AKU TIDAK TAKUT SENDIRI. TUHAN PUN JUGA SENDIRI. DAN DIA MENJADI YANG MAHA KUAT KARENA ITU (SOE HOK GIE)

Kamis, 18 Oktober 2012

“Sejarah Kelam Penegakan HAM Di Indonesia: Refleksi Pelanggaran HAM terkait Pembantaian PKI”



 
Konflik adalah bagian dari eksistensi manusia yang  terjadi di mana-mana.   Kekerasan yang ditimbulkan dalam konflik akhirnya membawa masyarakat pada  situasi yang merugi. Apalagi dalam kebudayaan bangsa Indonesia sendiri telah  tertanam culture violence, seperti dapat diterjemahkan dalam kata misalnya:  amok, keroyokan, dan sebagainya. Salah satu konflik yang paling besar selama  Republik Indonesia ini berdiri adalah pembantaian-pembantaian para anggota,  simpatisan dan orang-orang yang dituduh sebagai anggota Partai Komunis  Indonesia. Pembantaian tersebut dimulai pada bulan-bulan terakhir tahun 1965  sampai pertengahan tahun 1966.
Peristiwa G30S 1965 adalah suatu lembaran sejarah hitam bagi bangsa Indonesia. Sebab dampak peristiwa tersebut telah merobah 180 derajat peta politik dan tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik negara yang digariskan Bung Karno untuk membangun Indonesia yang merdeka , berdaulat dan mandiri berdasarkan Trisakti, melawan nekolimisme-neoliberalisme dirobah oleh rejim Suharto menjadi politik pembudakan kepada kekuatan neoliberalisme, sehingga Indonesia praktis tidak berdaulat lagi. Inilah tragedy tata politik dan tata negara Indonesia. Di sisi lain peristiwa G30S berdampak terjadinya malapetaka yang mengerikan pelanggaran HAM berat. di mana langsung atau tidak langsung terlibat rejim Suharto.  Inilah kejahatan kemanusiaan yang kekejamannya hanya bisa dibandingkan dengan kejahatan Nazi Hitler pada Perang Dunia ke II.
Pembantaian di Indonesia 1965–1966 adalah peristiwa pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia pada masa setelah terjadinya Gerakan 30 September di Indonesia. Diperkirakan lebih dari setengah juta orang dibantai dan lebih dari satu juta orang dipenjara dalam peristiwa tersebut. sedangkan menurut orang-orang komunis yang trauma, perkiraan awalnya mencapai 2 juta korban jiwa. Di kemudian hari, angkatan bersenjata memperkirakan jumlah yang dibantai dapat mencapai sekitar 1 juta orang. Pada 1966, memperkirakan jumlah korban meninggal sekitar 200.000 orang dan pada 1985 mengajukan perkiraan mulai dari 500,000 sampai 1 juta orang (Friend, T. (2003). Indonesian Destinies. Harvard University Press.)
Pembersihan ini merupakan peristiwa penting dalam masa transisi ke Orde Baru: Partai Komunis Indonesia (PKI) dihancurkan, pergolakan mengakibatkan jatuhnya presiden Soekarno, dan kekuasaan selanjutnya diserahkan kepada Soeharto. Kudeta yang gagal menimbulkan kebencian terhadap komunis karena kesalahan dituduhkan kepada PKI. Komunisme dibersihkan dari kehidupan politik, sosial, dan militer, dan PKI dinyatakan sebagai partai terlarang.
Pembantaian dimulai pada Oktober 1965 dan memuncak selama sisa tahun sebelum akhirnya mereda pada awal tahun 1966. Pembersihan dimulai dari ibu kota Jakarta, yang kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Timur, lalu Bali. Ribuan vigilante (orang yang menegakkan hukum dengan caranya sendiri) dan tentara angkatan darat menangkap dan membunuh orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI. Meskipun pembantaian terjadi di seluruh Indonesia, namun pembantaian terburuk terjadi di benteng-benteng PKI di Jawa Tengah, Timur, Bali, dan Sumatra Utara.
Pembantaian ini hampir tidak pernah disebutkan dalam buku sejarah Indonesia, dan hanya memperoleh sedikit perhatian dari orang Indonesia maupun warga internasional. Penjelasan memuaskan untuk kekejamannya telah menarik perhatian para ahli dari berbagai prespektif ideologis. Kemungkinan adanya pergolakan serupa dianggap sebagai faktor dalam konservatisme politik "Orde Baru" dan kontrol ketat terhadap sistem politik. Kewaspadaan terhadap ancaman komunis menjadi ciri dari masa kepresidenan Soeharto. Di Barat, pembantaian dan pembersihan ini digambarkan sebagai kemenangan atas komunisme pada Perang Dingin.
