AKU TIDAK TAKUT SENDIRI. TUHAN PUN JUGA SENDIRI. DAN DIA MENJADI YANG MAHA KUAT KARENA ITU (SOE HOK GIE)

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 11 April 2011

ANALISIS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (TERSANGKA ADELIN LIS)

KASUS PENCUCIAN UANG ADELIN LIS BNI 46 CAB. MEDAN
Sekalipun demikian, polisi tetap kukuh untuk memburu Adelin. Selain masih terkait dengan kasus pembalakan liar, dia juga dituduh melakukan pencucian uang sebesar Rp1,7 miliar di Bank BNI 46, Medan. Tak tanggung-tanggung delapan Kepolisian Daerah (Polda) di Indonesia ditebar untuk mengejarnya. Selain memasukan nama lelaki asal Medan itu, dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), pemerintah melalui Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephuk dan HAM) menerbitan surat pencekalan yang berlaku selama satu tahun, sejak 7 November 2007.
Disisi lain Interpol Indonesia juga memfokuskan pencarian Adelin Lis sesuai dengan sejarah tertangkapnya yakni, Hongkong, China dan Singapura. Di mana negara tersebut secara khusus diamati Interpol. "Kita awali pengamatan di mana dia tertangkap sebelumnya. Yakni di China," ujar Sekretaris National Central Bureau Interpol Indonesia Brigjen Iskandar Hassan. Iskandar menjelaskan kedua negara lainnya, Hongkong dan Singapura menjadi fokus perhatian Interpol. Sebab di dua negara tersebut, tersangka kasus pencucian uang yang juga Direktur PT Rimba Mujur Mahkota (RMM) itu, pernah beberapa kali singgah.
Hingga kini, menurut Iskandar, dari 182 negara yang dikirimkan red notice, belum satu pun yang memberikan respon yang menyebutkan keberadaan Adelin Lis. "Kita tunggu saja respon dari negara anggota Interpol. Kita bekerja sesuai dengan prosedur yang ada," tutur Iskandar.
Kembali ke persoalan aliran dana di bank plat merah itu, polisi menemukan dana Rp1,7 miliar atas nama Adelin Lis. Untuk membongkar kasus pencucian uang dan kredit macet Adelin Lis yang baru dibebaskan Pengadilan Negeri Medan itu. Mabes Polri menurunkan tiga tim. Tim itu ditugasi untuk menyelidiki kasus kredit macet pembangunan perkebunan kelapa sawit dan pabrik kelapa sawit PT Rimba Mujur Mahkota (RMM), yang kini BAP-nya belum lengkap[1].
ANALISIS
Tentang tersangka yang melarikan diri keluar negeri
Banyak para pakar hukum mengemukakan pendapat mengenai ekstradisi diantaranya,
L. Oppenheim menyatakan pengertian ekstradisi merupakan:
Extradition is the delivery of an accused or convicted individual to the state on whose territory he is alleged to have commited, or to have been convicted of, acrime by the state on whose territory the alleged criminal happens for the time to be[2].
(Ekstradisi ialah suatu penyerahan si tertuduh atau terhukum kepada suatu negara, tentang kejahatan yang dituduhkan di wilayah yang dilakukan pada saat kejadian tersebut).

J.G. Starke, menyatakan sebagai berikut:
Istilah ekstradisi menunjuk kepada proses di mana berdasarkan traktat atau atas dasar resiprositas suatu negara untuk menyerahkan kepada negara lain atas permintaanya seseorang yang dituduh atau dihukum karena melakukan tindak kejahatan yang dilakukan terhadap hukum negara yang mengajukan permintaan, negara yang meminta ekstradisi memiliki kompetensi untuk mengadili tertuduh pelaku tindak pidana tersebut[3].

