Pendahuluan
1.LATAR BELAKANG
Proses modernisasi dan globalisasi menempatkan bangsa Indonesia dalam arus perubahan besar yang mempengaruhi segala dimensi kehidupan masyarakat, terutama kehidupan budaya. Pada hakekatnya perubahan itu merupakan proses historis yang panjang, yangbberkembang dari masa ke masa. Didalam sejarah Indonesia proses tersebut terlihat sejak dari awal pembentukan masyarakat pada masa prasejarah, kedatangan pengaruh kebudayaan Hindu- Budha, kedatangan agama dan kebudayaan Islam, serta hadirnya pengaruh Barat, sampai masa kini. Sudah difahami bahwa selama perjalanan sejarah tersebut di atas, bangsa Indonesia beberapa kali berada dalam situasi yang sama, yaitu berhadapan dengan kedatangan budaya lain yang berbeda sifatnya. Oleh karena itu, tidak dapat diingkari bahwa dalam proses yang panjang itu pernah terjadi pula ketegangan dan konflik. Akan tetapi, ketegangan dan konflik tersebut sebenarnya adalah bagian dari proses ke arah penyatuan.
Sebagai negara berkembang yang sedang melaksanakan pembangunan, maka bagi generasi muda Indonesia modern tetap diperlukan pendidikan kebudayaan, terutama yang berhubungan dengan sejarah kebudayaan dan peradaban bangsa. Hal ini ditekankan, karena upaya untuk pembangunan sumberdaya manusia yang memiliki kualitas dan integritas tinggi dibutuhkan landasan pemahaman dan kesadaran akan sejarah budaya masyarakat dan bangsa yang mantap. Masyarakat Indonesia masa kini merupakan suatu mozaik yang kompleks, yang akan sulit difahami hakekatnya tanpa mengetahui latar belakang historisnya, baik dalam aspek sosial, politik, ekonomi, maupun kultural. Tanpa mengecilkan arti pengaruh budaya yang lain, harus disadari bahwa kebudayaan Islam Indonesia merupakan salah satu unsur pembentuk mozaik budaya Indonesia, dan sudah mulai muncul di Nusantara pada abad XI M.
Interaksi antara agama dan kebudayaan itu dapat terjadi dengan, pertama agama memperngaruhi kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi bangunan. Kedua, agama dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan Indonesia mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan dan hajar. Dan ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitemnilai dan simbol agama Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan, yaitu, keduanya adalah sitem nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan. Agama, dalam perspektif ilmu-ilmu sosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar. Sementara seni tradisi merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia (dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom).
Baik agama maupun kebudayaan, sama-sama memberikan wawasan dan cara pandang dalam mensikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan kemanusiaannya. Misalnya, dalam menyambut anak yang baru lahir, bila agama memberikan wawasan untuk melaksanakan aqiqah untuk penebusan (rahinah) anak tersebut, sementara kebudayaan yang dikemas dalam marhabaan dan bacaan barjanji memberikan wawasan dan cara pandang lain, tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu mendo”akan kesalehan anak yang baru lahir agar sesuai dengan harapan ketuhanan dan kemanusiaan. Demikian juga dalam upacara tahlilan, baik agama maupun budaya lokal dalam tahlilan sama-sama saling memberikan wawasan dan cara pandang dalam menyikapi orang yang meninggal Oleh karena itu, biasanya terjadi dialektika antara agama dan kebudayaan tersebut. Agama memberikan warna (spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama. Namum terkadang dialektika antara agama dan seni tradisi atau budaya lokal ini berubah menjadi ketegangan. Karena seni tradisi, budaya lokal, atau adat istiadat sering dianggap tidak sejalan dengan agama sebagai ajaran Ilahiyat yang bersifat absolut. Epistemologi Pribumisasi Islam
Gagasan pribumisasi Islam, secara geneologis dilontarkan pertama kali oleh Abdurrahman Wahid pada tahun 1980-an. Dalam ‘Pribumisasi Islam’ tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Sehingga, tidak ada lagi pemurnian Islam atau proses menyamakan dengan praktik keagamaan masyarakat muslim di Timur Tengah. Bukankah Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah berarti tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri? Dalam hal ini, pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Inti ‘Pribumisasi Islam’ adalah kebutuhan bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan.Pribumisasi Islam telah menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya yang otentik dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan budaya. Pada konteks selanjutnya, akan tercipta pola-pola keberagamaan (Islam) yang sesuai dengan konteks lokalnya, dalam wujud ‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari ‘Islam Otentik’ atau ‘Islam Murni’ yang ingin melakukan proyek Arabisasi di dalam setiap komunitas Islam di seluruh penjuru dunia. ‘Islam Pribumi’ justru memberi keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan beraneka ragam. Tidak ada lagi anggapan Islam yang di Timur Tengah sebagai Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami historisitas yang terus berlanjut,Sebagai contoh dapat dilihat dari praktek ritual dalam budaya populer di Indonesia, sebagaimana digambarkan oleh Kuntowijoyo, , menunjukkan perkawinan antara Islam dan budaya lokal yang cukup erat. Upacara Pangiwahan di Jawa Barat, sebagai salah satunya, dimaksudkan agar manusia dapat menjadi ‘wiwoho’, yang mulia. Sehingga berangkan dari pemahaman ini, masyarakat harus memuliakan kelahiran, perkawinan, kematian, dan sebagainya. Semua ritual itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kehidupan manusia itu bersifat mulia. Konsep mengenai kemuliaan hidup manusia ini jelas-jelas diwarnai oleh kultur Islam yang memandang manusia sebagai makhluq yang mulia.‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari Islam otentik mengandaikan tiga hal. Pertama, ‘Islam Pribumi’ memiliki sifat kontekstual, yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu dan perbedaan wilayah menjadi kunci untuk menginterpretasikan ajaran. Dengan demikian, Islam akan mengalami perubahan dan dinamika dalam merespons perubahan zaman. Kedua, ‘Islam Pribumi’ bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan dipahami sebagai ancaman terhadap penyimpangan terhadap ajaran dasar agama (Islam), tetapi dilihat sebagai pemicu untuk melakukan respons kreatif secara intens. Ketiga, ‘Islam Pribumi’ memiliki karakter membebaskan. Dalam pengertian, Islam menjadi ajaran yang dapat menjawab problem-problem kemanusiaan secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnik. Dengan demikian, Islam tidak kaku dan rigid dalam menghadapi realitas sosial masyarakat yang selalu berubah.Dalam konteks inilah, ‘Islam Pribumi’ ingin membebaskan puritanisme, otentifikasi, dan segala bentuk pemurnian Islam sekaligus juga menjaga kearifan lokal tanpa menghilangkan identitas normatif Islam. Karena itulah, ‘Islam Pribumi’ lebih berideologi kultural yang tersebar (spread cultural ideology), yang mempertimbangkan perbedaan lokalitas ketimbang ideologi kultural yang memusat, yang hanya mengakui ajaran agama tanpa interpretasi. Sehingga dapat tersebar di berbagai wilayah tanpa merusak kultur lokal masyarakat setempat. Dengan demikian, tidak akan ada lagi praktik-praktik radikalisme yang ditopang oleh paham-paham keagamaan ekstrem, yang selama ini menjadi ancaman bagi terciptanya perdamaian.
