AKU TIDAK TAKUT SENDIRI. TUHAN PUN JUGA SENDIRI. DAN DIA MENJADI YANG MAHA KUAT KARENA ITU (SOE HOK GIE)

Jumat, 03 Desember 2010

KEADILAN DALAM PERSPEKTIF LIBERAL

diposkan oleh:DWI ANDRIYANTO. KADER HmI MPO FH UII.
DEMISIONER KA.BID KAJIBANG HmI MPO FH UII. 2009-2010 M
I.                   Pendahuluan
Penggunaan sistem peradilan modern sebagai sarana pendistribusi keadilan terbukti menjumpai sangat banyak hambatan. Adapun yang menjadi faktor penyebab adalah karena peradilan modern sarat dengan beban formalitas, prosedur, birokrasi, serta metodologi yang ketat. Oleh karena itu, keadilan yang didistribusikan melalui lembaga peradilan diberikan melalui keputusan birokrasi bagi kepentingan umum karenanya cenderung berupa keadilan yang rasional. Maka tidak heran jika keadilan yang diperoleh masyarakat modern tidak lain adalah keadilan birokratis.[1]  Penyelesaian sengketa menggunakan pengadilan telah terbukti banyak menimbulkan ketidakpuasan pada pihak-pihak yang bersengketa maupun masyarakat luas. Ketidakpuasan masyarakat dilontarkan dalam bentuk pandangan sinis, mencemooh, dan menghujat terhadap kinerja pengadilan karena dianggap tidak memanusiakan pihak-pihak yang bersengketa, menjauhkan pihak-pihak bersengketa dari keadilan, tempat terjadinya perdagangan putusan hakim, dan lain-lain hujatan yang ditujukan kepada lembaga peradilan.  Kalangan masyarakat bisnis yang memerlukan kepastian hukum serta keamanan di dalam investasi maupun aktivitas perdagangannya tatkala terjadi sengketa menyangkut bisnis mereka, sangat kuatir terhadap kondisi badan peradilan yang dianggap telah carut marut semacam itu. Dilatarbelakangi oleh kondisi semacam itulah, muncul keinginan dari komunitas bisnis khususnya, untuk kemudian berpaling dan memilih model lain dalam penyelesaian sengketa. Meskipun bentuk penyelesaian yang dipilih itu tergolong masih serumpun dengan mekanisme pada badan peradilan, namun forum lain yang dipilih itu dianggap dapat memberikan alternatif serta ruang kebebasan kepada pihak-pihak dalam menentukan penyelesaian sengketa bisnis mereka. Pada gilirannya model yang dipilih tersebut diharapkan lebih memberikan peluang untuk mendapatkan rasa keadilan yang lebih manusiawi dan bermartabat.


II.                 Hukum Modern dan Pendistribusian Keadilan 
Satjipto Rahardjo[2] berpendapat, untuk menyebarkan fora pendistribusi keadilan tidak semestinya terkonsentrasi hanya pada satu lembaga yang bernama pengadilan. Marc Galanter memberikan tamsil yang sangat bagus, yaitu hendaknya ada justice in many rooms.[3] Gagasan Alternative Dispute Resolution (ADR) sudah tersimpan lama sejak gelombang gerakan Access to Justice Movement (AJM), terutama gelombang ketiga yang menghendaki adanya jalur alternatif di luar pengadilan negara.[4] Masalahnya karena masyarakat dapat mengalami keadilan atau ketidakadilan bukan saja melalui forum-forum yang disponsori oleh negara, akan tetapi dapat juga melalui lokasi-lokasi kegiatan primer. Lokasi kegiatan primer tersebut dapat berwujud pranata seperti rumah, lingkungan ketetanggaan, tempat bekerja, kesepakatan bisnis, dan sebagainya (termasuk aneka latar penyelesaian khusus yang berakar di lokasi-lokasi tersebut).    Keberadaan lembaga peradilan sebagai salah satu pendistribusi keadilan tidak dapat dilepaskan dari penerimaan dan penggunaan hukum modern di Indonesia. Hukum modern di Indonesia diterima dan dijalankan sebagai suatu institusi baru yang didatangkan atau dipaksakan (imposed) dari luar.[5]Padahal secara jujur, dilihat dari optik sosio kultural, hukum modern yang kita pakai tetap merupakan semacam “benda asing dalam tubuh kita.” Oleh sebab itu, untuk menanggulangi kesulitan yang dialami bangsa Indonesia disebabkan menggunakan hukum modern, adalah menjadikan hukum modern sebagai kaidah positif menjadi kaidah kultural.  Persoalannya,  karena sistem hukum modern yang  liberal itu tidak dirancang untuk memikirkan dan memberikan keadilan yang luas kepada masyarakat, melainkan untuk melindungi kemerdekaan individu.[6]

Di samping itu juga, akibat sistem hukum liberal tidak dirancang untuk memberikan keadilan substantif, maka seorang dengan kelebihan materiel akan memperoleh “keadilan” yang lebih daripada yang tidak.[7]  Apabila kita terus menerus berpegang kepada doktrin liberal tersebut, maka kita akan tetap berputar-putar dalam pusaran kesulitan untuk mendatangkan atau menciptakan keadilan dalam masyarakat. Dalam rangka melepaskan diri dari doktrin liberal itulah, maka gagasan orang-orang atau pihak-pihak untuk mencari dan menemukan keadilan melalui forum alternatif di luar lembaga pengadilan modern sesungguhnya merupakan upaya penolakan terhadap cara berpikir hukum yang tertutup.[8] Hal itu disebabkan para pencari keadilan masih sangat merasakan, betapa pun tidak sekuat seperti pada abad ke-sembilanbelas, filsafat liberal dalam hukum dewasa ini masih sangat besar memberi saham terhadap kesulitan  menegakkan keadilan substansial (substantial justice). [9]
