BAB I
PENDAHULUAN
1. LATARBELAKANG
“dunia sekarng ini memusatkan seluruh usahanaya untuk menciptakan sarana-sarana kehidupan. Ini adalah kebodohan dari filsafat hidup manusia modern. Teknologi tanpa arah dan peradaban yang kosong dari cita-cita” Pada zaman kita hidup saat ini dikenal dengan zaman postmodern dimana perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan sangat pesat terjadi dan. Seluruh pengembangan tersebut bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kelancaran manusia dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari, makan, tidur, membela diri, berketurunan dan lain sebagainya. Namun yang menjadi dilema adalah bahwa justru dengan perkembangan ilmu pengetahuandan teknologi tersebut memberikan kecemasan terhadap umat manusia seperti pengembangan teknologi senjata yang bertujuan untuk memberikan keamanan bagi manusia justru menjadi ancaman bagi manusia itu sendiri. Fenomena yang lain juga terjadi karena perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan seperti adanya internet yang bertujuan memberikan kemudahan seseorang dalam memperoleh informasi justru menjadi sumber ancaman bagi moral dan etika seseorang. Berkembangnya sutau teknolgi bagi manusia untuk mendapatkan makanan cepat saji namun sumber dari berbagai penyakit. Beberapa fenomena yang lain terjadi merupakan suatu ironi bagi manusia yang hidup pada masa postmodern ini.
Seiring dengan perkembangan zaman, kebudayaan umat manusia pun mengalami perubahan. Menurut para pemikir post modernis dekonstruksi, dunia tak lagi berada dalam dunia kognisi, atau dunia tidak lagi mempunyai apa yang dinamakan pusat kebudayaan sebagai tonggak pencapaian kesempurnaan tata nilai kehidupan. Hal ini berarti semua kebudayaan duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, dan yang ada hanyalah pusat-pusat kebudayaan tanpa periferi. Sebuah kebudayaan yang sebelumnya dianggap pinggiran akan bisa sama kuat pengaruhnya terhadap kebudayaan yang sebelumnya dianggap pusat dalam kehidupan manusia modern.
Wajah kebudayaan yang sebelumnya dipahami sebagai proses linier yang selalu bergerak ke depan dengan berbagai penyempurnaannya juga mengalami perubahan.Kebudayaan tersebut tak lagi sekadar bergerak maju tetapi juga ke samping kiri, dan kanan memadukan diri dengan kebudayaan lain, bahkan kembali ke masa lampau kebudayaan itu sendiri.
2. 3. RUMUSAN MASALAH
Adapun beberapa rumusan masalah yang manjadi landasan pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1) Apakah teknologi merupakan hal yang mutlak dalam kehidupan manusia sekarng?
2) Bagaimanakah Modernisme dan postmodernisme dipahami?
3) Bagaimanakah “virus modern dan post moder” ini meracuni mahasiswa?
4. METODE PENULISAN
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis-normatif. Data diperoleh dari data sekunder berupa bahan hukum (primer, sekunder dan tersier), dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif-kualitatif.
BAB II
ISI
Kebodohan Filsafat hidup manusia modern
Perubahan tersebut diatas dikenal sebagai perubahan sosial atau social change. Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya, namun perubahannya hanya mencakup kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, kecuali organisasi sosial masyarakatnya. Perubahan sosial tersebut bardampak pada munculnya semangat-semangat untuk menciptakan produk baru yang bermutu tinggi dan hal inilah yang menjadi dasar terjadinya revolusi industri, serta kemunculan semangat asketisme intelektual. Menurut Prof Sartono, asketisme dan expertise ini merupakan kunci kebudayaan akademis untuk menuju budaya yang bermutu.
Sebagai homo faber, manusia mencipta dan bekerja, untuk memperoleh kepuasan atau self fulfillment. Dalam kaca mata agama dan unsur untuk beribadah, suatu orientasi kepada kepuasan batin dan menuju ke arah sesuatu yang transendental. Di sinilah yang disebut etos bangsa itu muncul.