Otentisitas Islam Pribumi
Cuma permasalahanya apakah Islam pribumi dapat dipandang ‘absah’ dalam perspektif doktrin Islam. Mengabsahan ini penting menyangkut sosialisasi dan internalisasi Islam pribumi sebagai wacana pembebasan umat di kalangan umat Islam sendiri. Kelompok puritan Islam telah menuduh Islam pribumi sebagai sebagai pengejawantahan dari praktek bid’ah yang telah menyimpang dari ajaran Islam. Lebih lanjut kelompok ini berkeyakinan ahli bid’ah adalah sesat (dlalalah). Dalam sejarah Islam Jawa telah direkam bagaimana upaya-upaya penguasa Islam waktu itu dalam memberangus praktek sufime yang mereka tuduh telah menyimpang dari ortodoksi Islam.
Ambillah contoh misalnya tentang konfik antara Syekh Siti Jenar dengan seorang raja dari Demak. Seperti diketahui, Syekh Siti Jenar dikenal sebagai seorang Wali yang mempunyai kecenderungan mistis yang sangat kuat. Jalan tarekat yang dia tempuh sering menimbulkan ketegangan antara ketentuan-ketentuan syari’at yang baku (doktris resmi Islam). Seringkali paham mistiknya yang sangat kuat itu menyebabkan ia meremehkan hukum-hukum yang sudah diadobsi dari kerajaan. Oleh karena itulah penguasa kerajaan Islam Jawa di Demak itu kemudian berusaha keras untuk memadamkan pengaruh mistik, sufi dan tarekat, karena paham-paham seperti itu menyebabkan orang menjadi individualistik dan meremehkan kekuasaan keraton.Demikianlah, akhirnya Demak menghukum Syekh Siti Jenar dengan cara membakar hidup-hidup (meskipun pada akhirnya konon dia tidak mati) yang melambangkan disirnakannya sufisme dan mistis Islam untuk digantikan dengan syari’at demi ketertiban negara. Walaupun Kuntowijoyo.menyimpulkan tragedi tersebut bukan katrena faktor keyakinan beragama antara keyakinan resmi yang diwakili oleh Raja Demak dengan keyakinan menyimpang yang dicontohkan oleh Syekh Siti Jenar, melainkan semata-mata karena faktor kekuasaan. Teori yang dapat ditunjukkan adalah bahwa jika ajaran Islam yang diusung ke dalam tradisi kerajaan menguntungkan atas langgengnya status quo kekuasaan, maka ajaran itu diadobsi bahkan dikembangkan, tetapi jika ajaran itu membahayakan kekuasaan; deligitimasisasi, berpotensi memimbulkan kegoncangan sosial, maka ajaran tersebut diberangus secepatnya.Klaim-klaim yang dilontarkan kelompok Islam Puritan perlu mendapat counter discourse untuk sebuah agenda dialog terbuka yang membuka peluang adanya new paradigm masing-masing yang berdialog. Kebanyakan kelompok Islam puritan mempunyai pemahaman bahwa al-Qur’an sebagai sumber ortodoksi adalah kitab yang komprehensif, sehingga masalah apapun yang ada disekitar manusia sampai kapanpun, akan ada jawaban-jawaban spesifik dalam al-Qur’an. Inilah yang dalam pandangan Mark R. Woodward.tidak akan mungkin terjadi. Sebab apa ? Karena itu bukan menjadi watak al-Qur’an, sebagaimana kitab suci yang lainnya, untuk berbicara secara komprehensif mengenai kosmologi, soteriologi, etika, ritual, dan aspek-aspek keagamaan lainnya.Sistem-sistem doktrinal, begitu kata Mark R. Woodward selanjutnya, yang komprehensif hanya bisa muncul melalui penafsiran. Teologi dan hukum Islam didasarkan pada penafsiran al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Formulasi doktrin itu telah dimulai tidak lama sesudah Nabi Wafat dan berpuncak dalam bentuk hadis dan syari’at semikanonik.
Hadis dan syari’at termasuk aspek doktrin yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Fazlur Rahman, mendefinisikan hadis sebagai “:suatu narasi, biasanya sangat pendek, yang pokok isinya memberikan informasi mengenai apa yang dikatakan, dilakukan atau apa yang disetujui dan tidak disetujui dari para sahabatnya …”. Bukti kuat menunukkan bahwa hadis berisi banyak informasi mengenai praktek-sosial keagamaan komunitas Muslim awal, berapa diantaranya dapat dilacak langsung ke Nabi.Selain itu semua itu merupakan hasil proses simbolisasi yang lewatnya prinsip-prinsip al-Qur’an digunakan untuk membangkitkan atau menafsirkan ulang bentuk-bentuk praktek kepercayan, sosial dan keagamaan. Upaya-upaya merujuk pernyataan-pernyataan dan praktek-praktek ini ke Nabi SAW akan meligitimasi inpvasi dan interpretasi keagamaan. Selain itu, hadis dikembangkan untuk mendukung tradisi politik dan doktrin yang luas. Penting kaitannya dengan hal ini, Muslim syi’ah mempunyai bentuk hadis yang berbeda dengan mayoritas Sunni. Hal ini membawa kepada pengamatan juniboll (1953) bahwa salah satu dari tujuan utama formulasi hadis adalah untuk mengabsahkan kedudukan-kedudukan teologis dengan mengaitkannya dengan Nabi. Ulama tampak mengakui, proses “pengumpulan” tidak bisa dilanjutkan untuk jangka waktu tak terbatas tanpa terjerembab ke dalam pemalsuan yang tidak terbatas pula. Oleh karena itu, sepanjang zaman Islam era ketiga, dikembangkan ilmu transmisi hadis dan temuan-temuan yang kan didokumentasikan dengan baik ini, dirancang dalam enam kumpulan semikanotik (kutub as-sittah) yang, bersama al-Qur’an, merupakan inti Islam “ortodok”. Kemunculan literatur hadis memberikan contoh jernih peran penafsiran dan simbolisasi dalam evolusi tradisi-tradisi kitabiah. Proses ini merupakan perangkat yang melaluinya prinsip-prinsip dasar al-Qur’an digunakan untuk menyusun dan menafsirkan tradisi yang hidup, yang pada gilirannya meberikan basis untuk menyusun dan menafsirkan tradisi yang hidup, yang pada gilirannya memberikan basis untuk skripturalisasi hadis (melalui asosiasi simboliknya dengan Nabi Muhammad). Hadis menawarkan model untuk ritual rakyat (popular ritual) dan agama pemujaan (devotional religion), dan ini melengkapi suatu lingkaran penafsiran.Sama halnya dengan peran penafsiran dalam pertumbuhan syari’at, Goldziher. melihat bahwa perkembangan hukum didorong sebagian besar oleh penaklukan Arab tas kawasan Byzantium dan Persia, dan syari’at menggunakan yurisprudensi Romawi. Hukum Islam didasarkan pada empat prinsip fundamental : (1) al-Qur’an, (2) al-Hadis, (3) Konsensus Ulama (ijma’), (4), analogi (qiyas) (Rahman, 1979 : 68). Ia berupaya untuk memperluas prinsip-prinsip fundamental dari al-Qur’an atau hadis, dengan memunculkan petunjuk lengkap untuk semua segi tingkah laku keagamaan dan sosial.Karakter syari’at bersama dengan penggunaan konsensus dan analogi sebagai prinsip-prinsip penafsiran memunculkan perdebatan tentang pokok persoalan