 Sebagaimana telah diutarakan di muka bahwa hukum modern di Indonesia diterima dan dijalankan sebagai suatu institusi baru yang didatangkan atau dipaksakan (imposed) dari luar, yakni melalui kebijakan kolonial di Hindia-Belanda.[10]  Padahal suatu peralihan dari status sebagai bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka sungguh merupakan suatu momentum yang cukup krusial. Dalam kehidupan hukum di masa Hindia-Belanda, bangsa Indonesia tidak mengambil tanggung jawab sepenuhnya dalam masalah penegakan, pembangunan, dan pemeliharaan hukumnya, melainkan hanya sekadar menjadi penonton dan objek kontrol oleh hukum. Sedangkan sejak hari kemerdekaannya, bangsa Indonesia terlibat secara penuh ke dalam sekalian aspek penyelenggaraan hukum,

mulai dari pembuatan sampai kepada pelaksanaannya di lapangan.[11] Akibat berlangsungnya transplantasi sistem hukum[12] asing (Eropa) ke tengah tata hukum (legal order) masyarakat pribumi yang otohton tersebut, maka ada konsekuensi yang mesti dipikul bangsa Indonesia ketika harus terlibat penuh dalam penyelenggaraan hukum. Konsekuensi tersebut berupa keniscayaan untuk membangun dan mengembangkan perilaku hukum (legal behavior)[13] baru dan budaya hukum untuk mendukung perubahan status dari jajahan ke kemerdekaan. Dalam kaitan itu,
Satjipto Rahardjo[14] menyatakan, tidak mudah untuk mengubah perilaku hukum bangsa Indonesia yang pernah dijajah menjadi bangsa yang merdeka, karena waktu lima puluh tahun belum cukup untuk melakukan perubahan secara sempurna.

III.              Budaya Hukum dan Perolehan Keadilan
 Membicarakan mengenai perilaku hukum dan budaya hukum tentu tidak dapat menghidarkan diri dari pembicaraan tentang sistem hukum, karena perilaku dan budaya hukum keduanya merupakan unsur dari sistem hukum. Di samping kedua unsur tersebut,  Kees Schuit[15]menguraikan unsur-unsur yang termasuk dalam suatu sistem hukum, yaitu: 1. Unsur idiil. Unsur ini terbentuk oleh sistem makna dari hukum, yang terdiri atas aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan asas-asas. Unsur inilah yang oleh para yuris disebut “sistem hukum.”  2. Unsur operasional. Unsur ini terdiri atas keseluruhan organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga, yang didirikan dalam suatu sistem hukum. Yang termasuk ke dalamnya adalah juga para pengemban jabatan (ambtsdrager), yang berfungsi  dalam kerangka suatu organisasi atau lembaga. 3. Unsur aktual. Unsur ini adalah keseluruhan putusan-putusan dan perbuatan-perbuatan konkret yang berkaitan dengan sistem makna dari hukum, baik dari para pengemban jabatan maupun dari para warga masyarakat, yang di dalamnya terdapat sistem hukum itu. Sementara itu L.M. Friedman[16] mengungkapkan tiga komponen dari sistem hukum. Ketiga komponen dimaksud adalah: (1) struktur, (2) substansi, dan (3) kultur atau budaya. Pertama, sistem hukum mempunyai struktur,[17] yaitu kerangka bentuk yang permanen dari sistem hukum yang menjaga proses tetap berada di dalam batas-batasnya. Struktur terdiri atas:
jumlah serta ukuran pengadilan, jurisdiksinya (jenis perkara yang diperiksa serta hukum acara yang digunakan), termasuk di dalam struktur ini juga mengenai penataan badan legislatif. Kedua, substansi,[18] yaitu aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Termasuk ke  dalam pengertian substansi ini juga “produk” yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu – keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Ketiga, adalah kultur[19] atau budaya hukum, yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum – kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Budaya hukum ini pun dimaknai sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.  Selanjutnya Friedman[20] merumuskan budaya hukum sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang ada hubungan dengan hukum dan sistem hukum, berikut sikap-sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh baik positif maupun negatif kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum. Demikian juga kesenangan atau ketidak senangan untuk berperkara adalah bagian dari budaya hukum. Oleh karena itu, apa yang disebut dengan budaya hukum itu tidak lain dari keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum. Maka secara singkat dapat dikatakan bahwa yang disebut budaya hukum adalah keseluruhan sikap dari warga masyarakat dan sistem nilai yang ada dalam masyarakat yang akan menentukan bagaimana seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Friedman[21] juga membedakan budaya hukum menjadi external and internal legal culture. Esmi Warassih Pujirahayu[22] mengelaborasi hal ini lebih lanjut yaitu bahwa, budaya hukum seorang hakim (internal legal culture) akan berbeda dengan budaya hukum masyarakat (external legal culture). Bahkan perbedaan pendidikan, jenis kelamin, suku, kebangsaan, pendapatan, dan lain-lain dapat merupakan faktor yang mempengaruhi budaya hukum seseorang. Budaya hukum merupakan kunci untuk memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalam sistem hukum yang lain. Selanjutnya dikemukakan bahwa, “penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan masyarakat merupakan masalah, khususnya di negara-negara yang sedang berubah karena terjadi ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara lain dengan nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri.”