Pada kehidupan masyarakat modern, kerja merupakan bentuk eksploitasi kepada diri, sehingga mempengaruhi pola ibadah, makan, dan pola hubungan pribadi dengan keluarga. Sehingga dalam kebudayaan industri dan birokrasi modern pada umumnya, dipersonalisasi menjadi pemandangan sehari-hari. Masyarakat modern mudah stres dan muncul penyakit-penyakit baru yang berkaitan dengan perubahan pola makanan dan pola kerja. Yang terjadi kemudian adalah dehumanisasi dan alienasi atau keterasingan, karena dipacu oleh semangat kerja yang tinggi untuk menumpuk modal. Berger menyebutnya sebagai “lonely crowd” karena pribadi menemukan dirinya amat kuat dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kebudayaan industrialisasi, terus terjadi krisis. Pertama, kosmos yang nyaman berubah makna karena otonomisasi dan sekularisasi sehingga rasa aman lenyap. Kedua masyarakat yang nyaman dirobek-robek karena individu mendesakkan diri kepada pusat semesta, ketiga nilai kebersamaan goyah, keempat birokrasi dan waktu menggantikan tokoh mistis dan waktu mitologi.
Para penganut paham pascamodern seperti Lyotard pernah mengemukakan perlunya suatu jaminan meta-sosial, yang dengannya hidup kita dijamin lebih merdeka, bahagia, dan sebagainya. Khotbah agung-nya (metanarasi) ini mengutamakan perlunya new sensibility bagi masyarakat yang terjebak dalam gejala dehumanisasi budaya modern.
Kebiasaan dari masyarakat modern adalah mencari hal-hal mudah, sehingga penggabungan nilai-nilai lama dengan kebudayaan birokrasi modern diarahkan untuk kenikmatan pribadi. Sehingga, munculah praktek-peraktek kotor seperti nepotisme, korupsi, yang menyebabkan penampilan mutu yang amat rendah.
Tetapi kita tidak serta merta menyalahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi karena fenomena-fenomena tersebut. Tidak pula secara spontan kita meninggalkan kehidupan postmodern ini menjadi zaman batu atau kembali ke zaman primitif dan hal itupun sepertinya susah untuk dilakukan mengingat manusia sangat tergantung dengan kebutuhan-kebutuhan teknologi dan ilmu pengetahuan. dengan kata lain, manusia pada zaman postmodern ini sungguh kurang beruntung keadaanya. Meskipun siapapun yang ada di dunia ini pasti dibelenggu oleh hukum alam, penykit, usia tua dan kematian. Penderitaan karena penyakit, kecemasan akan usia tua dan ketakutan akan kematian
Komparasi zaman modern dan postmodern
Sebelum kehidupan modern bermula, pemikiran masa pramodern selalu menempatkan Allah sebagai pusat dari segala pemikiran, kebudayaan dan masyarakat. Pusat dari seluruh kehidupan manusia dan semua kreatifitas artistik adalah persoalan ‘pertemuan’ (encounter) dengan Allah. Persoalan manusiawi dalam era ini tidak bersifat independen dalam diskusi mengenai filsafat dan keagamaan. Karena penekanan yang terlalu berlebihan pada aspek ketuhanan ini, tidak heran jika kemudian kehidupan manusia dianggap hanya sebagai duniawi, fana, dan keadaan sementara di tengah perjalanan kepada keberadaan yang nyata dalam kekekalan dengan Allah. Bermula dari Renaissance dan humanisme yang berhasil membuat perubahan yang radikal, tema yang berpusat pada Tuhan berbelok ke arah manusia. Persoalan waktu dan materi menjadi perhatian utama manusia. Dengan demikian Renaissance bermakna sebagai sebuah kelahiran kembali keunikan Yunani dan Roma klasik, serta perhatian mereka akan pengajaran pra-kekristenan dimana individu-individulah yang menjadi pusat perhatian. Humanisme berkembang dengan menemukan pokok perhatian dalam dirinya sendiri.