yang jauh terlepas dari tema sentral al-Qur’an dan tampaknya akan melanggar sejumlah hadis, tema yang membebaskan “dari beban yang menyusahkan”. Diantara perdebatan-perdebatan ini – dan satunnya yang akan diperhitungkan dalam ulasan-ulasan tentang pribumisasi Islam – adalah tentang kultus roh Jawa (javanese spirit cult) dan teori kerajawian, yakni yang berhubungan dengan keabsahan perkawinan antara manusia dan roh. Goldziher berpendapat bahwa bentuk asus hukum ini merupakan salah satu dari faktor utama yang mendorong berkembangnya sufisme.Penjelasan panjang tersebut untuk menjawab klaim kelompok puritan bahwa kelompok mereka yang paling otentik dalam mempraktekkan ajaran Islam sehari-hari. Otentisitas memang menjadi salah satu kriteria kebenaran sebuah pemahaman ajaran agama. Tetapi seringkali diabaikan di sini proses-proses sosial, politik dan budaya yang mempengaruhi pemikiran dan perumusan (sistem) ajaran tersebut, suatu dimensi historis dari ajaran agama. Kaum puritan mengabaikan dimensi tafsir dalam ajaran agama, seolah-olah agama adalah paket dari langit yang superlengkap dengan juklak dan juknis, padahal realitas yang telah ditunjukkan tidaklah demikian. Ajaran agama sarat dengan penafsiran, dan penafsiran terkait dengan ruang dan waktu, di sana ada dialektika dengan struktur budaya di mana tafsir itu lahir, sehingga di sini Islam Pribumi menemukan keabsahannya. Dakwah dan Tradisi Lokal
Sejak kehadiran Islam di Indonesia, para ulama telah mencoba mengadobsi kebudayaan lokal secara selektif, sistem sosial, kesenian dan pemerintahan yang pas tidak diubah, termasuk adat istiadat, banyak yang dikembangkan dalam perspektif Islam. Hal itu yang memungkinkan budaya Indonesia tetap beragama, walaupun Islam telah menyatukan wilayah itu secara agama.Kalangan ulama Indonesia memang telah berhasil mengintegrasikan antara keIslaman dan keindonesiaan, sehingga apa yang ada di daerah ini telah dianggap sesuai dengan nilai Islam, karena Islam menyangkuit nilai-nilai dan norma, bukan selera atau idiologi apalagi adat. Karena itu, jika nilai Islam dianggap sesuai dengan adat setempat, tidak perlu diubah sesuai dengan selera, adat, atau idiologi Arab, sebab jika itu dilakukan akan menimbulkan kegoncangan budaya, sementara mengisi nilai Islam ke dalam struktur budaya yang ada jauh lebih efektif ketimbang mengganti kebudayaan itu sendiri.Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau budaya Indonesia. Sama seperti Islam di Arab saudi,
Arabisme dan Islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah (mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha), dengan cukup cerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu. Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya. Berbeda dengan agama-agama lain, Islam masuk Indonesia dengan cara begitu elastis. Baik itu yang berhubungan dengan pengenalan simbol-simbol Islami (misalnya bentuk bangunan peribadatan) atau ritus-ritus keagamaan (untuk memahami nilai-nilai Islam).
Dapat kita lihat, masjid-masjid pertama yang dibangun di sini bentuknya menyerupai arsitektur lokal-warisan dari Hindu. Sehingga jelas Islam lebih toleran terhadap warna/corak budaya lokal. Tidak seperti, misalnya Budha yang masuk “membawa stupa”, atau bangunan gereja Kristen yang arsitekturnya ala Barat. Dengan demikian, Islam tidak memindahkan simbol-simbol budaya yang ada di Timur Tengah (Arab), tempat lahirnya agama Islam.Demikian pula untuk memahami nilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam dulu, memang lebih luwes dan halus dalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat yang heterogen setting nilai budayanya. Mungkin kita masih ingat para wali –yang di Jawa dikenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka dapat dengan mudah memasukkan Islam karena agama tersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam racikan dan kemasan bercita rasa Jawa. Artinya, masyarakat diberi “bingkisan” yang dibungkus budaya Jawa tetapi isinya Islam.
Sunan Kalijaga misalnya, ia banyak menciptakan kidung-kidung Jawa bernafaskan Islam, misalnya Ilir-ilir, tandure wis semilir. Perimbangannya jelas menyangkut keefektifan memasukkan nilai-nilai Islam dengan harapan mendapat ruang gerak dakwah yang lebih memadai. Meminjam pendapat Mohammad Sobary (1994: 32) dakwah Islam di Jawa masa lalu memang lebih banyak ditekankan pada aspek esoteriknya, karena orang Jawa punya kecenderungan memasukkan hal-hal ke dalam hati. Apa-apa urusan hati. Dan banyak hal dianggap sebagai upaya penghalusan rasa dan budi. Islam di masa lalu cenderung sufistik sifatnya. Secara lebih luas, dialektika agama dan budaya lokal atau seni tradisi tersebut dapat dilihat dalam perspektif sejarah. Agama-agama besar dunia: Kristen, Hindu, termasuk Islam, karena dalam penyebarannya selalu berhadapan dengan keragaman budaya lokal setempat, strategi dakwah yang digunakannya seringkali dengan mengakomodasi budaya lokal tersebut dan kemudian memberikan spirit keagamaannya. Salah satu contoh yang baik adalah tradisi kentrungan atau wayang yang telah diisi dengan ajaran kristen tentang cerita Yesus Kristus di Kandhang Betlehem dan diisi oleh Islam tentang ajaran kalimusodo (kalimat syahadat) atau ajaran keadilan dan yang lainnya. Dialektika antara agama dan budaya lokal juga terjadi seperti dalam penyelenggaraan sekaten di Yogyakarta (atau di Cirebon), dan hari raya atau lebaran ketupat di Jawa Timur yang diselenggarakan satu minggu sesudah Idulfitri. Dalam perspektif sejarah Islam Indonesia, upacara Sekaten merupakan kreativitas dan kearifan para wali untuk menyebarkan ajaran Islam. Upacara sekaten ini merupakan upacara penyelenggaraan maulid Nabi yang ditransformasikan dalam upacara sekaten. Substansinya adalah untuk memperkenalkan ajaran tauhid (sekaten ubahan dari syahadatain) sekaligus melestarikan atau tanpa mengorbankan budaya JawaWujud dakwah dalam Islam yang demikian tentunya tidak lepas dari latar belakang kebudayaan itu sendiri. Untuk mengetahui latar belakang budaya, kita memerlukan sebuah teori budaya. Menurut Kuntowijoyo dalam magnum opusnya Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, sebuah teori budaya akan memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut: Pertama, apa struktur dari budaya. Kedua, atas dasar