[23]  Mengacu pada pendapat tersebut,  tidak ada keraguan kalau penggunaan lembaga pengadilan sebagai tempat menyelesaikan sengketa sesungguhnya tidak cocok dengan nilai-nilai yang hidup dan dihayati masyarakat pribumi Indonesia. Masalahnya, seperti telah diungkapkan di muka  dilihat dari optik sosio kultural, hukum modern yang digunakan dewasa ini merupakan hasil transplantasi[24] sistem hukum asing (Eropa) ke tengah tata hukum (legal order) masyarakat pribumi Indonesia, sehingga sangat wajar apabila lembaga pengadilan yang merupakan bagian sekaligus penyangga dari sistem hukum modern itu meski telah dintroduksikan ke dalam sistem hukum Indonesia selama enam dekade[25] sejak tahun 1942, namun tetap saja merupakan semacam “benda asing dalam tubuh kita.” Bertolak dari serangkaian fakta di muka, tentu harus diakui sebab bagaimana pun seluruh alur perkembangan sistem hukum di Indonesia telah banyak terbangun dan terstruktur secara pasti berdasarkan konfigurasi asas-asas yang telah digariskan sejak lama sebelum kekuasaan kolonial tumbang. Sementara itu budaya hukum para yuris yang mendukung beban kewajiban membangun hukum nasional amat sulit untuk menemukan pemikiran-pemikiran yang lateral dan menerobos.[26] Di lain pihak Soetandyo Wignjosoebroto[27] menyatakan: “Berguru kepada guru-guru Belanda dalam situasi kolonial, pemikiran para yuris nasional ini pun mau tak mau telah diprakondisi oleh dotrin-doktrin yang telah ada. Para perencana dan para pembina hukum nasional – juga sekalipun mereka itu mengaku bersitegak sebagai eksponen hukum adat dan hukum Islam – adalah sesungguhnya pakar-pakar yang terlanjur terdidik dalam tradisi hukum Belanda, dan sedikit banyak akan ikut dicondongkan untuk berpikir dan bertindak menurut alur-alur-alur tradisi ini, dan bergerak dengan modal sistem hukum positif peninggalan hukum Hindia Belanda (yang tetap dinyatakan berlaku berdasarkan berbagai aturan peralihan).”
Padahal hukum yang dibutuhkan oleh dan untuk negeri berkembang yang tengah berubah lewat upaya-upaya pembangunan seperti Indonesia ini adalah hukum yang dapat berfungsi sebagai pembaharu, dan bukan sekadar sebagai pengakomodasi perubahan  seperti yang diimplisitkan dalam ajaran the sociological jurisprudence Roscoe Pound.[28]  Ditengarai oleh Robert Seidman bahwa pengalaman hukum yang melahirkan institusi-institusi hukum modern itu sesungguhnya cultural bound dalam konteks tradisi hukum Barat.  Hukum yang dibingkai oleh tradisi dan konfigurasi kultural Barat ini nyata-nyata tidak mudah untuk dengan begitu saja dipakai dalam rangka mengatasi permasalahan hukum dan permasalahan pembangunan pada umumnya di negeri-negeri berkembang non-Barat[29] yang memiliki aset-aset sosio-kultural yang berbeda. Inilah kenyataan yang ditengarai oleh Robert B. Seidman sebagai the Law of the Nontransferability of law.[30] Melengkapi uraian di muka, Esmi Warassih Pujirahayu juga mengemukakan, “Secara umum dapat dikatakan bahwa lapisan pengambil keputusan umumnya menjatuhkan pilihannya kepada sistem hukum yang modern rasional, sementara hal tersebut tidak selalu sejalan dengan kesiapan masyarakat di dalam menerima sistem tersebut.”  Oleh karena itu, dapat dipahami jika penggunaan hukum modern beserta segenap institusi-institusi hukumnya kemudian menimbulkan persoalan yang cukup krusial di dalam masyarakat. Apalagi ketika lembaga pengadilan sebagai pranata dan penyangga sistem hukum modern terbukti tidak mampu menjawab tantangan perubahan yang tengah berlangsung di negara ini terutama dalam tugasnya menegakkan dan mendistribusikan keadilan kepada masyarakat.  Pengalaman sesudah kemerdekaan, para pengusaha merasakan betapa pengadilan tidak bersimpati terhadap masalah dan kebutuhan para pengusaha. Menurut  Daniel S. Lev[31] perubahan sosial dan ekonomi yang cukup luas juga menyebabkan perubahan dalam budaya hukum masyarakat. Prosedur peradilan menjerakan para pengusaha untuk menggunakan pengadilan. Berkaitan dengan hal itu, dikutipnya secara lengkap komentar seorang advokat yang termasuk angkatan tua dari Bandung, yang mengatakan:  “...Para hakim dewasa ini kurang memahami hukum dan kurang menaruh perhatian. Saya menulis alasan-alasan yang lengkap  untuk perkara-perkara saya, tetapi para hakim muda sering marah karena alasan tersebut terlalu panjang untuk dibaca. ...Maka terlepas dari tidak adanya rasa senang saya di pengadilan, tidak ada pentingnya bagi perusahaan yang saya wakili untuk mengajukan perkaranya ke pengadilan kecuali kalau hal itu mutlak perlu. Tidak hanya pengadilan yang sulit, tetapi keseluruhan prosesnya pun berliku-liku. Kita harus memberi uang tidak resmi kepada panitera untuk memperoleh dokumen eksekusi bila putusan pada akhirnya sudah dijatuhkan. Terlalu banyak saluran yang harus dilalui agar segala sesuatunya dikerjakan, dan kesemuanya itu perlu biaya. Dalam semua kontrak yang saya tulis untuk perusahaan klien saya, saya masukkan klausula arbitrase sehingga terhindar dari urusan dengan pengadilan.”    