Copyright http://adityaananda.com
Menurut PP No. 81/1999 Pasal 1 Ayat (1), rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman
Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica dan
spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.
Mangku Sitopoe mengatakan bahwa merokok adalah membakar tembakau kemudian dihisap baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Temperatur pada sebatang rokok yang tengah dibakar adalah 90 derajat Celcius untuk ujung rokok yang dibakar, dan 30 derajat Celcius untuk ujung rokok yang terselip di antara bibir perokok.
Merokok itu sangat membahayakan kesehatan dan bersifat merusak. Sesungguhnya kehidupan kita, kesehatan dan harta kita merupakan titipan Allah kepada kita. Oleh karena itu kita harus menjaganya dengan baik dan tidak boleh mempergunakan sekehendak kita.
Keberadaan Industri Rokok di Indonesia di samping menyumbang juga merugikan. Menurut harian Kompas 21 Maret 2000 memberitakan bahwa: "Di Indonesia ada 57.000 jiwa meninggal setiap tahun akibat merokok atau 158 jiwa meninggal setiap hari akibat merokok. Selain itu, dijumpai 85 juta perokok berat dan 12-13 juta jiwa di antaranya akan meninggal pada usia muda".
Pada awal Maret 2010, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengeluarkan fatwa baru terhadap hukum merokok. Setelah menelaah manfaat dan mudarat rokok melalui Haloqoh Fiqih Pengendalian Tembakau di Gedung PD Muhammadiyah Kota Yogyakarta, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah berkesimpulan bahwa merokok secara syariah Islam masuk dalam kategori haram. Muhammadiyah mengeluarkan surat fatwa haram Nomor 6//SM/MTT/III/2010 berisi merokok hukumnya adalah haram pada Senin 8 Maret 2010.. Bagaimana media mengemas atau mengkonstruksi sebuah peristiwa dalam bentuk berita yang akan dikonsumsi oleh khalayak luas. Akan tetapi NU dan MUI tidak sependapat dengan rumusan yang di kemukakan PP Muhammadiyah. Pertanyaanya. Apakah benar rokok itu adalah sebuah Hal yang diharamkan?
SEKILAS SEJARAH ROKOK
Berbicara soal sejarah rokok, ada beberapa artikel yang menyebutkan bahwa merokok pertama kalidilakukan oleh orang Indian penduduk asli Amerika. Suku Indian melakukan hal tersebut karena adanya kaitan dengan pemujaan dewa/roh. Budaya ini kemudian ditirukan oleh orang eropa yang pada saat itu melakukan ekspedisi ke benua Amerika. Dalam ekspedisinya, mereka menemukan penduduk pribumi – Indian mengisap tembakau yang digulung seperti cerutu. Para petualang Eropa ini kemudian menirukan budaya ini dan menganggapnya sebagai lifestyle baru. Budaya ini kemudian menular diantara para penduduk Eropa, mereka menganggapnya Sejak saat itulah, bersamaan dengan penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa eropa ke seluruh dunia, rokok pun ikut tersebar keseluruh dunia. Jika artikel tersebut terbukti kebenarannya, bisa disimpulkan bahwa masa dimana budaya rokok ini pertama kali ditemukan jauh terjadi setelah masa hidup Nabi Muhammad SAW. Karenanya tidaklah mengherankan jika di dalam haditsnya Nabi tidak pernah meriwayatkan hukum soal rokok ini secara jelas dan hanya tersirat dari hadits-haditsnya yang bersifat umum.
Sementara itu, di nusantara sejarah rokok yang paling tua konon kabarnya ditemukan di Kudus dalam bentuk rokok kretek. Penemunya adalah Haji Djamhari pada kurun waktu sekitar 1870-1880-an. Konon, pada waktu itu Djamhari merasa sakit pada bagian dada karena menderita penyakit asma. Ia lalu mengoleskan minyak cengkeh pada bagian tubuhnya yang sakit. Ternyata sakitnya pun reda.
Berdasarkan pengalaman tersebut, Djamari pun lantas bereksperimen dengan memotong-motong cengkeh kecil-kecil (merajang) dan mencampurnya dengan rajangan tembakau untuk kemudian dilinting menjadi rokok. Dari bunyi rokok yang 'kemeretek' pada waktu diisap tersebut kemudian lahirlah nama 'rokok kretek'.