Menurut M. Budiarto,
Ekstradisi ialah suatu proses penyerahan tersangka atau terpidana karena telah melakukan kejahatan yang dilakukan secara formal oleh suatu negara kepada negara lain yang berwenang memeriksa dan mengadili pelaku kejahatan tersebut”.[4] dan ada beberapa definisi-definisi lain.
Indonesia sebagai sebuah negara yang patuh terhadap hukum internasional tentu saja tidak bisa secara langsung menangkap para penjahat tersebut. Indonesia harus mengikuti prosedur hukum tertentu karena penjahat yang bersangkutan telah berada di luar wilayah territorial dan yuridiksinya. Berada di luar wilaya yuridiksi berarti berada di luar wilayah cakupan wewenang/kekuasaan hukumnya (suryokusumo,2007:239). Oleh karena itu Indonesia perlu mencari cara yang diakui secara internasional untuk dapat menangkap dan mengadili penjahat tersebut di dalam negeri[5].
Salah satu cara yang harus ditempuh Indonesia adalah mengadakan perjanjian internasional baik bilateral maupun multilateral dengan negara-negara tempat para penjahat tersebut bersembunyi. Adapun perjanjian tersebut tidak begitu saja berlaku tanpa adanya ratifikasi untuk menjamin kepastian hukumnya (Abdussalam,2006:1). Atas dasar perjanjian tersebut barulah Indonesia bisa menangani kasus pidana (pelaku kejahatan) yang berada di luar wilayah yuridiksinya. Dalam hal ini sering disebut ektradisi.
Di Indonesia, ketentuan mengenai ekstradisi telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1979. Sejauh ini, Indonesia telah melakukan perjanjian ekstradisi dengan tujuh negara. Negara-negara tersebut antara lain Malaysia, Philipina, Thailand, Australia, Hongkong, Korea Selatan dan Singapura[6]. Adapun perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura baru ditandatangani pada 27 April 2007 di Istana Tampangsiring Bali yang menyepakati penanganan terhadap 31 jenis kejahatan termasuk korupsi dan terorisme. Dan dalam kasus ini diduga pelaku melarikan diri ke negara China.
Akan tetapi Apabila hubungan kedua negara yang semula bersahabat berubah menjadi permusuhan, maka kerja sama saling menyerahkan penjahat pelarian bisa berubah menjadi saling melindungi penjahat pelarian. Di samping itu pula praktek-praktek penyerahan penjahat pelarian belum didasarkan atas keinginan untuk bekerja sama dalam mencegah dan memberantas kejahatan[7]. Hal ini mengingat kehidupan masyarakat umat manusia pada jaman kuno masih jauh lebih sederhana jika dibandingkan dengan masyarakat sekarang ini. Kemajuan-kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta berkembangnya pemikiran-pemikiran baru dalam bidang politik, ketatanegaraan dan kemanusiaan turut pula memberikan warna tersendiri pada ekstradisi ini[8].
Dalam kasus ini berarti pemerintah indonesia harus dengan bersungguh-sungguh mengadakan perjanjian dengan pemerintah china (adelin lis) diduga melarikan diri keasana, akan tetapi jika itu tidak dilakukan maka nselamanya adelin lis tidak akan bisa diadili di indonesia.

Unsur-Unsur dalam UUTPU (tindak pidana pencucian uang)

Pasal 1 angka 1 UU No. 25 Tahun 2002, mendefinisikan Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan,membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-seolah menjadi Harta Kekayaan yang sah..[9]
Pendefinisian di atas mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
  1. Pelaku
  2. Transaksi keuangan atau alat keuangan atau finansial untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah
  3. Merupakan hasil tindak pidana
Perbuatan melawan hukum Adelin lis
Menurut Prof. Moeljatno, SH. Dalam bukunya Sifat Melawan Hukumnya Perbuatan Pidana adalah sebagai berikut, ”ada dua pendapat, yaitu pertama, apabila perbuatan tersebut telah mencocoki larangan undang-undang, maka disitu ada kekeliruan. Letak melawan hukunya perbuatan sudah ternyata, dari sifat pelanggarannya ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Pendirian demikian dinamakan pendirian yang formil atau ajaran melawan hukum yang formil. Kedua, berpendapat bahwa kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-udang belum tentu bersifat melawan hukum. Menurut mereka, yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja karena disamping undang-undang (hukum yang tertulis), ada pula hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat. Pendirian ini dinamakan pendirian yang materiel atau ajaran melawan hukum yang materiel[10].”
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH. Dalam bukunya mengatakan sebagai berikut, ”oenrecthmatigheid ini juga dinamakan wederrechtlijkheid yang berarti sama. Akan tetapi, dengan nama wederrechtlijkheid ini, adakalanya unsur ini secara tegas disebutkan dalam perumusan ketentuan hukum pidana.” seperti dikatakan HR. Nederland tahun 1919, yang terkenal dengan nama Lindenbaum-Cohen Arrest mengenai perkara perdata, bahwa, ”perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige) bukan saja perbuatan yang bertentangan dengan wet tetapi juga perbuatan yang dipandang tidak patut dalam pergaulan masyarakat.”
Jadi, perbuatan melanggar hukum untuk perkara perdata juga berlaku untuk perkara pidana, tetapi istilah perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) ditujukan untuk kasus perdata, sedangkan istilah melawan hukum (wederrechtlijkheid) ditujukan untuk kasus pidana. Dengan demikian, akibat dari perbuatan melanggar hukum dalam masalah perdata itu sanksinya harus mengganti kerugian, sedangkan akibat dari perbuatan melanggar hukum dalam masalah pidana itu, sanksinya harus menerima hukuman (mati, penjara, kurungan, denda) sesuai dengan berat atau ringannya masalah.
Menurut hal ditas, penulis lebih sepakat deangan pernyataannya Prof. Moeljatno. Akan tetapi dalam kasus adelin, dugaan siafat melawan hukumnya belum jelas, karena polisi belum menentgukan pelanggaran pencucian uang yang seperti apa. Karena unsur-unsur diatas tidak ada yang terbukti dilakukan oleh adelin lis.