Komentar di atas betapa pun menjukkan bahwa penghindaran penyelesaian peselisihan melalui pengadilan di kalangan pelaku bisnis tampaknya mempunyai sumber dukungan lain di samping kecenderungan budaya. Arbitrase dan mediasi menjadi forum alternatif yang menjadi pilihan dan tumpuan yang dipercaya oleh para pelaku bisnis untuk menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan, karena para pelaku bisnis terutama yang berasal dari negara-negara maju meyakini bahwa arbitrase dan mediasi mempunyai karakteristik yang sesuai dengan budaya bisnis. Seperti dikemukakan oleh Robert Coulson:[32]  “Business executives are losing patience with judicial solutions that take years to achive results and that leave both parties exhausted by delays and legal  expenses. Many people like what alternative dispute resolution can offer. They are finding that commercial arbitration and mediation are sensible ways to resolve business dispute.”  Pada dasarnya tidak ada pelaku bisnis yang hendak kehilangan peluang berbisnis hanya karena menghadapi penyelesaian sengketa dengan mitranya yang berlarut-larut di pengadilan. Oleh karena itu, walaupun arbitrase sesungguhnya merupakan institusi penyelesaian sengketa yang menggunakan pendekatan pertentangan (adversarial) dengan hasil win-lose seperti juga pengadilan,[33] akan tetapi arbitrase tetap dianggap berbeda dengan pengadilan. Yang dianggap sebagai perbedaan cukup penting oleh para pelaku bisnis antara arbitrase dengan pengadilan adalah, dalam arbitrase mereka mempunyai kedaulatan untuk menetapkan arbiter yang terdiri atas pakar-pakar yang ahli di bidangnya untuk memeriksa dan memutus sengketa mereka.  Sedangkan kedaulatan para pihak semacam itu sama sekali tidak mungkin diekspresikan di depan badan peradilan umum. 

IV.              Pengadilan: tempat  mencari keadilan atau kemenangan?
 Pengadilan di sini bukan diartikan semata-mata sebagai badan untuk mengadili, melainkan sebagai pengertian yang abstrak, yaitu “hal memberikan keadilan.” Hal memberikan keadilan berarti yang bertalian dengan tugas badan pengadilan atau hakim dalam memberi keadilan, yaitu memberikan kepada yang bersangkutan – konkritnya kepada yang mohon keadilan – apa yang menjadi haknya atau apa hukumnya.[34] Eksistensi pengadilan sebagai lembaga yang berfungsi menyelenggarakan proses peradilan dalam menerima, memeriksa, dan mengadili sengketa masyarakat, tugas-tuganya diwakili oleh hakim. Oleh karena itu, kepercayaan masyarakat terhadap hukum serta institusi peradilan di negara ini ditentukan oleh kredibilitas dan profesionalitas hakim dalam menjalankan tugasnya menyelesaikan sengketa serta menegakkan keadilan.[35] Jadi, para hakim dituntut untuk secara total melibatkan dirinya pada saat membuat putusan, bukan hanya mengandalkan kemahirannya mengenai            perundang-undangan. Menurut Roeslan Saleh,[36] seorang hakim diharapkan senantiasa menempatkan dirinya dalam hukum, sehingga hukum baginya merupakan hakekat dari hidupnya. Hakim tidak boleh menganggap hukum sebagai suatu rangkaian dari larangan dan perintah yang akan mengurangi kemerdekaannya, melainkan sebaliknya hukum harus menjadi sesuatu yang mengisi kemerdekaannya. Oleh karena “hukum itu bukan semata-mata peraturan atau undang-undang, tetapi lebih daripada itu: ‘perilaku.’ Undang-undang memang penting dalam negara hukum, akan tetapi bukan segalanya dan proses memberi keadilan kepada masyarakat tidak begitu saja berakhir melalui kelahiran pasal-pasal undang-undang.”[37] Seperti telah diutarakan di muka, bahwa dalam sistem hukum di mana pun di dunia, keadilan selalu menjadi objek perburuan melalui lembaga pengadilannya. Namun demikian kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modern disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan timbul pertanyaan “apakah pengadilan itu tempat mencari keadilan atau kemenangan?”