Sayangnya, Djamhari keburu wafat sebelum dapat meraup kekayaan dari rokok kretek. Temuan Djamhari ini yang menyebar dari mulut ke mulut ini kemudian diteruskan oleh salah seorang warga Kudus lain, yaitu Nitisemito. Ia menjadikan rokok sebagai industri rumahan untuk diproduksi massal pertama kalinya di Indonesia. Pada tahun 1908 perusahaan Nitisemito mendapat ijin dari Pemerintah Hindia Belanda dengan merk Bal tiga. Setahun kemudian Nitisemito mulai membuat rokok kretek dan di tahun inilah sebenarnya rokok kretek tumbuh menjadi industri, meski masih berupa home industri yang dikerjakan Nitisemito dan keluarganya. Maka untuk pertama kalinya pada waktu itu, rokok kretek temuan Djamhari dijual tanpa bungkus dengan harga sekitar 2,5 sen seikat (25 batang ukuran kecil) dan 3 sen seikat untuk 25 batang ukuran besar. Kesuksesan Nitisemito kemudian banyak ditiru orang, sehingga antara tahun 1915 -1918 bermunculan ratusan pabrik rokok kretek baru tidak hanya di Kudus tetapi juga di Semarang, Surabaya, Blitar, Kediri dan Malang. Sehingga tidaklah berlebihan bila rokok kretek penciptanya adalah orang Indonesia (http://kabarindonesia.com/...) diakses pada tanggal 28/03/10 pukul 20:05 WIB.
ANALISIS
Perbedaan pendapat tentang bagaimana hukum merokok dalam pandangan hukum Islam, sampai sekarang masih menjadi perdebatan yang hangat dan kontroversial. Perdebatan yang muncul, bermuara dari tidak terdapatnya ketentuan secara tekstual di dalam Al-Qur‟an maupun hadist mengenai masalah merokok. Sehingga, muncullah beberapa pendapat yang mengatakan bahwa merokok hukumnya boleh, ada yang mengatakan hukumnya makruh, dan adapula yang mengatakan hukumnya haram. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam kapasitasnya sebagai lembaga yang memberikan pandangan, nasehat, maupun fatwa bagi umat Islam di Indonesia, menjawab permasalahan hukum merokok ini dengan mengeluarkan fatwa dalam sidang Ijtima‟ Ulama fatwa MUI III di Padang Panjang, Sumatra Barat pada tanggal 24-26 Januari 2009 tentang fatwa rokok, bahwa merokok hukumnya adalah haram jika di tempat umum, bagi anak-anak, dan bagi wanita hamil. Keterangan mengenai proses penetapan fatwa tersebut tertera dalam Diktum Keputusan Fatwa Tentang Rokok Tanggal: 31 Januari 2009. Pendapat yang mendukung dengan fatwa tersebut salah satunya adalah Komnas Perlindungan Anak. Jakarta – Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan rokok untuk anak-anak dan remaja dinilai sebagai langkah maju. Tapi langkah itu dinilai belum cukup. “Komnas PA (Perlindungan Anak) memberikan apresiasi pada MUI sebagai langkah awal untuk melindungi hak hidup anak. Ini langkah maju melindungi hak hidup anak dari bahaya tembakau.” Ujar Sekjen Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait kepada detikcom, Minggu (25/1/09). Prof. Dr. Syamsul Anwar menjelaskan bahwa keputusan tersebut telah ditelaah dan diteliti baik secara ilmiah maupun dari sudut pandang Agama. “Dari sisi agama sesuatu yang membahayakan itu dilarang, sehingga ada keselarasan antara ketentuan agama dan fakta ilmiah" terangnya. "Berdasar hasil kajian dari ahli medis dan akademisi, semua pihak sepakat bahwa rokok adalah sesuatu yang membahayakan karena mengandung zat aditif dan zat berbahaya lainnya, mengandung 4000 zat kimia, 69 diantaranya adalah karsinogenik atau pencetus kanker". Selain itu juga menjadi penyebab timbulnya penyakit sosial yang harus segera ditanggulangi. Pendapat yang kontra dengan fatwa MUI sebagian adalah NU dan masyarakat Kudus. Nahdhatul Ulama (NU) sejak dulu menganggap merokok masih tergolong makruh. “Kalau dari dulu di NU hukumnya makruh tidak sampai haram. Karena itu berdasarkan