengan lainnya, yaitu:
- hukum pidana internasional itu merupakan sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum,;
- hal atau obyek yang diaturnya, yaitu kejahatan atau tindak pidana internasional;
- subyek-subyek hukumnya, yaitu, pelaku-pelaku yang melakukan kejahatan atau tindak pidana internasional;
- tujuan yang hendak dicapai atau diwujudkan oleh hukum pidana internasional itu sendiri.
SEJARAH
Era Abad 16 Masehi
Pada era Kerajaan Romawi dibawah Kaisar Justinianus, dimana dengan kekuatan undang-undang, Justinianus telah memberikan dukungan perdamaian ke seluruh Kerajaan Romawi termasuk jajahanya. Peraturan tentang perang diperjelas dan harus dilandaskan pada sebab yang layak dan benar, diumumkan sesuai dengan aturan kebiasaan yang berlaku dan dilaksanakan dengan cara cara yang benar. Pengaturan pengaturan tersebut berasal dari pengajaran hukum yang diberikan oleh ahli-ahli hukum seperti Cicero dan St Augustine. Mereka yang melakukan tindakan pelanggaran atas hukum kebiasaan dan hukum Tuhan dari suatu bangsa disebut dan dikenal kemudian sebagai kejahatan internasional
Era Pasca Perang Salib
Perkembangan tindak pidana internasional setelah perang salib diawali dengan munculnya tindakan pembajakan di laut, yang dipandang sebagai musuh semua bangsa karena telah merusak hubungan perdagangan antar bangsa yang dianggap sangat penting pada masa itu, namun demikian perang tetap merupakan tindakan yang dipandang tidak layak dan masih dipersoalkan terutama dikalangan para ahli hukum dari berbagai bangsa yang sudah maju pada masa itu.
Era Francisco de Vittoria 1480-1546
Era penjajahan disertai dengan penyebarluasan agama Kristen dengan cara-cara kekerasan dan kekejaman telah berkecamuk terutama yang telah dilakukan oleh Kerajaan Spanyol terhadap penduduk pribumi Indian, pada masa itu munculah seorang professor theologia, Francisco de Vittoria yang memperingatkan kerajaan bahwa ancaman perang dan peperangan tidak dapat dibenakan dengan alasan perbedaan agama, perluasan kerajaan dan kemenangan yang bersifat pribadi sekalipun dengan alasan untuk self defence, maka kerugian atau kekerasan sedapat-dapatnya diperkecil, Pandangan dari Vittoria ini dapat dikatakan sebagai tonggak sejarah bagi perkembangan hukum hukum pidana internasional pada masa yang akan datang
Era Abad 16-18 ,pakar hukum Alberto Gentili, Francisco Suares, Samuel Pufendorf dan Emerich de vattel dan Era Hugo de Groot, 1625
Perkembangan pesat tentang masalah perang di dalam sejarah hukum internasional terjadi pada abad 16-18 ketika penulis-penulis terkenal seperti, Alberto Gentili, Francisco Suarez, Samuel dan Emerich de Vattel telah membahas dan mencari dasar-dasar hukum suatu peperangan. Namun seorang tokoh yang terkenal pada masa itu adalah seorang ahli hukum Belanda, Hugo Grotius yang telah menulis dan menerbitkan sebuah treatise “ the Law of War and Peace in The Tree Books” pada tahun 1625
Pasal 227 Diktat Verssailles tidak dipatuhi
Perjanjian Versailes yang mengakhiri Perang Dunia I, ternyata dalam praktek hukum Internasional tedak berhasil melaksanakan ketentuan pasal 227 yang menetapkan antara lain penuntutan dan penjatuhan pidana atas pelaku kejahatan perang
Era 1920
Pada masa ini telah tampak adanya upaya pembentukan mahkamah pidana internasional terutama setelah terbentuknya liga bangsa-bangsa, upaya ini berasal dari sejumlah ahli hukum terkemuka antara lain Vespasien Pella, Megalos Ciloyanni dan Rafael. Dukungan atas upaya tersebut juga berdatangan dari perkumpulan masyarakat international
Liga Bangsa-Bangsa, 1927
Liga bangsa-bangsa telah membuka era baru dalam sejarah hukum pidana internasional dengan menetapkan bahwa perang agresi atau a war of aggression merupakan internasional crime, bahkan pernyataan LBB tersebut merupakan awal dari penyusunan kodifikasi dalam bidang hukum pidana internasional. Namun demikian pada saat itu pembentukan suatu Mahkamah Internasional yang dapat menetapkan telah terjadinya pelanggaran atas kodifikasi tersebut masih belum secara serius diperbincagkan.
