AKU TIDAK TAKUT SENDIRI. TUHAN PUN JUGA SENDIRI. DAN DIA MENJADI YANG MAHA KUAT KARENA ITU (SOE HOK GIE)

Kamis, 22 Desember 2011


BAB I
PENDAHULUAN
1.LATAR BELAKANG
Kehidupan anak jalanan dengan berbagai karakteristiknya menjadi ciri khas yang membedakannya dengan kelompok masyarakat lain. Image negatif yang selama ini melekat pada anak jalanan menjadi fokus perhatian dari semua pihak yang konsen terhadap upaya pengembangan dan pembinaan anak jalanan tersebut. Menurut Undang Undang Nomor 4 Tahun 1979 Bab II Pasal 2 tentang Kesejahteraan Anak, dijelaskan bahwa anak pada dasarnya berhak mendapatkan kesejahteraan, perawatan, pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dalam kehidupan sosial, mendapatkan pemeliharaan dan perlindungan baik sebelum atau sesudah lahir serta mendapatkan perlindungan terhadap lingkungan yang membahayakan atau menghambat pertumbuhan. Sedangkan menurut UNICEF (1986), anak jalanan adalah anak yang berusia kurang dari 16 tahun yang bekerja di jalan-jalan perkotaan, tanpa perlindungan dan mereka menghabiskan waktu dijalanan atau alasan mereka berada dijalanan. Begitu pula dalam Konvensi Regional I tentang Anak Jalanan di Asia pada tahun 1989 juga disebutkan bahwa anak jalanan adalah anak yang hidup dijalanan dan anak yang menghabiskan waktunya untuk bekerja dijalanan guna membiayai hidupnya, baik yang masih memiliki rumah dan keluarga maupun mereka yang sudah tidak memiliki keluarga lagi.
Secara umum masyarakat memandang bahwa masalah anak jalanan merupakan masalah yang sangat kompleks bahkan membentuk sebuah lingkaran yang sulit dilihat ujung pangkalnya. Kalangan aparat hukum, polisi misalnya, memandang bahwa payung kebijakan yang dapat digunakan untuk menangani anak jalanan belum ada. Mereka sulit untuk melakukan tindakan hukum berhubung tidak adanya undang-undang khusus mengenai anak jalanan seperti misalnya Perda, Perpu atau yang lainnya sehingga dirasa sulit untuk mengadakan pencegahan agar anak-anak tidak berada di jalan. Pemerintah sampai kini masih dianggap gagal dalam mengatasi permasalahan anak jalanan. Semua itu lebih disebabkan karena faktor metode penanganan anak jalanan yang masih bersifat parsial dan instruksional. Metode pemerintah selalu saja terbentur oleh berbagai bentuk perlawanan anak jalanan, karena kebijakan yang diambil seolah-olah menafikkan peran dan keberadaan mereka.
 Penertiban terhadap anak jalanan yang dilakukan saat ini masih banyak yang menggunakan cara-cara kekerasan atau pendekatan kriminal, misalnya dengan cara razia yaitu “digaruk”, ditahan, bahkan ada yang melakukan razia dubur. Cara-cara seperti ini sungguh tidak etis dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Sebenarnya dalam “garukan” inipun ada nilai positifnya. Hanya saja, pemerintah belum cukup jeli mengambil makna tindakan garukan tersebut. Garukan ini seolah-olah dijadikan justifikasi pemerintah untuk memberikan efek jera terhadap anak jalanan. Namun, tanpa disadari justru kebijakan pemerintah ini dapat mengkriminalisasikan anak jalanan. Biasanya apabila ada razia anak jalanan, anak-anak tersebut hanya ditangkap, didata, lalu dilepas lagi dan kembali menjadi anak jalanan. Model razia tersebut adalah bukan solusi dan dengan melakukan razia tersebut pemerintah dapat dikatakan sengaja menelantarkan anak jalanan dan justru menambah stigma yang buruk terhadap anak jalanan. Hal seperti ini dapat mendorong anak-anak jalanan tersebut melakukan kejahatan, mereka akan cenderung menyimpang dari aturan-aturan yang berlaku.
Prof. Dr. Muladi, S.H., dalam bukunya yang berjudul “Teori-teori dan Kebijakan Pidana” mengatakan bahwa usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan (politik kriminil) sudah barang tentu tidak hanya dengan menggunakan sarana “penal” (hukum pidana), tetapi dapat juga dengan menggunakan sarana-sarana yang “non-penal”. Usaha-usaha non penal ini misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama, dan sebagainya, peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, dan lain sebagainya.