tingkat bahayanya yang relatif. Jadi tidak sampai haram,” ujar Ketua Umum Pengurus Besar NU Hasyim Muzadi. Menurut Hasyim. Merokok berbeda dengan minuman keras yang hukumnya memang signifikan haram. Orang merokok punya relativitas, ada yang kuat dan ada yang tidak kuat. “ Ada relativitas dari perokok dan pada bahanyanya. Silahkan MUI, tapi NU tetap makruh,” ujarnya. (Sumber: Setelah diringkas, Tribun Kaltim, 27 Januari 2009). Dr Sudibyo Markus selaku Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi Kesehatan, Pemberdayaan Masyarakat dan Lingkungan menyatakan bahwa fatwa merokok adalah haram adalah dalam rangka merevisi fatwa Majlis Tarjid tahun 2005 , yang menyatakan bahwa merokok hukumnya mubah, boleh dikerjakan, tapi ditinggalkan lebih baik. Namun dengan semakin terbukanya informasi mengenai dampak buruk merokok dibidang kesehatan, sosial dan ekonomi, terlebih bagi keluarga miskin, serta memperhatikan beberapa ketentuan hukum positif tentang diperlukannya lingkungan dan perilaku hidup sehat bagi masyarakat, apalagi ketentuan UU No. 39 Tahun 2009 pasal 113, bahwa tembakau mengandung zat adiktif, maka Majelis Tarjih dan Tajdid merasakan perlunya merevisi ketentuan lama tersebut.
PENUTUP
KESIMPULAN
Sejak awal abad XI Hijriyah atau sekitar empat ratus tahun yang lalu, rokok dikenal dan membudaya di berbagai belahan dunia Islam. Sejak itulah sampai sekarang hukum rokok gencar dibahas oleh para ulama di berbagai negeri, baik secara kolektif maupun pribadi. Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai hukum rokok tidak dapat dihindari dan berakhir kontroversi. Itulah keragaman pendapat yang merupakan fatwa-fatwa yang selama ini telah banyak terbukukan. Sebagian di antara mereka menfatwakan mubah alias boleh, sebagian berfatwa makruh, sedangkan sebagian lainnya lebih cenderung menfatwakan haram. Kali ini dan di negeri ini yang masih dilanda krisis ekonomi, pembicaraan hukum rokok mencuat dan menghangat kembali. Pendapat yang bermunculan selama ini tidak jauh berbeda dengan apa yang telah terjadi, yakni tetap menjadi kontroversi.
Seandainya muncul fatwa, bahwa korupsi itu hukumnya haram berat karena termasuk tindak sariqah (pencurian), maka semua orang akan sependapat termasuk koruptor itu sendiri. Akan tetapi persoalannya akan lain ketika merokok itu dihukumi haram. Akan muncul pro dari pihak tertentu dan muncul pula kontra serta penolakan dari pihak-pihak yang tidak sepaham. Dalam tinjauan fiqh terdapat beberapa kemungkinan pendapat dengan berbagai argumen yang bertolak belakang.
Pada dasarnya terdapat nash bersifat umum yang menjadi patokan hukum, yakni larangan melakukan segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan, kemudaratan atau kemafsadatan sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai berikut:
Al-Qur'an :
وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ. البقرة: 195
Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195)
As-Sunnah :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ. رواه ابن ماجه, الرقم: 2331
Dari Ibnu 'Abbas ra, ia berkata ; Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri orang lain). (HR. Ibnu Majah, No.2331)
Bertolak dari dua nash di atas, ulama' sepakat mengenai segala sesuatu yang membawa mudarat adalah haram. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah merokok itu membawa mudarat ataukah tidak, dan terdapat pula manfaat ataukah tidak. Dalam hal ini tercetus persepsi yang berbeda dalam meneliti dan mencermati substansi rokok dari aspek kemaslahatan dan kemafsadatan. Perbedaan persepsi ini merupakan babak baru munculnya beberapa pendapat mengenai hukum merokok dengan berbagai argumennya.