Era Pasca Perang Dunia II
Perang Dunia II telah melahirkan berbagai tindak pidana baru yang merupakan pelanggaran atas perjanjian-perjanjian yang telah ditandatangani di antara Negara anggota liga bangsa-bangsa. Pelanggaran pelanggaran tersebut adalah dalam bentuk kekejaman yang tiada taranya serta pelanggaran atas hukum perang yang tiada bandingnya oleh pihak tentara jerman dan sekutunya, kejadian-kejadian itu telah memperkuat kehendak untk mengajukan kembali gagasan pembentukan suatu Mahkamah Pidana Internasional. Profesor Lauterpacht dan Hans Kelsen yang menegaskan bahwa pembentukan mahkamah itu sangat penti untuk mengadili penjahat perang dan sekaligus membawa akibat penting terhadap perbaikan perbaikan di dalam hubungan internasional.
Nuremberg Trial 1946 (Nazi Jerman)
Jerman dibawah kepemimpinan Adolf Hitler memulai kancah perang dunia kedua dengan menganeksasi Polandia pada September 1939, tepatnya dikota Danzig litzkrieg, pada Tahun 1940, Hitle rmenaklukkan Denmark, Norwegia, Belanda, Belgia dan Perancis. Tahun tersebut merupakan tahun kemenagan NaziJerman. Dalam waktu yang bersamaan dengan perang dunia kedua, bahkan jauh sebelumnya, Hitle rtelah melakukan genosida terhadap bangsa Yahudi hamper diseluruh daratan Eropa. Genosida yang dilakukan oleh Nazi Jerman selanjutnya dikenal dengan istilah holocaust. Secara harafiah ‘holocaust’ berart ideskripsi genosida yang dilakukan terhadap kelompok-kelompok minoritas diEropa dan Afrika Utara selama perang dunia kedua oleh Nazi Jerman
PBB Menetapkan perbuatan-perbuatan sebagai delicta juris gentium
Pada tahun 1947 masalah pembentukan Mahkamah Pidana Internasional diserahkan kepada Internasioanal law Commision, yang terdiri dari kelompok ahli hukum terkemuka dari seluruh Negara , yang dibentuk oleh PBB dan bertugas menyusun suatu kodifikasi hukum internasional, bertitik tolak dari pengalaman-pengalaman sebagai akibat peperangan, maka masayarakat internasional melalui PBB telah sepakat dan menempatkan kejahatan-kejahatan yang dilakaukan semasa peperangan sebagai kejahatan yang mengancam dan merugikan serta merusak tatanan kehidupan masyarakat internasional, kejahatan-kejahatan itu antara lain agresi, kejahatan perang, pembasmian etnis tertentu, pembajakan laut dll.
Resolusi PBB, 21 November 1947
Bahwa sampai dengan awal abad ke-20 hukum pidana internasional belum memasyarakat dikalangan pakar-pakar hukum di Negara yang menganut system hukum common law.
Pengakuan secara internasional terhadap pentingnya internasional criminal law pertama kali terjadi melalui resolusi yang diajukan oleh Sidang Umum Perserikatan bangsa-bangsa tanggal 21 November 1947, resolusi menghendaki dibentuknya suatu panitia kodifikasi hukum internasional. Era Tokyo Trial 1948.Tanggal 23 Desember 1948, berdasarkan keputusan pengadilan internasional di Tokyo, Jepang, tujuh orang pemimpin negara ini pada era Perang Dunia II, menjalani hukuman mati. Pengadilan di Jepang ini merupakan lanjutan dari pengadilan Nurenberg Jerman yang dilakukan untuk mengadili para penjahat perang. Sebanyak 25 orang pejabat Jepang diadili dan 18 di antaranya dijatuhi hukuman penjara. Hideki Toyo, Perdana Menteri Jepang pada era PD II adalah pejabat tertinggi yang diadili di pengadilan internasional Jepang itu dan dijatuhi hukuman mati. Tuduhan yang dinisbatkan kepada para pejabat dan perwira Jepang tersebut adalah, membunuh, menyiksa tawanan yang sakit dan tawanan sipil, menjalankan kerja paksa, merampok barang-barang milik umum dan pribadi, menghancurkan kota-kota dan pedesaan tanpa alasan militer, melakukan pembunuhan massal, pemerkosaan, dan kejahatan barbarisme lainnya terhadap warga sipil di negara-negara yang diduduki Jepang selama PD II.