Beberapa elemen masyarakat sebenarnya sudah berupaya berkontribusi dalam penanganan masalah anak jalanan, misalnya dengan mendirikan Rumah Singgah. Di Rumah Singgah inilah anak jalanan ditampung dan dibina dengan memberikan pelatihan kemandirian bagi mereka. Namun, antara Rumah Singgah dan Pemerintah masih belum sinergis dalam mengimplementasikan gagasan. Sama-sama ingin mengentaskan anak jalanan, namun dengan perspektif dan metode yang berbeda. Pendekatan bahwa gelandangan, anak jalanan dan pengemis adalah sampah masyarakat dan harus ada tindakan yang lebih menonjolkan pendekatan represif, seolah tidak memberikan solusi sistemik. Hal yang perlu digarisbawahi dari point tersebut adalah sesegera mungkin untuk diadakan koordinasi dan menggagas ide konstruktif dan humanis dalam menemukan formula yang tepat dalam upaya penanganan anak jalanan.

2.      TUJUAN
Tujuan pembuatan Makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Kriminologi, selain itu untuk lebih mengatahui dan menelaah lebih mendalam tentang kasus kriminaliasai dalam lingkungan anak jalanan, penelitian ij\ni kuga diperuntukkan sebagai kritikan terhadap pemerintah yang dimana “wajib” mensejahterakannya sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

3.      RUMUSAN MASALAH
Adapun beberapa rumusan masalah yang manjadi landasan pembahasan dalam Penelitian ini adalah sebagai berikut:
  1. Apakah faktor-faktor penyebab terpinggornya anak jalanan?
  2. Apa macam-macam bentuk indakan kriminal yang dilakukan oleh anak jalanan?
  3. Cara penanggulanagn meningkatya kriminalisasi tersebut?




4.      KERANGKA KONSEPTUAL





5.      METODE PENULISAN
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis-normatif. Data diperoleh dari data sekunder berupa bahan hukum (primer, sekunder dan tersier), dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif-kualitati. Dan dengan metode wawancara secara langsung, dengan analisis dari bahan-bahan hukum yang teah dicantumkan diatas.











BAB II
KERANGKA TEORI
Teori-Teori Umum tentang Perilaku Menyimpang
Teori-teori umum tentang penyimpangan berusaha menjelaskan semua contoh penyimpangan sebanyak mungkin dalam bentuk apapun (misalnya kejahatan, gangguan mental, bunuh diri dan lain-lain). Berdasarkan perspektifnya penyimpangan ini dapat digolongkan dalam dua teori utama. Perpektif patologi sosial menyamakan masyarakat dengan suatu organisme biologis dan penyimpangan disamakan dengan kesakitan atau patologi dalam organisme itu, berlawanan dengan model pemikiran medis dari para psikolog dan psikiatris. Perspektif disorganisasi sosial memberikan pengertian pemyimpangan sebagai kegagalan fungsi lembaga-lembaga komunitas lokal. Masing-masing pandangan ini penting bagi tahap perkembangan teoritis dalam mengkaji penyimpangan.
Teori-Teori Sosiologi tentang Perilaku Menyimpang
Teori anomi adalah teori struktural tentang penyimpangan yang paling penting selama lebih dari lima puluh tahun. Teori anomi menempatkan ketidakseimbangan nilai dan norma dalam masyarakat sebagai penyebab penyimpangan, di mana tujuan-tujuan budaya lebih ditekankan dari pada cara-cara yang tersedia untuk mencapai tujuan-tujuan budaya itu. Individu dan kelompok dalam masyarakat seperti itu harus menyesuaikan diri dan beberapa bentuk penyesuaian diri itu bisa jadi sebuah penyimpangan. Sebagian besar orang menganut norma-norma masyarakat dalam waktu yang lama, sementara orang atau kelompok lainnya melakukan penyimpangan. Kelompok yang mengalami lebih banyak ketegangan karena ketidakseimbangan ini (misalnya orang-orang kelas bawah) lebih cenderung mengadaptasi penyimpangan daripada kelompok lainnya.
Teori sosiologi atau teori belajar memandang penyimpangan muncul dari konflik normatif di mana individu dan kelompok belajar norma-norma yang membolehkan penyimpangan dalam keadaan tertentu. Pembelajaran itu mungkin tidak kentara, misalnya saat orang belajar bahwa penyimpangan tidak mendapat hukuman. Tetapi pembelajaran itu bisa juga termasuk mangadopsi norma-norma dan nilai-nilai yang menetapkan penyimpangan diinginkan atau dibolehkan dalam keadaan tertentu. Teori Differential Association oleh Sutherland adalah teori belajar tentang penyimpangan yang paling terkenal. Walaupun teori ini dimaksudkan memberikan penjelasan umum tentang kejahatan, dapat juga diaplikasikan dalam bentuk-bentuk penyimpangan lainnya. Sebenarnya setiap teori sosiologis tentang penyimpangan mempunyai asumsi bahwa individu disosialisasikan untuk menjadi anggota kelompok atau masyarakat secara umum. Sebagian teori lebih menekankan proses belajar ini daripada teori lainnya.
Teori Kontrol
Perspektif kontrol adalah perspektif yang terbatas untuk penjelasan delinkuensi dan kejahatan. Teori ini meletakkan penyebab kejahatan pada lemahnya ikatan individu atau ikatan sosial dengan masyarakat, atau macetnya integrasi sosial. Kelompk-kelompok yang lemah ikatan sosialnya (misalnya kelas bawah) cenderung melanggar hukum karena merasa sedikit terikat dengan peraturan konvensional. Jika seseorang merasa dekat dengan kelompok konvensional, sedikit sekali kecenderungan menyimpang dari aturan-aturan kelompoknya. Tapi jika ada jarak sosial sebagai hasil dari putusnya ikatan, seseorang merasa lebih bebas untuk menyimpang.