apa struktur itu dibangun. Ketiga, bagaimana struktur itu mengalami perubahan. Keempat, bagaimana menerangkan variasi dalam budaya.Persoalan pertama dan kedua, akan memberikan penjelasan mengenai hubungan antar simbol dan mendasarinya. Paradigma positivisme –pandangan Marx di antaranya– melihat hubungan keduanya sebagai hubungan atas bawah yang ditentukan oleh kekuatan ekonomi, yakni modus produksi. Berbeda dengan pandangan Weber yang dalam metodologinya menggunakan verstehen atau menyatu rasa. Dari sini dapat dipahami makna subyektif dari perbuatan-perbuatan berdasarkan sudut pandang pelakunya. Realitas ialah realitas untuk pelakunya, bukan pengamat. Hubungan kausal –fungsional dalam ilmu empiris-positif– digantikan hubungan makna dalam memahami budaya. Sehingga dalam budaya tak akan ditemui usaha merumuskan hukum-hukum (nomotetik), tapi hanya akan melukiskan gejala (ideografik). Dengan demikian, mengikuti premis Weber di atas, dalam simbol-simbol budaya yang seharusnya dipahami atau ditangkap esensinya adalah makna yang tersirat. Dari sini lalu dapat dikatakan bahwa dalam satu makna (esensi), simbol boleh berbeda otoritas asal makna masih sama.Demikian pula dengan ritus-ritus semacam ruwahan, nyadran, sekaten maupun tahlilan. Semua pada level penampakannya (appearence) adalah simbo-simbol pengungkapan atas nilai-nilai yang diyakini sehingga dapat mengungkapkan makna ’subyektif’ (kata ini mesti diartikan sejauhmana tingkat religiusitas pemeluknya) dari pelakunya. Tindakan seperti ini ada yang menyebut sebagai syahadat yang tidak diungkapkan, tetapi dijalankan dalam dimensi transeden dan imanen. Dengan kata lain high tradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya abstrak, jika ingin ditampakkan, perlu dikongkretkan dalam bentuk low tradition yang niscaya merupakan hasil pergumulan dengan tradisi yang ada. Dalam tradisi tahlilan misalnya, high tradition yang diusung adalah taqarrub ilallah, dan itu diapresiasikan dalam sebuah bentuk dzikir kolektif yang dalam tahlilan kentara sekali warna tradisi jawaismenya. Lalu muncul simbol kebudayan bernama tahlilan yang didalamnya melekat nilai ajaran Islam. Dan Kuntowijiyo merekomendasikan kepada umat Islam untuk berkreasi lebih banyak dalam hal demikian, karena akan lebih mendorong gairah masyarakat banyak menikmati agamanya.
Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau, beragam bahasa dan budaya. Sebagai sebuah negara tentu ini merupakan sesuatu yang tak biasa. Dibandingkan dengan negara-negara Eropa atau negara Timur lainnya tampak jelas perbedaannya. Secara jelas Jerman atau Korea misalnya, negara dibatasi oleh oleh ciri-ciri yang mempunyai nilai-nilai kebangsaan yang khas, karena itu munculah istilah negara-bangsa. Bisa dikatakan bahwa kebudayaan dalam sebuah negara-bangsa bersifat natural atau dengan kata lain kebudayaan bila dikonsepkan dalam suatu pernyataan politis adalah sesuatu yang terberi.Indonesia dengan beragam budayanya merupakan sebuah bangsa. Namun sulit menjelaskan secara tegas ciri-ciri kebudayaan dalam konteks nasionalitas. Denis Lombard sejarawan yang menulis traktat sejarah pulau Jawa (Nusa Jawa Silang Budaya, 1999) melihat bahwa kebudayaan yang menjadi nilai-nilai kebangsaan di Indonesia terbentuk lewat osmose (atau difusi) bermacam kebudayaan, seperti Belanda, India, Cina dan Arab. Sampai saat ini proses akulturasi bahkan terus terjadi dalam dinamika kehidupan di kepulauan Nusantara.
Kebudayaan sebagai konsep yang integral dengan pemahaman tentang nasionalisme baru muncul dan dalam arti tertentu dipahami setelah indonesia menjadi negara berdaulat. Terma kebudayaan nasional tertulis dalam Undang-Undang Dasar 45. Boleh dibilang bahwa kebudayaan nasional terbentuk seiring dengan terbentuknya ideologi negara. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila termaktub ciri khas apa yang kita kenal sebagai kepribadian bangsa. Penghormatan atas kemerdekaan, menjunjung tinggi perdamaian abadi dan keadilan sosial adalah beberapa contoh nilai-nilai yang mencerminkan nilai-nilai kebangsaan.Memang hal ini akan mencuatkan sebuah pertanyaan. Misalnya bukankah kebudayaan dalam arti tertentu terkait dengan simbol-simbol yang terbatas pada suatu daerah? Misalnya bahasa, pakaian, dan juga pola hidup daerah tertentu. Lalu bagaimana konsep kebudayaan nasional itu dapat dirumuskan? Bila kita cermati kembali, kebudayaan nasional dapat diartikan sebagai keseluruhan kebudayaan yang ada di setiap daerah yang ada dalam negara Indonesia. Dalam konteks ini kita tak bisa mengatakan bahwa kebudayaan nasional adalah cerminan dari keragaman kebudayaan daerah. Dalam arti apa kebudayaan nasional dapat dipahami? Secara konseptual memang sulit memahami terma kebudayaan, namun satu hal dapat dipahami bahwa dalam konsep kebudayaan nasional terdapat sebuah kesatuan makna yang mencerminkan keindonesiaan.
Pada masa orde baru, penyebaran Pancasila sebagai ideologi dianggap sebagai sebuah upaya pembudayaan. Neils Mulder dalam bukunya Mistisisme Jawa (2001) menjelaskan bahwa Pancasila merupakan perwujudan dari nilai-nilai luhur kebangsawanan yang ada di masa lalu. Sehingga upaya pemberadaban (atau pembudayaan) menurutnya merupakan sebuah upaya mewujudkan pesan-pesan yang ada di masa lalu yang telah di idealkan. Rezim orde baru melakukan praktik pembudayaan Pancasila, namun seperti kita pahami praktik ini dilakukan secara koersif. Di sini terlihat sebuah sistem kuasi-totaliter yang dipraktikkan oleh negara. Hasilnya, upaya pembudayaan tak pernah menyentuh semua lapisan masyarakat dan kehidupan politik terbentuk secara terpusat.
Pada masa reformasi, setiap warga berhak mengungkapkan sikap politik. Kemudian muncul banyak partai Islam, dan dalam beberapa hal terlihat mengendalikan cakrawala politik yang ada. Saya kira itu wajar, karena Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar sedunia. Tradisi keilmuan Islam yang pernah menjadi dinamika pada awal menyebarnya Islam ke Indonesia kembali hidup. Isu-isu keagamaan kembali menghiasi media informasi yang ada. Apakah ini tanda kemunduran ataukah sebaliknya? Pembudayaan yang dilakukan sistem pemikiran Islam tidak hanya dalam ranah etika dan moral, tapi juga pembudayaan nilai-nilai intelektualitas. Karena itu adalah wajar untuk bersikap optimistis.