Antropologi humanis pada bagian yang paling dasar menemukan bahwa seorang pribadi memiliki kemampuan untuk belajar dan dapat diajar. Pengetahuan adalah segalanya; yang paling diperlukan. Pendidikan menjadi tujuan utama yang harus diterima oleh setiap pribadi. Karena setiap pribadi dapat bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik, maka humanisme modern sangat bersifat optimistik. Filsafat egosentris ini secara kritis dikembangkan oleh Rene Descartes yang mencari kejelasan mutlak dalam konsep ‘keraguan’. Descartes bukanlah seorang peragu tanpa prinsip yang jelas –yang berusaha menghancurkan kemutlakan-kemutlakan kebenaran—, Ia sungguh-sungguh menjadi seorang skeptis yang serius mencari kebenaran melalui metodenya sendiri berdasarkan observasi empiris atau deduksi rasional. Pada akhirnya, kejelasan yang diperoleh oleh Descartes hanyalah ada dalam dirinya sendiri sebagai kebenaran yang tidak dapat disangkali: Cogito, ergo sum —saya berpikir, karena itu, saya ada. Pendekatan Alasan (Reasoning) Descartes ini serupa dengan karakteristik pemikiran modern yang kemudian berkembang menjadi antroposentris. Perumusan dari manusia yang berpikir dan dunia yang mekanis membuka jalan bagi ledakan pengetahuan dibawah panji-panji Program Pencerahan (Enlightment Project, istilah Jurgen Habermas). Dalam masa reformasi, Luther pun secara langsung menentang pandangan antropologi humanisme ini dalam tulisannya, “De servo arbitrio”. Dalam tulisan melawan Erasmus ini, Luther mewaspadai keadaan keterhilangan manusia (dari hadapan Tuhan) dan kebergantungan kita kepada karya keselamatan dari Tuhan sebagai kontras atas keangkuhan Erasmus yang menganggap bahwa adalah mungkin untuk mengubah seseorang menjadi pribadi yang baik. Berangkat dari sini, dari masa pencerahan sampai abad modern, banyak pakar sudah meramalkan bahwa suatu saat agama pasti akan mati. Namun, ramalan ini ternyata tidak pernah menjadi kenyataan. Abad kedua puluh dibuka dengan debat teologis antara kelompok Modernis dengan kelompok Fundamentalis. Pemikiran modernis mulai masuk dan menguasai mayoritas gereja dan seminari-seminari. Tidak heran jika kemudian mereka berusaha membuang segala hal yang berbau supranatural dari Alkitab. Standar pada rasio dan ilmu pengetahuan telah menyusup masuk ke dalam kekristenan melalui teologi liberal yang berkembang seiring dengan modernisme. Mukjizat, wahyu ilahi dan Allah yang tidak kelihatan disingkirkan dari iman kekristenan. Prinsip penafsiran ‘Historis-Kritis’ pun menjadi prinsip utama dalam penafsiran Alkitab. Dengan demikian, Alkitab pun tidak lagi dianggap berotoritas ilahi. Di dunia yang sedemikian, cukup sulit bagi kekristenan untuk bertahan melawan segala perlawanan rasional atas kekristenan yang sangat menekankan iman yang bersifat abstrak. Tidak heran jika kemudian di dunia modern pula kekristenan banyak dipengaruhi oleh peranakan-peranakan dari pemikiran modern, e.g. gerakan jaman baru.
Dari Modernisme ke Postmodernisme
Tantangan modernisme yang sedemikian menekan kekristenan belumlah usai ketika gereja kemudian harus berhadapan dengan filsafat baru —postmodernisme. Berbeda dengan filsafat modern yang berusaha memutlakkan kebenaran hanya berdasarkan rasio dan ilmu pengetahuan, postmodernisme justru memberikan pernyataan bahwa tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak dan universal. Posisi kekristenan menjadi lebih sulit karena sesungguhnya pengaruh modern belum sepenuhnya lepas dan postmodernisme telah mulai menancapkan akar-akarnya semakin dalam. Kekristenan seakan dipaksa berdiri dengan berpijak pada dua perahu yang segera akan bersilang arah. Namun, sebelum berbicara lebih lanjut mengenai implikasi permasalahan ini bagi kekristenan, kita perlu mengetahui lebih jelas mengenai filsafat postmodernisme ini.
Pada dasarnya, postmodern muncul sebagai reaksi terhadap fakta tidak pernah tercapainya impian yang dicita-citakan dalam era modern. Era modern yang berkembang antara abad kelima belas sampai dengan delapan belas –dan mencapai puncaknya pada abad sembilan belas dan dua puluh awal— memiliki cita-cita yang tersimpul dalam lima kata, yaitu: reason, nature, happiness, progress dan liberty. Semangat ini harus diakui telah menghasilkan kemajuan yang pesat dalam berbagai bidang kehidupan dalam waktu yang relatif singkat. Nampaknya, mimpi untuk memiliki dunia yang lebih baik dengan modal pengetahuan berhasil terwujud. Namun, tidak lama, sampai kemudian ditemukan juga begitu banyak dampak negatif dari ilmu pengetahuan bagi dunia. Teknologi mutakhir ternyata sangat membahayakan dalam peperangan dan efek samping kimiawi justru merusak lingkungan hidup. Dengan demikian, mimpi orang-orang modernis ini tidaklah berjalan sesuai harapan. Rasionalitas modern gagal menjawab kebutuhan manusia secara utuh. Ilmu pengetahuan terbukti tidak dapat menyelesaikan semua masalah manusia. Teknologi juga tidak memberikan waktu senggang bagi manusia untuk beristirahat dan menikmati hidup. Di masa lampau, ketika hanya ada alat-alat tradisional yang kurang efektif, semua orang mengharapkan teknologi canggih akan memperingan tugas manusia sehingga seseorang dapat menikmati waktu senggang. Saat ini, teknologi telah berhasil menciptakan alat-alat yang memudahkan kerja manusia. Seharusnya, semua orang lebih senggang dibanding dulu, tetapi kenyataannya, justru semua orang lebih sibuk dibanding dulu. Teknologiinstan yang ada saat ini justru menuntut pribadi-pribadi untuk lebih bekerja keras untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari efektifitas yang diciptakan. Ironis.