Aspek Hukum Nasional dan Hukum Internasional Dalam Hukum Pidana Internasional
Pembahasan mengenai aspek hukum dan hukum internasional di dalam kerangka pemikiran tentang hukum pidana internasional senghaja penulis tempatkan tersendiri didalam karya tulis ini. Hal ini di dasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
1. Hukum pidana internasional sebagai sub-disiplin miliki dua sumber hokum yaitu hokum yang berasal dari hukum pidana nasional dan hukum internasional.
2. Kedua sumber tersebut telah membentuk kepribadian ganda ini tidak harus dipertantangkan, tetapi justru harus harus saling mengisi dan melengkapi didalam menghadapi masalah kejahatan internasional.
3. Salah satu perwujudan nyata dari suatu interaksi antara hokum nasional dan hokum internasional terdapat pada lingkup pembahasan hokum pidana internasional dengan objek study tindak pidana yang bersifat transional internasional.
4. Pembahasan aspek hokum pidana nasional dan hokum internasional dalam lingkup hukum pidana internasional akan memberikan landasan berpijak bagi analisis kritis di dalam membahas konsepsi dan karaktereristik dari suatu tidak pidan internasional.
Ketentuan yang di tuangkan dalam konvensi internasional tersebut. Salah satu kewajiban Negara peserta (sekalipun masih diperkenankan adanya reservation) khususnya bagi Indonesia ialah mememasukannya hasil konvensi dimaksud kedalam lingkungan nasional dalam arti antara lain melaksanakan ritifikasi terlabih dahulu atas hasil konvensi, sebelum di tuangkan dalam bentuk suatu undang-undang ksususnya mengenai objek yang menjadi pembahasan di dalam konvensi tersebut.
HUBUNGAN ATARA HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL
Didalam teori hukum internasional, telah berkembang dua pandangan tentang hukum internasional. Yaitu pandangan yang dinamakan voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum internasional dan ada tidaknya hukum internasioonal ini pada kemauan Negara (gemeinwille). Pandangan yang kedua adalah pandangan objektivis yang menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini dilepas dari kemauan Negara (mohctar kusumaatmadja 1989;40)
Alasan diajukannya penganut aliran dualisme bagi pandangan tersebut diatas, pada alasan formal atau pun alasan yang didasarkan kenyataan.alsan terpenting dikemukakan sebagai berikut :
1. Kedua perangkat hukum tersebut mempunyai sumber yang berlainan hukum nasional bersumber pada kemauan Negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama masyarakat Negara.
2. Kedua perangkat hokum itu berlainan subjeknya. Subjek hokum nasional adalah perorangan, baik hukum perdata maupun hukum fublik, subjek hukum internasional adalah negara
3. Sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum internasional menampakan pula perbedaan dalam strukturnya.
Pandangan alira dualisme ini, Mochtar kusumaatmajda (1989;41) telah mengemukakan komentar dan pandangan-pandangannya sebagaiman diuraikan di bawah ini:
1. Bahwa di dalam teori dualisme tidak ada tempat bagi persoalan hirarki atara hukum nasional dan internasional karena pada hakekatnya, kedua perangkat hukum tidak saja berlainan dan tidak tergantungsatu sama lainnya, tapi juga lepas antara satu dan yang lainnya.
2. Sebagai konsekuensi logis dari keadaan sebagaiman digambarkan diatas, tidak akan mungkin ada pertentangan antara kedua perangkat hukum itu, yang mungkin hanya penunjukan saja.
3. Bahwa ketentuan hukum internasional memerlukan tranformasi menjadi hukum nasional sebelum berlakunya dalam lingkunga hukum nasional.
Teori dualisme tidak terlepas dari beberapa kelemahan sebagainman di ungkapkan oleh Mochtar Kusumaatmadja (1989;41-42) sebaai berikut :
1. Teori dasal aliran dualisme yang mengemukakan bahwa sumber gejala hukum baik hukum nasional maupun hukum internasional dadalah kemauan Negara sulit untuk diterima kerena hokum yang ada dan berlaku itu dibutuhkan oleh kehidupan manusia yang beradab.