Kepulauan Nusantara sebelum negara terbentuk adalah wilayah yang terhubung satu sama lain lewat perdagangan. Wilayah yang dapat dikatakan terbuka secara internasional. Kosmopolitanisme pada masa ini menjadi syarat keberlangsungan dinamika kehidupan. Maka tak heran bila banyak budaya-budaya mainstream meninggalkan jejaknya di Nusantara.
Melihat dinamika yang ada pada masa ini bolehlah kita berasumsi bahwa kepulauan Nusantara pada saat itu mempunyai budaya kosmopolit. Meski belum memenuhi hukum kosmopolitanisme seperti yang dirumuskan oleh Kant, yakni keramahtamahan universal (universal hospitality), namun keterbukaan terhadap berbagai macam kebudayaan bisa menjadi semacam acuan tentang adanya nilai-nilai kosmopolitanisme.
Islam hadir sebagai seperangkat ide atau gagasan yang diterima oleh penduduk kepulauan Nusantara dalam dinamika kehidupan masa perdagangan ini. Islam membentuk sebuah pandangan dunia, menandaskan mentalitas dan sebuah kepribadian. Tradisi keilmuan boleh dibilang mulai menggejala pada kurun ini. Jaringan ulama yang membawa ilmu agama dan kesusastraan dalam hal ini menjadi agen kebudayaan yang kemudian berkembang di Nusantara.Selain sebuah perasaan sama-sama terjajah yang dialami oleh sebagian besar penduduk kepulauan di Indonesia, Islam telah membentuk simpul-simpul identitas kebudayaan yang menjadi benih nasionalisme. Jadi kebudayaan nasional saya pikir tak lepas dari apa yang kita mengerti sebagai tradisi keislaman. Karena Islam membentuk sebuah mentalitas. Ada pun kebudayaan Barat yang mewariskan ilmu-ilmu positif tampaknya hanya memberi kontribusi pada nilai-nilai praktis dan ekonomis dalam penyelenggaraan negara. Artinya, kebudayaan Barat tak banyak memberikan nilai-nilai keindonesiaan dalam ranah kepribadian, ia hanya menggejala dalam konteks permukaan saja.
Dengan nilai-nilai yang dibawanya (ilmu agama dan sastra), Islam telah membuka jalan menuju kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme Islam tentu tidak hanya dalam konteks etika dan moral, tapi juga kita kenali dalam dinamika keilmuan—khususnya ilmu agama. Kebudayaan dengan makna etisnya dalam hal ini benar-benar ditegaskan. Berawal dari sinilah menurut saya terbentuk sebuah perilaku cosmopolitic. Perilaku yang menegaskan keutuhan jiwa yang dengannya dapat terwujud, seperti kata Jacques Derrida dalam bukunya On Cosmopolitanism and Forgiveness (2001), budaya ramah sebagai sesuatu yang alami secara publik.
Sampai saat ini waktu kedatangan Islam di Indonesia belum diketahui secara pasti,dan memang sulit untuk mengetahui kapan suatu kepercayaan mulai diterima oleh suatu komunitas tertentu. Di samping itu wilayah Nusantara yang luas, dengan banyak daerah perdagangan yang memungkinkan terjadinya kontak dengan orang asing, mengakibatkan suatu daerah mungkin lebih awal menerima pengaruh Islam daripada daerah lain. Oleh karena itu, sulit untuk mengatakan secara pasti kapan agama Islam masuk di Nusantara secara keseluruhan. Dengan demikian rangkaian berbagai macam data, baik arkeologis maupun data lain berperan menunjukkan keberadaan orang Islam di daerah bersangkutan. Beberapa ahli menyebutkan bahwa berdasarkan berita Cina dari dinasti T’ang, Islam sudah mulai diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia pada abad VII-VIII M. Berita tersebut menceritakan bahwa orang Ta-shih mengurungkan niatnya untuk menyerang kerajaan Ho-ling yang dipimpin Ratu Si-mo, karena pemerintahan di Ho-ling sangat kuat. Groeneveldt mengidentifikasikan Ta-shih sebagai orang-orang Arab, dan Ho-ling diidentifikasikan sebagai Kalingga, serta Si-mo sebagai Sima. Akan tetapi, berita tersebut belum dapat dibuktikan secara arkeologis, yakni dari sudut peninggalan budaya material. Dengan kata lain, belum ditemukan bukti-bukti artefaktual tentang keberadaan orang-orang Islam di Indonesia pada abad VII-VIII M.
Pada sisi lain diketahui bahwa masa itu sampai abad XIV M di Indonesia kerajaan-kerajaan Hindu-Budha beserta institusi-institusi keagamaannya masih berkembang dengan baik. Meskipun hal itu tidak dapat diartikan bahwa orang Islam belum menjejakkan kakinya di bumi Indonesia. Namun, paling tidak mungkin belum terbentuk komunitas Muslim yang cukup signifikan. Kegiatan pelayaran-perdagangan yang dilakukan oleh kaum Muslim dari Arab dan Persia pada waktu itu memang sudah menjangkau kawasan Asia Tenggara dan Cina. Hal itu dapat diketahui dari sumber-sumber Muslim sendiri, seperti Ibn Khurdadhbih (846), Ibn Rusteh (903), dan Al Biruni(1030). Mereka menyebutkan kunjungan mereka ke beberapa tempat seperti: Kalah (Kedah),Zabag (Jawa), Fansur (Barus). Pengertian Jawa di sini tentunya mencakup pelabuhan-pelabuhan kuno di pesisir utara pulau Jawa, seperti Tuban, Sedayu,Gresik. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa pada akhir abad XI M di Indonesia,khususnya di Jawa , sudah ada penganut agama Islam yang bermukim di kota pelabuhan. Bukti arkeologis itu berupa batu nisan bertulis dari pemakaman kuno 3Leran, di dekat kota Gresik (Jawa Timur). Pada batu nisan itu tertulis nama:Fatimah binti Maimun bin Hibatallah, dan disebutkan bahwa ia meninggal pada tahun 475 H. bersamaan dengan tahun 1082 M. Artinya masih dalam periode kekuasaan kerajaan Kadiri. Jika dilihat dari namanya tampak bahwa dua generasi di atas Fatimah (ayah dan kakeknya) sudah memeluk agama Islam. Namun, tidak jelas betul apakah mereka bumiputera yang memeluk agama Islam, ataukah pendatang yang menetap di pelabuhan terdekat.Dari sisi lain, nama Fatimah tidak diawali oleh gelar apapun. Tidak seperti nama Malik al-Saleh dari Samudra-Pasai yang diawali dengan gelar al-sultan.Dengan demikian berarti Fatimah adalah seorang muslimat dari kalangan rakyat biasa. Hal ini dapat difahami karena waktu itu pusat kekuasaan yang bercorak Hindu masih solid di kerajaan Kadiri.Setelah tahun 1082 M data tentang keberadaan orang Islam di Nusantara baru muncul pada abad XIII M, yaitu dalam bentuk nisan berprasasti huruf Arab di kompleks makam Tuan Makhdum di Barus (pantai barat Sumatra Utara).Prasasti itu memuat nama: Siti Tuhar Amisuri, dan tahun meninggalnya, yaitu 602 H. yang bersamaan dengan tahun 1205 M. Ditilik dari namanya, diduga simati adalah seorang wanita bumiputra yang memeluk agama Islam. Selain itu, ia juga diduga seorang anggota masyarakat biasa, karena namanya tidak diawali oleh gelar atau sebutan kebangsawanan. Akan tetapi, sangat mungkin pada waktu itu di wilayah Barus memang belum terbentuk institusi politik atau kerajaan yang bercorak Islam. Meskipun Barus sebagai produsen kapur barussudah dikenal dunia internasional jauh sebelum tarikh Masehi.