Merupakan hasil tindak pidana

Penyebutan tindak pidana pencucian uang salah satunya harus memenuhi unsur adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2003, dimana perbuatan melawan hukum tersebut terjadi karena pelaku melakukan tindakan pengelolaan atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. Pengertian hasil tindak
pidana dinyatakan pada Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2003 yang telah mengubah UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang dalam pembuktian nantinya hasil tindakan pidana akan merupakan unsur-unsur delik yang harus dibuktikan. Pembuktian apakah benar harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana adalah dengan membuktikan ada atau terjadi tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan tersebut, pembuktian disini bukan untuk membuktikan apakah benar telah terjadi tindak pidana asal (predicate crime) yang menghasilkan harta kekayaan. Apabila digambarkan maka unsur-unsur pokok pencucian uang adalah sebagai berikut :[11]
Pelaku==èPerbuatan Melawan Hukum(hasil tindak pidana)==èmenjadi Transaksi Keuangan LEGAL

Penulis mengemukanan pendapat sebagai berikut:
  1. Adelin lis benar melakukan tindak pidana di BNI 46 cab,medan
  2. Aelin lis pergi/melarikan diri ke luar negari;
  3. Adelin lis belum terbukti melakukan transaksi di luar negeri dengan uanganya.
Menurut hal ditas, semua yang ada dalam kasus ini harus di kumpulkan dahulu bukti-buktinya.
Hukum acara (Pembuktian Terbalik)
Dalam pembuktian terbalik beban pembuktian ada pada terdakwa. Dalam tindak pidana pencucian uang yang harus dibuktikan adalah asal-usul harta kekayaan yang bukan berasal dari tindak pidana, misalnya bukan berasal dari korupsi, kejahatan narkotikan serta perbuatan haram lainnya. Pembuktian terbalik bukan untuk membuktikan perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa, melainkan tujuannya adalah untuk menyita harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana jadi bukan untuk menghukum pelaku tindak pidana.
Dalam Pasal 35 UU No 25 Tahun 2003 diatur tentang pembuktian terbalik dengan rumusan bahwa
”Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”.[12]
Dalam ketentuan ini memang tidak jelas pembuktian ini apakah dalam konteks pidana untuk menghukum orang yang bersangkutan atau untuk menyita harta kekayaan yang bersangkutan. Hukum acara yang mengatur pembuktian terbalik ini pun belum ada, sehingga dalam pelaksanaannya menimbulkan kesulitan, seperti yang terjadi dalam persidangan Adrian Herling Woworuntu di PN Jakarta Selatan yang dituduh dengan dakwaan korupsi atau tindak pidana pencucian uang.
Jika pembuktian terbalik dilakukan untuk menghukum terdakwa, ini jelas bertentangan dengan beberapa asas hukum pidana di Indonesia yaitu asas praduga tak bersalah (Presumption of innocence) dan non-self incrimination. Asas praduga tak bersalah telah lama dikenal dalam hukum di Indonesia, yang sekarang diatur dalam Pasal 8 UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 18 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Asas ini intinya menyatakan setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut karena disangka melakukan tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam sidang pengadilan. Sementara itu asas non-self incrimination ditemui dalam praktik dan dalam peraturan tertulis di Indonesia seperti dalam UU, tentang Hak Asasi Manusia.
Asas non- self incrimination dalam sistem hukum common – law dikenal dengan istilah the privilege against self incrimination, yaitu seseorang tidak dapat dituntut secara pidana atas dasar keterangan yang diberikannya atau dokumen yang ditunjukkannya. Sebagai konsekuensi tersangka atau terdakwa dapat diam dan tidak menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Asas ini berjalan dengan baik di negara yang menganut sistem hukum common law, akan tetapi di Indonesia apabila terdakwa tidak menjawab pertanyaan yang diajukan, maka hal tersebut dianggap menyulitkan jalannya persidangan hingga dapat memperberat hukum nantinya. Karenanya terdapat kecenderungan terdakwa akan menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hingga pada akhirnya tidak merugikan dirinya[13].


[1] Http//vivanews.com.dipost 22 jul 2009. Dikutip hari minggu.tgl 13.jam 20:00 WIB.
[2] L. Oppenheim, International Law, a treatise, 8th edition, 1960, hal. 696 dikutip dalam buku I Wayan Parthiana, Op.cit hal. 16. 
[3] J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Edisi Kesepuluh Jilid 2, hal. 469. 
[4] Miriam. Budiarto, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Hak-Hak Azasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hal. 13. 
[5] Sumaryo suryokusumo.Hukum diplomatik teori dan kasus.bandung.Alumni.2007.hal.239.
[6] http//greatandre.blogspot.com
[7] I. Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1983,hal 4
[8] Ibid.hal.5
[9] Lihat UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003. 
[10] Moeljatno.asas-asas hukum pidana.edisi revisi.jakarta:rineka cipta.2008.hal.140-141.
[11] http//greatandre.blogspot.com
[12] Lihat.UU no 25 tahun 2003
[13] Mulyanto, SH,MH, hakim Pengadilan Negeri Semarang. http//mulyanto.blogspot.com