[38]  Keadilan memang barang yang abstrak dan karena itu perburuan terhadap keadilan merupakan usaha yang berat dan melelahkan. Sementara itu, pengadilan sebagai institusi pendistribusi keadilan telah menjadi institusi modern yang dirancang secara spesifik bersamaan dengan munculnya negara modern sekitar abad ke delapan belas. Oleh sebab itu, pekerjaan mengadili tidak lagi hanya bersifat mengadili secara substansial - seperti pada masa lampau ketika Khadi Justice, yaitu suatu peradilan yang tidak berorientasi kepada “fixed rules of formally rational law,” melainkan kepada hukum substantif yang bertolak dari postulat-postulat etika, religi, politik, dan lain-lain pertimbangan kemanfaatan. Setelah menjadi institusi modern, pengadilan merupakan penerapan dari prosedur yang ketat.[39] Berdasarkan optik sosiologi hukum yang lebih memperhatikan fungsi dari badan yang menjalankan fungsi mengadili, maka dalam rangka menemukan keadilan serta dimana keadilan diputuskan, faktor lembaga atau badan pemutus keadilan yang diakui menjadi tidak penting. Putusan tentang keadilan dapat dilakukan dimana saja dalam masyarakat, tidak perlu harus di pengadilan.[40] Oleh karenanya, menegakkan dan menemukan keadilan tidak semata-mata harus dilakukan melalui struktur formal lembaga pengadilan. Fungsi mengadili dapat dilakukan dan berlangsung di banyak lokasi, sehingga Marc Galanter[41] mengungkapkan dengan sebutan “justice in many rooms.” Atas dasar hal itu, maka memilih forum arbitrase atau mediasi untuk menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis merupakan kecenderungan beralihnya minat masyarakat pencari keadilan dari menggunakan jalur litigasi pada pengadilan kepada jalur lain yang formatnya lebih tidak terstruktur secara formal.  Namun demikian, bentuk yang disebut terakhir itu diyakini oleh para penggunanya akan mampu melahirkan keadilan substansial. Padahal selama beberapa dekade masyarakat di sejumlah negara,[42] termasuk di Indonesia memberikan kepercayaan kepada lembaga pengadilan untuk mengelola sengketa yang sedang dihadapi, dengan harapan akan memperoleh keadilan sebagaimana secara normatif dan eksplisit disebutkan dalam ketentuan perundang-undangan.[43] Akan tetapi faktanya lembaga pengadilan telah terbukti tidak mampu memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Banyak faktor  memang yang menyebabkan pengadilan dalam perjalanan sejarahnya menjadi seperti itu.  



[1] Keadilan birokratis adalah keadilan yang diperoleh melalui keputusan birokrasi yang dirancang untuk melayani kepentingan umum dan didasarkan pada perangkat-perangkat peraturan yang rasional dan pasti. Sedangkan hukum itu sendiri tidak lain hanyalah berisi “janji.”Janji-janji kepada masyarakat yang diwujudkan melalui keputusan birokrasi. Sementara ide dasar hukum dan ketertiban adalah janji-janji untuk memberikan keadilan, yakni janji untuk memperbaiki mekanisme perubahan melalui hukum - terhadap alokasi ganjaran, struktur-struktur kesempatan,& jalan masuk pada cara-cara kehidupan kita secara adil. Ini berarti bahwa lembaga peradilan mempunyai kewajiban untuk memberikan dan menjaga terwujudnya janji-janji hukum dan keadilan melalui keputusan-keputusan yang meliputi segala aspek kehidupan. Lihat I.S. Susanto, “Lembaga Peradilan dan Demokrasi”;Makalah pada Seminar Nasional tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum dalam Masa Pembangunan & Restrukturisasi Global, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 12-13 Nopember 1996, h. 3.
[2] Satjipto Rahardjo, “Membangun Keadilan Alternatif... Kompas Op. Cit.,
[3] Lihat, Marc Galanter, “Keadilan di Berbagai Ruangan: Lembaga Peradilan, Penataan Masyarakat serta Hukum Rakyat:” dalam T.O. Ihromi (ed), Antropologi Hukum Sebuah...Op. Cit., h. 94-138.
[4] Kita harus mengkaji lembaga paradilan dalam konteks saingan-saingannya dan para mitranya. Untuk dapat melakukan hal itu, maka harus mengesampingkan perspektif “sentralisme hukum” yang telah biasa kita terapkan, yaitu sebuah gambaran dimana alat-alat perlengkapan negara (dan ajaran-ajaran mereka) menempati titik sentral dari kehidupan hukum dan memiliki kedudukan pengawasan yang hierarkis terhadap penata norma lain yang lebih rendah kedudukannya, seperti misalnya keluarga, korporasi, jaringan bisnis. Kebiasaan bahwa semua fenomena hukum senantiasa dikaitkan dengan negara oleh Griffiths dianggap “sebenarnya tidak mutlak” ...secara empiris tidak beralasan bahwa negara mempunyai tuntutan yang lebih dari bagian-bagian lain dari sistem untuk menjadi pusat dari seluruh fenomena hukum. Lihat, Marc Galanter, “Keadilan di Berbagai Ruangan: Lembaga Peradilan..; Antropologi...Loc. Cit.,   Bdgk.  Satjipto Rahardjo, “Membangun Keadilan Alternatif”;...Kompas...Loc. Cit., 
[5] Keadaan atau perkembangan seperti itu tidak hanya dialami oleh bangsa Indonesia, melainkan umumnya negara-negara di luar Eropa dan khususnya di Asia Timur, yang di dalam itu Indonesia termasuk. Keadaan seperti itu terjadi pula di Cina, Korea, Jepang, dan lain-lain. Lihat, Satjipto Rahardjo, “Supremasi Hukum dalam Negara Demokrasi dari Kajian Sosio Kultural”; dalam Makalah Seminar Nasional – Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Kamis, 27 Juli 2000, h. 5-6.