Seandainya semua sepakat, bahwa merokok tidak membawa mudarat atau membawa mudarat tetapi relatif kecil, maka semua akan sepakat dengan hukum mubah atau makruh. Demikian pula seandainya semuanya sepakat, bahwa merokok membawa mudarat besar, maka akan sepakat pula dengan hukum haram.
Beberapa pendapat itu serta argumennya dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam hukum.
Pertama ; hukum merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan.
Kedua ; hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram.
Ketiga; hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya.
Tiga pendapat di atas dapat berlaku secara general, dalam arti mubah, makruh dan haram itu bagi siapa pun orangnya. Namun bisa jadi tiga macam hukum tersebut berlaku secara personal, dengan pengertian setiap person akan terkena hukum yang berbeda sesuai dengan apa yang diakibatkannya, baik terkait kondisi personnya atau kwantitas yang dikonsumsinya. Tiga tingkatan hukum merokok tersebut, baik bersifat general maupun personal terangkum dalam paparan panjang 'Abdur Rahman ibn Muhammad ibn Husain ibn 'Umar Ba'alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin (hal.260) yang sepotong teksnya sebagai berikut:
لم يرد في التنباك حديث عنه ولا أثر عن أحد من السلف، ....... والذي يظهر أنه إن عرض له ما يحرمه بالنسبة لمن يضره في عقله أو بدنه فحرام، كما يحرم العسل على المحرور والطين لمن يضره، وقد يعرض له ما يبيحه بل يصيره مسنوناً، كما إذا استعمل للتداوي بقول ثقة أو تجربة نفسه بأنه دواء للعلة التي شرب لها، كالتداوي بالنجاسة غير صرف الخمر، وحيث خلا عن تلك العوارض فهو مكروه، إذ الخلاف القوي في الحرمة يفيد الكراهة
Tidak ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan tindakan) dari seorang pun di antara para shahabat Nabi SAW. … Jelasnya, jika terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada akal atau badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila membawa mudarat bagi seseorang. Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang mubah tetapi berubah menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit yang diderita sebagaimana berobat dengan benda najis selain khamr. Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah, maka hukumnya makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang dengan unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya.
Senada dengan sepotong paparan di atas, apa yang telah diuraikan oleh Mahmud Syaltut di dalam Al-Fatawa (hal.383-384) dengan sepenggal teks sebagai berikut:
إن التبغ ..... فحكم بعضهم بحله نظرا إلى أنه ليس مسكرا ولا من شأنه أن يسكر ونظرا إلى أنه ليس ضارا لكل من يتناوله, والأصل في مثله أن يكون حلالا ولكن تطرأ فيه الحرمة بالنسبة فقط لمن يضره ويتأثر به. .... وحكم بعض أخر بحرمته أوكراهته نظرا إلى ما عرف عنه من أنه يحدث ضعفا فى صحة شاربه يفقده شهوة الطعام ويعرض أجهزته الحيوية أو أكثرها للخلل والإضطراب.
Tentang tembakau … sebagian ulama menghukumi halal karena memandang bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah benda yang memabukkan, disamping itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap orang yang mengkonsumsi. ...Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal, tetapi bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan dampak negatifnya. Sedangkan sebagian ulama' lainnya menghukumi haram atau makruh karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang stabil.
Demikian pula apa yang telah dijelaskan oleh Prof Dr Wahbah Az-Zuhailiy di dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (Cet. III, Jilid 6, hal. 166-167) dengan sepotong teks, sebagai berikut:
القهوة والدخان: سئل صاحب العباب الشافعي عن القهوة، فأجاب: للوسائل حكم المقاصد فإن قصدت للإعانة على قربة كانت قربة أو مباح فمباحة أو مكروه فمكروهة أو حرام فمحرمة وأيده بعض الحنابلة على هذا التفضيل. وقال الشيخ مرعي بن يوسف الحنبلي صاحب غاية المنتهى: ويتجه حل شرب الدخان والقهوة والأولى لكل ذي مروءة تركهما
Masalah kopi dan rokok; penyusun kitab Al-'Ubab dari madzhab Asy-Syafi'i ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab: (Kopi itu sarana) hukum, setiap sarana itu sesuai dengan tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah maka menjadi ibadah, untuk yang mubah maka menjadi mubah, untuk yang makruh maka menjadi makruh, atau haram maka menjadi haram. Hal ini dikuatkan oleh sebagian ulama' dari madzhab Hanbaliy terkait penetapan tingkatan hukum ini. Syaikh Mar'i ibn Yusuf dari madzhab Hanbaliy, penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan : Jawaban tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang santun lebih utama meninggalkan keduanya.