DAFTAR PUSTAKA
__ Budiarto,miriam. Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Hak-Hak Azasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980
__Marulak Pardede. 1995.Hukum Pidana Bank. Pustaka Sinar Harapan Jakarta 
__M.Irsan Nasarudin dan Indera Surya 2004. Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Kencana Jakarta. 
__Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Undip. Semarang 
__Munir Fuady. 2001. Hukum Perbankan Indonesia. PT. CirtraAditya Bakti Bandung 
__NHT. Siahaan. 2005. Pencucian uang dan Kejahatan Perbankan. Sinar Harapan. Jakarta, 
__Tb. Imran S. SH., MH. dalam Hukum Pembuktian Pencucian Uang Money Laundering;
__Yenti Garnasih dalam Arti Pencucian Uang di Indonesia dan Kelemahan dalam Implementasinya (Suatu Tinjauan Awal);
__Bismar Nasution.dalam Pemahaman UU Tindak Pidana Pencucian Uang (Money
Laundering);
__Anwar Nasution dalam Sumber, Proses, Mekanisme dan Dampak Ekonomi “Money
Laundering Crime”;
__Erman Radjagukguk, SH., LLM. Ph.D dalam Money Laundering Crime Dalam Hukum Perbankan.
__J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Edisi Kesepuluh Jilid 2.
__I. Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1983.
Media
-Greatandre.blogspot.com
-Vivanews.com
Read more...

Kamis, 07 April 2011

MODERN DAN POST MODERN


BAB I
PENDAHULUAN
1.      LATARBELAKANG
“dunia sekarng ini memusatkan seluruh usahanaya untuk menciptakan sarana-sarana kehidupan. Ini adalah kebodohan dari filsafat hidup manusia modern. Teknologi tanpa arah dan peradaban yang kosong dari cita-cita”[1]
Pada zaman kita hidup saat ini dikenal dengan zaman postmodern dimana perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan sangat pesat terjadi dan. Seluruh pengembangan tersebut bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kelancaran manusia dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari, makan, tidur, membela diri, berketurunan dan lain sebagainya. Namun yang menjadi dilema adalah bahwa justru dengan perkembangan ilmu pengetahuandan teknologi tersebut memberikan kecemasan terhadap umat manusia seperti pengembangan teknologi senjata yang bertujuan untuk memberikan keamanan bagi manusia justru menjadi ancaman bagi manusia itu sendiri. Fenomena yang lain juga terjadi karena perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan seperti adanya internet yang bertujuan memberikan kemudahan seseorang dalam memperoleh informasi justru menjadi sumber ancaman bagi moral dan etika seseorang. Berkembangnya sutau teknolgi bagi manusia untuk mendapatkan makanan cepat saji namun sumber dari berbagai penyakit. Beberapa fenomena yang lain terjadi merupakan suatu ironi bagi manusia yang hidup pada masa postmodern ini.
Seiring dengan perkembangan zaman, kebudayaan umat manusia pun mengalami perubahan. Menurut para pemikir post modernis dekonstruksi, dunia tak lagi berada dalam dunia kognisi, atau dunia tidak lagi mempunyai apa yang dinamakan pusat kebudayaan sebagai tonggak pencapaian kesempurnaan tata nilai kehidupan. Hal ini berarti semua kebudayaan duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, dan yang ada hanyalah pusat-pusat kebudayaan tanpa periferi. Sebuah kebudayaan yang sebelumnya dianggap pinggiran akan bisa sama kuat pengaruhnya terhadap kebudayaan yang sebelumnya dianggap pusat dalam kehidupan manusia modern.
Wajah kebudayaan yang sebelumnya dipahami sebagai proses linier yang selalu bergerak ke depan dengan berbagai penyempurnaannya juga mengalami perubahan.Kebudayaan tersebut tak lagi sekadar bergerak maju tetapi juga ke samping kiri, dan kanan memadukan diri dengan kebudayaan lain, bahkan kembali ke masa lampau kebudayaan itu sendiri.
2.    3.      RUMUSAN MASALAH
Adapun beberapa rumusan masalah yang manjadi landasan pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1)      Apakah teknologi merupakan hal yang mutlak dalam kehidupan manusia sekarng?
2)      Bagaimanakah Modernisme dan postmodernisme dipahami?
3)      Bagaimanakah “virus modern dan post moder” ini meracuni mahasiswa?