[6] Pikiran liberal ini berpusat pada kemerdekaan individu dengan menata suatu kehidupan dimana kemerdekaan individu tersebut dijamin keberadaan dan kelanjutan keberadaan tersebut. Nilai liberal, kemerdekaan individu, menjadi paradigma dalam sistem hukum. Hal tersebut memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada kita. Pelajaran itu adalah, bahwa sistem hukum liberal terutama dirancang untuk memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan individu. Lihat, Satjipto Rahardjo, “Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era Reformasi”; dalam Makalah Seminar Nasional ‘Menggugat Pemikiran Hukum Positivistik di Era Reformasi’, PDIH-Undip-Angkatan V, Semarang, Sabtu, 22 Juli 2000, h. 6-7.
[7] Satjipto Rahardjo, Ibid., h. 8. Sistem yang lebih mengunggulkan kemerdekaan individu daripada mencari kebenaran  dan keadilan memakan banyak korban di Amerika Serikat dan salah satu perkara yang disebut-sebut sebagai perkara abad ini adalah Perkara O.J. Simpson yang diputus “not guilty.” Lihat, Alan M. Derschowitz, Reasonable Doubts. New York: Simon & Schuster, 1996, h. 42.  Bahkan di Indonesia, fenomena “orang yang memiliki banyak uang dapat membeli kemenangan di pengadilan” telah menjadi rahasia bersama para pencari keadilan. Tawar menawar antara hakim pemutus dengan kuasa hukum pihak-pihak ketika putusan hendak dijatuhkan adalah cerita yang sangat memilukan sekaligus memalukan dalam proses penegakan keadilan. Oleh sebab itu, apa yang dipaparkan Galanter telah menjadi kenyataan di  Indonesia. Lihat, MarcGalanter ,‘Why The “Haves”  Come Out Ahead: Speculations  on The Limits of Legal Change’; Law and Society, Fall 1974, h. 95-151.
[8]   Praktik hukum kita sekarang pada dasarnya masih didasarkan pada positivisme abad ke-sembilanbelas, sedang filsafat yang ada di belakang adalah liberalisme atau pikiran hukum liberal. Filsafat hukum liberal bertumpu kepada perlindungan kebebasan dan kemerdekaan manusia. Sekalian konstruksi, asas, doktrin, disiapkan untuk menjaga, mengamankan dan melestarikan paradigma nilai tersebut. Persamaan di hadapan hukum menjadi pilar utama. Dalam perumusan secara positif maka tidak boleh ada peraturan yang memuat diskriminasi. Hanya sampai disitulah liberalisme menghantarkan  masyarakat memasuki dunia hukum. Proses-proses hukum selanjutnya harus patuh menjunjung persamaan dan non-diskriminasi. Ini menjadi tugas penting dari hukum, tetapi lebih dari itu juga merupakan tugas satu-satunya. Dengan demikian filsafat hukum liberal menganggap bahwa tugasnya sudah selesai apabila sudah berhasil untuk mempertahankan dan menjaga paradigma nilai liberal tersebut. Apabila keadilan menjadi  taruhan dalam hukum, maka filsafat hukum liberal beranggapan, bahwa dengan cara demikian itu keadilan sudah diberikan. Lihat, Satjipto Rahardjo, “Rekonstruksi... Op. Cit., h. 21-23. 
[9]  Oleh karena itu, Soetandyo Wignjosoebroto antara lain menyatakan: “…transitional justice merupakan jalan tengah sebuah pendekatan win-win solution, sehingga ‘kompromi’ tidak bisa dihindarkan.” Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, “Keadilan Komutatif, “win-win Solution,” dalam Kompas 25 Nopember 2000.
[10] Kebijakan itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan de bewuste rechtspolitiek. Kebijakan untuk membina tata hukum kolonial secara sadar ini berefek di satu pihak mengontrol kekuasaan dan kewenangan raja dan aparat eksekutif atas daerah jajahan, dan di lain pihak akan ikut mengupayakan  diperolehnya perlindungan hukum yang lebih pasti bagi seluruh lapisan penduduk yang bermukim dan/atau berusaha di daerah jajahan. Kebijakan yang disebut de bewuste rechtspolitiek tersebut khususnya yang bertalian dengan langkah-langkah tindakan yang diambil para politisi eksponennya di bidang perundang-undangan, pemerintahan, dan pengadilan. Lihat, Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial...Op. Cit., h. 19-20.
[11] Lihat, Satjipto Rahardjo, “Pendayagunaan Sosiologi Hukum untuk Memahami Proses-proses Sosial dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi”; Makalah Seminar Nasional Sosiologi Hukum dan Pembentukan Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia. Semarang, 12-13 Nopember 1996, h. 5-7.  
[12] Istilah “transplantasi sistem hukum” adalah sebutan yang digunakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto di dalam paparannya mengenai berlangsungnya proses introduksi dan proses perkembangan suatu sistem hukum asing ke/di dalam suatu tata kehidupan dan tata hukum masyarakat pribumi yang otohton. Lihat, Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial...Op. Cit.,  h. 1-7.
[13] Perilaku hukum (legal behavior) adalah perilaku yang dipengaruhi oleh aturan, keputusan, perintah, atau undang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat dengan wewenang hukum. Lihat, Lawrence M. Friedman, American Law...Op. Cit., h. 280.
[14] Satjipto Rahardjo, “Pendayagunaan Sosiologi Hukum...Op. Cit., h. 7.