Ulasan 'Illah (reason of law)
Sangat menarik bila tiga tingkatan hukum merokok sebagaimana di atas ditelusuri lebih cermat. Kiranya ada benang ruwet dan rumit yang dapat diurai dalam perbedaan pendapat yang terasa semakin sengit mengenai hukum merokok. Benang ruwet dan rumit itu adalah beberapa pandangan kontradiktif dalam menetapkan 'illah atau alasan hukum yang di antaranya akan diulas dalam beberapa bagian.
Pertama; sebagian besar ulama' terdahulu berpandangan, bahwa merokok itu mubah atau makruh. Mereka pada masa itu lebih bertendensi pada bukti, bahwa merokok tidak membawa mudarat, atau membawa mudarat tetapi relatif kecil. Barangkali dalam gambaran kita sekarang, bahwa kemudaratan merokok dapat pula dinyaakan tidak lebih besar dari kemudaratan durian yang jelas berkadar kolesterol tinggi. Betapa tidak, sepuluh tahun lebih seseorang merokok dalam setiap hari merokok belum tentu menderita penyakit akibat merokok. Sedangkan selama tiga bulan saja seseorang dalam setiap hari makan durian, kemungkinan besar dia akan terjangkit penyakit berat.
Kedua; berbeda dengan pandangan sebagian besar ulama' terdahulu, pandangan sebagian ulama sekarang yang cenderung mengharamkan merokok karena lebih bertendensi pada informasi (bukan bukti) mengenai hasil penelitian medis yang sangat detail dalam menemukan sekecil apa pun kemudaratan yang kemudian terkesan menjadi lebih besar. Apabila karakter penelitian medis semacam ini kurang dicermati, kemudaratan merokok akan cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya. Selanjutnya, kemudaratan yang sebenarnya kecil dan terkesan jauh lebih besar itu (hanya dalam bayangan) dijadikan dasar untuk menetapkan hukum haram. Padahal, kemudaratan yang relatif kecil itu seharusnya dijadikan dasar untuk menetapkan hukum makruh.
Hal seperti ini kemungkinan dapat terjadi khususnya dalam membahas dan menetapkan hukum merokok. Tidakkah banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi. Mungkinkah setiap makanan dan minuman yang dinyatakan tidak steril itu kemudian dihukumi haram, ataukah harus dicermati seberapa besar kemudaratannya, kemudian ditentukan mubah, makruh ataukah haram hukumnya.
Ketiga; hukum merokok itu bisa jadi bersifat relatif dan seimbang dengan apa yang diakibatkannya mengingat hukum itu berporos pada 'illah yang mendasarinya. Dengan demikian, pada satu sisi dapat dipahami bahwa merokok itu haram bagi orang tertentu yang dimungkinkan dapat terkena mudaratnya. Akan tetapi merokok itu mubah atau makruh bagi orang tertentu yang tidak terkena mudaratnya atau terkena mudaratnya tetapi kadarnya kecil.
Keempat; kalaulah merokok itu membawa mudarat relatif kecil dengan hukum makruh, kemudian di balik kemudaratan itu terdapat kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah menjadi mubah. Adapun bentuk kemaslahatan itu seperti membangkitkan semangat berpikir dan bekerja sebagaimana biasa dirasakan oleh para perokok. Hal ini selama tidak berlebihan yang dapat membawa mudarat cukup besar. Apa pun yang dikonsumsi secara berlebihan dan jika membawa mudarat cukup besar, maka haram hukumnya. Berbeda dengan benda yang secara jelas memabukkan, hukumnya tetap haram meskipun terdapat manfaat apa pun bentuknya karena kemudaratannya tentu lebih besar dari manfaatnya.