Pada tahapan berikutnya, terbentuklah kerajaan yang bercorak Islam. DiIndonesia kerajaan Islam yang tertua adalah Samudra-Pasai yang terletak dipantai timur Aceh sekarang. Di tempat itu sekarang masih ada kampong bernama Samudra dan Pasai, yang terletak di pantai Selat Malaka. Di situs tersebut ditemukan pemakaman kuno, yang nisan-nisannya memuat prasasti dengan bahasa dan huruf Arab. Pada salah satu nisan tersebut tercantum prasasti yang memuat nama al-sultan al Malik al Saleh yang wafat pada tahun 696 H(bertepatan dengan tahun 1297 M). Pencantuman sebutan al-sultan itulah yangmenjadi dasar interpretasi keberadaan suatu institusi politik Islam di kawasan tersebut.Tentunya sebelum terbentuk institusi politik Islam, terlebih dahulu sudah
terjadi penyebaran agama Islam secara luas di kalangan masyarakat. Hal itu tersirat di dalam sumber-sumber tertulis yang terkait dengan kawasan tersebut. Marcopolo yang pada tahun 1292 berkunjung ke beberapa pelabuhan di kawasan 4 itu, seperti Ferlec (=Perlak), mengatakan bahwa penduduk kota beragama Islam,sedang penduduk pedalaman masih kafir. Di sisi yang lain sumber tertulis local seperti Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu hanya mengkisahkan bahwa Meurah Silu, pemimpin di Samudra-Pasai, di-Islam-kan oleh Fakir Muhammad yang datang dari atas angin. Setelah itu namanya diganti menjadi Malik al-Saleh.Di Jawa institusi politik Islam yaitu kesultanan Demak baru lahir padaabad XV, bersamaan dengan mundurnya kerajaan Majapahit. Pergantian pemegang kekuasaan politik dari Majapahit ke Demak pada tahun1519 hakekatnya adalah usaha perebutan tahta di antara anggota keluarga raja.Dalamhal ini penguasa Demak yang juga keturunan Bhrawijaya Kertabhumi merasa berhak pula atas kendali kekuasaan kerajaan Majapahit. Sekalipun demikian tidak dapat pula diabaikan bahwa perbedaan pandangan keagamaan juga memberikan kemungkinan kepada Demak untuk menaklukkan Majapahit.Harus dicatat pula bahwa sudah sejak masa kejayaan Majapahit sudah adaorang-orang Islam yang tinggal di kota kerajaan, sebagaimana tampak darikubur-kubur Islam kuno di Tralaya. Nisan-nisan kuno tersebut memuat angka tahun tertua: 1290 Ç = 1368 M, dan angka tahun termuda 1533 Ç = 1611 M, tetapi tidak memuat nama sama sekali. Data itu menggambarkan bahwa pada tahun1368 M , yang masih dalam masa keemasan Majapahit, sudah ada orang Muslim yang tinggal di kota kerajaan, sebab situs Tralaya diduga berada di selatan kraton Majapahit. Beberapa nisan di situs tersebut memuat relief surya majapahit yang diyakini merupakan lambang kerajaan Majapahit, sehingga ditafsirkan bahwa orang yang dikuburkan di tempat tersebut adalah keluarga dekat raja, dan beragama Islam
Penyebaran Islam
Sebelum kesultanan Demak lahir, penyebaran agama Islam di Jawa sudah dilakukan, baik oleh orang asing maupun oleh bumiputera sendiri. Adapun caracara penyebaran yang dilakukan antara lain melalui pernikahan dengan wanita setempat, dakwah, pendidikan, dan kesenian. Sebagian penyebar agama Islam itu,beberapa di antaranya tergolong dalam Wali Sanga, mendirikan pesantrenpesantren yang muridnya datang dari berbagai penjuru, dan kemudian terbentuklah komunitas-komunitas Muslim di banyak tempat di Jawa. Sementara itu penyebaran Islam juga ditujukan ke pulau-pulau lain, seperti Maluku, Lombok, Kalimantan, dan Sulawesi. Penyebaran tersebut dipelopori olehpara ulama, termasuk Wali Sanga, dan kemudian mendapat dukungan politis dari para penguasa. Hal semacam ini tampak dalam penyebaran Islam misalnya
di Kalimantan Selatan.Pada tahap awalnya Islam disebarkan di Nusantara melalui jalur perdagangan, dalam arti Islam dibawa dan diperkenalkan kepada masyarakat Nusantara oleh para pedagang asing. Hal itu sejalan dengan lalu lintas perdagangan pada abad VII – XVI M, yakni dari Asia Barat dan Asia Selatan ke Asia Timur dan Asia Tenggara, serta sebaliknya. Di samping itu, di dalam Islam menyampaikan ajaran agama kepada pihak lain merupakan kewajiban bagi semua orang. Peran serta kaum pedagang dalam penyebaran Islam di Nusantara tergambar dalam Babad atau Hikayat di banyak daerah. Para pedagang asing, termasuk pedagang-pedagang Muslim, biasanya tinggal di pelabuhan-pelabuhan Nusantara dalam waktu yang cukup lama,karena selain melaksanakan kegiatan jual-beli mereka juga menunggu angina untuk berlayar pulang ke negerinya. Mereka biasanya tidak membawa keluarga,karena situasi pelayaran masa itu keras dan berat. Oleh karena itu merekabiasanya membentuk keluarga dengan menikahi wanita bumiputra, yang terlebihdahulu diislamkan. Dengan demikian, keturunan mereka sudah menjadi generasi pertama bumiputra yang beragama Islam. Hal semacam ini lebih menguntungkan lagi apabila wanita bumiputera itu adalah anak keluarga terkemuka, karena status sosialnya ikut mempercepat penyebaran Islam di tempat tersebut. Cara penyebaran Islam semacam itu sering tersirat dalam sumber-sumber tertulis
setempat.Jalur lain yang juga memegang peran dalam penyebaran Islam di Nusantara adalah tasawuf. Ajaran tasawuf yang diberikan oleh para sufi (= ulamaahli tasawuf) mengandung persamaan dengan konsep-konsep pikiran mistis Hindu-Budha yang berkembang di Nusantara waktu itu. Hal itulah yang antara lain mempermudah Islam diterima oleh masyarakat Nusantara. Kecuali melalui perdagangan, perhikahan, dan tasawuf, penyebaran Islam juga dilakukan melalui pendidikan. Dalam hal ini pendidikan yang diselenggarakan oleh ulama-ulama di pesantren atau pondok. Lembaga pendidikan tersebut tidak sukar diterima oleh masyarakat Nusantara waktu itu,karena sistemnya tidak jauh berbeda dari lembaga pendidikan yang dikelola olehpara rsi pada masa sebelumnya. Pesantren-pesantren itu banyak menarik perhatian masyarakat, termasuk yang belum memeluk agama Islam, karena para ulama pemimpin pesantren dipandang sebagai orang-orang terpelajar, santun,dan suka menolong.Cara penyebaran Islam yang lain adalah melalui seni, misalnya seni sastra,seni pertunjukan, seni musik, seni pahat, dan seni bangunan. Melalui seni pertunjukan, misalnya wayang yang digemari masyarakat Jawa, ajaran agama Islam dapat disampaikan dengan cara disisipkan dalam lakon-lakon yang masih didasarkan pada ceritera-ceritera Jawa Kuno. Selain itu, para pujangga waktu itu
juga menggubah ceritera baru untuk dipergelarkan, seperti cerita Menak Demikian pula lirik dalam tembang untuk mengiringi pergelaran tersebut, juga dipakai untuk mengungkapkan ajaran agama yang baru.