Berangkat dari perbedaan mimpi dan kenyataan modernism inilah postmodern muncul dan berkembang. Modernisme sesungguhnya sudah mendapat serangan dan kritik sejak Friederich Nietzsche (1844-1900), namun serangan tersebut belum benar-benar diperhatikan sebelum tahun 1970-an. Gerakan untuk menyingkirkan modernisme secara langsung datang melalui kehadiran dekonstruksi sebagai sebuah teori sastra yang mempengaruhi aliran baru dalam filsafat. Dekonstruksi merupakan sebuah gebrakan awal untuk menentang teori strukturalis dalam sastra yang mengatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai struktur yang sama sehingga teks (hasil sastra) dapat dibaca dan dimengerti secara universal. Dekonstruksi, dalam hal ini, menganggap bahwa tidaklah benar demikian. Makna tidaklah terdapat dalam teks, tetapi pemaknaan muncul dari masing-masing pribadi yang membaca teks. Secara tidak langsung, hal ini seakan menyatakan bahwa seorang penulis tidak dapat menuntut haknya atas pemaknaan teks yang ditulisnya, semua orang boleh membaca teks tersebut dan memaknainya sesuai dengan penafsiran masing-masing. Dari teori sastra dekonstruksi, filsafat postmodern menerapkannya kepada realitas. Pemaknaan sebuah realitas sah-sah saja dinilai berbeda oleh masing-masing orang. Tidak ada standar tertentu untuk memaknai atau memahami suatu hal tertentu. Makna tidak lagi bernilai obyektif –dalam artian diterima secara universal. Pemaknaan menjadi subyektif; dan pemaknaan subyektif menjadi kebenaran bagi pribadi bersangkutan. Karena itu, postmodernisme tidak mengakui adanya satu kebenaran dan modernisme dianggap sebagai suatu kebodohan. Tidak ada makna tunggal dalam dunia, tidak ada titik pusat dari realitas secara keseluruhan.
Dalam dunia postmodern, manusia tidak lagi percaya bahwa pengetahuan itu baik. Untuk menghindari mitos Pencerahan, postmodernisme menggantikan optimisme dengan pesimisme. Harapan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik di masa depan pun dianggap kebohongan. Tidak heran jika banyak dikatakan bahwa era postmodern dimulai setelah proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis yang menjadi lambang arsitektur modern diledakkan dengan sengaja oleh para penghuninya. Bangunan yang berusaha menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi para penghuni ‘rumah-susun’ itu dianggap tidak dapat menjawab kebutuhan penghuninya secara utuh. Charles Jencks –seorang arsitektur postmodernis— mengatakan bahwa peristiwa peledakan Pruitt-Igoe ini menandai kematian modernisme dan kelahiran postmodernisme. Walaupun ada cukup banyak pengaruh baru yang dimunculkan oleh postmodern dalam berbagai aspek kehidupan, sangat penting diperhatikan bahwa gerakan baru ini bukanlah anti terhadap hasil-hasil yang dicapai oleh era modern. Yang menjadi titik perlawanan postmodern terhadap modernsime adalah cara pandang (worldview) dan filsafat modernis yang dianggap gagal. Yang dilakukan kaum postmodernis pada intinya adalah pembongkaran cara pandang dan asumsi-asumsi dasar dibalik segala cita-cita modern –yang dilihatnya sebagai akar permasalahan timbulnya berbagai bencana. Karena itu, tidaklah salah jika dikatakan bahwa postmodern lebih menunjuk pada suasana intelektual dan ekspresi kebudayaan yang mendominasi masyarakat kini.