2. Kebenaran argumentasi aliran mengenai ini berlainan subjek hukum nasional dan internasional di bantah oleh kenyataan bahwa dalam suatu lingkungan hokum seperti hukum nasional, dapatysaja subjek hukum itu berlainan, seperti adanya pembagian hukum perdata dan hukum fublik.
3. Argumentasi kaum dualis yang mengemukakan adanya perbedaan strukrural antara hukum nasional dan hukum internasional, ternyata perbedaan yang dikemukannya hanyalah perbedaan gradual dan tidak merupakan perbedaan yang hakiki atau asasi.
4. Bahwa pemisahan mutlak antara hukum nasional dan internasional tidak dapat menerangkan dengan cara memuaskan kenyataan bahwa dalam prakteknya sering sekali hokum nasional itu tunduk pada atau sasuai dengan dengan hukum internasional.
1. Paham monisme dengan primat hukum nasional
Paham ini mengemukakan bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional, yang utama adalah hukum nasional, sedangkan paham monisme dalam primat hukum internasional mengemukakan bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan internasional yang utama adalah hukum internasional.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja(1989;43-44) mengemukakan bebrapa kelemaha paham monisme dengan primat hokum nasional sebagai berikut :
· kelemahan yang mendasar yang cukup gawat bahwa paham ini terlalu memandang hukum itu sebagai hukum tertulis semata-mata sehingga hokum internasional dianggap bahwa hukum yang bersumberkan perjanjian internasional, suatu hal sebagaimana di ketahui tidak benar.
· pada hakekatnya, pendirian paham kaum monisme dengan primat hukum nasional ini merupakan penyangkalan terhadap adanya hukum internasional yang mengikat.
2. Paham monisme dengan primat hukum internasional
Menurut paham ini, hukum nasional bersumber pada hikum internasional yang merupakan perangkat ketentuan hukum yang hierarki lebih tinggi Mochtar Kusumaatmadja (1989:44) pada dasarnya memyetujui pandangan paham ini, namun demikian ia kurang setuju prihal supermasi hukum intenasional yang di kaitkan dengan hirarki dan pendelegasian wewenang. Terhadap persoalan pandanga monisme dan dualisme ini, Mochtar Kusumaatmadja(1989:45) mengemukan kesimpulan bahwea kedua paham tersebut tidak mampu memberiakn jawaban yang memuaskan. Apabila dari kedudukan suatu perjanjian internasional atau treaty sebaaimana telah diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treaties tahun 1969 dapat dikemukaan dua pasal penting yang releven dengan mesalah keterikatan suatu Negara peserta konvensi terhadap isi ketentuan yang di tuangkan didalam konvensi yang bersangkutan. Kedua pasal ini adalah pasal 27 dan pasal 46.
PENGARUH TEORI MONISME DAN DUALISME TERHADAP PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
Sejak terbentuknya liga bangsa –bangsa tahun 1928 dan dilanjutkan kemudian dengan pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945, masyarakat internasional sampai saat ini. Dominan teori monisme dengan primat hukum nasional atas teori monisme dengan primat hukum internasional delam praktik hukum internasonal, secara nyata tersirat dari mesalh konflik yurisdiksi criminal antara dua Negara dalam kasus tindak pidana narkotika lintas batas territorial.
Kasus United State v. Atuares Machain, 112 dS.Ct.21888 (5 Juni 1992).
Pada tahun 1985 seorang agen khusus Drug Enforcement Agency atau DEA dari Amerika serikat, Enrigue Camarena-Salazar telah diculik, dianiaya dan di bunuh oleh pemasok narkotika di mexico. DEA telah sejak lama berusaha membawa pembunuh agen ini ke Ameriak Serikat untuk mempertanggug jawabkannya perbuatanya tersebut.
Pada tanggal 12 April 1990, Humberto Alvares Machain, seorang dokter warga Negara mexico telah diculikdari kentornya di Guadalajara, mexico oleh bebrapa orang bersenjata dan diterbangkan dengan pesawat terbang pribadi ke Amerika Serikat.
Menyusul penculikan Alvares ini, pemerintah mexico telah mengajukan nita protes melalui saluran Diflomatik kepada Department Luar Negari Amerika Serikat.
Kasus United States v. Verdugo Urguidez, 110.S.Ct.1056 (tanggal 28 Febuari 1990)
Verdugo adlah warga Negara mexico yang bertempat tinggal di Meksikali, Mexico. Verdugo termasuk salah satu anggota gang narkotika yang dicari oleh pihak DEA Amerika Serikat dan juga diduga kuat membanu pembunuhan yang telah dilakukan terhadap agen DEA, Camarena-Salazar pada tahun 1985.