BAB III
HASIL PENELITIAN
Hasil wawancara dengan anak jalanan wilayah Pasar Kembang Yogyakarta :
1.      Nama wawan, umur 13 tahun, keseharian mengamen, factor tidak sekolah : Ekonomi, pendapatan orang tuannya tidak sebanding dengan pengeluaran apalagi biaya untuk sekolah, cari buat makan saja kuwalahan. Wawan termasuk anak jalanan yang mampu cari duit sendiri tanpa menggantung kepada siapapun termasuk orang tuannya sendiri. Akan tetapi wawan juga sering melakukan tindakan yang tak pantas dilakukan seusianya itu, seperti mabuk-mabukan, judi dan berantem dengan teman ngamennya gara-gara rebutan lampak. Seperti itulah pemaparan wawan kepada kami.
Hasil wawancara dengan anak jalanan diwilayah jl.malioboro, (depan benteng vredeburg)
2.      Nama imeng, umur 16 tahun, keseharian mengamen, factor tidak sekolah dikarenakan pisahnya orangtua dia (cerai/brokenhome), dia tinggal di kota solo, jawatengah, dijogja sudah kurang lebih 2 tahun, kesehariannya adalah mengamen dan menjadi pemulung, sedekit mendeskripsikan iemeng mengaku dalam sekilan lamnay diyogyakarta mengaku bahwa hanya sedikit melakukan kriminalitas, dia hanya beberapa kali melakukan pencurian selama 2 tahun dijogja, itupun hanya mencuri sepatu dan sandal saya ketika memulung, imeng lebih suka berhutang untuk makan kepada warung-warung yang biasa dia berteduh atau beristirahat
3.      Nama eni biasa dipanggil penny, Perempuan, umur 15 tahun, pekerjaan (minta-minta),tempat tinggal asli jogja dan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, putus sekolah karena keluarga yang tidak harmonis (brockenhome) ketika dia berumur 9 tahun, dia telah ditinggalkan oleh ayahnya, eni menceritakan bahwa dia hidup dengan meminta-minta dikarenakan anjuran orangtuanya (ibunya), yang dima berprofesi sama dengan eni, dalam hal memenuhi hidupnya sehari-hari eni selain meminta-minta dia juga bekerja sebagai loker koran disalah satu agen di daerah perempatan dongkelan. Jalan bantul.

Hasil wawancara dengan anak jalanan diwilayah alun-alun Kidul
4.      Nama ipul, laki-laki, umur 13 tahun, pekerjaan pengamen, tempat tinggal tidak tetap. Tidak sekolah karena terbawa oleh pergaulan disekitar tempat ia tinggal, ipul sudah dari umur 8 tahun telah tinggal dijalanan. Dan tidur seadanya, dia sudah beberapa kali di razia oleh satpol PP, dia bercerita bahwa di sana (satpol PP) mereka ganya didata dantidak ada tindak lajutnya lagi, seperti rehabilitasi ataupun pemberdayaan lain.