Tantangan Mahasiswa (kaum intelektual) dalam zaman modern dan post modern
Filsafat Modern sebagai Pemberontakan Intelektual. Di satu sisi, modernitas dianggap sebagai disintegrasi intelektual. Filsafat modern lebih menampilkan dirinya sebagai anarkhi dan kekacauan dari pada keutuhan dan ketertiban, sebuah kemerosotan intelektual. Di lain sisi, filsafat modern dianggap sebagai emansipasi, sebuah kemajuan berpikir, dari kemandegan dan pendewaan pemikiran metafisis yang mendukung sistem kekuasaan gerejawi tradisional. Pihak kedua mendukung radikalisasi lebih lanjut, pemisahan ilmu pengetahuan dari filsafat. Hancurnya metafisika tradisional disambut gembira Nietzsche, Kant, Comte, di lain pihak, Hegel dan Marx ingin mengembalikan integrasi metafisis itu dari puing-puingnya.
Usaha melepas diri dari tradisi, filsafat modern meluncurkan tema-tema baru, pengetahuan yang sekarang dikenal sebagai "ilmu pengetahuan modern", yakni ilmu-ilmu alam, seperti Galileo, Bacon dan Descartes sangat menekankan "metode" untuk mengetahui. Kalau filsafat tradisional ramai mempersoalkan kenyataan adikodrati (Allah, roh, dst), para filsuf modern sibuk mempersoalkan cara untuk menemukan dasar pengetahuan yang sahih tentang semua itu. Lambat laun minat refleksi akan Allah bergeser ke refleksi atas manusia dengan segala kemampuan kodratinya. Jadi, teosentrisme bergeser ke antroposentrisme. Kemampuan manusia sebagai subjektivitas, seperti: rasio, persepsi, afeksi, dan kehendaknya menjadi tema-tema refleksi baru.
Di awal zaman modern, rumusan "Cogito ergo sum" dari Descartes bersesuaian dengan interpretasi subjektif atas iman dari Luther. Jika pengetahuan dicapai oleh dirinya sendiri dan iman ditafsirkan sendiri, yang dilawan di sini bukan hanya ajaran-ajaran resmi tentang pengetahuan yang benar, melainkan juga praktik-praktik totaliter gereja Abad Pertengahan yang dilegitimasikan ajaran-ajaran itu. Di abad ke-18, John Locke dan Adam Smith merumuskan hak-hak milik yang menandai praktik-praktik ekonomi kapitalis zaman itu. Praktik-praktik yang lama mendapat serangan gencar dari Marx yang memperlihatkan hak milik sehagai biang keladi penindasan dalam masyarakat.
Dalam pergaulan hidup mahasiswa sekarang inilah adalah teknologi nformasi mengenai facebook. Facebook banyak masyarakat dan para jurnalis disebut sebagai situs jejaring sosial. Namun menurut profesor Sherry Turkle, Facebook malah berpotensi menjadikan orang anti sosial. Dia menyatakan, situs seperti Facebook atau Twitter terlalu mendominasi kehidupan, membuat manusia terisolasi dan kurang manusiawi. Dalam bukunya, dia berargumentasi bahwa Facebook menghadirkan ilusi kemudahan melakukan komunikasi dengan lebih baik. Namun justru teknologi malah mengisolasi orang dari interaksi antar manusia yang nyata. Padahal realitas di dunia cyber adalah tiruan yang buruk dari dunia sebenarnya. Beliau juga menilai situs jejaring bisa membuat orang tergila-gila dan melakukan berbagai kebiasaan tidak pantas. Misalnya tetap sibuk facebookan saat upacara pemakaman.
Penulis menyadari banyaknya pendapat yang berbeda mengenai pembagian periode antara pramodern, modern, dan postmodern. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa terdapat ketidaksepahaman mengenai kapan bermula dan berakhirnya masing-masing era. Dalam tulisan ini penulis setuju dengan pendapat Hille, yang dimaksud dengan pramodern disini –secara sederhana— berarti masa abad-abad permulaan sampai abad pertengahan (Rolf Hille, “From Modernity to Post-modernity: Taking Stock at the Turn of the Century,” Evangelical Review of Theology 24/2 [2000] 117-118). Stanley Grenz, A Primer on Postmodernism (Yogyakarta: Andi, 2001) 10. Gene Edward Veith, “Postmodernisme: Spiritualitas Tanpa Kebenaran” disadur oleh Gunung Maston dari Postmodern Times: A Christian Guide to Contemporary Thought and Culture [http://www.geocities.com/reformed_movement/artikel/spiritual.html]
Charles Jencks, The Language of Post-Modern Architecture, 4th ed. (London: Academy Editions, 1984) 9 [sebagaimana dikutip dalam ibid. 25].