4.      METODE PENULISAN
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis-normatif. Data diperoleh dari data sekunder berupa bahan hukum (primer, sekunder dan tersier), dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif-kualitatif.
BAB II
ISI
Kebodohan Filsafat hidup manusia modern
Perubahan tersebut  diatas dikenal sebagai perubahan sosial atau social change. Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya, namun perubahannya hanya mencakup kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, kecuali organisasi sosial masyarakatnya. Perubahan sosial tersebut bardampak pada munculnya semangat-semangat untuk menciptakan produk baru yang bermutu tinggi dan hal inilah yang menjadi dasar terjadinya revolusi industri, serta kemunculan semangat asketisme intelektual. Menurut Prof Sartono, asketisme dan expertise ini merupakan kunci kebudayaan akademis untuk menuju budaya yang bermutu.
Sebagai homo faber, manusia mencipta dan bekerja, untuk memperoleh kepuasan atau self fulfillment. Dalam kaca mata agama dan unsur untuk beribadah, suatu orientasi kepada kepuasan batin dan menuju ke arah sesuatu yang transendental. Di sinilah yang disebut etos bangsa itu muncul.
Pada kehidupan masyarakat modern, kerja merupakan bentuk eksploitasi kepada diri, sehingga mempengaruhi pola ibadah, makan, dan pola hubungan pribadi dengan keluarga. Sehingga dalam kebudayaan industri dan birokrasi modern pada umumnya, dipersonalisasi menjadi pemandangan sehari-hari. Masyarakat modern mudah stres dan muncul penyakit-penyakit baru yang berkaitan dengan perubahan pola makanan dan pola kerja. Yang terjadi kemudian adalah dehumanisasi dan alienasi atau keterasingan, karena dipacu oleh semangat kerja yang tinggi untuk menumpuk modal. Berger menyebutnya sebagai “lonely crowd” karena pribadi menemukan dirinya amat kuat dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kebudayaan industrialisasi, terus terjadi krisis. Pertama, kosmos yang nyaman berubah makna karena otonomisasi dan sekularisasi sehingga rasa aman lenyap. Kedua masyarakat yang nyaman dirobek-robek karena individu mendesakkan diri kepada pusat semesta, ketiga nilai kebersamaan goyah, keempat birokrasi dan waktu menggantikan tokoh mistis dan waktu mitologi.
Para penganut paham pascamodern seperti Lyotard pernah mengemukakan perlunya suatu jaminan meta-sosial, yang dengannya hidup kita dijamin lebih merdeka, bahagia, dan sebagainya. Khotbah agung-nya (metanarasi) ini mengutamakan perlunya new sensibility bagi masyarakat yang terjebak dalam gejala dehumanisasi budaya modern.
Kebiasaan dari masyarakat modern adalah mencari hal-hal mudah, sehingga penggabungan nilai-nilai lama dengan kebudayaan birokrasi modern diarahkan untuk kenikmatan pribadi. Sehingga, munculah praktek-peraktek kotor seperti nepotisme, korupsi, yang menyebabkan penampilan mutu yang amat rendah.
Tetapi kita tidak serta merta menyalahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi karena fenomena-fenomena tersebut. Tidak pula secara spontan kita meninggalkan kehidupan postmodern ini menjadi zaman batu atau kembali ke zaman primitif dan hal itupun sepertinya susah untuk dilakukan mengingat manusia sangat tergantung dengan kebutuhan-kebutuhan teknologi dan ilmu pengetahuan. dengan kata lain, manusia pada zaman postmodern ini sungguh kurang beruntung keadaanya. Meskipun siapapun yang ada di dunia ini pasti dibelenggu oleh hukum alam, penykit, usia tua dan kematian. Penderitaan karena penyakit, kecemasan akan usia tua dan ketakutan akan kematian