               















BAB IV
PENUTUP
1.KESIMPULAN
Keberadaan anak jalan sebagai suatu permasalahan perkotaan perlu untuk mendapatkan perhatian serius dari semua pihak. Fenomena anak jalanan berada dalam kompleksitas persoalan yang luas dan tidak berdiri sendiri, maka berbagai pihak perlu melaksanakan program integratif yang diarahkan tidak saja bagi anak jalanan, tetapi keluarga dan lingkungan dimana mereka tinggal. Bagi anak jalanan, mereka perlu dilibatkan dalam program pendidikan khusus yang dapat membuka wawasan mereka mengenai masa depan. Bagi keluarga terutama orang tua, perlu diberikan penyuluhan yang dapat meluruskan persepsi mereka mengenai kedudukan anak di dalam keluarga, lingkungan dan masyarakat. Menanggapi realita ini Kami menawarkan solusi kreatif berupa konsep pendirian “Zona Sejahtera” sebagai upaya preventif terhadap kriminalisasi penanganan anak jalanan. Pendekatan itu misalnya dilakukan melalui pemetaan potensi anak-anak jalanan. Model pendirian ”ZONA SEJAHTERA” adalah bentuk solusi untuk membantu pemerintah memaksimalkan penanganan anak jalanan dengan tanpa menggunakan pendekatan kriminal, tetapi dengan pendirian suatu lingkungan yang khusus dibentuk untuk membina anak jalanan. Model pemberdayaan tidak hanya difokuskan pada satu sasaran saja, tetapi juga melibatkan semua pihak melalui jaringan sistem yang ada mulai dari anak jalanan itu sendiri, keluarga anak jalanan, masyarakat, para pemerhati anak ,akademisi, aparat penegak hukum serta instansi terkait lainnya.  Di dalamnya akan diisi dengan kegiatan-kegiatan positif, baik itu berupa lembaga pendidikan khusus, pengembangan bakat, bahkan diadakan pula penyuluhan-penyuluhan rutin dengan mendatangkan langsung narasumber yang ahli di bidangnya. Hal tersebut dimaksudkan untuk untuk meningkatkan kualitas anak jalanan dan mengembangkan kreativitas anak jalanan. Karena kegiatan ini menyangkut anak maka sedapat mungkin dilaksanakan dengan memaksimalkan partisipasi anak. Contoh kegiatan tersebut misalnya fasilitas bermusik bagi anak-anak jalanan. Mereka dibina agar dapat menghasilkan musik atau lagu sendiri, sehingga apabila mereka ingin “ngamen”, mereka dapat “ngamen” di tempat-tempat seperti di restoran, cafe, atau dalam acara-acara yang diselenggarakan oleh pemerintah setempat. Jadi tidak hanya “ngamen” dari mobil ke mobil atau dari rumah ke rumah. Kegiatan lain misalnya dengan pembinaan dalam pembuatan industri kreatif dari bahan-bahan yang sederhana sehingga mereka dapat menghasilkan suatu produk yang dapat dipasarkan ke masyarakat.
Di samping kegiatan tersebut juga ada kegiatan pendidikan yang pada dasarnya mempertahankan anak yang masih sekolah dan mendorong mereka melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dengan memfasilitasi anak yang tak lagi bersekolah ke program pendidikan luar sekolah yang setara dengan sekolah. Program pendidikan yang terselenggara itu, antara lain, dapat berupa : Kejar Usaha; Kejar Paket A (setara SD); Kejar Paket B (setara SLTP); bimbingan belajar; Diktagama (pendidikan watak dan dialog keagamaan); Latorma (pelatihan olahraga dan bermain); Sinata (sinauwisata); Lasentif (pelatihan seni dan kreativitas); Kelompok Bermain; Kampanye KHA (Konvensi Hak Anak-anak); FBR (forum berbagi rasa); dan pelatihan Taruna Mandiri (M. Ishaq, 2000 : 371). Dalam kegiatan pendidikan ini juga sebaiknya dilengkapi dengan penyuluhan kesehatan, resosialisasi, penanganan kasus, bimbingan dan konseling.