[15] Lihat, J.J. H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum; terjemahan Arief Sidharta. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999, h. 140. Sementara itu John Henry Merryman mengungkapkan pengertian “A legal system, is an operating set of legal institution, procedures, and rules." Lihat, dalam The Civil Law Tradition. Stanford University Press, Stanford, California, 1969, h. 1. 
[16]  Lawrence M. Friedman, The Legal System. New York: Russel Sage Foundation, 1975, h. 11-16. Bdgk. L.M. Friedman, American Law...Op. Cit.,  h. 6-11. 
[17] “Is its skeletal framework; it is the permanent shape, the institutional body of the system, the tough, rigid bones that keep the process  flowing  within  bounds.” 
[18] ”The substance is composed of substantive rules and rules about how institutions should behave.”
[19] “Legal culture refers to public knowledge of and attitudes and behavior patterns toward the legal system. Do people feel and act as if courts are fair? When are they willing to use courts? What parts of  the law do they consider legitimate? What do they know about the law in general? The term legal culture roughly describes attitudes about law, more or less analogous to the political culture.”  
[20]  Lihat, Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma...Op. Cit., h. 47-48.
[21] The external legal culture is the legal culture of general population; the internal legal culture is the legal culture of those members of society who perform specialized legal task. L.M. Friedman, The Legal...Op. Cit., h. 223. 
[22]  Lihat, Esmi Warassih, “Pemberdayaan Masyarakat...Op. Cit., h. 11.
[23] Esmi Warassih, Ibid., h. 12.  
[24] Soetandyo Wignjosoebroto, Op. Cit., supra 
[25]  “Di zaman pendudukan Jepang sistem peradilan Indonesia mengalami perubahan yang revolusioner, yang pada pokoknya menuju kepada penyederhanaan dan peningkatan kecepatan jalannya peradilan sistem hakim tunggal dan penghapusan dualisme serta sifat koloialistis dari sistem peradilan pada waktu itu.” Lihat Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan...Op. Cit., h. 25. Sementara itu Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan, “...Kontribusi paling penting yang diberikan oleh Jepang kepada sistem hukum Indonesia adalah dihapuskannya dualisme dalam tata peradilan. Kini hanya ada satu sistem peradilan saja untuk semua golongan penduduk (kecuali untuk orang-orang Jepang). Badan pengadilan tertinggi adalah Hooggerechtshof yang kini (maksudnya pada masa pendudukan Jepang: pen.) disebut Saikoo Hooin, dan kemudian berturut-turut adalah Raad van Justitie (Kootoo Hooin), Landraad (Tihoo Hooin), Landgerecht (Keizai Hooin), Regentschapsgerecht (Ken Hooin), dan Districtsgerecht (Gun Hooin). Residentiegerecht, yang pada masa kekuasaan Hindia Belanda mempunyai yurisdiksi khusus untuk mengadili perkara orang-orang Eropa saja, kemudian dihapuskan.” Lihat, Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial...Op. Cit., h. 184.
[26] Soetandyo Wignjosoebroto, Ibid., h. 188.
[27] 28   Soetandyo Wignjosoebroto, Loc. Cit.,
[28] Ajaran hukum Roscoe Pound tidak hanya mengukuhkan eksistensi the common law system, dan kemudian juga tetap memperkuat pengakuan akan peran dan otonomi profesi hukum (yang mengkonsentrasikan aktivitasnya, di dalam fungsi peradilan yang terlindung dari berbagai kemungkinan intervensi politik). Akan tetapi juga mencabar dan mempertanyakan kemampuan ajaran  the analytical  jurisprudence atau die Reine Rechtslehre (yang kedua-duanya mendasari civil law system yang dianut di negeri-negeri Eropa Kontinental dan negeri-negeri bekas jajahannya) untuk secara progresif  juga memutakhirkan hukum dan fungsinya di tengah-tengah perubahan kehidupan yang terjadi. Lihat, Soetandyo Wignyosoebroto, “Sebuah Pengantar ke Arah Perbincangan tentang Pembinaan Penelitian Hukum dalam PJP II;” Makalah disampaikan pada Seminar Akbar 50 Tahun Pembinaan Hukum Sebagai Modal Bagi Pembangunan Hukum Nasional Dalam PJP II, BPHN, Jakarta, 10-21 Juli 1995; dimuat dalam Majalah Hukum Trisaksi Edisi Khusus, TT, h. 37-44 [39].
[29] Benturan  antara sistem hukum modern dengan nilai-nilai budaya  masyarakat semacam ini tidak hanya dialami dan terjadi di Indonesia, melainkan juga dialami oleh India dan juga Jepang.  Lihat  Marc Galanter, “Hukum Hindu dan Perkembangan Sistem Hukum India Modern;” dalam AAG Peters & Koesriani Siswosoebroto (eds), Hukum dan Perkembangan Sosial Buku II...Op. Cit., h. 146-191. Untuk kasus Jepang dapat diketahui dari paparan yang dilakukan oleh Dan Fenno Henderson. Lihat dalam Dan Fenno Henderson. “Modernisasi Hukum dan Politik di Jepang;” dalam AAG Peters & Koesriani Siswosoebroto (eds), Hukum dan Perkembangan Sosial Buku II... Loc. Cit., h. 25-94. 
[30] Pada dasarnya memang tidak mudah untuk mentransfer begitu saja suatu sistem hukum tertentu, dalam hal ini sistem hukum modern, kepada masyarakat lain yang mempunyai latar belakang budaya yang berlainan. Dalam kaitan ini Robert B. Seidman mengemukakan: “...a rule transferred  from one culture to another simply cannot beexpected to induce the same sort of role-performance as it did in the place of ...origin.” Lihat, L.M. Friedman, The Legal System...Op. Cit.,  h. 195.