Komparasi zaman modern dan postmodern
Sebelum kehidupan modern bermula, pemikiran masa pramodern[2] selalu menempatkan Allah sebagai pusat dari segala pemikiran, kebudayaan dan masyarakat. Pusat dari seluruh kehidupan manusia dan semua kreatifitas artistik adalah persoalan ‘pertemuan’ (encounter) dengan Allah. Persoalan manusiawi dalam era ini tidak bersifat independen dalam diskusi mengenai filsafat dan keagamaan. Karena penekanan yang terlalu berlebihan pada aspek ketuhanan ini, tidak heran jika kemudian kehidupan manusia dianggap hanya sebagai duniawi, fana, dan keadaan sementara di tengah perjalanan kepada keberadaan yang nyata dalam kekekalan dengan Allah.
Bermula dari Renaissance dan humanisme yang berhasil membuat perubahan yang radikal, tema yang berpusat pada Tuhan berbelok ke arah manusia. Persoalan waktu dan materi menjadi perhatian utama manusia. Dengan demikian Renaissance bermakna sebagai sebuah kelahiran kembali keunikan Yunani dan Roma klasik, serta perhatian mereka akan pengajaran pra-kekristenan dimana individu-individulah yang menjadi pusat perhatian. Humanisme berkembang dengan menemukan pokok perhatian dalam dirinya sendiri.
Antropologi humanis pada bagian yang paling dasar menemukan bahwa seorang pribadi memiliki kemampuan untuk belajar dan dapat diajar. Pengetahuan adalah segalanya; yang paling diperlukan. Pendidikan menjadi tujuan utama yang harus diterima oleh setiap pribadi. Karena setiap pribadi dapat bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik, maka humanisme modern sangat bersifat optimistik. Filsafat egosentris ini secara kritis dikembangkan oleh Rene Descartes yang mencari kejelasan mutlak dalam konsep ‘keraguan’. Descartes bukanlah seorang peragu tanpa prinsip yang jelas –yang berusaha menghancurkan kemutlakan-kemutlakan kebenaran—, Ia sungguh-sungguh menjadi seorang skeptis yang serius mencari kebenaran melalui metodenya sendiri berdasarkan observasi empiris atau deduksi rasional. Pada akhirnya, kejelasan yang diperoleh oleh Descartes hanyalah ada dalam dirinya sendiri sebagai kebenaran yang tidak dapat disangkali: Cogito, ergo sum —saya berpikir, karena itu, saya ada. Pendekatan Alasan (Reasoning) Descartes ini serupa dengan karakteristik pemikiran modern yang kemudian berkembang menjadi antroposentris. Perumusan dari manusia yang berpikir dan dunia yang mekanis membuka jalan bagi ledakan pengetahuan dibawah panji-panji Program Pencerahan (Enlightment Project, istilah Jurgen Habermas).[3]
Dalam masa reformasi, Luther pun secara langsung menentang pandangan antropologi humanisme ini dalam tulisannya, “De servo arbitrio”. Dalam tulisan melawan Erasmus ini, Luther mewaspadai keadaan keterhilangan manusia (dari hadapan Tuhan) dan kebergantungan kita kepada karya keselamatan dari Tuhan sebagai kontras atas keangkuhan Erasmus yang menganggap bahwa adalah mungkin untuk mengubah seseorang menjadi pribadi yang baik.[4]
Berangkat dari sini, dari masa pencerahan sampai abad modern, banyak pakar sudah meramalkan bahwa suatu saat agama pasti akan mati. Namun, ramalan ini ternyata tidak pernah menjadi kenyataan. Abad kedua puluh dibuka dengan debat teologis antara kelompok Modernis dengan kelompok Fundamentalis. Pemikiran modernis mulai masuk dan menguasai mayoritas gereja dan seminari-seminari. Tidak heran jika kemudian mereka berusaha membuang segala hal yang berbau supranatural dari Alkitab. Standar pada rasio dan ilmu pengetahuan telah menyusup masuk ke dalam kekristenan melalui teologi liberal yang berkembang seiring dengan modernisme. Mukjizat, wahyu ilahi dan Allah yang tidak kelihatan disingkirkan dari iman kekristenan. Prinsip penafsiran ‘Historis-Kritis’ pun menjadi prinsip utama dalam penafsiran Alkitab.[5] Dengan demikian, Alkitab pun tidak lagi dianggap berotoritas ilahi.
Di dunia yang sedemikian, cukup sulit bagi kekristenan untuk bertahan melawan segala perlawanan rasional atas kekristenan yang sangat menekankan iman yang bersifat abstrak. Tidak heran jika kemudian di dunia modern pula kekristenan banyak dipengaruhi oleh peranakan-peranakan dari pemikiran modern, e.g. gerakan jaman baru.