Konsep “Zona Sejahtera” ini juga akan mengupayakan pemberdayaan orang tua baik secara ekonomis maupun dalam hal kesadaran mengenai hak anak, serta pola asuh yang baik. Pemberdayaan keluarga anak jalanan dilakukan melalui pemberian modal usaha ekonomi produktif sesuai dengan bakat, minat dan keterampilan yang dimiliki, memberikan tambahan makanan, dan memberikan penyuluhan berupa penyuluhan tentang keberfungsian keluarga, tanggung jawab keluarga, larangan eksploitasi atau penelantaran anak. Dalam konsep ini diupayakan peran aktif keluarga dalam membina dan menumbuhkembangkan potensi anak jalanan ke arah yang positif sehingga diharapkan orang tuanya dapat kembali mendidik dan mengasuh anaknya tanpa ketergantungan dan mengganggu ketertiban masyarakat. Selain itu akan dilakukan juga kegiatan-kegiatan yang sasarannya adalah masyarakat, yakni melalui sosialisasi tentang program penanganan anak jalanan, pelibatan masyarakat dalam program penanganan anak jalanan. Dan point penting dari gagasan yang penulis tawarkan dari konsep “Zona Sejahtera” ini adalah harus mengedepankan fungsinya sebagai pendukung reunifikasi atau reintegrasi, penyedia program yang berkesinambungan, serta tempat “pengganti keluarga”.
Sebagai tindak lanjut dalam program “Zona Sejahtera” tersebut, terdapat beberapa tahapan-tahapan dalam mengatasi permasalahan anak jalanan tersebut, antara lain
:
1.    Tahap sosialisasi program kepada masyarakat.
2.    Melakukan assesment (penelusuran) Dalam tahap ini para relawan melakukan pengidentifikasian terhadap anak-anak jalanan untuk memperoleh data yang selengkap-lengkapnya.
3.     Tahap inisiasi Setelah diperoleh data/identitas anak jalanan tersebut, maka dilakukan tahap inisiasi dimana anak jalanan diberi pengertian, diberi motivasi, dan diberikan penyadaran bahwa pilihan hidup menjadi anak jalanan itu sangat tidak baik dan berbahaya serta meyakinkan bahwa kondisi mereka bia diperbaiki. Tahap inisiasi dapat dilakukan di dalam “Zona Sejahtera” sebagaimana yang Penulis usulkan.
4.    Tahap pemberdayaan Tahap pemberdayaan merupakan tindak lanjut program perlibatan partisipasi masyarakat yang ditawarkan dalam konsep gagasan “Zona Sejahtera” ini. Adapun bentuk perlibatan masyarakat tersebut meliputi :
a.    Anak-anak jalanan yang berprofesi sebagai pedagang asongan dan penjual loper koran digabung dalam satu kelompok usaha berupa kios yang dikelola secara bersama dengan modal-modal kecil dari mereka dan dibantu tambahan dari pengusaha dan pemerintah.
b.    Pemerintah menyediakan suatu lokasi hiburan dimana anak-anak jalanan yang berprofesi sebagai pengamen dapat melakukan kegiatan mengumpulkan uang. Lokasi atau tempat hiburan ini merupakan tempat rekreasi.
c.    Pemerintah bekerjasama dengan pengelola tempat pencucian mobil, lapangan tenis, lapangan golf, mempekerjakan anak-anak jalanan sebagai pencuci kendaraan, pemungut bola, atau apapun yang dapat dikerjakan anak-anak tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama (kurang lebih 2-3 jam) dan etelah itu mereka dapat kembali ke rumah atau sekolah
d.   Distributor koran/majalah dapat memekerjakan anak-anak jalanan tersebut untuk mengantarkan koran pada langganannya.
Sasaran dari gagasan ini adalah untuk mengembangkan potensi yang anak jalanan miliki tanpa harus mendiskriminasikan komunitas mereka dari masyarakat. Kemudian hasil dari kreasi anak jalanan itu akan difasilitasi dan dijembatani bahkan sampai dengan pemasarannya melalui pemberdayaan lembaga-lembaga sosial di masyarakat dengan menjalin networking melalui berbagai institusi baik lembaga pemerintahan maupun lembaga sosial masyarakat. Dan dalam hal ini pemerintahlah yang akan menjadi fasilitator dan membantu menyiapkan sumber daya manusia.





2.SARAN
Hasil ini tidak sebanding dengan apa yang telah peneliti lakukan, dikarenakan keengganan nara sumber (anak jalanan) untuk diwawancarai dan di ambil samplenya untuk bahan penelitian, walaupun iya mereka sangat mempertimbangkan materiil (seperti uang rokok, makan, minum, dan lain-lain), Dan untuk pemerintah agar melaksanakan tentang p[eraturan-peraturan yang telah disepakati bersama, entaj itu UUD, Undang-undang dan kewajiban-kewajiban lain yang dianggap perlu agar semakain sedikitnya jumlah anak jalanan.