Seni bangunan juga dipakai sebagai sarana untuk penyebaran agama Islam di Nusantara. Salah satu contohnya adalah gaya arsitektur yang dipilih dalam membangun mesjid. Sebagaimana diketahui gaya arsitektur mesjid kuno yang disebut gaya Nusantara dikembangkan dari arsitektur yang sudah dikenal sebelumnya, namun disesuaikan dengan kebutuhan peribadatan agama Islam.Dengan demikian para Muslim baru tidak merasa gamang datang ke tempatperibadatan baru (mesjid) yang bentuk dan suasananya sudah akrab bagi mereka.Berbicara mengenai masuknya Islam di Nusantara, selain menyangkut waktu dan cara, juga tidak lepas dari pembawanya dalam tahap pertama. Dalam hal ini yang dimaksud adalah etnik pembawa Islam dari luar Nusantara. Sebab meskipun agama Islam diturunkan di jazirah Arab, tetapi penyebarannya ke Nusantara diduga tidak sepenuhnya dan tidak langsung dilakukan oleh etnik Arab. Etnik lain juga berperan dalam hal itu, misalnya: Persia, India, bahkan mungkin juga Cina. Interpretasi tersebut didasarkan antara lain pada:
1. adanya beberapa jirat dan nisan kubur yang didatangkan dari Gujarat
(pantai barat India)
2. adanya episode yang mengisahkan peranan orang Arab dan India
dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara, antara lain dalam
Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Babad Tanah Jawi.
3. berita yang ditulis Ma-huan (sekretaris Laksamana Cheng-ho yang
berkunjung ke Majapahit pada tahun 1415) tentang keberadaan etnik
Cina yang beragama Islam di Jawa
Pada tahap berikutnya, penyebaran Islam tampaknya dalam banyak hal sudah dilakukan oleh orang-orang bumiputera sendiri. Hal ini tampak dari peran para wali di Jawa, dan ulama-ulama lain seperti Dato’ ri Bandang di Sulawesi Selatan, serta Tuanku Tunggang di Parang di Kalimantan Timur. Di dalam sumber-sumber tertulis setempat dikisahkan bahwa mereka menyebarkan agama Islam kepada para pemuka masyarakat, dan mendirikan pesantren yang banyak menarik murid dari berbagai daerah. Banyak legenda yang mengisahkan kelebihan para wali, terutama tentang kealiman dan kekuatan supranatural mereka.
Di Jawa mereka disebutkan berjumlah sembilan, sehingga mereka lazim disebut Wali Sanga, meskipun nama-nama anggotanya tidak selalu sama. Nama yang sering disebut dalam sumber-sumber tertulis setempat adalah: Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Drajat, Sunan Giri, dan Sunan (Te)mBayat. Kadang-kadang disebutkan pula Sunan Bejagung, Sunan Geseng, Syeh Siti Jenar, dan Sunan Sendang. Tentang para wali tersebut ada beberapa hal yang secara historis belum pasti, namun makam-makam mereka sampai sekarang masih ramai diziarahi orang.
Perubahan dan Kesinambungan Budaya
Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia membawa perubahanperubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Candi dan petirtaan tidak dibangun lagi, tetapi kemudian muncul masjid, surau, dan makam. Sistem kasta di dalam masyarakat dihapus, arca dewa-dewa serta bentuk-bentuk zoomorphic tidak lagi dibuat. Para seniman ukir kemudian menekuni pembuatan kaligrafi, mengembangkan ragam hias flora dan geometris, serta melahirkan ragam hias stiliran. Kota-kota mempunyai komponen dan tata ruang baru.Bahkan pada abad XVII M Sultan Agung memunculkan kalender Jawa, yang pada dasarnya merupakan “perkawinan” antara kalender Çaka dan Hijriyah. Akan tetapi, pada sisi lain budaya tidak dapat dikotak-kotakkan, sehingga terjadi pula kesinambungan-kesinambungan yang inovatif sifatnya. Masjid dan cungkub makam mengambil bentuk atap tumpang, seperti Masjid Agung Demak,yang bentuk dasarnya sudah dikenal pada masa sebelumnya sebagaimanatampak pada beberapa relief candi.
Demikian pula menara masjid tempat muazin menyerukan azan, seperti menara di Masjid Menara di Kudus. Bentuk dasarnya tidak jauh berbeda dari candi gaya Jawa Timur yang langsing dan tinggi, tetapi detailnya berbeda. Bagian kepalanya berupa bangunan terbuka, relung-relungnya dangkal karena tidak berisi arca, dan hiasan relief diganti dengan tempelan piring porselin.
Bangunan makam Islam merupakan hal baru di Indonesia kala itu,karenanya tercipta nisan, jirat, dan juga cungkub, dalam berbagai bentuk karya seni. Nisan makam-makam tertua di Jawa, seperti makam Fatimah bin Maimun dan makam Malik Ibrahim, menurut penelitian merupakan benda yang diimpordalam bentuk jadi, sebagaimana tampak dari gaya tulisan Arab pada prasastinya dan jenis ornamentasi yang digunakan. Namun, nisan makam-makam berikutnyadibuat di Indonesia oleh seniman-seniman setempat. Hal ini antara lain tampak dari ragam hias yang digunakan, misalnya lengkung kurawal, patra, dsb. Bahkan di pemakaman raja-raja Binamu di Jeneponto (SulawesiSelatan) di atas jirat adapatung orang yang dimakamkan. Ini adalah suatu hal yang tidak pernah terjadi ditempat lain.Pada tata kota, terutama kota kerajaan di Jawa, juga dapat dilihat adanyaperubahan dan kesinambungan. Di civic centre kota-kota tersebut ada alun-alun,kraton, masjid agung, dan pasar yang ditata menurut pola tertentu. Disekelilingnya terdapat bangunan-bangunan lain, serta permukiman penduduk yang juga diatur berkelompok-kelompok sesuai dengan jenis pekerjaan, asal, dan status sosial.