[31] Daniel S. Lev, Hukum dan Politik...Op. Cit., h.165.
[32] Robert Coulson, Business Arbitration...Op. Cit., h. 32.  
[33]   Di dalam literatur, arbitrase dikenal dengan sebutan “particuliere rechtspraak;” Lihat, A.J. van den Berg et al., Arbitrage recht...Op. Cit., h. 7. Arbitrase adalah suatu bentuk peradilan, yaitu peradilan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak dibebani kewajiban untuk melakukan peradilan oleh undang-undang.  Alasan bahwa arbitrase adalah suatu bentuk peradilan karena arbitrase memenuhi ciri-ciri pengadilan sebagaimana dikemukakan oleh F.F. van der Haijden. Dalam tesisnya van der Haijden mengemukakan bahwa peradilan memiliki 4 (empat) ciri, yaitu: (1) there should be a settlement of a conflict; (2) the conflict must be decided on the basis of law; (3) it should be decided by a third party; (4) and the parties to the conflict should be bound by the decision. Lihat, Setiawan, Aneka Masalah Hukum...Op. Cit., h. 4. 
[34] Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan...Op. Cit., h. 2.
[35] Kita sebaiknya menjadi lebih mengerti, bahwa teriakan supremasi hukum (the cry for supremacy of law) itu adalah seruan ke arah pengadilan atau hukum yang berkeadilan. Oleh karena itu, sekarang kita tahu, bahwa apabila kita bicara tentang supremasi hukum, maka yang ada dalam pikiran kita adalah “keunggulan dari keadilan dan kejujuran.”  Bukan undang-undang yang kita pikirkan tetapi keadilan itulah. Lihat, Satjipto Rahardjo, “Tidak Menjadi Tawanan Undang-undang;” Kompas, Rabu, 24 Mei 2000.
[36] Roeslan Saleh, Mengadili Sebagai Pergulatan Kemanusiaan. Jakarta: Aksara Baru, 1979, h. 29. 
[37] “Undang-undang tidak berisi petunjuk absolut yang tinggal dioperasikan oleh manusia, melainkan ia memuat semacam ruang kebebasan yang tidak kecil. Apabila ruang kebebasan itu tidak ada, maka tentu tidak akan berbicara mengenai perilaku. Melalui perilaku inilah pengoperasian undang-undang tidak dijadikan medan dimana manusia menjadi tawanan undang-undang.” Lihat, Satjipto Rahardjo, “Tidak Menjadi Tawanan Undang-undang;” Kompas, Kamis, 25 Mei 2000. 
[38] Satjipto Rahardjo, “Indonesia Butuh Keadilan yang Progresif;” Kompas., Sabtu, 12 Oktober 2002...Op. Cit.
[39]  Menurut Weber, sebelum hadir negara modern, rasionalisasi belum masuk ke dalam pengadilan, sehingga tidak ada perpecahan antara formal justice dengan substantial justice. Sementara itu pengadilan modern mempunyai arsitektur yang demikian formal-rasional sebagai bagian dari karakteristik hukum modern yang disebut tipe legal domination. Oleh karena itu, pengadilan muncul sebagai hasil rancangan artifisial yang rasional seperti yang kita kenal sekarang, sehingga berbicara tentang keadilan, dikenal terdapat dua macam, yaitu (i) keadilan substansial (substantial justice) dan (ii) keadilan formal (formal justice atau legal justice). Sedangkan pada masa lampau, pembedaan keadilan seperti itu tidak ada, oleh karena tidak ada peraturan yang kompleks yang mengatur bagaimana putusan pengadilan diberikan. Pada waktu itu mengadili adalah memberikan putusan secara substansial.” Lihat, Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan, Metode, dan Pilihan Masalah. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002, h. 134 -136.
[40] Bahkan Jerold S. Auerbach antara lain mengatakan: “...As dissatisfaction with legal institutions increased during the early decades of the twentieth century, there was renewed interest in alternatives to litigation, especially conciliation and arbitration. Both were touted as speedy, inexpensive procedures to dispense with lawyers and reduce the acrimonius, costly delay that suffused litigation.” Lihat Jerold S. Auerbach, Justice Without Law? New York: Oxford University Press, 1983, h. 96.
[41] Marc Galanter, “Justice in Many Rooms”; dalam Maurio Cappelletti (ed), Access to Justice and The Welfare State.  Italy: European University Institute, 1981, h. 147-182.
[42] Kecuali pada masyarakat Jepang, “penggunaan cara litigasi  telah dicap sebagai salah secara moral, subversif, dan memberontak,” karena proses litigasi menghasilkan disorganisasi dari kelompok-kelompok sosial yang tradisional. Dalam proses litigasi  kedua belah pihak  berusaha untuk membenarkan posisinya berdasarkan standar objektif, dan dibuatnya putusan pengadilan berdasarkan hal itu cenderung untuk mengubah kepentingan situasional  ke dalam kepentingan yang diteguhkan dengan kuat dan berdiri sendiri. Lihat, Takeyoshi Kawashima, “Penyelesaian Pertikaian di Jepang Kontemporer;” dalam AAG Peters & Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan...Buku II...Op. Cit., h. 99. 
[43] Ps.3 ayat (2) UU No.14/1970  ttg Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman