Konflik
adalah bagian dari eksistensi manusia yang terjadi di
mana-mana. Kekerasan yang
ditimbulkan dalam konflik akhirnya membawa masyarakat pada situasi yang merugi. Apalagi dalam kebudayaan
bangsa Indonesia sendiri telah tertanam
culture violence, seperti dapat diterjemahkan dalam kata misalnya: amok, keroyokan, dan sebagainya. Salah satu
konflik yang paling besar selama
Republik Indonesia ini berdiri adalah pembantaian-pembantaian para
anggota, simpatisan dan orang-orang yang
dituduh sebagai anggota Partai Komunis
Indonesia. Pembantaian tersebut dimulai pada bulan-bulan terakhir tahun
1965 sampai pertengahan tahun 1966.
Peristiwa
G30S 1965 adalah suatu lembaran sejarah hitam bagi bangsa Indonesia. Sebab
dampak peristiwa tersebut telah merobah 180 derajat peta politik dan tata
kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik negara yang digariskan Bung Karno
untuk membangun Indonesia yang merdeka , berdaulat dan mandiri berdasarkan
Trisakti, melawan nekolimisme-neoliberalisme dirobah oleh rejim Suharto menjadi
politik pembudakan kepada kekuatan neoliberalisme, sehingga Indonesia praktis
tidak berdaulat lagi. Inilah tragedy tata politik dan tata negara Indonesia. Di
sisi lain peristiwa G30S berdampak terjadinya malapetaka yang mengerikan
pelanggaran HAM berat. di mana langsung atau tidak langsung terlibat rejim
Suharto. Inilah kejahatan kemanusiaan yang kekejamannya hanya bisa
dibandingkan dengan kejahatan Nazi Hitler pada Perang Dunia ke II.
Pembantaian
di Indonesia 1965–1966 adalah peristiwa pembantaian terhadap orang-orang yang
dituduh komunis di Indonesia pada masa setelah terjadinya Gerakan 30 September
di Indonesia. Diperkirakan lebih dari setengah juta orang dibantai dan lebih
dari satu juta orang dipenjara dalam peristiwa tersebut. sedangkan menurut
orang-orang komunis yang trauma, perkiraan awalnya mencapai 2 juta korban jiwa.
Di kemudian hari, angkatan bersenjata memperkirakan jumlah yang dibantai dapat mencapai
sekitar 1 juta orang. Pada 1966, memperkirakan jumlah korban meninggal sekitar
200.000 orang dan pada 1985 mengajukan perkiraan mulai dari 500,000 sampai 1
juta orang (Friend, T. (2003). Indonesian Destinies.
Harvard
University Press.)
Pembersihan
ini merupakan peristiwa penting dalam masa transisi ke Orde Baru: Partai
Komunis Indonesia (PKI) dihancurkan, pergolakan mengakibatkan jatuhnya presiden
Soekarno, dan kekuasaan selanjutnya diserahkan kepada Soeharto. Kudeta yang
gagal menimbulkan kebencian terhadap komunis karena kesalahan dituduhkan kepada
PKI. Komunisme dibersihkan dari
kehidupan politik, sosial, dan militer, dan PKI dinyatakan sebagai partai
terlarang.
Pembantaian
dimulai pada Oktober 1965 dan memuncak selama sisa tahun sebelum akhirnya
mereda pada awal tahun 1966. Pembersihan dimulai dari ibu kota Jakarta, yang
kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Timur, lalu Bali. Ribuan vigilante (orang yang menegakkan hukum
dengan caranya sendiri) dan tentara angkatan darat menangkap dan membunuh
orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI. Meskipun pembantaian terjadi di
seluruh Indonesia, namun pembantaian terburuk terjadi di benteng-benteng PKI di
Jawa Tengah, Timur, Bali, dan Sumatra Utara.
Pembantaian
ini hampir tidak pernah disebutkan dalam buku sejarah Indonesia, dan hanya
memperoleh sedikit perhatian dari orang Indonesia maupun warga internasional.
Penjelasan memuaskan untuk kekejamannya telah menarik perhatian para ahli dari
berbagai prespektif ideologis. Kemungkinan adanya pergolakan serupa dianggap
sebagai faktor dalam konservatisme politik "Orde Baru" dan kontrol
ketat terhadap sistem politik. Kewaspadaan terhadap ancaman komunis menjadi
ciri dari masa kepresidenan Soeharto. Di Barat, pembantaian dan pembersihan ini
digambarkan sebagai kemenangan atas komunisme pada Perang Dingin.