Dari Modernisme ke Postmodernisme
Tantangan modernisme yang sedemikian menekan kekristenan belumlah usai ketika gereja kemudian harus berhadapan dengan filsafat baru —postmodernisme. Berbeda dengan filsafat modern yang berusaha memutlakkan kebenaran hanya berdasarkan rasio dan ilmu pengetahuan, postmodernisme justru memberikan pernyataan bahwa tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak dan universal. Posisi kekristenan menjadi lebih sulit karena sesungguhnya pengaruh modern belum sepenuhnya lepas dan postmodernisme telah mulai menancapkan akar-akarnya semakin dalam. Kekristenan seakan dipaksa berdiri dengan berpijak pada dua perahu yang segera akan bersilang arah. Namun, sebelum berbicara lebih lanjut mengenai implikasi permasalahan ini bagi kekristenan, kita perlu mengetahui lebih jelas mengenai filsafat postmodernisme ini.
Pada dasarnya, postmodern muncul sebagai reaksi terhadap fakta tidak pernah tercapainya impian yang dicita-citakan dalam era modern. Era modern yang berkembang antara abad kelima belas sampai dengan delapan belas –dan mencapai puncaknya pada abad sembilan belas dan dua puluh awal— memiliki cita-cita yang tersimpul dalam lima kata, yaitu: reason, nature, happiness, progress dan liberty.[6] Semangat ini harus diakui telah menghasilkan kemajuan yang pesat dalam berbagai bidang kehidupan dalam waktu yang relatif singkat. Nampaknya, mimpi untuk memiliki dunia yang lebih baik dengan modal pengetahuan berhasil terwujud. Namun, tidak lama, sampai kemudian ditemukan juga begitu banyak dampak negatif dari ilmu pengetahuan bagi dunia. Teknologi mutakhir ternyata sangat membahayakan dalam peperangan dan efek samping kimiawi justru merusak lingkungan hidup. Dengan demikian, mimpi orang-orang modernis ini tidaklah berjalan sesuai harapan.
Rasionalitas modern gagal menjawab kebutuhan manusia secara utuh. Ilmu pengetahuan terbukti tidak dapat menyelesaikan semua masalah manusia. Teknologi juga tidak memberikan waktu senggang bagi manusia untuk beristirahat dan menikmati hidup. Di masa lampau, ketika hanya ada alat-alat tradisional yang kurang efektif, semua orang mengharapkan teknologi canggih akan memperingan tugas manusia sehingga seseorang dapat menikmati waktu senggang. Saat ini, teknologi telah berhasil menciptakan alat-alat yang memudahkan kerja manusia. Seharusnya, semua orang lebih senggang dibanding dulu, tetapi kenyataannya, justru semua orang lebih sibuk dibanding dulu. Teknologiinstan yang ada saat ini justru menuntut pribadi-pribadi untuk lebih bekerja keras untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari efektifitas yang diciptakan. Ironis.
Berangkat dari perbedaan mimpi dan kenyataan modernism inilah postmodern muncul dan berkembang. Modernisme sesungguhnya sudah mendapat serangan dan kritik sejak Friederich Nietzsche (1844-1900), namun serangan tersebut belum benar-benar diperhatikan sebelum tahun 1970-an. Gerakan untuk menyingkirkan modernisme secara langsung datang melalui kehadiran dekonstruksi sebagai sebuah teori sastra yang mempengaruhi aliran baru dalam filsafat.[7] Dekonstruksi merupakan sebuah gebrakan awal untuk menentang teori strukturalis dalam sastra yang mengatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai struktur yang sama sehingga teks (hasil sastra) dapat dibaca dan dimengerti secara universal. Dekonstruksi, dalam hal ini, menganggap bahwa tidaklah benar demikian. Makna tidaklah terdapat dalam teks, tetapi pemaknaan muncul dari masing-masing pribadi yang membaca teks. Secara tidak langsung, hal ini seakan menyatakan bahwa seorang penulis tidak dapat menuntut haknya atas pemaknaan teks yang ditulisnya, semua orang boleh membaca teks tersebut dan memaknainya sesuai dengan penafsiran masing-masing.
Dari teori sastra dekonstruksi, filsafat postmodern menerapkannya kepada realitas. Pemaknaan sebuah realitas sah-sah saja dinilai berbeda oleh masing-masing orang. Tidak ada standar tertentu untuk memaknai atau memahami suatu hal tertentu. Makna tidak lagi bernilai obyektif –dalam artian diterima secara universal. Pemaknaan menjadi subyektif; dan pemaknaan subyektif menjadi kebenaran bagi pribadi bersangkutan. Karena itu, postmodernisme tidak mengakui adanya satu kebenaran dan modernisme dianggap sebagai suatu kebodohan. Tidak ada makna tunggal dalam dunia, tidak ada titik pusat dari realitas secara keseluruhan.
Dalam dunia postmodern, manusia tidak lagi percaya bahwa pengetahuan itu baik. Untuk menghindari mitos Pencerahan, postmodernisme menggantikan optimisme dengan pesimisme.[8] Harapan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik di masa depan pun dianggap kebohongan. Tidak heran jika banyak dikatakan bahwa era postmodern dimulai setelah proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis yang menjadi lambang arsitektur modern diledakkan dengan sengaja oleh para penghuninya. Bangunan yang berusaha menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi para penghuni ‘rumah-susun’ itu dianggap tidak dapat menjawab kebutuhan penghuninya secara utuh. Charles Jencks –seorang arsitektur postmodernis— mengatakan bahwa peristiwa peledakan Pruitt-Igoe ini menandai kematian modernisme dan kelahiran postmodernisme.[9]
Walaupun ada cukup banyak pengaruh baru yang dimunculkan oleh postmodern dalam berbagai aspek kehidupan, sangat penting diperhatikan bahwa gerakan baru ini bukanlah anti terhadap hasil-hasil yang dicapai oleh era modern. Yang menjadi titik perlawanan postmodern terhadap modernsime adalah cara pandang (worldview) dan filsafat modernis yang dianggap gagal. Yang dilakukan kaum postmodernis pada intinya adalah pembongkaran cara pandang dan asumsi-asumsi dasar dibalik segala cita-cita modern –yang dilihatnya sebagai akar permasalahan timbulnya berbagai bencana.[10] Karena itu, tidaklah salah jika dikatakan bahwa postmodern lebih menunjuk pada suasana intelektual dan ekspresi kebudayaan yang mendominasi masyarakat kini.