Banyak sebagian kalangan, pembantaian ini dilakukan oleh saingan politik soekarno, yakni soeharto. Dukungan terhadap kepresidenan Soekarno bergantung pada koalisi "Nasakom" antara militer, kelompok agama, dan komunis. Perkembangan pengaruh dan kemilitanan PKI, serta dukungan Soekarno terhadap partai tersebut, menumbuhkan kekhawatiran pada kelompok Muslim dan militer. Ketegangan mulai menyelimuti perpolitikan Indonesia pada awal dan pertengahan tahun 1960-an. Upaya PKI untuk mempercepat reformasi tanah menggusarkan tuan-tuan tanah dan mengancam posisi sosial para kyai. (Schwarz, A. (1994). A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. Westview Press)
Dari fakta-fakta sejarah tersebut timbul bermacam-macam versi tentang G30S, yang terus berkembang  sampai sekarang. Meskipun demikian kita yakin kepada hukum logika bahwa kebenaran hanya satu, sedang lainnya kebohongaan. Para pakar sampai sekarang masih berdebat tentang apa dan siapanya G30S, siapa yang bertanggung jawab dan siapa yang bersalah dalam peristiwa tersebut. Sampai dewasa ini belum ada kebulatan pendapat dalam soal tersebut di atas. Sementara  tercatat beberapa versi antara lain G30S/PKI, G30S/Suharto, G30S/CIA, G30S/Soekarno dan lain-lain variasinya. Sampai kapan perdebatan tersebut berakhir dengan satu kesimpulan,  kita tidak tahu. Meskipun demikian, banyak fakta yang menjurus kepada kesimpulan bahwa Suharto bertanggung jawab atas timbulnya peristiwa G30S dan terjadinya tragedi nasional selanjutnya.  Maka dari itu,  terus menerus melakukan pencermatan masalah G30S demi pelurusan sejarah adalah mutlak penting.
Tanpa menunggu terbukanya isi kotak Pandora-G30S dan tanpa menunggu kesimpulan siapa yang bersalah dalam peristwa G30S kita sudah bisa menyatakan tanpa ragu-ragu tentang terjadinya tragedy nasional yang maha dahsyat, yaitu kejahatan kemanusiaan berupa pelanggaran-pelanggaran  HAM berat pada tahun 1965-66, yang dilakukan langsung atau pun tidak langsung oleh rejim militer Suharto. Pelanggaran HAM berat  tersebut terjadi di banyak daerah di Indonesia yang berwujud antara lain pembunuhan massal jutaan manusia yang tak bersalah tanpa proses hukum yang berlaku,  penahanan ribuan orang di pulau Buru, Nusakambangan, dan di banyak rumah tahanan lainnya.  Pembunuhan-pembunuhan massal tersebut tidak akan terjadi kalau ABRI (RPKAD) tidak berdiri dibelakangnya. Sedang penahanan ribuan orang di Pulau Buru, Nusakambangan, penjara Plantungan dan lai-lainnya jelas-jemelas dilakukan oleh ABRI.  Inilah tragedy kemanusiaan, yang seharusnya tidak boleh terjadi pada abad XX yang merupakan abad kemajuan peradaban manusia dalam segala bidang, termasuk bidang hukum dan HAM.
Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 yang ideal adalah melalui proses pengadilan. Tetapi tampak akan dipaksakan oleh penguasa negara penuntasannya melalui proses Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang sesungguhnya tidak akan menghasilkan  keadilan sebenarnya. Sebab KKR adalah suatu cara penuntasan kasus pelanggaran HAM secara kompromistik, melalui proses “take and give“ setelah para pelaku mengakui kesalahannya dan meminta maaf, mereka diberi amnesti. Sedang di pihak lain, para korban dipulihkan hak-hak sipil dan politiknya beserta restitusi dan kompensasi. Oleh karena itu keadilan yang ditimbulkan oleh proses KKR adalah keadilan kompromistik, yang sama sekali tidak melikwidasi impunitas terhadap para pelanggar HAM.
Keadaan yang demikian memberikan bukti bahwa negara telah mengabaikan Pancasila dan UUD 1945, mengabaikan pelaksanaan tugas dan kewajiban menegakkan hukum dan keadilan, membiarkan terus berjalannya impunitas terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan, dan dengan demikian menghindarkan tanggung jawab hukum bagi para pelaku pelanggaran HAM berat 1965-66.  Sungguh kenyataan yang sangat memalukan, sebab norma-norma hukum tentang HAM yang tercantum di dalam UUD 1945, UU Hak Asasi Manusia, UU Pengadilan HAM (ad hoc), kovenan-kovenan PBB dan konvensi-konvensi yang telah diratifikasi Parlemen Indonesia tidak diterapkan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat 1965-66. Jelas hal demikian membuktikan bahwa hukum dan keadilan tidak ditegakkan secara jujur dan konsekwen, tetapi secara sangat manipulatif dan diskriminatif.

gambar copyright http://indonesia.ucanews.com/wp-content/uploads/2012/07/PKI.jpg