Banyak sebagian kalangan, pembantaian
ini dilakukan oleh saingan politik soekarno, yakni soeharto. Dukungan terhadap
kepresidenan Soekarno bergantung pada koalisi "Nasakom" antara militer, kelompok
agama, dan komunis. Perkembangan pengaruh dan kemilitanan PKI, serta dukungan
Soekarno terhadap partai tersebut, menumbuhkan kekhawatiran pada kelompok Muslim dan militer. Ketegangan mulai menyelimuti
perpolitikan Indonesia pada awal dan pertengahan tahun 1960-an. Upaya PKI untuk
mempercepat reformasi tanah menggusarkan tuan-tuan tanah dan mengancam posisi
sosial para kyai. (Schwarz, A. (1994). A Nation in
Waiting: Indonesia in the 1990s. Westview Press)
Dari
fakta-fakta sejarah tersebut timbul bermacam-macam versi tentang G30S, yang
terus berkembang sampai sekarang. Meskipun demikian kita yakin kepada
hukum logika bahwa kebenaran hanya satu, sedang lainnya kebohongaan. Para pakar
sampai sekarang masih berdebat tentang apa dan siapanya G30S, siapa yang
bertanggung jawab dan siapa yang bersalah dalam peristiwa tersebut. Sampai
dewasa ini belum ada kebulatan pendapat dalam soal tersebut di atas.
Sementara tercatat beberapa versi antara lain G30S/PKI, G30S/Suharto,
G30S/CIA, G30S/Soekarno dan lain-lain variasinya. Sampai kapan perdebatan
tersebut berakhir dengan satu kesimpulan, kita tidak tahu. Meskipun demikian,
banyak fakta yang menjurus kepada kesimpulan bahwa Suharto bertanggung jawab
atas timbulnya peristiwa G30S dan terjadinya tragedi nasional
selanjutnya. Maka dari itu, terus menerus melakukan pencermatan
masalah G30S demi pelurusan sejarah adalah mutlak penting.
Tanpa
menunggu terbukanya isi kotak Pandora-G30S dan tanpa menunggu kesimpulan siapa
yang bersalah dalam peristwa G30S kita sudah bisa menyatakan tanpa ragu-ragu
tentang terjadinya tragedy nasional yang maha dahsyat, yaitu kejahatan kemanusiaan
berupa pelanggaran-pelanggaran HAM berat pada tahun 1965-66, yang
dilakukan langsung atau pun tidak langsung oleh rejim militer Suharto.
Pelanggaran HAM berat tersebut terjadi di banyak daerah di Indonesia yang
berwujud antara lain pembunuhan massal jutaan manusia yang tak bersalah tanpa
proses hukum yang berlaku, penahanan ribuan orang di pulau Buru,
Nusakambangan, dan di banyak rumah tahanan lainnya. Pembunuhan-pembunuhan
massal tersebut tidak akan terjadi kalau ABRI (RPKAD) tidak berdiri dibelakangnya.
Sedang penahanan ribuan orang di Pulau Buru, Nusakambangan, penjara Plantungan
dan lai-lainnya jelas-jemelas dilakukan oleh ABRI. Inilah tragedy
kemanusiaan, yang seharusnya tidak boleh terjadi pada abad XX yang merupakan
abad kemajuan peradaban manusia dalam segala bidang, termasuk bidang hukum dan
HAM.
Penuntasan kasus
pelanggaran HAM berat 1965-66 yang ideal adalah melalui proses pengadilan.
Tetapi tampak akan dipaksakan oleh penguasa negara penuntasannya melalui proses
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang sesungguhnya tidak akan
menghasilkan keadilan sebenarnya. Sebab KKR adalah suatu cara penuntasan
kasus pelanggaran HAM secara kompromistik, melalui proses “take and give“ setelah para pelaku mengakui kesalahannya dan
meminta maaf, mereka diberi amnesti. Sedang di pihak lain, para korban
dipulihkan hak-hak sipil dan politiknya beserta restitusi dan kompensasi. Oleh
karena itu keadilan yang ditimbulkan oleh proses KKR adalah keadilan
kompromistik, yang sama sekali tidak melikwidasi impunitas terhadap para
pelanggar HAM.
Keadaan yang demikian
memberikan bukti bahwa negara telah mengabaikan Pancasila dan UUD 1945,
mengabaikan pelaksanaan tugas dan kewajiban menegakkan hukum dan keadilan,
membiarkan terus berjalannya impunitas
terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan, dan dengan demikian menghindarkan
tanggung jawab hukum bagi para pelaku pelanggaran HAM berat 1965-66.
Sungguh kenyataan yang sangat memalukan, sebab norma-norma hukum tentang HAM
yang tercantum di dalam UUD 1945, UU Hak Asasi Manusia, UU Pengadilan HAM (ad hoc), kovenan-kovenan PBB dan
konvensi-konvensi yang telah diratifikasi Parlemen Indonesia tidak diterapkan
terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat 1965-66. Jelas hal demikian
membuktikan bahwa hukum dan keadilan tidak ditegakkan secara jujur dan konsekwen, tetapi secara sangat
manipulatif dan diskriminatif.
gambar copyright http://indonesia.ucanews.com/wp-content/uploads/2012/07/PKI.jpg