Tantangan Mahasiswa (kaum intelektual) dalam zaman modern dan post modern
Filsafat Modern sebagai Pemberontakan Intelektual. Di satu sisi, modernitas dianggap sebagai disintegrasi intelektual. Filsafat modern lebih menampilkan dirinya sebagai anarkhi dan kekacauan dari pada keutuhan dan ketertiban, sebuah kemerosotan intelektual. Di lain sisi, filsafat modern dianggap sebagai emansipasi, sebuah kemajuan berpikir, dari kemandegan dan pendewaan pemikiran metafisis yang mendukung sistem kekuasaan gerejawi tradisional. Pihak kedua mendukung radikalisasi lebih lanjut, pemisahan ilmu pengetahuan dari filsafat. Hancurnya metafisika tradisional disambut gembira Nietzsche, Kant, Comte, di lain pihak, Hegel dan Marx ingin mengembalikan integrasi metafisis itu dari puing-puingnya.
Usaha melepas diri dari tradisi, filsafat modern meluncurkan tema-tema baru, pengetahuan yang sekarang dikenal sebagai "ilmu pengetahuan modern", yakni ilmu-ilmu alam, seperti Galileo, Bacon dan Descartes sangat menekankan "metode" untuk mengetahui. Kalau filsafat tradisional ramai mempersoalkan kenyataan adikodrati (Allah, roh, dst), para filsuf modern sibuk mempersoalkan cara untuk menemukan dasar pengetahuan yang sahih tentang semua itu. Lambat laun minat refleksi akan Allah bergeser ke refleksi atas manusia dengan segala kemampuan kodratinya. Jadi, teosentrisme bergeser ke antroposentrisme. Kemampuan manusia sebagai subjektivitas, seperti: rasio, persepsi, afeksi, dan kehendaknya menjadi tema-tema refleksi baru.
Di awal zaman modern, rumusan "Cogito ergo sum" dari Descartes bersesuaian dengan interpretasi subjektif atas iman dari Luther. Jika pengetahuan dicapai oleh dirinya sendiri dan iman ditafsirkan sendiri, yang dilawan di sini bukan hanya ajaran-ajaran resmi tentang pengetahuan yang benar, melainkan juga praktik-praktik totaliter gereja Abad Pertengahan yang dilegitimasikan ajaran-ajaran itu. Di abad ke-18, John Locke dan Adam Smith merumuskan hak-hak milik yang menandai praktik-praktik ekonomi kapitalis zaman itu. Praktik-praktik yang lama mendapat serangan gencar dari Marx yang memperlihatkan hak milik sehagai biang keladi penindasan dalam masyarakat.
Dalam pergaulan hidup mahasiswa sekarang inilah adalah teknologi nformasi mengenai facebook. Facebook banyak masyarakat dan para jurnalis disebut sebagai situs jejaring sosial. Namun menurut profesor Sherry Turkle[11], Facebook malah berpotensi menjadikan orang anti sosial. Dia menyatakan, situs seperti Facebook atau Twitter terlalu mendominasi kehidupan, membuat manusia terisolasi dan kurang manusiawi.
Dalam bukunya, dia berargumentasi bahwa Facebook menghadirkan ilusi kemudahan melakukan komunikasi dengan lebih baik. Namun justru teknologi malah mengisolasi orang dari interaksi antar manusia yang nyata. Padahal realitas di dunia cyber adalah tiruan yang buruk dari dunia sebenarnya.[12] Beliau juga menilai situs jejaring bisa membuat orang tergila-gila dan melakukan berbagai kebiasaan tidak pantas. Misalnya tetap sibuk facebookan saat upacara pemakaman.


[1] Baca buku Prof Chandel.dikutip oleh buku Ali Shariati.TUGAS CENDIKIAWAN MUSLIM..P.T raja Grafindo Persada Jakarta.1994.Hal 17.
[2]  Penulis menyadari banyaknya pendapat yang berbeda mengenai pembagian periode antara pramodern, modern, dan postmodern. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa terdapat ketidaksepahaman mengenai kapan bermula dan berakhirnya masing-masing era. Dalam tulisan ini penulis setuju dengan pendapat Hille, yang dimaksud dengan pramodern disini –secara sederhana— berarti masa abad-abad permulaan sampai abad pertengahan (Rolf Hille,  “From Modernity to Post-modernity: Taking Stock at the Turn of the Century,” Evangelical Review of Theology 24/2 [2000] 117-118).

[3] Stanley Grenz, A Primer on Postmodernism (Yogyakarta: Andi, 2001) 10.
[4] Hille, “From Modernity” 118.
[5]Gene Edward Veith, “Postmodernisme: Spiritualitas Tanpa Kebenaran” disadur oleh Gunung Maston dari Postmodern Times: A Christian Guide to Contemporary Thought and Culture 
[http://www.geocities.com/reformed_movement/artikel/spiritual.html]

[6] Surya, “Mengenal Postmodern”.
[7] Grenz, A Primer 13.

[8] Ibid. 16.
[9] Charles Jencks, The Language of Post-Modern Architecture, 4th ed. (London: Academy Editions, 1984) 9 [sebagaimana dikutip dalam ibid. 25].
[10] Surya, “Mengenal Postmodern”.
[11] Pendapat itu dikemukakan profesor Sherry Turkle, akademisi di Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat. Ia menulis buku 'Alone Together', yang mengkritik pemakaian situs jejaring sosial sebagai sebuah bentuk kegilaan di zaman modern.
[12] Dikutip detikINET dari DailyMail, Senin (10/3/2011)
Read more...