Kasus United States v.Biermann (678 F.Supp.1473) tanggal 9 Febuari 1988
Biemann adalah warga nagara inggris dan pekerjaan terdakwa adalah operator pada kapal laut tyang berbendera inggris dan terdaftar di inggris. Tertuduh dituntut di muka pengadilan di distrik Utara California karena memiliki bebeapa ton mariyuana dengan niat untuk mendistribusikannya
DOMINASI KEPENTINGAN NEGARA (NASIONAL) ATAS KEPENTINGAN INTERNASIONAL (KASUS NORIEGA)
Ketiga kasus tersebut diatas, ternyata memiliki perbedaan yang besar dengan kasus” penculokan “ atas jendral Noriega, mantan Presiden Panama yang dituuh telah memasok heroin ke wilayah Amerika Serikat, yang dilatarbelakangi acman perang oleh Pemerintah Panama terhadap Amerika Serikat. Dalam praktek Hukum intrnasional, tidakan penculikan jenderal Noriega dari wilayah teritorial Panama sebagai suatu Negara yang merdeka dan berdaulat merupakan contoh ekstrem dan sekaaligus menunjukan pula betapa di dalam dominasi teori monisme dengan primat hukum nasioal dapat ditapsirkan demikian rupa sehingga dapa dipandang sebagai pelanggaran atas kedaulatan Negara lain.
Noriega dituntut oleh Grand Jury di pengadilan Miami dan pengadilan Tampa, Negara bagian Florida dengan tuduhan sebagai pendukung lalu lintas narkotika ilegal ke wilayah Amerika Serikat. Pengadilan Miami dan tTampa menerapka asas perlindungan dan doctrine. Doktrin ini berasal dari kasus Alcoa (1945) dimana Hakim ditugaskan menaggani kasus tersebut. Kasus Noniega tersebut diatas, telah menggungkapkan dengan jelas bahwa lalu lintas perdagangan narkotik illegal pada dewasa ini sudah berkonotasi Politik dalam arti betapa kuatnya pengaruh tindak pidana internasional dalam masalah nearotika terhafdaphubungan diplomatic antara ngara-negara yang terlibat.
Penasihat Hukum Departemen Kehakiman Amerika Serikat memiliki pendekatan yang berbeda,yaitu mengemukakan sebagai berikut :
· firs : (sekalipun kongres dan presiden memiliki kekuasaan untuk tidak memperhatikan hukum internasional, pengadilan dapat bertahan pada pendiriannya bahwa ia melakukan tampa ragu-ragu dan dengan bebas).
· second : (integritas teritorial adalah tonggakdari hokum internasional, tindakan penculikan (dengan paksaan) dari suatu negara asing nyata-nyata melanggar prinsip ini).
· third : (akibat menentukan dari prinsi integritas teritorial pada penegak hokum di diperlemah oleh kesediaan suatu Negara untuk memberikan izin aparatur penegak hokum di ngara lain untuk melakukan kegiatanya diwilayah Negara tersebut. Tidak ada formalitas atau publisitas khusus yang persyaratkan untuk memperoleh izin agar legal menjadi efektif ; sekalipun izin khusus adalah efisian jika di berikan pihak yang berwenang. Untuk tujuan politis, suatu Negara dapat memutskan untuk menolak kenyataan bahwa ia telah memberikan izin utuk kegiatan oprasi tersebut ,,, dalam kasus-kasus lain, suatu Negara bekerja sama dengan cara menempatkan seorang pelaku yang di cari diatas sebuah kapal terbang atau kapal laut dimana Amerika Serikat memiliki yurisdiksi diatasnya).
· Fourth : (prinsip integritas teritorial tidak memberikan kewenangan pembedaan dalam hukum internasional. Setiap negara memiliki hak untuk membela dirinya. Kita harus mengijin kan manipulasi hukum sehingga dunia bebes menjadi tidak efektif dalam hubungan dangan meraka yang telah melanggar undang-undang).
Perkembangan praktik hukum internasional sebagaimana telah uraikan diatas menunjukan bahwa teori monisme dengan primat hokum nasional dalam praktik telah menimbulkan akibat yang tidak kecil dan merugikan kepentingan Negara-negara Selatan jika dibandingkan kepantingan negar-negar Utara, khususnya Amerika Serikat.