1.KESIMPULAN
Di dalam perjalanannya, suatu kebudayaan memang lazim mengalami perubahan dan perkembangan. Oleh karena itu, corak kebudayaan di suatu daerah berbeda-beda dari jaman ke jaman. Perubahan itu terjadi karena ada kontak dengan kebudayaan lain, atau dengan kata lain karena ada kekuatan dari luar. Hubungan antara para pendukung dua kebudayaan yang berbeda dalamwaktu yang lama mengakibatkan terjadinya akulturasi, yang mencerminkan adanya pihak pemberi dan penerima. Di dalam proses itu terjadi percampuran unsur-unsur kedua kebudayaan yang bertemu tersebut. Mula-mula unsurunsurnya masih dapat dikenali dengan mudah, tetapi lama-kelamaan akan muncul sifat-sifat baru yang tidak ada dalam kebudayaan induknya.Rupanya proses seperti diuraikan di atas berulang kali terjadi di Indonesia,termasuk ketika Islam masuk dan berkembang di Indonesia. Pertemuan dan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha,
Prasejarah, dan Islam ( kemudian juga kebudayaan Barat) terjadi dalam jangka waktu yang panjang, dan bertahap.Tidak dipungkiri bahwa selama itu tentu terjadi ketegangan serta konflik. Akan tetapi hal tersebut adalah bagian dari proses menuju akulturasi. Faktor pendukung terjadinya akulturasi adalah kesetaraan serta kelenturan kebudayaan pemberi dan penerima, dalam hal ini kebudayaan Islam dan pra-Islam. Salah satu contohnya adalah bangunan masjid. Akulturasi juga memicu kreativitas seniman,sehingga tercipta hasil-hasil budaya baru yang sebelumnya belum pernah ada,juga way of life baru.
Setelahmengetahui bahwa terjadi akulturasi dan perubahan sehingga
terbentuk kebudayaan Indonesia-Islam, maka perlu difikirkan bagaimana pengembangannya pada masa kini dan masa mendatang. Dalam hal budaya materi memang harus dilakukan pengembangan-pengembangan sesuai dengan kemajuan teknologi, supaya tidak terjadi stagnasi, tetapi tanpa meninggalkan kearifan-kearifan yang sudah dihasilkan.
Hasil akulturasi menunjukkan bahwa Islam memperkaya kebudayaan yang sudah ada dengan menunjukkan kesinambungan, namun tetap dengan ciri9 ciri tersendiri. Hasil akulturasi juga memperlihatkan adanya mata rantai-mata rantai dalam perkembangan kebudayaan Indonesia. Supaya mata rantai-mata rantai tersebut tetap kelihatan nyata, harus dilakukan pengelolaan yang terintegrasi atas warisan-warisan budaya Indonesia. Hal ini perlu dikemukakan dan ditekankan, mengingat banyak warisan budaya yang terancam keberadaannya, terutama karena kurangnya kepedulian dan pengertian masyarakat Indonesia sendiri.
2.KRITIK DAN SARAN
Saya disini sebagai penyusun makalah ini telah memperoleh kesimpulan dan kebudayaan memang merupakan asset terbesar bangsa Indonesia,islam sebagai agama terbesar diindonesia telah menjadi akar kebudayaan bangsa Indonesia,walaupun kegiatan-kegiatan atau ritual-ritual seperti yang ada dikebudayaan bangsa Indonesia tidak dibenarkan oleh ajaran islam.
Lihat Hendar Riyadi, Respon Muhammadiyah dalam Dialektika Agama, Pikiran Rakyat, Senin 24 Pebruari 2003
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, (Jakarta : Desantara, 2001), hal. 111
Khamami Zada dkk., “Islam Pribumi : Mencari Wajah Islam Indonesia”, dalam Tashwirul Afkar, jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan, Edisi No. 14 tahun 2003, hal. 9-10 Lihat Mark R. Woodward, Islam Jawa : Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogyakarta : LKIS, 1999) hal. 90 Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of Chicago Press, 1979), hal. 54 Mark R. Woodward, Islam Jawa … hal. 91 Goldziher, Introduction to Islamic … hal. 45 Anjar Nugroho, “Dakwah Kultural : Pergulatan Kreatif Islam dan Budaya Lokal”, dalam Jurnal Ilmiah Inovasi, No.4 Th.XI/2002 DAFTAR PUSTAKA
Adrisijanti Romli, Inajati, 1997, “Islam dan Kebudayaan Jawa”, dalam Cinandi,
Yogyakarta: Panitia Lustrum VII Jurusan Arkeologi UGM, hlm. 146-150
-----------------------------, 2001, Arkeologi Perkotaan Mataram-Islam, Yogyakarta : Jendela
---------------------, 2003, ”Bandar Niaga Barus Raya. Kajian Perbandingan dengan
Bandar Kuno di Pulau Jawa”, Seminar Internasional Barus Raya, Jakarta:
2003
---------------------, 1991, ”Makam-Makam Kesultanan dan Para Wali Penyebar
Islam di Pulau Jawa”, dalam Aspek-Aspek Arkeologi Indonesia, no. 12,
Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Damais, L.Ch., 1995, “Makam Islam di Tralaya”, dalam Epigrafi dan Sejarah
Nusantara (terj.), Jakarta: EFEO, hlm. 223-334
Guillot, Claude, (ed.), 2002, Lobu Tua. Sejarah Awal Barus, Jakarta: EFEO &
Pusat Penelitian Arkeologi.
Miksic, John, 1996, Indonesian Heritage. Ancient History, Singapore: Didier Millet
Pte Ltd.
Subarna, Abay D., 1987, ”Unsur Estetika dan Simbolik pada Bangunan Islam”,
makalah pada Diskusi Ilmiah Arkeologi II
Tjahjono, Gunawan, 1998, Indonesian Heritage. Architecture, Singapore: Didier
Millet Pte Ltd 10
Tjandrasasmita, Uka, 1985, The Arrival and Expansion of Islam in Indonesia
Relating to Southeast Asia, Jakarta: Masagung Foundation
Tjandrasasmita, Uka (ed.), 1990, Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Balai
Pustaka
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, (Jakarta : Desantara,2001)
Anjar Nugroho, “Dakwah Kultural : Pergulatan Kreatif Islam dan Budaya Lokal”, dalam Jurnal Ilmiah Inovasi, No.4 Th.XI/2002
Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of Chicago Press, 1979)
Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, (Princeton ; Princeton University Press, 1981), hal. 31-42, atau Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of Chicago Press, 1979)
Hendar Riyadi, Respon Muhammadiyah dalam Dialektika Agama, Pikiran Rakyat, Senin 24 Pebruari 2003
Khamami Zada dkk., “Islam Pribumi : Mencari Wajah Islam Indonesia”, dalam Tashwirul Afkar, jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan, Edisi No. 14 tahun 2003
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme transendental, Bandung : Mizan, 2001
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan, 1991)
Mark R. Woodward, Islam Jawa : Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogyakarta : LKIS, 1999)
Marwanto, “Islam dan Demistifikasi Simbol Budaya”, dalam Solo Pos, Kamis 22 Juli 2002